BAB IV
Analisa Kritis Terhadap Penafsiran Teks Matius 19:1-12 dalam Perspektif Perempuan di
GMIST Mahanaim yang Mengalami Diskriminasi Akibat Perceraian
dalam Konteks Keluarga, Gereja dan Masyarakat
4.1 Pendahuluan
Pengalaman diskriminasi yang terjadi dalam konteks gereja, masyarakat, keluarga
terhadap perempuan yang bercerai dan konteks Matius serta dominasi Romawi telah dijabarkan
dalam Bab II dan Bab III. Pada Bab IV sebagai kelanjutan dari tulisan ini penulis akan
melakukan analisa kritis terhadap tafsiran teks Matius 19:1-12 dengan berpijak pada perspektif
perempuan yang mengalami diskriminasi dalam konteks keluarga, gereja dan masyarakat. Dalam
proses analisa kritis terhadap teks Matius 19:1-12 maka penulis akan mengawalinya dengan dua
pertanyaan penuntun yaitu apakah teks Matius 19:1-12 memunculkan konsep Tuhan yang
menyatakan kasihNya melalui perceraian? dan apakah teks Matius 19:1-12 dapat memberikan
keadilan dan kemerdekaan bagi para korban yang mengalami diskriminasi dan kekerasan.
4.2 Tatanan Nilai Baru dalam Matius 19: 1-12 Merupakan Resistensi terhadap Tatanan
Nilai dalam Dominasi Romawi.
Teks Matius merupakan bentuk perlawanan dari konteks subordinasi terhadap kekuasaan
Romawi.1 Dalam pencapaian tujuan itu Matius mengangkat konsep tatanan hidup manusia yang
berada dalam kekuasaan Kerajaan Allah yang memberikan pembebasan dari keterikatan berdasar
1
pengaruh konsep tatanan hidup masyarakat dalam tirani kekaisaran Romawi yang lebih
menunjukkan dominasi pejuratif. Matius mengkontekstualisasikan pentingnya silsilah Yesus
pada bagian awal yang tidak menampilkan kekayaan konvensional, kekuasaan dan status sosial
tetapi dalam kaitan dengan tujuan Allah. Yesus sebagai pribadi yang hadir dalam ketertindasan
umat mengungkapkan tiga hal yang berkaitan dengan nubuat pembebasan dalam Perjanjian
Lama yang bersifat anti terhadap dominasi pejuratif:2
1. Yesus dalam bahasa Ibrani Yosua berarti membawa pembebasan terhadap umat dari
perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian Allah.
2. Penjajahan merupakan bentuk hukuman atas dosa Israel, namun loyalitas Allah terhadap
janji penyertaan terhadap umat akan membawa pembebasan dari bentuk penjajahan, seperti yang
diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 130: 8.
3. Yesus adalah Immanuel, merupakan kutipan dari Yesaya 7-9 yang menggambarkan
keberpihakkan Allah terhadap Israel yang akan mendapatkan pembaharuan hidup yaitu
pembebasan dari penderitaan akibat kesewenangan kekuasaan kekaisaran.
Uraian ketiga hal ini mengarah pada dimensi utama yaitu kehadiran Yesus merupakan
manifestasi dari tujuan Allah, kebesaranNya tidak berdasar pada kekuatan militer, kekayaan,
kepentingan pribadi yang eksploitatif melainkan kebesarannya terletak pada penyelamatan dari
beragam bentuk dominasi pejuratif yang selama ini telah dilakukan oleh kekaisaran Roma.
Narasi Matius memperkenalkan Yesus sebagai seseorang yang membangun komunitas
dengan mengutamakan kehidupan dan kesejahteraan bersama. Yesus memperkenalkan sistem
yang tidak bergantung pada status dari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sistem yang
melahirkan tindakan-tindakan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Yesus berkata
2
kepada para murid "kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah
rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas
mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu,
hendaklah ia menjadi hambamu."3
Perjalanan dari Galilea ke Yudea (ayat 1) merupakan bagian dari proses perwujudan misi
pemerintahan Allah yang akan memunculkan kesejahteraan terhadap manusia melalui jalan salib.
Tema sentral pemerintahan Allah yang memproklamirkan kesiapan diri melalui penderitaan
dengan misi penyelamatan manusia karena dosa sehingga mereka harus mengalami penaklukan
Yerusalem oleh Roma pada tahun 70 ZB, memunculkan perbedaan signifikan dengan pusat
kekuasaan pemerintahan elit di Yudea dan Galilea yang berada di bawah dominasi Roma. Jalan
salib yang menggambarkan keadaan Yesus sebagai manusia yang siap menderita menunjukkan
sikap intoleran terhadap setiap bentuk ketidakadilan, kekerasan, kepentingan akan tirani
kekuasaan kekaisaran Roma dan memunculkan pemahaman baru yang lebih memberikan tempat
kepada setiap individu memiliki harapan untuk hidup sebagai pribadi yang merdeka terlepas
dari beragam bentuk penindasan, penganiayaan. Pemerintahan Allah meniadakan
struktur-struktur kolonial, memunculkan compassion menuju pada kebebasan dan kemerdekaan yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, kesederajatan, dan penyelamatan universal menyentuh
setiap aspek yang meliputi kosmik, politik, sosial dan individu.4
Gundry memaparkan bahwa kehadiran Yesus di Galilea dan Yudea merupakan persiapan
perwujudan nubuatan berakhirnya masa-masa kegelapan hidup tergantikan dengan hidup yang
3
Warren Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 10.
4
dipenuhi kesejahteraan (Mat 4: 12-17) melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan yang akan
dialami oleh Yesus.5 Menurut Riyadi Yesus kembali ke Yudea merupakan rancangan Tuhan
sehingga Yudea dapat menerima Yesus sebagai raja orang Yahudi.6
Kemampuan Yesus memulihkan mereka yang sakit berimplikasi pada kekuatan dan
kekuasaan pemerintahan Allah yang tidak terbatas. Yesus sebagai representasi kehadiran Allah
telah memproklamirkan compassion dalam kedaulatan Allah melalui tindakan-tindakan konkrit
dan praktis seperti, kepedulian terhadap mereka yang terbelenggu penyakit. Terlihat pada ayat 2
aktivitas Yesus saat di Perea adalah memberikan kesembuhan bagi orang-orang yang sakit.
Tindakan Yesus memberikan mujizat penyembuhan merupakan bagian dari hadirnya kerajaan
Allah.7 Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Bab III bahwa tema sentral dalam Matius
adalah hadirnya Kerajaan Allah, maka tindakan-tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh
Yesus memperlihatkan keaktifan Allah untuk menjangkau dan memberkati umatNya.8
Kemampuan berempati pada pengalaman hidup manusia yang menderita karena kelemahan fisik
memberikan penegasan dalam pemerintahan Allah tidak berlaku kekuasaan yang otoriter,
kekuasaan yang berdiri atas dasar asas kepentingan elit penguasa Romawi melainkan meletakkan
dasar kesejahteraan dalam keutuhan jati diri setiap individu yang layak hidup merdeka, sejahtera
tanpa terpasung oleh otoritas para elit penguasa. Kuasa penyembuhan yang diangkat oleh Matius
menjadi peneguhan identitas Yesus sebagai pembebas dari setiap penderitaan sehingga
memberikan kepastian bagi setiap orang untuk menata hidupnya sesuai dengan tatanan hidup
5
Robert H. Gundry, Commentary on Matthew: Commentary on the New Testament Book (Michigan: Baker Academic, 2010), 112. Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution (Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1994), 375.
6
Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 171.
7
Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 376.
8
yang diajarkan Yesus. Tatanan hidup dalam pengajaran Yesus memperlihatkan perbedaan
signifikan dengan tatanan hidup yang diatur sesuai kepentingan penguasa Romawi.
Tatanan hidup masyarakat yang berada dalam kekuasaan Romawi terpusat pada
aturan-aturan yang diberlakukan oleh kaisar sebagai representasi dari kehadiran dewa, yang selalu
berpihak dan memberikan profit bagi kekaisaran atau pun para elit penguasa. Kaisar Domitianus
mewajibkan setiap orang yang berada di bawah kekuasaan Romawi termasuk orang Kristen
untuk tunduk terhadap aturan-aturannya seperti menyembah dirinya sebagai dewa dan membayar
pajak. Ketaatan terhadap aturan kaisar Domitianus bersifat mutlak, konsekuensi yang harus
diterima seseorang atas ketidaktaatannya adalah dieksekusi. Pengalaman penganiayaan pernah
dialami oleh orang-orang Kristen pada masa Kaisar Domitianus pada tahun 91-96 ZB.
