• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip keadilan menjadi salah satu penekanan Matius dalam mengangkat perlawanan terhadap bentuk-betuk ketidakadilan dari dominasi Romawi ataupun sikap umat Yahudi yang tidak adil terhadap kekristenan. Prinsip keadilan menjadi tema yang dimunculkan disetiap aspek kekristenan untuk menunjukkan kembali perbedaan signifikan antara Kerajaan Allah dan Kerajaan Dunia. Prinsip keadilan menjadi tema yang diusung dalam memelihara dan membina kehidupan rumah tangga.

Konteks Matius 19: 1-12 telah memperlihatkan keberpihakan Yesus terhadap kaum perempuan, walaupun pada ayat 9 memperlihatkan signifikansi perspektif laki-laki yang memprakarsai proses perceraian yang terfokus pada perempuan sebagai pelaku perzinahan. Situasi dan kondisi dalam pemerintahan Allah memberikan ruang dan kesempatan bagi perempuan yang telah mengalami kesewenangan akibat dominasi patriakhi dalam rumah tangga untuk dicintai, dan dihargai sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam Bab II telah dipaparkan kehidupan rumah tangga dalam kultur Yunani-Romawi ataupun Yahudi bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Anak laki-laki dalam kultur Yunani-Romawi dan Yahudi lebih diharapkan daripada anak perempuan. Anak laki-laki dijadikan prioritas sebagai ahli waris bukan anak perempuan. Perempuan hanya

“menjadi cadangan” dalam struktur sosial masyarakat. Istri memiliki kewajiban untuk patuh terhadap titah dan perintah suami, termasuk perihal perceraian yang dikehendaki oleh suami. Hal ini merupakan gambaran bahwa dalam masyarakat Romawi telah terjadi manipulasi dan dehumanisasi terhadap kedudukan dan peran perempuan.

Keberpihakan Yesus terhadap posisi perempuan tercermin melalui pengajaranNya

tentang larangan untuk bercerai. Sikap Yesus menunjukkan prinsip keadilan gender seharusnya

diterapkan dalam kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini Yesus berupaya untuk mengubah paradigma tentang perempuan sebagai objek menjadi perempuan sebagai subjek. Larangan perceraian yang ditujukan kepada laki-laki merupakan manifestasi pembelaan Yesus terhadap penderitaan yang dialami oleh para istri akibat dehumanisasi yang dilakukan oleh pihak suami. Dengan demikian teks Matius 19: 1-12 yang berisi pengajaran tentang larangan perceraian lahir dari pergumulan penderitaan para istri dalam rumah tangga Yahudi dan pergumulan secara politis dari dominasi Romawi yang pejuratif. Keberpihakan Yesus menunjukkan keberpihakan Allah kepada setiap orang yang termarginalkan secara khusus dalam hal ini adalah perempuan. Konteks Matius 19:1-12 mendatangkan pembebasan bagi para perempuan dan mengangkat harkat mereka melalui larangan perceraian. Jika larangan perceraian merupakan upaya pembelaan terhadap perempuan dalam konteks Matius, muncul pertanyaan atas pergumulan perempuan dalam konteks kekinian yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yaitu: bagaimana upaya pembelaan terhadap perempuan yang secara kontinu mengalami kekerasan dari suami saat ini?

Warisan tradisi patriakhi yang dianut oleh masyarakat Romawi dari masa lampau masih terasa dalam konteks kekinian. Jalinan tradisi patriakhi semakin terikat kuat ketika menjadi bagian signifikan dalam Kitab Suci. Doktrin Kristen anti perceraian yang terdapat dalam

beberapa bagian Alkitab salah satunya dalam teks- teks Perjanjian Baru, seperti Matius 5: 32, 19: 1-12, I Korintus 7: 10-11, Efesus 5: 22-23, dalam warisan kolonial menjadi pembenaran terhadap tindak kekerasan dan dominasi yang dilakukan oleh para suami dan tindakan diskriminatif yang dilakukan gereja. Penggunaan Kitab Suci yang diskriminatif terhadap perempuan menurut Pui lan sarat dengan kepentingan politis imperialisme Barat. Pui lan mengungkapkan Kitab Suci yang diperkenalkan kepada perempuan Kristen Asia tidak hanya sebagai berkat tetapi juga beban. Para misionaris Barat menggunakan Kitab Suci hanya untuk pembenaran terhadap agresi politik militer dan semakin mendukung perempuan untuk hidup di ruang domestik.

