• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB IV"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

Analisa Kritis Terhadap Penafsiran Teks Matius 19:1-12 dalam Perspektif Perempuan di

GMIST Mahanaim yang Mengalami Diskriminasi Akibat Perceraian

dalam Konteks Keluarga, Gereja dan Masyarakat

4.1 Pendahuluan

Pengalaman diskriminasi yang terjadi dalam konteks gereja, masyarakat, keluarga

terhadap perempuan yang bercerai dan konteks Matius serta dominasi Romawi telah dijabarkan

dalam Bab II dan Bab III. Pada Bab IV sebagai kelanjutan dari tulisan ini penulis akan

melakukan analisa kritis terhadap tafsiran teks Matius 19:1-12 dengan berpijak pada perspektif

perempuan yang mengalami diskriminasi dalam konteks keluarga, gereja dan masyarakat. Dalam

proses analisa kritis terhadap teks Matius 19:1-12 maka penulis akan mengawalinya dengan dua

pertanyaan penuntun yaitu apakah teks Matius 19:1-12 memunculkan konsep Tuhan yang

menyatakan kasihNya melalui perceraian? dan apakah teks Matius 19:1-12 dapat memberikan

keadilan dan kemerdekaan bagi para korban yang mengalami diskriminasi dan kekerasan.

4.2 Tatanan Nilai Baru dalam Matius 19: 1-12 Merupakan Resistensi terhadap Tatanan

Nilai dalam Dominasi Romawi.

Teks Matius merupakan bentuk perlawanan dari konteks subordinasi terhadap kekuasaan

Romawi.1 Dalam pencapaian tujuan itu Matius mengangkat konsep tatanan hidup manusia yang

berada dalam kekuasaan Kerajaan Allah yang memberikan pembebasan dari keterikatan berdasar

1

(2)

pengaruh konsep tatanan hidup masyarakat dalam tirani kekaisaran Romawi yang lebih

menunjukkan dominasi pejuratif. Matius mengkontekstualisasikan pentingnya silsilah Yesus

pada bagian awal yang tidak menampilkan kekayaan konvensional, kekuasaan dan status sosial

tetapi dalam kaitan dengan tujuan Allah. Yesus sebagai pribadi yang hadir dalam ketertindasan

umat mengungkapkan tiga hal yang berkaitan dengan nubuat pembebasan dalam Perjanjian

Lama yang bersifat anti terhadap dominasi pejuratif:2

1. Yesus dalam bahasa Ibrani Yosua berarti membawa pembebasan terhadap umat dari

perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian Allah.

2. Penjajahan merupakan bentuk hukuman atas dosa Israel, namun loyalitas Allah terhadap

janji penyertaan terhadap umat akan membawa pembebasan dari bentuk penjajahan, seperti yang

diungkapkan pemazmur dalam Mazmur 130: 8.

3. Yesus adalah Immanuel, merupakan kutipan dari Yesaya 7-9 yang menggambarkan

keberpihakkan Allah terhadap Israel yang akan mendapatkan pembaharuan hidup yaitu

pembebasan dari penderitaan akibat kesewenangan kekuasaan kekaisaran.

Uraian ketiga hal ini mengarah pada dimensi utama yaitu kehadiran Yesus merupakan

manifestasi dari tujuan Allah, kebesaranNya tidak berdasar pada kekuatan militer, kekayaan,

kepentingan pribadi yang eksploitatif melainkan kebesarannya terletak pada penyelamatan dari

beragam bentuk dominasi pejuratif yang selama ini telah dilakukan oleh kekaisaran Roma.

Narasi Matius memperkenalkan Yesus sebagai seseorang yang membangun komunitas

dengan mengutamakan kehidupan dan kesejahteraan bersama. Yesus memperkenalkan sistem

yang tidak bergantung pada status dari kekuasaan dan kekayaan, melainkan sistem yang

melahirkan tindakan-tindakan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Yesus berkata

2

(3)

kepada para murid "kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah

rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas

mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,

hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu,

hendaklah ia menjadi hambamu."3

Perjalanan dari Galilea ke Yudea (ayat 1) merupakan bagian dari proses perwujudan misi

pemerintahan Allah yang akan memunculkan kesejahteraan terhadap manusia melalui jalan salib.

Tema sentral pemerintahan Allah yang memproklamirkan kesiapan diri melalui penderitaan

dengan misi penyelamatan manusia karena dosa sehingga mereka harus mengalami penaklukan

Yerusalem oleh Roma pada tahun 70 ZB, memunculkan perbedaan signifikan dengan pusat

kekuasaan pemerintahan elit di Yudea dan Galilea yang berada di bawah dominasi Roma. Jalan

salib yang menggambarkan keadaan Yesus sebagai manusia yang siap menderita menunjukkan

sikap intoleran terhadap setiap bentuk ketidakadilan, kekerasan, kepentingan akan tirani

kekuasaan kekaisaran Roma dan memunculkan pemahaman baru yang lebih memberikan tempat

kepada setiap individu memiliki harapan untuk hidup sebagai pribadi yang merdeka terlepas

dari beragam bentuk penindasan, penganiayaan. Pemerintahan Allah meniadakan

struktur-struktur kolonial, memunculkan compassion menuju pada kebebasan dan kemerdekaan yang

menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, kesederajatan, dan penyelamatan universal menyentuh

setiap aspek yang meliputi kosmik, politik, sosial dan individu.4

Gundry memaparkan bahwa kehadiran Yesus di Galilea dan Yudea merupakan persiapan

perwujudan nubuatan berakhirnya masa-masa kegelapan hidup tergantikan dengan hidup yang

3

Warren Carter, Matthew and Empire: Initial Exploration, 10.

4

(4)

dipenuhi kesejahteraan (Mat 4: 12-17) melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan yang akan

dialami oleh Yesus.5 Menurut Riyadi Yesus kembali ke Yudea merupakan rancangan Tuhan

sehingga Yudea dapat menerima Yesus sebagai raja orang Yahudi.6

Kemampuan Yesus memulihkan mereka yang sakit berimplikasi pada kekuatan dan

kekuasaan pemerintahan Allah yang tidak terbatas. Yesus sebagai representasi kehadiran Allah

telah memproklamirkan compassion dalam kedaulatan Allah melalui tindakan-tindakan konkrit

dan praktis seperti, kepedulian terhadap mereka yang terbelenggu penyakit. Terlihat pada ayat 2

aktivitas Yesus saat di Perea adalah memberikan kesembuhan bagi orang-orang yang sakit.