Tindakan-tindakan anarkis, radikal ataupun sporadis dari kekaisaran dilakukan untuk
mempertahankan kekuasaan. Intimidasi terhadap stuktur sosial, agama dan kesewenangan politik
seringkali terjadi, sehingga perlakuan kejam dan penganiayaan menjadi model konkrit dalam
kontruksi sosial masyarakat. Pola hidup yang dianut oleh kekaisaran menjadi pola hidup yang
wajib dianut oleh masyarakat. Pola hidup yang pada umumnya menggambarkan kemewahan,
hedonisme, mengumbar nafsu seksual seperti gaya hidup kaisar Domitianus, huru-hara dan
tindakan-tindakan diskriminatif bagi masyarakat kelas bawah.
Dalam Bab III telah diuraikan dominasi pemerintahan Romawi disetiap daerah jajahan,
termasuk setting penulisan Injil Matius tidak terlepas dari dominasi Romawi. Romawi
merupakan kerajaan adikuasa yang menjalankan politik pemerintahan dengan cara-cara
eksploitatif dan anarkis. Cara-cara eksploitatif, tindakan-tindakan anarkis sarat dengan
kekejaman penguasa telah menindas daerah dan masyarakat di daerah koloni. Bahkan agama
terhadap tindakan kekaisaran diperoleh dari nilai yang ditanamkan dalam agama bahwa kaisar
merupakan representasi kehadiran dewa, sehingga para kaisar dapat memiliki keleluasaan dalam
menjalankan pemerintahan sesuai kehendak hatinya. Hal ini menanamkan pandangan bahwa
tindakan kaisar berdampak negatif tetap dipahami sebagai tindakan yang dikehendaki oleh dewa
terhadap umat. Dari faktor ekonomi, ekspresi eksploitatif pemerintah Romawi berwujud pada
pemberlakuan pajak yang sangat tinggi bagi masyarakat koloni untuk menunjang perekonomian
Romawi. Penindasan semakin merajalela, saat praktik korupsi dilakukan oleh para masyarakat kelas
atas yang bertugas menarik pajak dari masyarakat kelas bawah. Penolakan pemberian pajak akan
berdampak buruk untuk masyarakat koloni yang berada dalam yuridiksi umum pemerintah Romawi,
mengingat pemberontakan terhadap ketetapan Romawi akan mendatangkan konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum yang diberikan untuk setiap bentuk pemberontakan tergantung dari setiap
keputusan peradilan yang mengadili. Hukuman yang akan diberikan dari setiap bentuk pelanggaran
aturan pemerintah Romawi mulai dari hukuman denda, dijual sebagai budak, kerja paksa seumur
hidup, hukuman cambuk, penyaliban, seorang perawan “vestal” yang mengingkari sumpah untuk
hidup suci menerima konsekuensi hukum dengan cara dikubur saat masih hidup.9 Dari faktor
sosial, terdapat kesenjangan sosial yang sangat signifikan antara masyarakat kelas atas dan kelas
bawah. Masyarakat kelas atas hidup makmur, sementara masyarakat kelas bawah harus hidup
dengan makanan murah dengan gizi yang sangat kurang sehingga seringkali rentan dengan
penyakit. Kondisi diatas menunjukkan penindasan, kemiskinan, diskriminatif nampak menjadi
bagian yang signifikan dalam kehidupan masyarakat koloni yang berada di bawah dominasi
Romawi.
Selain mendapatkan tekanan dari dominasi Romawi, kekristenan juga menghadapi
tekanan dari umat Yahudi. Orang-Orang Yahudi Kristen yang telah hidup dalam pengajaran
9
Yesus dengan konsep kasih universal, menolak memberikan dukungan pemberontakan terhadap
dominasi Romawi kepada para kaum Zelot. Hal ini berdampak pada keretakan hubungan sosial
antara umat Yahudi dan orang-orang Kristen Yahudi. Permusuhan dikumandangkan oleh para
pemimpin agama yang menyebarkan isu bahwa kekristenan merupakan ajaran sesat.
Pemerintahan Allah yang ditampilkan oleh penulis Matius merupakan antitesis dari
pemerintahan Romawi yang bersifat destruktif dan sikap permusuhan yang disebarkan oleh para
pemimpin Yahudi kepada umat Yahudi terhadap kekristenan.
Dalam kepentingan ini maka Matius pada ayat 1 memperlihatkan adanya keterkaitan teks
Matius 19:1-12 dengan perikop-perikop sebelumnya. Matius 19:1-12 merupakan kesatuan dari
bagian ajaran-ajaran Yesus yang terdapat dalam pasal sebelumnya. Pasal 5-7 (khotbah di bukit),
pasal 10 (pengutusan para rasul) dan pasal 18 (kesatuan dalam berjemaat) tentang
peraturan-peraturan yang terfokus pada tatanan hidup bersama dalam berjemaat.10 Hal ini terlihat dari
penggunaan kalimat yang khas dalam penulisan Matius saat memperlihatkan keterkaitan antara
beberapa perikop dengan perikop berikutnya, seperti yang terdapat dalam Matius 19: 1 dimulai
dengan kata Kai evge,neto (dan terjadilah) kemudian diikuti dengan kata tou.j lo,gouj tou,touj(
lo,gouj (perkataan-perkataan).11 Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Yesus adalah nilai-nilai yang
terorientasi pada kepentingan bersama, dan kesetaraan diantara relasi yang terbangun antar
sesama manusia. Nilai-nilai yang dibangun oleh Matius melalui figur Yesus merupakan
resistensi terhadap nilai-nilai yang dianut oleh penguasa Romawi.
10
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 128-140.
11
Penulis Matius ingin menunjukkan pengajaran Yesus tentang tanggung jawab orang
beriman pada pasal 18 berlanjut pada pasal 19 yang lebih khusus menyoroti tentang tanggung
jawab suami atau istri dalam pernikahan (Matius 19). Tanggung jawab manusia dalam tulisan
Guthrie mengarah pada ketaatan terhadap peraturan Allah, seperti yang ada dalam ketetapan
Perjanjian Lama tentang janji kesetiaan antara suami dan istri. Janji kesetiaan ini harus bersifat
universal karena berkaitan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi manusia,
dengan demikian kesuciaan keluarga merupakan perintah dan ketetapan Allah yang harus ditaati.
Pandangan ini menuntut totalitas dalam mengemban tanggung jawab, jika manusia hidup hanya
terorientasi pada kepentingan diri sendiri maka ia tidak dapat menjalankan tuntutan ini. Ketaatan
yang diberlakukan bukan bentuk pembelengguan terhadap kemerdekaan manusia tetapi
menuntun manusia untuk memiliki penyerahan sepenuh hati kepada Allah.12
Tatanan nilai yang dibangun oleh Matius melalui figur Yesus merupakan resistensi
terhadap tatanan nilai yang dianut oleh penguasa Romawi. Tatanan nilai dalam pengajaran Yesus
berporos pada kasih universal yang terarah pada kontruksi relasi antar manusia dengan Allah dan
sesamanya (Khotbah di bukit pasal 5-7; 22: 37-40). Pelayanan kasih secara universal menyentuh
setiap pribadi yang tersisih dan terdiskriminasi karena situasi politik dan sosial pada masa
imperialisme Romawi.
Tindakan Yesus di Perea yang memberikan kuasa pemulihan, memperlihatkan
pemerintahan Kerajaan Allah sebagai pembebas, memberikan harapan hidup, dan menghadirkan
suasana yang penuh dengan kesejahteraan. Pemerintahan Allah memiliki perbedaan signifikan
dengan pemerintahan di bawah sistem imperialisme Romawi dan pembebasan dari aturan-aturan
para pemimpin Yahudi yang lebih bersifat diskriminatif seperti diuraikan dalam Bab III.
12
Sementara pemerintahan Allah memunculkan nilai-nilai hidup baru dengan mengedepankan
kasih secara universal tanpa batasan-batasan yang dibuat oleh manusia dan menjadi dasar
konstrukstif dalam interaksi antara Allah dan sesama manusia, secara khusus kontruksi relasi
antara suami dan istri yang seimbang.