Lima responden yang telah bercerai merupakan korban dari kontruksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Budaya patriakhi yang bias gender telah melahirkan penindasan dan pengalaman traumatis bagi lima responden yang tidak hanya terjadi pada ranah domestik tetapi sampai pada ranah publik, dimulai dari penganiayaan yang dilakukan oleh suami sampai pelecehan yang dialami dalam lingkup pekerjaan, tindakan diskriminatif dalam gereja dan masyarakat. Pengalaman-pengalaman kekerasan dari lima responden merupakan hasil dari bangunan struktur patriakhi yang menunjukkan jurang lebar dalam perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, tidak heran jika perempuan lebih sering menjadi objek daripada subjek. Pengalaman kelima responden menunjukkan bahwa mereka pun hanya dianggap sebagai objek oleh para suami. Mereka dipandang sebagai alat yang dapat menghasilkan uang untuk suami memenuhi hasrat judi, miras dan seks. Keterpurukan lima responden dalam kehidupan rumah tangga telah dipaparkan dalam bab II tidak terlepas dari berbagai faktor, seperti faktor budaya patriakhi yang berkolaborasi dengan kapitalisme global. Kapitalisme global yang lebih terarah pada budaya konsumtif dari pada nilai guna suatu produksi, memperkokoh anggapan perempuan

sebagai objek dan bukan subjek. Untuk mencapai tujuan mendapatkan riba maka iklan dari satu produksi sangat dibutuhkan, perempuan merupakan sosok yang paling mujarab untuk dapat menarik konsumen. Penggunaan figur perempuan dengan mengedepankan bentuk eksploitasi organ-organ tubuh sensitif dan daya tarik seksual seringkali digunakan dalam iklan di media

cetak atau elektronik untuk produk seperti: mobil, motor, dan jeans.45 Gambaran baku akan

perempuan yang cantik, seksi dan sensual menjadi parameter kesempurnaan tentang perempuan, tidak heran dalam dunia kerja kelima responden mendapatkan tuntutan untuk menampilkan kecantikan fisik. Tuntutan ini mengharuskan kebutuhan yang dipenuhi dalam keluarga semakin meningkat. Tindakan diskriminatif terhadap kelima responden dalam lingkup keluarga, gereja dan masyarakat menggambarkan dehumanisasi yang terjadi terhadap peran dan posisi perempuan.

Dalam lingkup gereja, dehumanisasi terhadap perempuan juga dirasakan oleh kelima responden. Perceraian menjadi parameter perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh para tokoh gereja. Gereja menggugat hak untuk melayani dari kelima responden, gereja memandang perceraian yang terjadi merupakan perbuatan dosa oleh sebab itu kelima responden yang telah bercerai tidak memiliki hak untuk berperan aktif dalam mengemban tugas sebagai pelayan dalam gereja. Dehumanisasi yang terjadi dalam gereja terhadap kelima responden sebagai perempuan tidak terlepas dari bentukan warisan budaya patriakhi yang sangat melekat dalam Kitab Suci, seperti yang telah disampaikan oleh Pui lan bahwa dehumanisasi terhadap perempuan berkaitan erat dengan warisan budaya patriakhi dari agama Abrahamik.

Pengalaman kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh kelima responden jelas memaparkan realitas hidup yang masih bergulat dengan ketidakadilan gender. Gender mengacu pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang terjadi berdasar proses sosial dan budaya

45

yang panjang. Perbedaan gender merupakan salah satu bagian signifikan dalam kehidupan laki-laki dan perempuan, perihal perbedaan gender tidak menjadi masalah selama perbedaan gender tidak mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan ataupun laki-laki. Namun ketika perbedaan gender dijadikan alat untuk memonopoli, mendominasi bahkan mendehumanisasi pihak yang lain maka perbedaan gender akan menjadi persoalan yang serius dalam realitas sosial masyarakat.

Isu ketidakadilan gender menempa kehidupan rumah tangga dari kelima responden. Tindakan kekerasan baik verbal ataupun fisik seperti pemukulan, kata-kata tidak senonoh dari suami membuat mereka hidup dalam penderitaan berkepanjangan. Dalam upaya keluar dari tindakan-tindakan kekerasan, kelima responden tiba pada refleksi diri bahwa mereka adalah manusia yang layak untuk memperjuangkan keutuhan dan keselamatan diri. Mereka memiliki hak yang sama dengan suami untuk dihargai, dan dihormati, jika penghargaan dan pernghormatan tidak mereka dapatkan dalam afirmasi pernikahan maka solusi terbaik adalah memutuskan afrimasi pernikahan itu sendiri. Memutuskan afirmasi pernikahan berarti bercerai, sementara bercerai dalam doktrin yang dianut oleh GMIST merupakan tindakan dosa terhadap Allah. Namun hasil refleksi diri mereka terhadap larangan perceraian memunculkan perspektif baru. Jika para tokoh-tokoh gereja di GMIST Mahanaim memandang perceraian adalah dosa, namun bagi mereka perceraian bukanlah tindakan dosa, melainkan karya penyelamatan Allah terhadap penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan rumah tangga.