Tindakan Yesus memberikan mujizat penyembuhan merupakan bagian dari hadirnya kerajaan

Allah.7 Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Bab III bahwa tema sentral dalam Matius

adalah hadirnya Kerajaan Allah, maka tindakan-tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh

Yesus memperlihatkan keaktifan Allah untuk menjangkau dan memberkati umatNya.8

Kemampuan berempati pada pengalaman hidup manusia yang menderita karena kelemahan fisik

memberikan penegasan dalam pemerintahan Allah tidak berlaku kekuasaan yang otoriter,

kekuasaan yang berdiri atas dasar asas kepentingan elit penguasa Romawi melainkan meletakkan

dasar kesejahteraan dalam keutuhan jati diri setiap individu yang layak hidup merdeka, sejahtera

tanpa terpasung oleh otoritas para elit penguasa. Kuasa penyembuhan yang diangkat oleh Matius

menjadi peneguhan identitas Yesus sebagai pembebas dari setiap penderitaan sehingga

memberikan kepastian bagi setiap orang untuk menata hidupnya sesuai dengan tatanan hidup

5

Robert H. Gundry, Commentary on Matthew: Commentary on the New Testament Book (Michigan: Baker Academic, 2010), 112. Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution (Michigan: Wm. B. Eerdmans, 1994), 375.

6

Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 171.

7

Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 376.

8

(5)

yang diajarkan Yesus. Tatanan hidup dalam pengajaran Yesus memperlihatkan perbedaan

signifikan dengan tatanan hidup yang diatur sesuai kepentingan penguasa Romawi.

Tatanan hidup masyarakat yang berada dalam kekuasaan Romawi terpusat pada

aturan-aturan yang diberlakukan oleh kaisar sebagai representasi dari kehadiran dewa, yang selalu

berpihak dan memberikan profit bagi kekaisaran atau pun para elit penguasa. Kaisar Domitianus

mewajibkan setiap orang yang berada di bawah kekuasaan Romawi termasuk orang Kristen

untuk tunduk terhadap aturan-aturannya seperti menyembah dirinya sebagai dewa dan membayar

pajak. Ketaatan terhadap aturan kaisar Domitianus bersifat mutlak, konsekuensi yang harus

diterima seseorang atas ketidaktaatannya adalah dieksekusi. Pengalaman penganiayaan pernah

dialami oleh orang-orang Kristen pada masa Kaisar Domitianus pada tahun 91-96 ZB.

Tindakan-tindakan anarkis, radikal ataupun sporadis dari kekaisaran dilakukan untuk

mempertahankan kekuasaan. Intimidasi terhadap stuktur sosial, agama dan kesewenangan politik

seringkali terjadi, sehingga perlakuan kejam dan penganiayaan menjadi model konkrit dalam

kontruksi sosial masyarakat. Pola hidup yang dianut oleh kekaisaran menjadi pola hidup yang

wajib dianut oleh masyarakat. Pola hidup yang pada umumnya menggambarkan kemewahan,

hedonisme, mengumbar nafsu seksual seperti gaya hidup kaisar Domitianus, huru-hara dan

tindakan-tindakan diskriminatif bagi masyarakat kelas bawah.

Dalam Bab III telah diuraikan dominasi pemerintahan Romawi disetiap daerah jajahan,

termasuk setting penulisan Injil Matius tidak terlepas dari dominasi Romawi. Romawi

merupakan kerajaan adikuasa yang menjalankan politik pemerintahan dengan cara-cara

eksploitatif dan anarkis. Cara-cara eksploitatif, tindakan-tindakan anarkis sarat dengan

kekejaman penguasa telah menindas daerah dan masyarakat di daerah koloni. Bahkan agama

(6)

terhadap tindakan kekaisaran diperoleh dari nilai yang ditanamkan dalam agama bahwa kaisar

merupakan representasi kehadiran dewa, sehingga para kaisar dapat memiliki keleluasaan dalam

menjalankan pemerintahan sesuai kehendak hatinya. Hal ini menanamkan pandangan bahwa

tindakan kaisar berdampak negatif tetap dipahami sebagai tindakan yang dikehendaki oleh dewa

terhadap umat. Dari faktor ekonomi, ekspresi eksploitatif pemerintah Romawi berwujud pada

pemberlakuan pajak yang sangat tinggi bagi masyarakat koloni untuk menunjang perekonomian

Romawi. Penindasan semakin merajalela, saat praktik korupsi dilakukan oleh para masyarakat kelas

atas yang bertugas menarik pajak dari masyarakat kelas bawah. Penolakan pemberian pajak akan

berdampak buruk untuk masyarakat koloni yang berada dalam yuridiksi umum pemerintah Romawi,

mengingat pemberontakan terhadap ketetapan Romawi akan mendatangkan konsekuensi hukum.

Konsekuensi hukum yang diberikan untuk setiap bentuk pemberontakan tergantung dari setiap

keputusan peradilan yang mengadili. Hukuman yang akan diberikan dari setiap bentuk pelanggaran

aturan pemerintah Romawi mulai dari hukuman denda, dijual sebagai budak, kerja paksa seumur

hidup, hukuman cambuk, penyaliban, seorang perawan “vestal” yang mengingkari sumpah untuk

hidup suci menerima konsekuensi hukum dengan cara dikubur saat masih hidup.9 Dari faktor

sosial, terdapat kesenjangan sosial yang sangat signifikan antara masyarakat kelas atas dan kelas

bawah. Masyarakat kelas atas hidup makmur, sementara masyarakat kelas bawah harus hidup

dengan makanan murah dengan gizi yang sangat kurang sehingga seringkali rentan dengan

penyakit. Kondisi diatas menunjukkan penindasan, kemiskinan, diskriminatif nampak menjadi

bagian yang signifikan dalam kehidupan masyarakat koloni yang berada di bawah dominasi

Romawi.

Selain mendapatkan tekanan dari dominasi Romawi, kekristenan juga menghadapi

tekanan dari umat Yahudi. Orang-Orang Yahudi Kristen yang telah hidup dalam pengajaran

9

(7)

Yesus dengan konsep kasih universal, menolak memberikan dukungan pemberontakan terhadap

dominasi Romawi kepada para kaum Zelot. Hal ini berdampak pada keretakan hubungan sosial

antara umat Yahudi dan orang-orang Kristen Yahudi. Permusuhan dikumandangkan oleh para

pemimpin agama yang menyebarkan isu bahwa kekristenan merupakan ajaran sesat.

Pemerintahan Allah yang ditampilkan oleh penulis Matius merupakan antitesis dari

pemerintahan Romawi yang bersifat destruktif dan sikap permusuhan yang disebarkan oleh para

pemimpin Yahudi kepada umat Yahudi terhadap kekristenan.

Dalam kepentingan ini maka Matius pada ayat 1 memperlihatkan adanya keterkaitan teks

Matius 19:1-12 dengan perikop-perikop sebelumnya. Matius 19:1-12 merupakan kesatuan dari

bagian ajaran-ajaran Yesus yang terdapat dalam pasal sebelumnya. Pasal 5-7 (khotbah di bukit),

pasal 10 (pengutusan para rasul) dan pasal 18 (kesatuan dalam berjemaat) tentang

peraturan-peraturan yang terfokus pada tatanan hidup bersama dalam berjemaat.10 Hal ini terlihat dari

penggunaan kalimat yang khas dalam penulisan Matius saat memperlihatkan keterkaitan antara

beberapa perikop dengan perikop berikutnya, seperti yang terdapat dalam Matius 19: 1 dimulai

dengan kata Kai evge,neto (dan terjadilah) kemudian diikuti dengan kata tou.j lo,gouj tou,touj(

lo,gouj (perkataan-perkataan).11 Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Yesus adalah nilai-nilai yang

terorientasi pada kepentingan bersama, dan kesetaraan diantara relasi yang terbangun antar

sesama manusia. Nilai-nilai yang dibangun oleh Matius melalui figur Yesus merupakan

resistensi terhadap nilai-nilai yang dianut oleh penguasa Romawi.