4.3Salah Satu Wujud Kasih Allah adalah Perceraian
Kasih Allah yang universal berarti menjangkau setiap pribadi yang berbeda status sosial,
berbeda jenis kelamin, berbeda budaya ataupun agama. Hal ini juga merupakan kritik terhadap
pemberlakukan khusus atau istimewa terhadap orang-orang tertentu dalam masyarakat
Yunani-Romawi. Kehidupan yang layak, kasih, penghormatan, penghargaan hanya nampak pada
masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi seperti, kaisar beserta dengan para pejabat
kekaisaran, para bangsawan, para pemimpin agama, dan berjenis kelamin laki-laki. Sementara
masyarakat yang berasal dari status sosial rendahan, atau berjenis kelamin perempuan seringkali
mendapat perlakuaan yang semena-mena. Kasih yang universal melampaui batasan status sosial
dan jenis kelamin, oleh sebab itu tidak ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap orang-orang
tertentu. Semua orang mendapatkan perlakuan yang sama karena kasih Tuhan tertuju kepada
setiap manusia. Dengan demikian seorang suami harus dapat memperlakukan istri dengan penuh
kasih dan begitu pula sebaliknya. Kasih dalam pernikahan terwujud dalam penerimaan terhadap
pasangan sebagaimana adanya, perceraian yang berdasarkan kehendak hati suami secara pribadi
dalam praktik pernikahan Romawi dengan alasan-alasan yang sederhana mengungkapkan
Wujud dari kasih secara universal dimunculkan Matius dalam keseimbangan kontruksi
relasi antara suami istri pada ayat 3-12, Yesus memberi respon pertanyaaan orang Farisi dan
tanggapan dari para murid dengan mendekonstruksi pola rumah tangga yang diadopsi dari
aturan-aturan imperialisme Romawi serta tradisi Yahudi. Dalam bab III telah diinformasikan
bahwa sebelum akhir periode republik dalam pernikahan Romawi tidak memperkenankan
perceraian. Namun sejak awal periode kekaisaran, perceraian dapat dengan mudah dilakukan.
Seseorang dapat menceraikan istri atau suami secara bebas, bahkan tindakan bercerai tidak
mendapatkan konsekuensi hukum ataupun stigma moral dari masyarakat. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dalam realitas hidup berkeluarga, perceraian tidak dipandang sebagai
persoalan yang mendapatkan perhatian signifikan, nikah-cerai adalah hal biasa dalam masyarakat
Romawi. Namun hal ini tidak berarti menggambarkan kontruksi relasi yang setara antara
laki-laki dan perempuan dalam keluarga Romawi.
Konsep rumah tangga Romawi ataupun Yahudi tidak dibangun atas dasar kemitraan
setara antara laki-laki dan perempuan. Dari pemaparan Bab III nampak bahwa suami memiliki
kekuasaan mutlak terhadap istri, anak bahkan para budak, bahkan suami memiliki hak untuk
membunuh istri dan anaknya tanpa guguatan hukum. Istri dalam hal ini hanya dipandang sebagai
properti suami, perantara penghasil keturunan. Konsep ini mengikat istri, anak dan para budak
untuk tunduk terhadap aturan ataupun keputusan suami yang diabsahkan oleh para elit penguasa,
sehingga perempuan dalam konsep rumah tangga Romawi ataupun Yahudi mengalami
ketertindasan, dan menjadi korban dari ketidakadilan. Konsep hierarki, patriakhi dan yang lebih
dominan dalam imperialisme Romawi menunjukkan ketidakadilan, bias gender.13
Konsep hierarkis, patriakhi dalam aturan Yahudi tidak jauh berbeda dengan Romawi.
Terdapat ketimpangan-ketimpangan peran antara suami-istri dalam rumah tangga Yahudi, seperti
13
suami lebih memiliki peran yang dominan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga.
Kekuasaan dan keputusan suami yang dijadikan parameter dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam rumah tangga kedudukan istri berada pada kekuasaan suami, pandangan ini berkaitan
dengan pandangan Yahudi tentang perempuan. Perempuan dipandang hanya sebagai perantara
penghasil keturunan, tidak heran jika fenomena poligami merebak dalam Yahudi. Untuk
kepentingan menghasilkan keturunan maka suami diberikan kebebasan untuk berpoligami
sementara istri tidak diizinkan untuk memiliki suami lebih dari satu (Kej 4:19, 29:23.30 36:2; 1
Sam.1:2), nampak bahwa posisi istri dinilai lebih rendah dari suami. Perempuan juga
digambarkan sebagai mahkluk yang lemah, pasif, bahkan perempuan sangat berkonotasi negatif
karena dianggap sebagai kaum yang mudah untuk dirayu dan penggoda laki-laki.14
Pada konteks keagamaan, kekudusan dan kemurnian perempuan dalam relasi dengan
Allah dikategorikan lebih rendah daripada laki-laki. Dalam hal kultus persembahan, maka
persembahan kurban dari laki-laki dipandang lebih bernilai daripada persembahan kurban dari
perempuan. Persembahan kurban dari laki-laki merupakan jantung dari kultus peribadatan secara
umum, sementara persembahan kurban dari perempuan hanya digunakan sebagai kurban
penghapus dosa pribadi. Dengan demikian, relasi kultus yang terbangun dengan Allah pada awal
Yudaisme di mediasi oleh unsur laki-laki. Kesetaraan yang timpang dalam konteks Yahudi
dilatarbelakangi dari pandangan kisah Allah menciptakan manusia muncul norma interpretatif
dan pembenaran bahwa perempuan memiliki nilai dan tugas yang lebih rendah dari laki-laki. Hal
ini menyimpulkan bahwa perempuan secara implisit dianggap tidak diciptakan menurut gambar
Allah.15
14
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 34-46.
15
Pemaparan tentang rumah tangga Romawi atau pun Yahudi memperlihatkan posisi
perempuan dalam konteks sosial Romawi ataupun Yahudi. Menurut penulis dari dua konteks
Romawi dan Yahudi, citra perempuan sangat berkonotasi negatif yang berwujud dalam bentuk
subordinatif dan eksploitatif. Ekspresi subordinasi dan eksploitasi semakin mengokohkan
ketimpangan peran dan kedudukan antara suami dan istri dalam konteks Romawi ataupun
Yahudi, hal ini berarti pengabaian terhadap eksistensi kemanusiaan seorang perempuan.
Seperti telah diuraikan dalam Bab III bahwa suami atau para laki-laki Romawi ataupun
Yahudi dalam rumah tangga selalu dipandang dalam tatanan hierarkis bahwa suami memiliki
kendali mutlak terhadap istri dan anak yang disebut dalam budaya Yunani-Romawi pater
familias. Status istimewa yang melekat pada suami menjadi parameter bagi mereka untuk
bertindak sesuai keinginan pribadi termasuk dalam hal memutuskan ikatan pernikahan sepihak.
Loyalitas atau kesetiaan yang pudar telah menghancurkan ikatan pernikahan yang eksklusif,
dengan demikian setiap pribadi yang mengkhianati pernikahan karena percabulan juga telah
memberontak terhadap titah Tuhan.
Respon Yesus melalui larangan perceraian merupakan reaksi terhadap bentuk
diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam lingkup keluarga Yunani-Romawi dan
Yahudi, sehingga dimunculkan rekonstruksi pola rumah tangga yang melarang perceraian,
didahului dengan percakapan yang terjadi antara Yesus dan orang Farisi (ayat 3-6). Nampaknya
percakapan Yesus dengan orang Farisi dimunculkan Matius untuk menekankan perbedaan
signifikan pengajaran dari para kaum Farisi dengan pengajaran Yesus. Pengajaran Yesus yang
memberikan nilai baru terhadap ketentuan pernikahan merupakan resistensi terhadap pengajaran
para pemimpin agama yang didominasi oleh kaum Farisi. Mengingat pada Bab III dipaparkan
bahwa kaum Farisi adalah para pemimpin agama yang memanfaatkan kedudukan untuk
memprovokasi bangsa Yahudi untuk membenci orang-orang Kristen. Pengajaran Yesus yang
mengumandangkan kerajaan Allah menekankan kehidupan yang dipenuhi dengan loyalitas,
terbebas dari beragam bentuk diskriminasi terhadap istri. Sementara kaum Farisi lebih
memberikan penekanan terhadap eksklusivitas kesucian pribadi sehingga memperbesar jurang
perbedaan dan berakibat pada perlakuan diskriminatif terhadap komunitas yang berbeda dengan
mereka dan kebencian dalam pengajarannya (ayat 3-6).
Oleh sebab itu dalam pengajaranNya Yesus menjelaskan tentang pengertian dasar
pernikahan dengan menggunakan Perjanjian Lama. J.J. de Heer memaparkan Kej 1: 27 dan Kej
2: 24 merupakan dasar tentang arti nikah yang dikutip oleh Yesus. Nikah menurut Kej 2: 24
adalah suatu ikatan antara suami-istri yang kekuatannya melebihi ikatan keluarga, dan keduanya
menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan kalimat “menjadi satu daging.”16
Daging pada umumnya memang memiliki konotasi yang negatif. Daging dalam
pandangan Yesus memang mengindikasikan kelemahan karena seringkali melayani pikiran
manusia (Mat 26:41; Mrk 14:38) dan sering juga digunakan untuk menyebut manusia tanpa
berkaitan dengan moral.17 Pandangan Paulus tentang daging atau sarx juga tidak jauh berbeda,
daging merupakan materi jasmani yang menunjuk pada manusia alami yang duniawi. Aktivitas
yang dilakukan daging dapat mengakibatkan dosa atau merangsang kegiatan dosa berikutnya,
sehingga daging seringkali identik dengan hawa nafsu. Paulus mengungkapkan keinginan daging
dalam Gal 5:16, dan daftar perbuatan daging yang patut dihindari (Gal 5: 19). Tetapi daging
berkaitan erat dengan akal budi, keduanya menjadi satu bagian utuh dalam diri manusia.18
16
De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 375.