Menjawab pertanyaan tentang aplikasi larangan perceraian dalam teks Matius 19:1-12 dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga pada kekinian zaman, maka menurut penulis dapat berkaca dari pengalaman kekerasan yang memunculkan perspektif baru dari kelima responden yaitu perempuan GMIST Mahanaim. Teks Matius 19:1-12 lahir untuk mendatangkan

pembebasan yang menghadirkan kesejahteraan bagi para perempuan dari dominasi Imperialiseme Romawi dan budaya patrhiakhi, maka dalam konteks kekinian teks Matius 19:1-12 dapat dipandang sebagai teks yang memberikan pembebasan bagi para istri yang mengalami kekerasan sebagai akibat ikatan warisan budaya patriakhi yang berkolaborasi dengan kapitalisme global. Pembebasan yang diberlakukan tidak berupa larangan perceraian terhadap laki-laki, melainkan pembebasan yang diberikan berupa perceraian yang dilakukan oleh para istri terhadap suami yang melakukan tindakan kekerasan.

Tindakan kekerasan yang dialami oleh kelima responden berbeda dengan tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks Matius 19:1-12. Perempuan dalam konteks Matius berhadapan dengan rapuhnya loyalitas suami terhadap afirmasi pernikahan, oleh sebab itu larangan perceraian memberikan kekuatan hukum kepada para istri. Larangan perceraian merupakan upaya untuk menghentikan tindakan suami yang berbuat semena-mena dan sering melampiaskan hasrat seksual diluar afirmasi pernikahan. Sementara kelima responden dalam konteks GMIST Mahanaim berhadapan dengan tindakan kekerasan verbal dan fisik terus menerus yang dilakukan oleh suami mereka, maka perceraian merupakan upaya untuk keluar dari tindakan kekerasan yang terjadi terus menerus.

Dalam Matius 19:9 diungkapkan bahwa perceraian dapat dilakukan dengan pengecualian terjadinya perzinahan dalam rumah tangga. Kata perzinahan telah dijelaskan diatas berasal dari

kata Yunani ppornei,a yang berarti percabulan. Percabulan mengarah pada sikap yang tidak

sesuai dengan moral, dengan demikian menurut penulis pengecualian percabulan tidak hanya terbatas pada orientasi perselingkuhan yang terjadi dalam afirmasi pernikahan. Melainkan memiliki arti yang lebih luas yaitu setiap bentuk perkataan ataupun tindakan yang menyebabkan terjadinya manipulasi dan dehumanisasi terhadap istri. Oleh sebab itu pengajaran Yesus tentang

doktrin Kristen anti perceraian dalam teks Matius 19:1-12 dapat menjadi dasar dari perceraian sebagai wujud pembebasan penganiayaan dan ketertindasan seseorang dalam kehidupan rumah tangga. Pengecualian percabulan dalam isu perceraian dalam konteks kekinian terorientasi pada kasus-kasus kekerasan yang menghilangkan hak-hak kemanusiaan seseorang. Dengan pemaparan pemaknaan yang lebih luas tentang percabulan dalam konteks kekinian, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Matius 19: 1-12 dapat diaplikasikan dengan perspektif baru bahwa perceraian dapat dilakukan karena menunjukkan keberpihakan Allah terhadap ketidakadilan yang dialami oleh kelima responden. Perspektif baru yang muncul dalam interpretasi terhadap Matius 19:1-12 merupakan upaya mempertemukan makna Alkitab dengan kebutuhan konteks kekinian yang mengusung keadilan dan kepentingan perempuan, sehingga perempuan tidak hanya dilihat sebagai objek melainkan subjek.

Perspektif baru yang muncul dari teks Matius 19:1-12 dapat mengubah perspektif GMIST Mahanaim dalam memandang perceraian sebagai dosa. Perceraian juga dapat dipandang dari sisi kemanusiaan sebagai keberpihakan Allah terhadap dehumanisasi perempuan dalam rumah tangga. Penekanan utama dalam pernikahan adalah adanya kesetaraan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Kesetaraan yang direalisasikan dalam relasi suami-istri berdampak pada pengembangan individu, keluarga bahkan masyarakat. Memandang isu kekerasan terhadap perempuan dengan benar, secara khusus memandang isu kekerasan yang dialami oleh kelima responden dalam pemahaman baru terhadap interpretasi teks Matius 19:1-12, merupakan upaya memberikan pencerahan kepada para pelayan di GMIST Mahanaim sehingga dapat memutus perilaku diskriminatif terhadap jemaat yang memilih untuk bercerai.