10

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 128-140.

11

(8)

Penulis Matius ingin menunjukkan pengajaran Yesus tentang tanggung jawab orang

beriman pada pasal 18 berlanjut pada pasal 19 yang lebih khusus menyoroti tentang tanggung

jawab suami atau istri dalam pernikahan (Matius 19). Tanggung jawab manusia dalam tulisan

Guthrie mengarah pada ketaatan terhadap peraturan Allah, seperti yang ada dalam ketetapan

Perjanjian Lama tentang janji kesetiaan antara suami dan istri. Janji kesetiaan ini harus bersifat

universal karena berkaitan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi manusia,

dengan demikian kesuciaan keluarga merupakan perintah dan ketetapan Allah yang harus ditaati.

Pandangan ini menuntut totalitas dalam mengemban tanggung jawab, jika manusia hidup hanya

terorientasi pada kepentingan diri sendiri maka ia tidak dapat menjalankan tuntutan ini. Ketaatan

yang diberlakukan bukan bentuk pembelengguan terhadap kemerdekaan manusia tetapi

menuntun manusia untuk memiliki penyerahan sepenuh hati kepada Allah.12

Tatanan nilai yang dibangun oleh Matius melalui figur Yesus merupakan resistensi

terhadap tatanan nilai yang dianut oleh penguasa Romawi. Tatanan nilai dalam pengajaran Yesus

berporos pada kasih universal yang terarah pada kontruksi relasi antar manusia dengan Allah dan

sesamanya (Khotbah di bukit pasal 5-7; 22: 37-40). Pelayanan kasih secara universal menyentuh

setiap pribadi yang tersisih dan terdiskriminasi karena situasi politik dan sosial pada masa

imperialisme Romawi.

Tindakan Yesus di Perea yang memberikan kuasa pemulihan, memperlihatkan

pemerintahan Kerajaan Allah sebagai pembebas, memberikan harapan hidup, dan menghadirkan

suasana yang penuh dengan kesejahteraan. Pemerintahan Allah memiliki perbedaan signifikan

dengan pemerintahan di bawah sistem imperialisme Romawi dan pembebasan dari aturan-aturan

para pemimpin Yahudi yang lebih bersifat diskriminatif seperti diuraikan dalam Bab III.

12

(9)

Sementara pemerintahan Allah memunculkan nilai-nilai hidup baru dengan mengedepankan

kasih secara universal tanpa batasan-batasan yang dibuat oleh manusia dan menjadi dasar

konstrukstif dalam interaksi antara Allah dan sesama manusia, secara khusus kontruksi relasi

antara suami dan istri yang seimbang.

4.3Salah Satu Wujud Kasih Allah adalah Perceraian

Kasih Allah yang universal berarti menjangkau setiap pribadi yang berbeda status sosial,

berbeda jenis kelamin, berbeda budaya ataupun agama. Hal ini juga merupakan kritik terhadap

pemberlakukan khusus atau istimewa terhadap orang-orang tertentu dalam masyarakat

Yunani-Romawi. Kehidupan yang layak, kasih, penghormatan, penghargaan hanya nampak pada

masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi seperti, kaisar beserta dengan para pejabat

kekaisaran, para bangsawan, para pemimpin agama, dan berjenis kelamin laki-laki. Sementara

masyarakat yang berasal dari status sosial rendahan, atau berjenis kelamin perempuan seringkali

mendapat perlakuaan yang semena-mena. Kasih yang universal melampaui batasan status sosial

dan jenis kelamin, oleh sebab itu tidak ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap orang-orang

tertentu. Semua orang mendapatkan perlakuan yang sama karena kasih Tuhan tertuju kepada

setiap manusia. Dengan demikian seorang suami harus dapat memperlakukan istri dengan penuh

kasih dan begitu pula sebaliknya. Kasih dalam pernikahan terwujud dalam penerimaan terhadap

pasangan sebagaimana adanya, perceraian yang berdasarkan kehendak hati suami secara pribadi

dalam praktik pernikahan Romawi dengan alasan-alasan yang sederhana mengungkapkan

(10)

Wujud dari kasih secara universal dimunculkan Matius dalam keseimbangan kontruksi

relasi antara suami istri pada ayat 3-12, Yesus memberi respon pertanyaaan orang Farisi dan

tanggapan dari para murid dengan mendekonstruksi pola rumah tangga yang diadopsi dari

aturan-aturan imperialisme Romawi serta tradisi Yahudi. Dalam bab III telah diinformasikan

bahwa sebelum akhir periode republik dalam pernikahan Romawi tidak memperkenankan

perceraian. Namun sejak awal periode kekaisaran, perceraian dapat dengan mudah dilakukan.

Seseorang dapat menceraikan istri atau suami secara bebas, bahkan tindakan bercerai tidak

mendapatkan konsekuensi hukum ataupun stigma moral dari masyarakat. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa dalam realitas hidup berkeluarga, perceraian tidak dipandang sebagai

persoalan yang mendapatkan perhatian signifikan, nikah-cerai adalah hal biasa dalam masyarakat

Romawi. Namun hal ini tidak berarti menggambarkan kontruksi relasi yang setara antara

laki-laki dan perempuan dalam keluarga Romawi.

Konsep rumah tangga Romawi ataupun Yahudi tidak dibangun atas dasar kemitraan

setara antara laki-laki dan perempuan. Dari pemaparan Bab III nampak bahwa suami memiliki

kekuasaan mutlak terhadap istri, anak bahkan para budak, bahkan suami memiliki hak untuk

membunuh istri dan anaknya tanpa guguatan hukum. Istri dalam hal ini hanya dipandang sebagai

properti suami, perantara penghasil keturunan. Konsep ini mengikat istri, anak dan para budak

untuk tunduk terhadap aturan ataupun keputusan suami yang diabsahkan oleh para elit penguasa,

sehingga perempuan dalam konsep rumah tangga Romawi ataupun Yahudi mengalami

ketertindasan, dan menjadi korban dari ketidakadilan. Konsep hierarki, patriakhi dan yang lebih

dominan dalam imperialisme Romawi menunjukkan ketidakadilan, bias gender.13

Konsep hierarkis, patriakhi dalam aturan Yahudi tidak jauh berbeda dengan Romawi.

Terdapat ketimpangan-ketimpangan peran antara suami-istri dalam rumah tangga Yahudi, seperti

13

(11)

suami lebih memiliki peran yang dominan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga.

Kekuasaan dan keputusan suami yang dijadikan parameter dalam kehidupan rumah tangga.