17
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru1, 152
18
Dengan demikian daging yang adalah satu kesatuan dengan manusia secara utuh menunjuk pada
keberadaan diri manusia yang lemah namun tidak terlepas sebagai insan yang memiliki tanggung
jawab dihadapan Allah. Oleh karena itu penyatuan daging berarti terjadinya lebur diri dua
pribadi dalam penanaman nilai dan tanggung jawab kepada Allah.
Kutipan dari Perjanjian Lama yang di gunakan Yesus untuk menggambarkan dasar dari
pernikahan, menunjukkan bahwa Yesus tetap memakai hukum Yahudi. Budaya hibriditas
nampak muncul dalam pengajaran Yesus yang memandang hukum pernikahan Yahudi dengan
cara pandang baru untuk kepentingan jemaat, khususnya para perempuan yang termarginalkan.
Yesus memulai pengajaran tentang pernikahan dengan memberikan gambaran awal tentang
relasi umat Allah dalam Perjanjian Lama dan keberimanan manusia berkaitan erat dengan
pengalaman kebahagiaan. Allah menciptakan manusia dengan kasih untuk menjadi model kasih
Allah dalam pengalaman hidup bersama dengan sesamanya. Oleh sebab itu kebahagiaan dapat
diwujudkan melalui relasi akrab dengan sesama manusia.
Pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan bentuk dari relasi akrab yang
terbina satu dengan yang lain. Berarti pernikahan dapat dikatakan sebagai representasi kasih
Allah terhadap manusia dan wadah dimana kedua pribadi dapat mengembangkan potensi yang
ada didalam diri masing-masing. Allah membahasakan kasih terhadap manusia secara
manusiawi melalu pernikahan.19
Kalev menguraikan penggunaan Matius terhadap Kejadian 1: 27, 2: 24 sebagai penegasan
bahwa relasi keutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam kepelbagaiannya merupakan hasil
ciptaan Allah. Oleh sebab itu Yesus dengan jelas menyatakan penciptaan laki-laki dan
19
perempuan sebagai satu kesatuan yang adalah rencana Allah merupakan dasar dari pemisahan
seorang laki-laki dari orang tuanya dan menyatu dengan istrinya (Mat 19: 4-5). Dengan demikian
menunjukkan sikap Yesus yang melarang perceraian karena pernikahan diciptakan oleh Allah.20
Menurut Gundry, Matius mengutip kata penciptaan dari Markus dan membuatnya menjadi
pencipta untuk memperjelas bahwa subjek dari kata kerja berikut adalah Allah, bukan Musa.
Dengan demikian makna yang muncul tidak hanya berupa klarifikasi gramatikal, tetapi
mengarah pada penekanan pernikahan adalah kehendak Allah. 21
Kasih Allah yang telah menyatukan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan
merupakan prinsip dan kekuatan dalam persekutuan rumah tangga. Menghayati persekutuan
yang telah diciptakan Allah maka model kasih Allah ditunjukkan dengan usaha untuk
menjungjung tinggi kesetiaan. Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tuntutan yang sama
menjaga kesetiaan, keutuhan cinta untuk menghadirkan kasih Allah dan melestarikannya dalam
lingkup keluarga. Sebaliknya jika peran dan tuntutan kesetiaan timpang, hanya diberlakukan dan
dibebani pada satu pihak maka pernikahan akan terpenjara dengan status quo dan tindakan
eksploitatif dari salah satu pihak yang lebih dominan dan merugikan pihak yang lain.
Larangan perceraian dengan pengecualian percabulan bagi para suami Yahudi yang
diutarakan Yesus merupakan bentuk peneguhan terhadap kesetiaan dalam rumah tangga.
Pengecualian jika terjadi percabulan merupakan penegasan Yesus terhadap loyalitas yang
sepatutnya dimiliki oleh para suami dalam konteks jemaat Matius. Dapat disimpulkan bahwa
larangan perceraian merupakan media ataupun cara yang digunakan agar suami tidak
melanjutkan warisan dominasi pejuratif dalam keluarga khususnya terhadap istri, selain itu
20
Yordan Kalev Zhekov, Defining the New Testement Logia on Divorce and Remarriage in a Pluralistic Context (Eugene: Pickwick, 2008), 119-122.
21
memberikan penekanan terhadap loyalitas pasangan dalam membangun kehidupan rumah
tangga. Yesus menunjukkan sikap yang berpihak kepada perempuan karena minimnya loyalitas
dari pihak suami dalam pola kehidupan rumah tangga Romawi. Sikap Yesus terhadap perceraian
adalah tidak anti perceraian, namun Yesus anti terhadap beragam bentuk diskriminasi dan
tindakan kekerasan. Setiap kekuasaan yang membentuk, mengontrol dan menentukan
kenikmatan individu merupakan bentuk pengingkaran diri.
Pada ayat 6, kembali ditegaskan kesatuan antara suami-istri dan oleh sebab itu tidak
boleh diceraikan oleh manusia. Pada ayat 6b kata Yunani sune,zeuxen (menghubungkan bersama
di bawah satu kuk) dalam teks Indonesia diterjemahkan dipersatukan. Menurut Schafer lebih
tepat menggunakan kata dihubungkan.22 Selain itu teks Indonesia menggunakan manusia,
sementara kata Yunani a;nqrwpoj artinya manusia; seorang laki-laki; suami.23 Secara inklusif
memang dapat menggunakan manusia yang mengarah pada laki-laki dan perempuan, namun
dapat digunakan secara eksklusif memperhatikan konteks maka yang tepat adalah seorang
laki-laki. Sementara kata Yunani mh. cwrize,tw (jangan dipisahkan) diterjemahkan dalam teks
Indonesia menjadi tidak boleh diceraikanÅ24 Dengan demikian formulasi kalimat pada ayat 6b,
Karena itu, apa yang telah dihubungkan Allah, jangan dipisahkan oleh seorang laki-laki. Ayat ini
menunjukkan jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang Farisi pada ayat 3 yaitu tidak
mengizinkan seorang suami menceraikan istrinya dengan alasan apapun.
Tafsiran Gundry pada ayat 6-9 menunjukkan laki-laki dan perempuan diciptakan Allah
untuk berpasangan, oleh sebab itu pertanyaan orang Farisi bahwa dapat bercerai dengan alasan
22
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 134.
23
BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.
24
apapun tidak relevan. Yesus memperluas hukum mengenai pernikahan dengan mengungkapkan
bahwa pernikahan kedua dengan perempuan lain merupakan bentuk perzinahan. Dengan
demikian jika terjadi perzinahan dalam pernikahan maka perceraian dapat dilakukan namun pada
prinsipnya Yesus tidak menghendaki perceraian.25
Harrington dalam tafsirannya memaparkan bahwa pernikahan diciptakan atas dasar
rencana Allah kepada manusia yaitu laki-laki dan perempuan untuk hidup berserikat. Kehidupan
berserikat tidak dapat terpisahkan oleh sebab itu tidak diperbolehkan terjadi perceraian dalan
kehidupan berserikat.26 Yesus memperlihatkan sikap yang berpihak pada istri yang mengalami
kesewenangan dari para suami, akibat status istimewa yang dimiliki oleh para suami Yahudi.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam Bab III bahwa dalam praktik pernikahan Yahudi para
suami memiliki hak untuk menceraikan istri, sementara istri tidak dapat memiliki hak untuk
menceraikan. Keterikatan pernikahan diungkapkan oleh Yesus tidak hanya berlaku pada istri
tetapi berlaku juga pada suami.
Kesetiaan menjadi dasar utama dalam pernikahan, oleh karena itu saat pernikahan yang
disatukan oleh kasih Allah tercemarkan oleh ketidaksetiaan maka perceraian menjadi legal untuk
dilakukan. Pada ayat Ayat 7-9, merupakan kelanjutan percakapan antara Yesus dengan orang
Farisi, yang menunjuk pada respon yang diberikan orang Farisi kepada Yesus. Ayat 7 terdapat
perubahan kata Yunani ou=n (maka), diartikan dalam teks Indonesia jika demikian. Menurut
Schafer kata jika demikian mengarah kepada dampak yang akan diterima oleh seseorang jika
terjadi perceraian.27 Nampaknya orang Farisi menantang kembali argumen Yesus dengan
25
Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 379. 26
Daniel J. Harington, “Matius,” dalam Dianne Bergant dan Robert.J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 2002), 62.