Serangkaian problematika kekerasan yang dialami oleh kelima responden dalam rumah tangga tidak mengaburkan pemahaman dan penghayatan mereka akan kasih Allah yang diberlakukan secara universal tanpa membedakan jenis kelamin. Mereka memahami bahwa Allah menciptakan mereka sebagai perempuan dengan tujuan dan maksud yang sangat baik. Mereka adalah partner Allah sama seperti laki-laki, Allah menciptakan mereka dengan kasih maka setiap individu yang diciptakan Allah wajib untuk menyatakan kasih yang tulus diantara sesama manusia. Setiap bentuk penindasan dan penganiayaan terhadap istri merupakan bentuk penyangkalan terhadap karya Allah yang baik dan mulia. Mengembalikan ciptaan Allah sesuai dengan peran dan kedudukannya merupakan wujud tanggung jawab memelihara karya Allah. Perceraian bagi mereka merupakan wujud tanggung jawab menjaga dan memelihara tubuh yang diciptakan Allah. Perceraian merupakan media untuk menegakkan keadilan dalam ketimpangan peran dalam rumah tangga. Namun dalam tulisan ini tidak berarti memunculkan konsep yang memudahkan perceraian bahkan melegalkan setiap alasan untuk bercerai. Perceraian dapat dilakukan dengan pengecualian berdasarkan proses pendampingan dan analisa kasus-kasus dalam konflik rumah tangga. Perceraian menjadi solusi akhir dari proses yang panjang akan kemelut yang terjadi dalam rumah tangga.

4.5. Kesimpulan

Teks Matius 19:1-12 merupakan salah satu dari teks Alkitab yang dijadikan acuan dalam doktrin Kristen anti perceraian. Interpretasi yang seringkali dimunculkan melalui teks ini adalah afirmasi pernikahan tidak terceraikan merupakan titah Allah, sehingga setiap tindakan perceraian dipandang sebagai bentuk tindakan dosa karena telah melakukan pemberontakan terhadap titah Allah. Hal ini tentunya berimplikasi pada sikap menghakimi para tokoh-tokoh gereja, secara

umum orang Kristen terhadap mereka yang mengakhiri afirmasi pernikahan dengan perceraian. Konsep pandangan ini tentunya berimplikasi negatif bagi para korban yang mengalami tindakan kekerasan, kekeliruan dalam menginterpretasikan teks Matius 19:1-12 dapat menjadi pembenaran terhadap tindakan kekerasan yang terus menerus terjadi dalam rumah tangga. Interpretasi yang telah dilakukan dari para penafsir yang berpijak pada sejarah dan budaya dalam konteks Matius setidaknya telah memaparkan arah yang sepatutnya dalam memahami teks Matius 19:1-12.

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga akibat dominasi laki-laki tentunya tidak dapat dibiarkan, oleh sebab itu dibutuhkan upaya untuk menolong setiap korban kekerasan yang pada umumnya dialami oleh para perempuan karena ketidakadilan gender sebagai hasil bentukan budaya patriakhi yang kemudian bersinergi dengan kapitalisme global dalam konteks kekinian. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memunculkan interpretasi baru yang menghadirkan penyelamatan, pembebasan bagi para perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Berpijak dari perspektif kelima responden di GMIST Mahanaim yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga merupakan upaya untuk memunculkan perspektif baru dalam membaca teks Matius 19:1-12 di kekinian zaman. Melalui perspektif kelima responden memunculkan pemahaman dan penghayatan iman akan kasih dan keadilan Allah yang berpihak pada individu yang mengalami tindak kekerasan. Kasih Allah memberikan pembebasan, pengharapan dan pencerahan hidup bagi mereka yang tertindas dan teraniaya. Interpretasi yang berpijak dari perspektif kelima responden melihat teks Matius19:1-12 memunculkan pemaknaan yang menyentuh pergumulan kekerasan yang dialami oleh kelima responden. Dari perspektif mereka maka teks Matius 19:1-12 dapat dilihat sebagai teks yang hadir dari pergumulan masa

lalu tentang tindakan kekerasan yang dilakukan oleh imperialisme Romawi terhadap wilayah koloni. Pengajaran Yesus melarang perceraian merupakan resistensi terhadap bentuk diskriminasi yang terjadi dalam rumah tangga dan wujud sikap Yesus yang tidak berkompromi dengan beragam bentuk tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan.

Pembebasan, kemerdekaan dari tirani menjadi harapan penduduk koloni untuk merasakan situasi yang penuh keadilan dan kesetaraan. Dalam konteks kekinian teks Matius 19:1-12 juga dapat memberikan jawaban atas pergumulan kekerasan yang dialami oleh kelima responden sebagai akibat dari dominasi pejuratif yang berkelanjutan. Teks ini dapat dilihat juga sebagai bentuk pembebasan dari tindak kekerasan melalui perceraian.

Dokumen terkait