Dalam rumah tangga kedudukan istri berada pada kekuasaan suami, pandangan ini berkaitan

dengan pandangan Yahudi tentang perempuan. Perempuan dipandang hanya sebagai perantara

penghasil keturunan, tidak heran jika fenomena poligami merebak dalam Yahudi. Untuk

kepentingan menghasilkan keturunan maka suami diberikan kebebasan untuk berpoligami

sementara istri tidak diizinkan untuk memiliki suami lebih dari satu (Kej 4:19, 29:23.30 36:2; 1

Sam.1:2), nampak bahwa posisi istri dinilai lebih rendah dari suami. Perempuan juga

digambarkan sebagai mahkluk yang lemah, pasif, bahkan perempuan sangat berkonotasi negatif

karena dianggap sebagai kaum yang mudah untuk dirayu dan penggoda laki-laki.14

Pada konteks keagamaan, kekudusan dan kemurnian perempuan dalam relasi dengan

Allah dikategorikan lebih rendah daripada laki-laki. Dalam hal kultus persembahan, maka

persembahan kurban dari laki-laki dipandang lebih bernilai daripada persembahan kurban dari

perempuan. Persembahan kurban dari laki-laki merupakan jantung dari kultus peribadatan secara

umum, sementara persembahan kurban dari perempuan hanya digunakan sebagai kurban

penghapus dosa pribadi. Dengan demikian, relasi kultus yang terbangun dengan Allah pada awal

Yudaisme di mediasi oleh unsur laki-laki. Kesetaraan yang timpang dalam konteks Yahudi

dilatarbelakangi dari pandangan kisah Allah menciptakan manusia muncul norma interpretatif

dan pembenaran bahwa perempuan memiliki nilai dan tugas yang lebih rendah dari laki-laki. Hal

ini menyimpulkan bahwa perempuan secara implisit dianggap tidak diciptakan menurut gambar

Allah.15

14

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 34-46.

15

(12)

Pemaparan tentang rumah tangga Romawi atau pun Yahudi memperlihatkan posisi

perempuan dalam konteks sosial Romawi ataupun Yahudi. Menurut penulis dari dua konteks

Romawi dan Yahudi, citra perempuan sangat berkonotasi negatif yang berwujud dalam bentuk

subordinatif dan eksploitatif. Ekspresi subordinasi dan eksploitasi semakin mengokohkan

ketimpangan peran dan kedudukan antara suami dan istri dalam konteks Romawi ataupun

Yahudi, hal ini berarti pengabaian terhadap eksistensi kemanusiaan seorang perempuan.

Seperti telah diuraikan dalam Bab III bahwa suami atau para laki-laki Romawi ataupun

Yahudi dalam rumah tangga selalu dipandang dalam tatanan hierarkis bahwa suami memiliki

kendali mutlak terhadap istri dan anak yang disebut dalam budaya Yunani-Romawi pater

familias. Status istimewa yang melekat pada suami menjadi parameter bagi mereka untuk

bertindak sesuai keinginan pribadi termasuk dalam hal memutuskan ikatan pernikahan sepihak.

Loyalitas atau kesetiaan yang pudar telah menghancurkan ikatan pernikahan yang eksklusif,

dengan demikian setiap pribadi yang mengkhianati pernikahan karena percabulan juga telah

memberontak terhadap titah Tuhan.

Respon Yesus melalui larangan perceraian merupakan reaksi terhadap bentuk

diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam lingkup keluarga Yunani-Romawi dan

Yahudi, sehingga dimunculkan rekonstruksi pola rumah tangga yang melarang perceraian,

didahului dengan percakapan yang terjadi antara Yesus dan orang Farisi (ayat 3-6). Nampaknya

percakapan Yesus dengan orang Farisi dimunculkan Matius untuk menekankan perbedaan

signifikan pengajaran dari para kaum Farisi dengan pengajaran Yesus. Pengajaran Yesus yang

memberikan nilai baru terhadap ketentuan pernikahan merupakan resistensi terhadap pengajaran

para pemimpin agama yang didominasi oleh kaum Farisi. Mengingat pada Bab III dipaparkan

(13)

bahwa kaum Farisi adalah para pemimpin agama yang memanfaatkan kedudukan untuk

memprovokasi bangsa Yahudi untuk membenci orang-orang Kristen. Pengajaran Yesus yang

mengumandangkan kerajaan Allah menekankan kehidupan yang dipenuhi dengan loyalitas,

terbebas dari beragam bentuk diskriminasi terhadap istri. Sementara kaum Farisi lebih

memberikan penekanan terhadap eksklusivitas kesucian pribadi sehingga memperbesar jurang

perbedaan dan berakibat pada perlakuan diskriminatif terhadap komunitas yang berbeda dengan

mereka dan kebencian dalam pengajarannya (ayat 3-6).

Oleh sebab itu dalam pengajaranNya Yesus menjelaskan tentang pengertian dasar

pernikahan dengan menggunakan Perjanjian Lama. J.J. de Heer memaparkan Kej 1: 27 dan Kej

2: 24 merupakan dasar tentang arti nikah yang dikutip oleh Yesus. Nikah menurut Kej 2: 24

adalah suatu ikatan antara suami-istri yang kekuatannya melebihi ikatan keluarga, dan keduanya

menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan kalimat “menjadi satu daging.”16

Daging pada umumnya memang memiliki konotasi yang negatif. Daging dalam

pandangan Yesus memang mengindikasikan kelemahan karena seringkali melayani pikiran

manusia (Mat 26:41; Mrk 14:38) dan sering juga digunakan untuk menyebut manusia tanpa

berkaitan dengan moral.17 Pandangan Paulus tentang daging atau sarx juga tidak jauh berbeda,

daging merupakan materi jasmani yang menunjuk pada manusia alami yang duniawi. Aktivitas

yang dilakukan daging dapat mengakibatkan dosa atau merangsang kegiatan dosa berikutnya,

sehingga daging seringkali identik dengan hawa nafsu. Paulus mengungkapkan keinginan daging

dalam Gal 5:16, dan daftar perbuatan daging yang patut dihindari (Gal 5: 19). Tetapi daging

berkaitan erat dengan akal budi, keduanya menjadi satu bagian utuh dalam diri manusia.18

16

De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 375.

17

Guthrie, Teologi Perjanjian Baru1, 152

18

(14)

Dengan demikian daging yang adalah satu kesatuan dengan manusia secara utuh menunjuk pada

keberadaan diri manusia yang lemah namun tidak terlepas sebagai insan yang memiliki tanggung

jawab dihadapan Allah. Oleh karena itu penyatuan daging berarti terjadinya lebur diri dua

pribadi dalam penanaman nilai dan tanggung jawab kepada Allah.

Kutipan dari Perjanjian Lama yang di gunakan Yesus untuk menggambarkan dasar dari

pernikahan, menunjukkan bahwa Yesus tetap memakai hukum Yahudi. Budaya hibriditas

nampak muncul dalam pengajaran Yesus yang memandang hukum pernikahan Yahudi dengan

cara pandang baru untuk kepentingan jemaat, khususnya para perempuan yang termarginalkan.

Yesus memulai pengajaran tentang pernikahan dengan memberikan gambaran awal tentang

relasi umat Allah dalam Perjanjian Lama dan keberimanan manusia berkaitan erat dengan

pengalaman kebahagiaan. Allah menciptakan manusia dengan kasih untuk menjadi model kasih

Allah dalam pengalaman hidup bersama dengan sesamanya. Oleh sebab itu kebahagiaan dapat

diwujudkan melalui relasi akrab dengan sesama manusia.

Pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan bentuk dari relasi akrab yang

terbina satu dengan yang lain. Berarti pernikahan dapat dikatakan sebagai representasi kasih

Allah terhadap manusia dan wadah dimana kedua pribadi dapat mengembangkan potensi yang

ada didalam diri masing-masing. Allah membahasakan kasih terhadap manusia secara

manusiawi melalu pernikahan.19

Kalev menguraikan penggunaan Matius terhadap Kejadian 1: 27, 2: 24 sebagai penegasan

bahwa relasi keutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam kepelbagaiannya merupakan hasil

ciptaan Allah. Oleh sebab itu Yesus dengan jelas menyatakan penciptaan laki-laki dan

19

(15)

perempuan sebagai satu kesatuan yang adalah rencana Allah merupakan dasar dari pemisahan

seorang laki-laki dari orang tuanya dan menyatu dengan istrinya (Mat 19: 4-5). Dengan demikian

menunjukkan sikap Yesus yang melarang perceraian karena pernikahan diciptakan oleh Allah.20

Menurut Gundry, Matius mengutip kata penciptaan dari Markus dan membuatnya menjadi

pencipta untuk memperjelas bahwa subjek dari kata kerja berikut adalah Allah, bukan Musa.

Dengan demikian makna yang muncul tidak hanya berupa klarifikasi gramatikal, tetapi

mengarah pada penekanan pernikahan adalah kehendak Allah. 21

Kasih Allah yang telah menyatukan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan

merupakan prinsip dan kekuatan dalam persekutuan rumah tangga. Menghayati persekutuan

yang telah diciptakan Allah maka model kasih Allah ditunjukkan dengan usaha untuk

menjungjung tinggi kesetiaan. Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tuntutan yang sama

menjaga kesetiaan, keutuhan cinta untuk menghadirkan kasih Allah dan melestarikannya dalam

lingkup keluarga. Sebaliknya jika peran dan tuntutan kesetiaan timpang, hanya diberlakukan dan

dibebani pada satu pihak maka pernikahan akan terpenjara dengan status quo dan tindakan

eksploitatif dari salah satu pihak yang lebih dominan dan merugikan pihak yang lain.

Larangan perceraian dengan pengecualian percabulan bagi para suami Yahudi yang

diutarakan Yesus merupakan bentuk peneguhan terhadap kesetiaan dalam rumah tangga.

Pengecualian jika terjadi percabulan merupakan penegasan Yesus terhadap loyalitas yang

sepatutnya dimiliki oleh para suami dalam konteks jemaat Matius. Dapat disimpulkan bahwa

larangan perceraian merupakan media ataupun cara yang digunakan agar suami tidak

melanjutkan warisan dominasi pejuratif dalam keluarga khususnya terhadap istri, selain itu

20

Yordan Kalev Zhekov, Defining the New Testement Logia on Divorce and Remarriage in a Pluralistic Context (Eugene: Pickwick, 2008), 119-122.

21

(16)

memberikan penekanan terhadap loyalitas pasangan dalam membangun kehidupan rumah

tangga. Yesus menunjukkan sikap yang berpihak kepada perempuan karena minimnya loyalitas

dari pihak suami dalam pola kehidupan rumah tangga Romawi. Sikap Yesus terhadap perceraian

adalah tidak anti perceraian, namun Yesus anti terhadap beragam bentuk diskriminasi dan

tindakan kekerasan. Setiap kekuasaan yang membentuk, mengontrol dan menentukan

kenikmatan individu merupakan bentuk pengingkaran diri.

Pada ayat 6, kembali ditegaskan kesatuan antara suami-istri dan oleh sebab itu tidak

boleh diceraikan oleh manusia. Pada ayat 6b kata Yunani sune,zeuxen (menghubungkan bersama

di bawah satu kuk) dalam teks Indonesia diterjemahkan dipersatukan. Menurut Schafer lebih

tepat menggunakan kata dihubungkan.22 Selain itu teks Indonesia menggunakan manusia,

sementara kata Yunani a;nqrwpoj artinya manusia; seorang laki-laki; suami.23 Secara inklusif

memang dapat menggunakan manusia yang mengarah pada laki-laki dan perempuan, namun

dapat digunakan secara eksklusif memperhatikan konteks maka yang tepat adalah seorang

laki-laki. Sementara kata Yunani mh. cwrize,tw (jangan dipisahkan) diterjemahkan dalam teks

Indonesia menjadi tidak boleh diceraikanÅ24 Dengan demikian formulasi kalimat pada ayat 6b,

Karena itu, apa yang telah dihubungkan Allah, jangan dipisahkan oleh seorang laki-laki. Ayat ini

menunjukkan jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang Farisi pada ayat 3 yaitu tidak

mengizinkan seorang suami menceraikan istrinya dengan alasan apapun.

Tafsiran Gundry pada ayat 6-9 menunjukkan laki-laki dan perempuan diciptakan Allah

untuk berpasangan, oleh sebab itu pertanyaan orang Farisi bahwa dapat bercerai dengan alasan

22

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 134.

23

BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.

24

(17)

apapun tidak relevan. Yesus memperluas hukum mengenai pernikahan dengan mengungkapkan

bahwa pernikahan kedua dengan perempuan lain merupakan bentuk perzinahan. Dengan

demikian jika terjadi perzinahan dalam pernikahan maka perceraian dapat dilakukan namun pada

prinsipnya Yesus tidak menghendaki perceraian.25

Harrington dalam tafsirannya memaparkan bahwa pernikahan diciptakan atas dasar

rencana Allah kepada manusia yaitu laki-laki dan perempuan untuk hidup berserikat. Kehidupan

berserikat tidak dapat terpisahkan oleh sebab itu tidak diperbolehkan terjadi perceraian dalan

kehidupan berserikat.26 Yesus memperlihatkan sikap yang berpihak pada istri yang mengalami

kesewenangan dari para suami, akibat status istimewa yang dimiliki oleh para suami Yahudi.

Seperti yang sudah dipaparkan dalam Bab III bahwa dalam praktik pernikahan Yahudi para

suami memiliki hak untuk menceraikan istri, sementara istri tidak dapat memiliki hak untuk

menceraikan. Keterikatan pernikahan diungkapkan oleh Yesus tidak hanya berlaku pada istri

tetapi berlaku juga pada suami.

Kesetiaan menjadi dasar utama dalam pernikahan, oleh karena itu saat pernikahan yang

disatukan oleh kasih Allah tercemarkan oleh ketidaksetiaan maka perceraian menjadi legal untuk

dilakukan. Pada ayat Ayat 7-9, merupakan kelanjutan percakapan antara Yesus dengan orang

Farisi, yang menunjuk pada respon yang diberikan orang Farisi kepada Yesus. Ayat 7 terdapat

perubahan kata Yunani ou=n (maka), diartikan dalam teks Indonesia jika demikian. Menurut

Schafer kata jika demikian mengarah kepada dampak yang akan diterima oleh seseorang jika

terjadi perceraian.27 Nampaknya orang Farisi menantang kembali argumen Yesus dengan

25

Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution, 379. 26

Daniel J. Harington, “Matius,” dalam Dianne Bergant dan Robert.J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 2002), 62.