27
menggunakan Ul 24:1-4 yang berisi izin dari Musa kepada laki-laki Israel untuk menceraikan
istrinya. Pemberian izin dari Musa berarti memperlihatkan bahwa hukum Taurat memungkinkan
terjadinya perceraian.28 Yesus menanggapi dengan mengungkapkan bahwa surat cerai yang
diberikan oleh Musa disebabkan ketegaran hati para suami. Dalam teks Indonesia menggunakan
kata ketegaran hati, namun dalam teks Yunani menggunakan kata sklhrokardi,an (sikap keras
kepala),29 sementara Schafer menterjemahkannya kekerasan hati (secara hurufiah jantung).30
Menurut Riyadi ketegaran hati berkaitan dengan praktik para suami Yahudi saat menceraikan
istrinya. Secara yuridis saat seorang istri diceraikan oleh suami maka seorang istri masih menjadi
milik suaminya. Keterikatan masih berlaku bagi sang istri dan kalau istri menikah lagi maka ia
dipandang telah melakukan perzinahan. Hal ini berkaitan dengan praktik perceraian Yahudi yang
lebih menguntungkan laki-laki, sehingga surat cerai yang diberikan oleh Musa bertujuan
memberikan kebebasan kepada para istri yang diceraikan sehingga mereka tidak dianggap
berzinah dan menanggung konsekuensi hukuman mati. Namun Riyadi menyimpulkan bahwa
Yesus melarang terjadinya perceraian.31 Sementara pada ayat 8b, menurut De Heer, Yesus
memperlihatkan sikapNya tentang perceraian bahwa perceraian tidak seharusnya terjadi.
Pernikahan yang dihadirkan Tuhan wajib dipelihara oleh suami-istri, perceraian hanya
memberikan dampak yang buruk bagi anak-anak. Walaupun terdapat pengecualian karena
perzinahan namun sejak semula Allah menghendaki pernikahan berjalan terus, bahkan
menurutnya Yesus hanya mengatakan kalau suami boleh menceraikan istrinya yang berzinah
tetapi tidak mengatakan harus menceraikan istri yang berzinah. 32
28
Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 173.
29
BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.
30
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru , 148.
31
Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 172.
32
Ayat 9, menjadi jawaban final Yesus terhadap isu perceraian yang diangkat oleh orang
Farisi. Hal ini agak berbeda dengan Markus, pada Markus 10: 11 jawaban final tentang isu
perceraian diperuntukkan bagi para murid sedangkan pada Matius 19: 9 diperuntukkan bagi
orang Farisi. Oleh sebab itu terjadi perubahan formulasi kalimat pendahuluan yang ada dalam
Markus 10: 11a “dan Ia berkata kepada mereka” menjadi “tetapi Aku berkata kepadamu”.
Kalimat pendahuluan ini memunculkan kewibawaan Yesus sebagai anak Allah, dan Yesus
mengemukakan ajaran baru yang berbeda dari perintah Musa dan mazhab Hillel. Yesus
nampaknya mengkritisi sikap kesewenangan para suami yang bebas menceraikan istri dan mulai
mengikis hak istimewa para suami. Ajaran baru ini menutup peluang suami menceraikan istri
semena-mena dan menikah dengan perempuan lain. Bahkan perceraian dapat disamakan dengan
perzinahan.33
Pernyataan ”kecuali karena zinah” menjadi materi debat dalam penafsiran. Kata pornei,a|
(percabulan) merupakan teks Yunani yang diterjemahkan dalam teks Indonesia menjadi
perzinahan.34 Menurut Harrington, pornei,a kemungkinan terarah pada pernikahan antar saudara
yang terlarang dalam Imamat 18: 6-18. Walaupun terdapat pengecualian terhadap perceraian
tetapi pernikahan pada prinsipnya berlaku seumur hidup. Hal ini seirama dengan pendapat
Riyadi, Kata pornei,a| dalam Yunani sering menunjuk pada sikap yang tidak sesuai dengan moral
dan lebih mengarah pada pernikahan yang melanggar hukum ikatan darah. Terdapat dua
pandangan dalam memahami pornei,a,, pertama dapat dipahami sebagai perzinahan dan kedua
dapat dipahami sebagai pernikahan yang bertentangan dengan hukum ikatan darah. Pandangan
pertama lebih familiar dikalangan masyarakat Yahudi karena sama dengan pandangan mazhab
Syammai. Sementara pandangan kedua terkait dengan ikatan darah. Dalam konteks jemaat
33
Raymond F Collins, Divorce in The New Testament (Minnesota: The Liturgical Press, 1992), 114-115.
34
Matius terdapat juga orang Kristen dari kalangan non-Yahudi, yang mungkin hidup dalam
pernikahan dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Oleh
sebab itu untuk dapat berbaur dan diterima oleh komunitas Matius maka mereka harus
mengakhiri ikatan pernikahan. Namun belum ada pemecahan definitif perihal pengecualian bagi
para pembaca Matius.35 Schafer dalam penafsirannya terhadap teks Matius 19:9 lebih dominan
memandang hal pengecualian dari percabulan. Sesuai dengan pandangan dari mazhab Syammai
pada abad I ZB, suami dapat menceraikan istri yang tidak setia. Pandangan ini juga sesuai
dengan pandangan hukum Romawi dan dorongan dalam umat Yahudi, dimana mewajibkan
suami menceraikan istri yang mengkhianati ikatan pernikahan dan suami diberikan peluang
bebas untuk dapat menikah lagi.36
Pembaharuan pola ini memberikan peluang terhadap kemerdekaan perempuan untuk
keluar dari hegemoni kolonisasi laki-laki. Yesus menciptakan kemitraan setara dalam relasi
suami dan istri. Tidak ada legalitas terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dalam
merancang bangun kehidupan rumah tangga. Keutuhan jati diri dalam awal penciptaan yang
melekat kepada perempuan dan laki-laki merupakan hakikat hidup yang setara, sehingga relasi
suami-istri yang terbangun berdasar pada ideologi, tindakan konkrit saling menghargai. Yesus
secara sistematis mendekontruksi pola rumah tangga elit untuk menciptakan pola yang kontras,
inklusif dan egaliter diantara para murid. Oleh karena itu suami dan istri berpartisipasi dalam
eksistensi “satu daging”.37
Tanggapan orang Farisi pada ayat 10-12 menunjukkan keberatan mereka terhadap
larangan perceraian yang diajarkan Yesus. Percakapan yang terjadi antara Yesus dan para murid.
35Harington, “Matius,” dalam Dianne Bergant dan Robert.J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru
62. Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah,174-176.
36
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 141-149 .
37
Menanggapi pernyataan Yesus pada ayat 9, para murid menyimpulkan pernikahan tidak
diperlukan. Teks Yunani menggunakan ouv sumfe,rei tidak bermanfaat untuk (+ infinitif:
menikah), sementara teks Indonesia menggunakan lebih baik jangan kawin.38 Tanggapan para
murid disebabkan materi pengajaran yang diungkapkan Yesus perihal larangan perceraian bagi
para suami Yahudi sepertinya tidak rasional, karena menuntut keterikatan dan kesetiaan bagi
para suami. Padahal tuntutan kesetiaan hanya diberlakukan bagi para istri. Hal ini berarti
mereduksi hak istimewa para suami dan dari sudut pandang laki-laki sangat merugikan.
Kesimpulan para murid bahwa pernikahan tidak bermanfaat memperlihatkan keberpihakan
mereka terhadap status istimewa bagi para suami Yahudi. Manfaat sebuah pernikahan hanya
dipandang dari kacamata laki-laki, ketika aturan yang dikemukakan Yesus tidak berpihak pada
laki-laki dan nampaknya lebih mengedepankan hak perempuan maka solusi terbaik adalah tidak
menikah.
Dalam teks Indonesia pada ayat 11 salah satu kata yang digunakan adalah tidak mengerti,
teks Yunani cwre,w berarti membuat tempat untuk; menerima, menghayati.39 Teks Yunani
mengartikan tidak semua orang dapat menerima atau bersepaham dengan pernyataan untuk tidak
menikah. Hanya mereka yang menerima karunia Tuhan dapat memahami bahwa dirinya tidak
dapat menikah. Pada ayat 12 memperjelas maksud Yesus pada ayat 11 orang-orang yang
dimaksudkan menerima karunia Tuhan. Tiga kelompok orang dimunculkan pada ayat ini yaitu
orang yang terlahir dalam keadaan “kebiri” atau impoten, mereka memiliki kekurangan dalam
tubuhnya saat dilahirkan. Kelompok kedua adalah orang yang telah dikebiri orang lain, mereka
adalah para pelayan raja yang “dikebiri” sehingga tidak dapat merayu gundik-gundik raja.
38
Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 137.
39
Kelompok ketiga adalah orang yang memilih tidak menikah untuk memberikan segenap waktu
membaktikan diri kepada Allah.40
Tafsiran berdasarkan latar belakang teks yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir
konservatif Perjanjian Baru terhadap keutuhan pengajaran Yesus perihal perceraian dalam teks
Matius 19:1-12 menunjukkan beberapa hal: pertama, legitimasi status Yesus sebagai anak Allah
dengan kekuasaan yang melingkupiNya sehingga pengajaran Yesus tentang perceraian
merupakan cerminan dari aturan-aturan rumah tangga yang berasal dari Allah dan patut ditaati.