27

(18)

menggunakan Ul 24:1-4 yang berisi izin dari Musa kepada laki-laki Israel untuk menceraikan

istrinya. Pemberian izin dari Musa berarti memperlihatkan bahwa hukum Taurat memungkinkan

terjadinya perceraian.28 Yesus menanggapi dengan mengungkapkan bahwa surat cerai yang

diberikan oleh Musa disebabkan ketegaran hati para suami. Dalam teks Indonesia menggunakan

kata ketegaran hati, namun dalam teks Yunani menggunakan kata sklhrokardi,an (sikap keras

kepala),29 sementara Schafer menterjemahkannya kekerasan hati (secara hurufiah jantung).30

Menurut Riyadi ketegaran hati berkaitan dengan praktik para suami Yahudi saat menceraikan

istrinya. Secara yuridis saat seorang istri diceraikan oleh suami maka seorang istri masih menjadi

milik suaminya. Keterikatan masih berlaku bagi sang istri dan kalau istri menikah lagi maka ia

dipandang telah melakukan perzinahan. Hal ini berkaitan dengan praktik perceraian Yahudi yang

lebih menguntungkan laki-laki, sehingga surat cerai yang diberikan oleh Musa bertujuan

memberikan kebebasan kepada para istri yang diceraikan sehingga mereka tidak dianggap

berzinah dan menanggung konsekuensi hukuman mati. Namun Riyadi menyimpulkan bahwa

Yesus melarang terjadinya perceraian.31 Sementara pada ayat 8b, menurut De Heer, Yesus

memperlihatkan sikapNya tentang perceraian bahwa perceraian tidak seharusnya terjadi.

Pernikahan yang dihadirkan Tuhan wajib dipelihara oleh suami-istri, perceraian hanya

memberikan dampak yang buruk bagi anak-anak. Walaupun terdapat pengecualian karena

perzinahan namun sejak semula Allah menghendaki pernikahan berjalan terus, bahkan

menurutnya Yesus hanya mengatakan kalau suami boleh menceraikan istrinya yang berzinah

tetapi tidak mengatakan harus menceraikan istri yang berzinah. 32

28

Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 173.

29

BGM Morph + Barclay-Newman, BibleWorks 6.

30

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru , 148.

31

Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, 172.

32

(19)

Ayat 9, menjadi jawaban final Yesus terhadap isu perceraian yang diangkat oleh orang

Farisi. Hal ini agak berbeda dengan Markus, pada Markus 10: 11 jawaban final tentang isu

perceraian diperuntukkan bagi para murid sedangkan pada Matius 19: 9 diperuntukkan bagi

orang Farisi. Oleh sebab itu terjadi perubahan formulasi kalimat pendahuluan yang ada dalam

Markus 10: 11a “dan Ia berkata kepada mereka” menjadi “tetapi Aku berkata kepadamu”.

Kalimat pendahuluan ini memunculkan kewibawaan Yesus sebagai anak Allah, dan Yesus

mengemukakan ajaran baru yang berbeda dari perintah Musa dan mazhab Hillel. Yesus

nampaknya mengkritisi sikap kesewenangan para suami yang bebas menceraikan istri dan mulai

mengikis hak istimewa para suami. Ajaran baru ini menutup peluang suami menceraikan istri

semena-mena dan menikah dengan perempuan lain. Bahkan perceraian dapat disamakan dengan

perzinahan.33

Pernyataan ”kecuali karena zinah” menjadi materi debat dalam penafsiran. Kata pornei,a|

(percabulan) merupakan teks Yunani yang diterjemahkan dalam teks Indonesia menjadi

perzinahan.34 Menurut Harrington, pornei,a kemungkinan terarah pada pernikahan antar saudara

yang terlarang dalam Imamat 18: 6-18. Walaupun terdapat pengecualian terhadap perceraian

tetapi pernikahan pada prinsipnya berlaku seumur hidup. Hal ini seirama dengan pendapat

Riyadi, Kata pornei,a| dalam Yunani sering menunjuk pada sikap yang tidak sesuai dengan moral

dan lebih mengarah pada pernikahan yang melanggar hukum ikatan darah. Terdapat dua

pandangan dalam memahami pornei,a,, pertama dapat dipahami sebagai perzinahan dan kedua

dapat dipahami sebagai pernikahan yang bertentangan dengan hukum ikatan darah. Pandangan

pertama lebih familiar dikalangan masyarakat Yahudi karena sama dengan pandangan mazhab

Syammai. Sementara pandangan kedua terkait dengan ikatan darah. Dalam konteks jemaat

33

Raymond F Collins, Divorce in The New Testament (Minnesota: The Liturgical Press, 1992), 114-115.

34

(20)

Matius terdapat juga orang Kristen dari kalangan non-Yahudi, yang mungkin hidup dalam

pernikahan dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Oleh

sebab itu untuk dapat berbaur dan diterima oleh komunitas Matius maka mereka harus

mengakhiri ikatan pernikahan. Namun belum ada pemecahan definitif perihal pengecualian bagi

para pembaca Matius.35 Schafer dalam penafsirannya terhadap teks Matius 19:9 lebih dominan

memandang hal pengecualian dari percabulan. Sesuai dengan pandangan dari mazhab Syammai

pada abad I ZB, suami dapat menceraikan istri yang tidak setia. Pandangan ini juga sesuai

dengan pandangan hukum Romawi dan dorongan dalam umat Yahudi, dimana mewajibkan

suami menceraikan istri yang mengkhianati ikatan pernikahan dan suami diberikan peluang

bebas untuk dapat menikah lagi.36

Pembaharuan pola ini memberikan peluang terhadap kemerdekaan perempuan untuk

keluar dari hegemoni kolonisasi laki-laki. Yesus menciptakan kemitraan setara dalam relasi

suami dan istri. Tidak ada legalitas terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dalam

merancang bangun kehidupan rumah tangga. Keutuhan jati diri dalam awal penciptaan yang

melekat kepada perempuan dan laki-laki merupakan hakikat hidup yang setara, sehingga relasi

suami-istri yang terbangun berdasar pada ideologi, tindakan konkrit saling menghargai. Yesus

secara sistematis mendekontruksi pola rumah tangga elit untuk menciptakan pola yang kontras,

inklusif dan egaliter diantara para murid. Oleh karena itu suami dan istri berpartisipasi dalam

eksistensi “satu daging”.37

Tanggapan orang Farisi pada ayat 10-12 menunjukkan keberatan mereka terhadap

larangan perceraian yang diajarkan Yesus. Percakapan yang terjadi antara Yesus dan para murid.

35Harington, “Matius,” dalam Dianne Bergant dan Robert.J. Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru

62. Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah,174-176.

36

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 141-149 .