Kedua, Allah yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi satu keutuhan
ditengah kepelbagaian mereka adalah dasar dari pernikahan, oleh sebab itu perceraian
merupakan bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan Allah.
Beberapa teolog laki-laki turut andil dalam melestarikan tradisi patriakhi dalam
kehidupan masyarakat dan gereja. Salah satunya adalah Tertulianus, perempuan menurut
pandangannya adalah seorang penggoda. Ia menggambarkan perempuan sebagai pintu setan
yang membawa manusia sampai kepada dosa. Perempuan telah merusak citra manusia sebagai
gambar Allah ketika membujuk rayu Adam. Perempuan yang seharusnya mati bukan Anak Allah
untuk menanggung dosa yang merupakan hasil perbuatan perempuan.41 Tulisan-tulisan
Augustinus beberapa kali menunjukkan androsentrisme sebagai hukum alam. Ia menuliskan citra
Allah tidak terdapat dalam diri perempuan oleh sebab itu perempuan hanya berfungsi sebagai
pembantu, namun citra Allah secara utuh menjadi milik perempuan ketika terjadi penyatuan
antara laki-laki dan perempuan. Selain itu Aristoteles dan Thomas Aquinas pernah
mengemukakan pandangannya, secara biologis perempuan adalah laki-laki yang salah lahir.
40
De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 376-377. Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 151-153.
41
Pandangan-pandangan ini yang semakin memperkuat status perempuan sebagai masyarakat kelas
dua, yang selalu termarginalkan dalam dominasi laki-laki.42
Posisi perempuan yang dipandang berada dalam wilayah inferior membuat perempuan
rentan menjadi korban dari konflik, termasuk konflik yang terjadi dalam kehidupan rumah
tangga. Oleh sebab itu pemberlakuan surat cerai merupakan media yang memiliki legalitas
hukum untuk melepaskan perempuan dari dominasi pejuratif laki-laki yang dapat berperan
memerdekakan atau membebaskan perempuan dari dominasi laki-laki yang berkelanjutan.
Larangan perceraian dalam konteks Matius 19: 1-12 sarat dengan tujuan dan kepentingan
konteks sosial, politik masyarakat saat itu. Larangan perceraian yang ditujukan kepada laki-laki
merupakan resistensi politis dan konter dari kontruksi ketimpangan relasi antara suami-istri
dalam keluarga Romawi dan Yahudi yang mengusung tema kesetaraan dan keseimbangan
peran berasas keadilan antara laki-laki dan perempuan. Gaya hidup free sex Kaisar Domitianus,
yang memandang hubungan seks hanya sebagai “permainan gulat ditempat tidur” dan bebas
memilih setiap perempuan sebagai alat pelampiasan nafsu seksual semata, telah menempatkan
perempuan dalam konteks saat itu hanya menjadi obyek seks laki-laki, tidak memiliki privasi dan
kekuasaan untuk menolak berbagai jenis pelecehan seksual yang dilakukan para laki-laki.
Resistensi secara politik terangkat dengan konsep pemerintahan Allah yang lebih terorientasi
kepada pemerintahan yang menghadirkan kesejahteraan bagi setiap orang termasuk perempuan
yang telah termarginalkan. Kehadiran pemerintahan Allah menghilangkan ketakutan dan
melahirkan harapan baru, keadaan ini akan berdampak pada berkurangnya ketaatan dan
ketergantungan masyarakat pada pemerintah Romawi sehingga berimbas pada melemahnya
kekuatan imperialisme Romawi. Tujuan dari larangan perceraian adalah memberikan
42
pembebasan kepada perempuan dari setiap dominasi laki-laki ataupun imperialisme Romawi.
Oleh sebab itu tidak semua perceraian dapat dipahami sebagai bentuk pemberontakan terhadap
ketetapan Allah atau tindakan yang menghasilkan dosa. Perceraian dapat dipandang sebagai
pintu yang telah terbuka membawa setiap jiwa yang mengalami penindasan menemukan jalan,
tempat yang menghadirkan harapan dan pembebasan jiwa secara holistik dari setiap bentuk
dominasi.
Penulis Matius telah menulis kisah Yesus yang memberikan nilai baru mengenai relasi
antara suami istri dalam pernikahan. Jika pandangan pernikahan Yunani-Romawi ataupun
Yahudi sangat bersifat patriakhal, maka Yesus dengan pengajarannya telah menghadirkan
peluang bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam menjalankan
peran dalam rumah tangga. Konsep dasar pernikahan dalam pandangan Yesus yang
menggunakan Perjanjian Lama pada ayat 4-5 menunjukkan pernikahan adalah tindakan yang
merupakan wujud kasih Allah terhadap manusia. Pernikahan dalam pengajaran Yesus tidak
hanya sekedar perihal surat kontrak antara dua pribadi seperti yang terdapat dalam konsep
pernikahan Yunani-Romawi ataupun Yahudi, yang lebih menekankan konsep pernikahan hanya
sebagai dasar dari prokreasi sehingga memperkenankan struktur poligami dalam masyarakatnya
dan mengikis unsur kesetiaan terhadap pribadi yang menikah. Pada ayat 4-5 Yesus memberikan
penekanan dalam pernikahan sebagai wadah yang dihadirkan Tuhan untuk mewujudkan cinta
kasih Tuhan didalamnya, sehingga pernikahan harus dipahami sebagai relasi antara manusia
dengan Allah serta relasi dengan pasangannya.
Konsep kerajaan Allah yang diperkenalkan melalui Yesus menanamkan unsur kesetiaan
untuk suami ataupun istri dalam pernikahan, khususnya penekanan kesetiaan tertuju pada suami.
Yahudi yang pada umumnya hanya menekankan kesetiaan pada pihak istri sementara pihak
suami terlepas dari tuntutan kesetiaan. Loyalitas terhadap pasangan merupakan respon sikap
hidup terhadap loyalitas kerajaan Allah bagi manusia. Hal ini juga berkaitan dengan
pengembalian identitas diri kekristenan dengan menampilkan gaya hidup yang menjaga
kecemaran tubuh.
Kasih Allah yang terwujud dalam pernikahan terlihat dalam tindakan yang menjunjung
tinggi loyalitas dan kasih yang tulus kepada istri ataupun suami. Oleh sebab itu ketika kesetiaan
dan kasih yang tulus telah luntur dan tertinggal beragam bentuk wujud dari kecintaan terhadap
diri sendiri dan mengakibatkan penganiayaan, maka perceraian dapat dilakukan. Perceraian
dalam situasi ketertindasan merupakan wujud kasih Allah yang membebaskan manusia dari
penindasan. Bebas dari segala bentuk penindasan menunjukkan situasi kehidupan orang-orang
yang berada dalam kerajaan Allah, sementara terkungkung dengan penindasan menunjukkan
situasi kehidupan orang-orang yang berada dalam dominasi Romawi.
Pengalaman dari lima responden perempuan yang bercerai telah diuraikan pada Bab II
menunjukkan bahwa mereka adalah korban tindakan eksploitatif dan diskriminatif dari suami,
keluarga, masyarakat bahkan gereja. Dalam pengalaman mereka sebagai korban kekerasan dan
diskriminatif karena kontruksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, keyakinan
mereka bahwa keadilan dan kasih Tuhan termanifestasi dalam pembebasan dari tindak kekerasan
suami melalui perceraian. Menurut para responden setiap manusia hasil ciptaan Allah sangat
berharga dihadapanNya, oleh sebab itu kewajiban dari manusia adalah menjaga, memelihara,
menghargai kreasi Allah. Kekudusan pernikahan yang dikumandangkan gereja mengartikan
realitas manusia yang menikah tersentuh kasih Allah, oleh karena itu dalam pernikahan realitas
fisik dan psikis telah mendominasi relasi dalam rumah tangga, hal ini menunjukkan perbuatan
yang menghancurkan kreasi Allah.
Pemberlakuan kasih Allah pada manusia bersifat universal baik untuk laki-laki ataupun
perempuan. Kasih Allah tidak didasarkan pada batasan perbedaan jenis kelamin, antara laki-laki
sebagai superior dan perempuan sebagai inferior dalam bentukan tradisi pathriaki yang
dilestarikan dari masa ke masa. Allah yang menciptakan, maka Allah memperhatikan dan
mempedulikan kondisi kebahagiaan setiap manusia yang mengalami penderitaan, penganiayaan.
Saat cinta dan keadilan tidak lagi mengisi realita hidup rumah tangga, bahkan tubuh
tereksploitasi dalam pelestarian tradisi patriakhal yang berkolaborasi dengan kapitalisme global,
maka Allah dengan kasih dan keadilan adalah pribadi yang meyelamatkan mereka dari beragam
bentuk ketidakadilan.
Seperti yang telah diuraikan dalam Bab II bahwa kekerasan ataupun tindakan
diskriminatif merupakan hasil konstruksi budaya patriakhi dan peran kapitalisme global.
Pengalaman kekerasan yang dialami para responden dalam rumah tangga merupakan manifestasi
relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh diskriminasi sistematis dengan
tujuan menghadang para perempuan untuk memberdayakan dirinya. Kontruksi budaya patriakhi
menjadi bagian dari jemaat GMIST melalui penginjilan yang dilakukan oleh para kolonial.
Budaya pathriaki yang mengukuhkan kekuasaan, kepentingan dan keuntungan pada laki-laki,
membentuk perspektif bahwa perempuan yang berada dibawah kekuasaan laki-laki wajib
menerima setiap bentuk perlakuan laki-laki baik yang bersifat konstruktif ataupun destruktif.
Kondisi ini berdampak terhadap sikap perempuan yang pasif dan pasrah saat mengalami
peluang kepada kaum laki-laki secara bebas melakukan tindakan kekerasan terhadap
perempuan.
Tindakan-tindakan pemukulan, kekerasan verbal dipandang sebagai hal yang lumrah
untuk dilakukan terhadap lima responden yang adalah perempuan. Selain itu faktor kapitalisme
yang terkait erat dengan ekonomi dan politik semakin meneguhkan posisi perempuan yang
rentan terhadap kekerasan. Melalui media massa, budaya pop yang menjamur, perempuan
digambarkan sebagai manusia yang bernilai berdasarkan kemolekan tubuh dengan sifat yang
sabar, lembut, pasrah dengan keadaan. Keterkaitan faktor budaya, ekonomi dan politik semakin
memantapkan kekerasan yang dialami oleh kelima responden.
Perceraian merupakan jalan yang dilalui dalam memperoleh penyelamatan. Kasih Allah
tidak hanya terjadi pada konteks Matius tetapi berlaku dalam realita hidup bagi mereka yang
telah menjadi korban perzinahan dalam konteks kekinian. Perzinahan tidak hanya berkaitan
dengan hubungan seks, tetapi dalam konteks kekinian perzinahan lebih kompleks dari sekedar
hubungan seksual yang dilakukan suami dengan orang ketiga melainkan perzinahan telah
memiliki wajah baru dalam wujud kekerasan dalam rumah tangga. Kasih Allah membebaskan
para perempuan melalui perceraian yang mengalami pengabaian, pembatasan untuk dapat berdiri
mengangkat hak asasi yang setara dengan laki-laki, merupakan antitesis dari sikap gereja yang
memandang perceraian sebagai suatu pemberontakan terhadap titah Tuhan.
GMIST Mahanaim memandang perceraian sebagai bentuk dari kekerasan hati manusia
terhadap titah Tuhan, dengan demikian perempuan yang memilih bercerai karena mengalami
kekerasan dalam rumah tangga tidak luput dari sikap diskriminatif gereja. Salah satu responden
harus melepaskan jabatan kemajelisan karena dianggap tidak layak untuk menjadi seorang
beberapa tokoh gereja sangat mempengaruhi doktrin GMIST tentang anti perceraian yang telah
diuraikan dalam bab I, seperti Agustinius, Marthin Luther, Yohanes Calvin. Selain itu terdapat
pula dokumen tertua, diperkirakan terkumpul bersamaan dengan zaman terkumpulnya dokumen
Perjanjian Baru. Dokumen itu adalah surat-surat Ignasius, uskup Anthiokia di Siria yang pada
umumnya diperkirakan ditulis tahun 110 ZB. Surat yang ditujukan Ignasius untuk Polycarpus
uskup Smirna, berisi tentang himbauan agar relasi suami-istri tidak terjebak oleh hawa nafsu
tetapi terorientasi pada penghormatan terhadap Allah. Hermas penulis dari karya yang berjudul
“Pastor” pada abad II bahwa suami wajib menceraikan istrinya yang berselingkuh, dan suami
ataupun istri tidak dapat menikah lagi. Namun istri memiliki peluang bertobat sementara suami
memberikan peluang untuk berdamai.43 Pernikahan menurutnya harus tetap mengikat diantara
suami-istri. Kekristenan awalpun telah mewariskan prinsip bahwa Allah mengikat laki-laki dan
perempuan dalam wadah perkawinan karena itu tidak dapat diceraikan.44 Menurut para tokoh
gereja pernikahan bersifat kekal, oleh sebab itu saya menarik kesimpulan bahwa pandangan dari
tokoh-tokoh gereja berkaitan dengan perceraian adalah menolak perceraian. Perceraian berarti
mengingkari berkat Allah dalam kehidupan keluarga.
GMIST Mahanaim nampak masih memegang teguh pandangan menolak perceraian
berdasarkan warisan pandangan para tokoh-tokoh gereja dan hasil penginjilan yang dilakukan
oleh para kolonial di kepulauan Sangihe Talaud. Terkait dengan hal tersebut maka aturan-aturan
tertulis dalam peraturan gereja sering bersifat diskriminatif. Dalam proses penyaringan calon
majelis tidak diperkenankan seorang yang bercerai diajukan menjadi calon majelis. Para pendeta,
majelis seringkali mengungkapkan kalimat yang bersifat menghakimi kepada lima responden
yang bercerai. Perceraian adalah perbuatan dosa karena melanggar titah Allah, sehingga mereka
43
Groenen, Perkawinan Sakramental, 159-162
44
tidak diberikan peluang untuk turut berperan aktif dalam pelayanan di gereja. Gereja dalam hal
ini justru telah mengambil alih kedaulatan Allah dalam menentukan kelayakan ataupun
kredibilitas seseorang dalam menjawab panggilan iman untuk melayani. Hal ini akan berkaitan
erat dengan pandangan jemaat terhadap sifat Allah. Allah akan dipandang sebagai Allah yang
berpihak pada ketidakadilan, dan berkompromi dengan beragam tindakan kekerasan. Allah yang
tidak memiliki belas kasihan dan hanya menjadi penonton ketika kekerasan menjadi alat
melegalkan kekuasaan. Allah yang hanya berpihak kepada para penguasa gereja dan budaya
patriakhi.
Berkaitan dengan pandangan GMIST Mahanaim tentang doktrin anti perceraian dan
beberapa tokoh gereja tentang doktrin Kristen anti perceraian, terdapat perbedaan signifikan
dengan beberapa penafsir konservatif terhadap Matius 19: 1-12 dan tafsiran penulis berdasar
perspektif lima reponden yang bercerai. Menurut pandangan GMIST Mahanaim dan pandangan
beberapa tokoh gereja, perceraian tidak dapat dilakukan karena telah melanggar titah Tuhan.
Sementara menurut beberapa penafsir Matius 19:1-12 pada prinsipnya pengajaran Yesus
melarang perceraian, walaupun terdapat pengecualian didalamnya. Namun Ruth Schafer dalam
tafsirannya mengemukakan bahwa perzinahan dalam konteks kekinian harus dipahami secara
berbeda, kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi pengecualian dalam perceraian karena
kekerasan bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Menurut penulis perceraian sangat bersifat situasional, maksudnya perlu melihat dan
mendalami sebab akibat dari konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Perzinahan tidak hanya
sebatas persoalan perselingkuhan semata. Perzinahan dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan
yang tidak lagi mencerminkan tanggungjawab, kasih yang tulus, penghargaan terhadap istri
hanya dapat dilakukan oleh para suami tetapi dapat juga dilakukan oleh para istri yang menjadi
korban kekerasan. Perceraian dari perspektif lima responden yang bercerai tidak dapat dipandang
sebagai bentuk pelanggaran dari firman Tuhan, melainkan tindakan yang dilakukan berdasarkan
pemahaman yang hakiki bahwa setiap manusia wajib menghargai kehidupan yang telah Tuhan
berikan. Perceraian juga merupakan hasil penghayatan iman mereka terhadap keadilan dan kasih
Tuhan yang universal.
4.4 Menggapai Keadilan Melalui Perceraian.
Prinsip keadilan menjadi salah satu penekanan Matius dalam mengangkat perlawanan
terhadap bentuk-betuk ketidakadilan dari dominasi Romawi ataupun sikap umat Yahudi yang
tidak adil terhadap kekristenan. Prinsip keadilan menjadi tema yang dimunculkan disetiap aspek
kekristenan untuk menunjukkan kembali perbedaan signifikan antara Kerajaan Allah dan
Kerajaan Dunia. Prinsip keadilan menjadi tema yang diusung dalam memelihara dan membina
kehidupan rumah tangga.
Konteks Matius 19: 1-12 telah memperlihatkan keberpihakan Yesus terhadap kaum
perempuan, walaupun pada ayat 9 memperlihatkan signifikansi perspektif laki-laki yang
memprakarsai proses perceraian yang terfokus pada perempuan sebagai pelaku perzinahan.