37

(21)

Menanggapi pernyataan Yesus pada ayat 9, para murid menyimpulkan pernikahan tidak

diperlukan. Teks Yunani menggunakan ouv sumfe,rei tidak bermanfaat untuk (+ infinitif:

menikah), sementara teks Indonesia menggunakan lebih baik jangan kawin.38 Tanggapan para

murid disebabkan materi pengajaran yang diungkapkan Yesus perihal larangan perceraian bagi

para suami Yahudi sepertinya tidak rasional, karena menuntut keterikatan dan kesetiaan bagi

para suami. Padahal tuntutan kesetiaan hanya diberlakukan bagi para istri. Hal ini berarti

mereduksi hak istimewa para suami dan dari sudut pandang laki-laki sangat merugikan.

Kesimpulan para murid bahwa pernikahan tidak bermanfaat memperlihatkan keberpihakan

mereka terhadap status istimewa bagi para suami Yahudi. Manfaat sebuah pernikahan hanya

dipandang dari kacamata laki-laki, ketika aturan yang dikemukakan Yesus tidak berpihak pada

laki-laki dan nampaknya lebih mengedepankan hak perempuan maka solusi terbaik adalah tidak

menikah.

Dalam teks Indonesia pada ayat 11 salah satu kata yang digunakan adalah tidak mengerti,

teks Yunani cwre,w berarti membuat tempat untuk; menerima, menghayati.39 Teks Yunani

mengartikan tidak semua orang dapat menerima atau bersepaham dengan pernyataan untuk tidak

menikah. Hanya mereka yang menerima karunia Tuhan dapat memahami bahwa dirinya tidak

dapat menikah. Pada ayat 12 memperjelas maksud Yesus pada ayat 11 orang-orang yang

dimaksudkan menerima karunia Tuhan. Tiga kelompok orang dimunculkan pada ayat ini yaitu

orang yang terlahir dalam keadaan “kebiri” atau impoten, mereka memiliki kekurangan dalam

tubuhnya saat dilahirkan. Kelompok kedua adalah orang yang telah dikebiri orang lain, mereka

adalah para pelayan raja yang “dikebiri” sehingga tidak dapat merayu gundik-gundik raja.

38

Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 137.

39

(22)

Kelompok ketiga adalah orang yang memilih tidak menikah untuk memberikan segenap waktu

membaktikan diri kepada Allah.40

Tafsiran berdasarkan latar belakang teks yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir

konservatif Perjanjian Baru terhadap keutuhan pengajaran Yesus perihal perceraian dalam teks

Matius 19:1-12 menunjukkan beberapa hal: pertama, legitimasi status Yesus sebagai anak Allah

dengan kekuasaan yang melingkupiNya sehingga pengajaran Yesus tentang perceraian

merupakan cerminan dari aturan-aturan rumah tangga yang berasal dari Allah dan patut ditaati.

Kedua, Allah yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi satu keutuhan

ditengah kepelbagaian mereka adalah dasar dari pernikahan, oleh sebab itu perceraian

merupakan bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan Allah.

Beberapa teolog laki-laki turut andil dalam melestarikan tradisi patriakhi dalam

kehidupan masyarakat dan gereja. Salah satunya adalah Tertulianus, perempuan menurut

pandangannya adalah seorang penggoda. Ia menggambarkan perempuan sebagai pintu setan

yang membawa manusia sampai kepada dosa. Perempuan telah merusak citra manusia sebagai

gambar Allah ketika membujuk rayu Adam. Perempuan yang seharusnya mati bukan Anak Allah

untuk menanggung dosa yang merupakan hasil perbuatan perempuan.41 Tulisan-tulisan

Augustinus beberapa kali menunjukkan androsentrisme sebagai hukum alam. Ia menuliskan citra

Allah tidak terdapat dalam diri perempuan oleh sebab itu perempuan hanya berfungsi sebagai

pembantu, namun citra Allah secara utuh menjadi milik perempuan ketika terjadi penyatuan

antara laki-laki dan perempuan. Selain itu Aristoteles dan Thomas Aquinas pernah

mengemukakan pandangannya, secara biologis perempuan adalah laki-laki yang salah lahir.

40

De Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius pasal 1-22, 376-377. Schafer dan Freshia Aprily Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 151-153.

41

(23)

Pandangan-pandangan ini yang semakin memperkuat status perempuan sebagai masyarakat kelas

dua, yang selalu termarginalkan dalam dominasi laki-laki.42

Posisi perempuan yang dipandang berada dalam wilayah inferior membuat perempuan

rentan menjadi korban dari konflik, termasuk konflik yang terjadi dalam kehidupan rumah

tangga. Oleh sebab itu pemberlakuan surat cerai merupakan media yang memiliki legalitas

hukum untuk melepaskan perempuan dari dominasi pejuratif laki-laki yang dapat berperan

memerdekakan atau membebaskan perempuan dari dominasi laki-laki yang berkelanjutan.

Larangan perceraian dalam konteks Matius 19: 1-12 sarat dengan tujuan dan kepentingan

konteks sosial, politik masyarakat saat itu. Larangan perceraian yang ditujukan kepada laki-laki

merupakan resistensi politis dan konter dari kontruksi ketimpangan relasi antara suami-istri

dalam keluarga Romawi dan Yahudi yang mengusung tema kesetaraan dan keseimbangan

peran berasas keadilan antara laki-laki dan perempuan. Gaya hidup free sex Kaisar Domitianus,

yang memandang hubungan seks hanya sebagai “permainan gulat ditempat tidur” dan bebas

memilih setiap perempuan sebagai alat pelampiasan nafsu seksual semata, telah menempatkan

perempuan dalam konteks saat itu hanya menjadi obyek seks laki-laki, tidak memiliki privasi dan

kekuasaan untuk menolak berbagai jenis pelecehan seksual yang dilakukan para laki-laki.

Resistensi secara politik terangkat dengan konsep pemerintahan Allah yang lebih terorientasi

kepada pemerintahan yang menghadirkan kesejahteraan bagi setiap orang termasuk perempuan

yang telah termarginalkan. Kehadiran pemerintahan Allah menghilangkan ketakutan dan

melahirkan harapan baru, keadaan ini akan berdampak pada berkurangnya ketaatan dan

ketergantungan masyarakat pada pemerintah Romawi sehingga berimbas pada melemahnya

kekuatan imperialisme Romawi. Tujuan dari larangan perceraian adalah memberikan

42

(24)

pembebasan kepada perempuan dari setiap dominasi laki-laki ataupun imperialisme Romawi.

Oleh sebab itu tidak semua perceraian dapat dipahami sebagai bentuk pemberontakan terhadap

ketetapan Allah atau tindakan yang menghasilkan dosa. Perceraian dapat dipandang sebagai

pintu yang telah terbuka membawa setiap jiwa yang mengalami penindasan menemukan jalan,

tempat yang menghadirkan harapan dan pembebasan jiwa secara holistik dari setiap bentuk

dominasi.