Situasi dan kondisi dalam pemerintahan Allah memberikan ruang dan kesempatan bagi
perempuan yang telah mengalami kesewenangan akibat dominasi patriakhi dalam rumah tangga
untuk dicintai, dan dihargai sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama
dengan kaum laki-laki. Dalam Bab II telah dipaparkan kehidupan rumah tangga dalam kultur
Yunani-Romawi ataupun Yahudi bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Anak laki-laki
dalam kultur Yunani-Romawi dan Yahudi lebih diharapkan daripada anak perempuan. Anak
“menjadi cadangan” dalam struktur sosial masyarakat. Istri memiliki kewajiban untuk patuh
terhadap titah dan perintah suami, termasuk perihal perceraian yang dikehendaki oleh suami. Hal
ini merupakan gambaran bahwa dalam masyarakat Romawi telah terjadi manipulasi dan
dehumanisasi terhadap kedudukan dan peran perempuan.
Keberpihakan Yesus terhadap posisi perempuan tercermin melalui pengajaranNya
tentang larangan untuk bercerai. Sikap Yesus menunjukkan prinsip keadilan gender seharusnya
diterapkan dalam kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini Yesus berupaya untuk mengubah
paradigma tentang perempuan sebagai objek menjadi perempuan sebagai subjek. Larangan
perceraian yang ditujukan kepada laki-laki merupakan manifestasi pembelaan Yesus terhadap
penderitaan yang dialami oleh para istri akibat dehumanisasi yang dilakukan oleh pihak suami.
Dengan demikian teks Matius 19: 1-12 yang berisi pengajaran tentang larangan perceraian lahir
dari pergumulan penderitaan para istri dalam rumah tangga Yahudi dan pergumulan secara
politis dari dominasi Romawi yang pejuratif. Keberpihakan Yesus menunjukkan keberpihakan
Allah kepada setiap orang yang termarginalkan secara khusus dalam hal ini adalah perempuan.
Konteks Matius 19:1-12 mendatangkan pembebasan bagi para perempuan dan mengangkat
harkat mereka melalui larangan perceraian. Jika larangan perceraian merupakan upaya
pembelaan terhadap perempuan dalam konteks Matius, muncul pertanyaan atas pergumulan
perempuan dalam konteks kekinian yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yaitu:
bagaimana upaya pembelaan terhadap perempuan yang secara kontinu mengalami kekerasan dari
suami saat ini?
Warisan tradisi patriakhi yang dianut oleh masyarakat Romawi dari masa lampau masih
terasa dalam konteks kekinian. Jalinan tradisi patriakhi semakin terikat kuat ketika menjadi
beberapa bagian Alkitab salah satunya dalam teks- teks Perjanjian Baru, seperti Matius 5: 32, 19:
1-12, I Korintus 7: 10-11, Efesus 5: 22-23, dalam warisan kolonial menjadi pembenaran
terhadap tindak kekerasan dan dominasi yang dilakukan oleh para suami dan tindakan
diskriminatif yang dilakukan gereja. Penggunaan Kitab Suci yang diskriminatif terhadap
perempuan menurut Pui lan sarat dengan kepentingan politis imperialisme Barat. Pui lan
mengungkapkan Kitab Suci yang diperkenalkan kepada perempuan Kristen Asia tidak hanya
sebagai berkat tetapi juga beban. Para misionaris Barat menggunakan Kitab Suci hanya untuk
pembenaran terhadap agresi politik militer dan semakin mendukung perempuan untuk hidup di
ruang domestik.
Lima responden yang telah bercerai merupakan korban dari kontruksi relasi yang
timpang antara laki-laki dan perempuan. Budaya patriakhi yang bias gender telah melahirkan
penindasan dan pengalaman traumatis bagi lima responden yang tidak hanya terjadi pada ranah
domestik tetapi sampai pada ranah publik, dimulai dari penganiayaan yang dilakukan oleh suami
sampai pelecehan yang dialami dalam lingkup pekerjaan, tindakan diskriminatif dalam gereja
dan masyarakat. Pengalaman-pengalaman kekerasan dari lima responden merupakan hasil dari
bangunan struktur patriakhi yang menunjukkan jurang lebar dalam perbedaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan, tidak heran jika perempuan lebih sering menjadi objek daripada subjek.
Pengalaman kelima responden menunjukkan bahwa mereka pun hanya dianggap sebagai objek
oleh para suami. Mereka dipandang sebagai alat yang dapat menghasilkan uang untuk suami
memenuhi hasrat judi, miras dan seks. Keterpurukan lima responden dalam kehidupan rumah
tangga telah dipaparkan dalam bab II tidak terlepas dari berbagai faktor, seperti faktor budaya
patriakhi yang berkolaborasi dengan kapitalisme global. Kapitalisme global yang lebih terarah
sebagai objek dan bukan subjek. Untuk mencapai tujuan mendapatkan riba maka iklan dari satu
produksi sangat dibutuhkan, perempuan merupakan sosok yang paling mujarab untuk dapat
menarik konsumen. Penggunaan figur perempuan dengan mengedepankan bentuk eksploitasi
organ-organ tubuh sensitif dan daya tarik seksual seringkali digunakan dalam iklan di media
cetak atau elektronik untuk produk seperti: mobil, motor, dan jeans.45 Gambaran baku akan
perempuan yang cantik, seksi dan sensual menjadi parameter kesempurnaan tentang perempuan,
tidak heran dalam dunia kerja kelima responden mendapatkan tuntutan untuk menampilkan
kecantikan fisik. Tuntutan ini mengharuskan kebutuhan yang dipenuhi dalam keluarga semakin
meningkat. Tindakan diskriminatif terhadap kelima responden dalam lingkup keluarga, gereja
dan masyarakat menggambarkan dehumanisasi yang terjadi terhadap peran dan posisi
perempuan.
Dalam lingkup gereja, dehumanisasi terhadap perempuan juga dirasakan oleh kelima
responden. Perceraian menjadi parameter perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh para
tokoh gereja. Gereja menggugat hak untuk melayani dari kelima responden, gereja memandang
perceraian yang terjadi merupakan perbuatan dosa oleh sebab itu kelima responden yang telah
bercerai tidak memiliki hak untuk berperan aktif dalam mengemban tugas sebagai pelayan dalam
gereja. Dehumanisasi yang terjadi dalam gereja terhadap kelima responden sebagai perempuan
tidak terlepas dari bentukan warisan budaya patriakhi yang sangat melekat dalam Kitab Suci,
seperti yang telah disampaikan oleh Pui lan bahwa dehumanisasi terhadap perempuan berkaitan
erat dengan warisan budaya patriakhi dari agama Abrahamik.
Pengalaman kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh kelima responden jelas
memaparkan realitas hidup yang masih bergulat dengan ketidakadilan gender. Gender mengacu
pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang terjadi berdasar proses sosial dan budaya
45
yang panjang. Perbedaan gender merupakan salah satu bagian signifikan dalam kehidupan
laki-laki dan perempuan, perihal perbedaan gender tidak menjadi masalah selama perbedaan gender
tidak mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan ataupun laki-laki. Namun ketika perbedaan
gender dijadikan alat untuk memonopoli, mendominasi bahkan mendehumanisasi pihak yang
lain maka perbedaan gender akan menjadi persoalan yang serius dalam realitas sosial
masyarakat.
Isu ketidakadilan gender menempa kehidupan rumah tangga dari kelima responden.
Tindakan kekerasan baik verbal ataupun fisik seperti pemukulan, kata-kata tidak senonoh dari
suami membuat mereka hidup dalam penderitaan berkepanjangan. Dalam upaya keluar dari
tindakan-tindakan kekerasan, kelima responden tiba pada refleksi diri bahwa mereka adalah
manusia yang layak untuk memperjuangkan keutuhan dan keselamatan diri. Mereka memiliki
hak yang sama dengan suami untuk dihargai, dan dihormati, jika penghargaan dan
pernghormatan tidak mereka dapatkan dalam afirmasi pernikahan maka solusi terbaik adalah
memutuskan afrimasi pernikahan itu sendiri. Memutuskan afirmasi pernikahan berarti bercerai,
sementara bercerai dalam doktrin yang dianut oleh GMIST merupakan tindakan dosa terhadap
Allah. Namun hasil refleksi diri mereka terhadap larangan perceraian memunculkan perspektif
baru. Jika para tokoh-tokoh gereja di GMIST Mahanaim memandang perceraian adalah dosa,
namun bagi mereka perceraian bukanlah tindakan dosa, melainkan karya penyelamatan Allah
terhadap penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan rumah tangga.
Menjawab pertanyaan tentang aplikasi larangan perceraian dalam teks Matius 19:1-12
dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga pada kekinian zaman, maka menurut penulis dapat
berkaca dari pengalaman kekerasan yang memunculkan perspektif baru dari kelima responden