Penulis Matius telah menulis kisah Yesus yang memberikan nilai baru mengenai relasi

antara suami istri dalam pernikahan. Jika pandangan pernikahan Yunani-Romawi ataupun

Yahudi sangat bersifat patriakhal, maka Yesus dengan pengajarannya telah menghadirkan

peluang bagi perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam menjalankan

peran dalam rumah tangga. Konsep dasar pernikahan dalam pandangan Yesus yang

menggunakan Perjanjian Lama pada ayat 4-5 menunjukkan pernikahan adalah tindakan yang

merupakan wujud kasih Allah terhadap manusia. Pernikahan dalam pengajaran Yesus tidak

hanya sekedar perihal surat kontrak antara dua pribadi seperti yang terdapat dalam konsep

pernikahan Yunani-Romawi ataupun Yahudi, yang lebih menekankan konsep pernikahan hanya

sebagai dasar dari prokreasi sehingga memperkenankan struktur poligami dalam masyarakatnya

dan mengikis unsur kesetiaan terhadap pribadi yang menikah. Pada ayat 4-5 Yesus memberikan

penekanan dalam pernikahan sebagai wadah yang dihadirkan Tuhan untuk mewujudkan cinta

kasih Tuhan didalamnya, sehingga pernikahan harus dipahami sebagai relasi antara manusia

dengan Allah serta relasi dengan pasangannya.

Konsep kerajaan Allah yang diperkenalkan melalui Yesus menanamkan unsur kesetiaan

untuk suami ataupun istri dalam pernikahan, khususnya penekanan kesetiaan tertuju pada suami.

(25)

Yahudi yang pada umumnya hanya menekankan kesetiaan pada pihak istri sementara pihak

suami terlepas dari tuntutan kesetiaan. Loyalitas terhadap pasangan merupakan respon sikap

hidup terhadap loyalitas kerajaan Allah bagi manusia. Hal ini juga berkaitan dengan

pengembalian identitas diri kekristenan dengan menampilkan gaya hidup yang menjaga

kecemaran tubuh.

Kasih Allah yang terwujud dalam pernikahan terlihat dalam tindakan yang menjunjung

tinggi loyalitas dan kasih yang tulus kepada istri ataupun suami. Oleh sebab itu ketika kesetiaan

dan kasih yang tulus telah luntur dan tertinggal beragam bentuk wujud dari kecintaan terhadap

diri sendiri dan mengakibatkan penganiayaan, maka perceraian dapat dilakukan. Perceraian

dalam situasi ketertindasan merupakan wujud kasih Allah yang membebaskan manusia dari

penindasan. Bebas dari segala bentuk penindasan menunjukkan situasi kehidupan orang-orang

yang berada dalam kerajaan Allah, sementara terkungkung dengan penindasan menunjukkan

situasi kehidupan orang-orang yang berada dalam dominasi Romawi.

Pengalaman dari lima responden perempuan yang bercerai telah diuraikan pada Bab II

menunjukkan bahwa mereka adalah korban tindakan eksploitatif dan diskriminatif dari suami,

keluarga, masyarakat bahkan gereja. Dalam pengalaman mereka sebagai korban kekerasan dan

diskriminatif karena kontruksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, keyakinan

mereka bahwa keadilan dan kasih Tuhan termanifestasi dalam pembebasan dari tindak kekerasan

suami melalui perceraian. Menurut para responden setiap manusia hasil ciptaan Allah sangat

berharga dihadapanNya, oleh sebab itu kewajiban dari manusia adalah menjaga, memelihara,

menghargai kreasi Allah. Kekudusan pernikahan yang dikumandangkan gereja mengartikan

realitas manusia yang menikah tersentuh kasih Allah, oleh karena itu dalam pernikahan realitas

(26)

fisik dan psikis telah mendominasi relasi dalam rumah tangga, hal ini menunjukkan perbuatan

yang menghancurkan kreasi Allah.

Pemberlakuan kasih Allah pada manusia bersifat universal baik untuk laki-laki ataupun

perempuan. Kasih Allah tidak didasarkan pada batasan perbedaan jenis kelamin, antara laki-laki

sebagai superior dan perempuan sebagai inferior dalam bentukan tradisi pathriaki yang

dilestarikan dari masa ke masa. Allah yang menciptakan, maka Allah memperhatikan dan

mempedulikan kondisi kebahagiaan setiap manusia yang mengalami penderitaan, penganiayaan.

Saat cinta dan keadilan tidak lagi mengisi realita hidup rumah tangga, bahkan tubuh

tereksploitasi dalam pelestarian tradisi patriakhal yang berkolaborasi dengan kapitalisme global,

maka Allah dengan kasih dan keadilan adalah pribadi yang meyelamatkan mereka dari beragam

bentuk ketidakadilan.

Seperti yang telah diuraikan dalam Bab II bahwa kekerasan ataupun tindakan

diskriminatif merupakan hasil konstruksi budaya patriakhi dan peran kapitalisme global.

Pengalaman kekerasan yang dialami para responden dalam rumah tangga merupakan manifestasi

relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh diskriminasi sistematis dengan

tujuan menghadang para perempuan untuk memberdayakan dirinya. Kontruksi budaya patriakhi

menjadi bagian dari jemaat GMIST melalui penginjilan yang dilakukan oleh para kolonial.

Budaya pathriaki yang mengukuhkan kekuasaan, kepentingan dan keuntungan pada laki-laki,

membentuk perspektif bahwa perempuan yang berada dibawah kekuasaan laki-laki wajib

menerima setiap bentuk perlakuan laki-laki baik yang bersifat konstruktif ataupun destruktif.

Kondisi ini berdampak terhadap sikap perempuan yang pasif dan pasrah saat mengalami

(27)

peluang kepada kaum laki-laki secara bebas melakukan tindakan kekerasan terhadap

perempuan.

Tindakan-tindakan pemukulan, kekerasan verbal dipandang sebagai hal yang lumrah

untuk dilakukan terhadap lima responden yang adalah perempuan. Selain itu faktor kapitalisme

yang terkait erat dengan ekonomi dan politik semakin meneguhkan posisi perempuan yang

rentan terhadap kekerasan. Melalui media massa, budaya pop yang menjamur, perempuan

digambarkan sebagai manusia yang bernilai berdasarkan kemolekan tubuh dengan sifat yang

sabar, lembut, pasrah dengan keadaan. Keterkaitan faktor budaya, ekonomi dan politik semakin

memantapkan kekerasan yang dialami oleh kelima responden.

Perceraian merupakan jalan yang dilalui dalam memperoleh penyelamatan. Kasih Allah

tidak hanya terjadi pada konteks Matius tetapi berlaku dalam realita hidup bagi mereka yang

telah menjadi korban perzinahan dalam konteks kekinian. Perzinahan tidak hanya berkaitan

dengan hubungan seks, tetapi dalam konteks kekinian perzinahan lebih kompleks dari sekedar

hubungan seksual yang dilakukan suami dengan orang ketiga melainkan perzinahan telah

memiliki wajah baru dalam wujud kekerasan dalam rumah tangga. Kasih Allah membebaskan

para perempuan melalui perceraian yang mengalami pengabaian, pembatasan untuk dapat berdiri

mengangkat hak asasi yang setara dengan laki-laki, merupakan antitesis dari sikap gereja yang

memandang perceraian sebagai suatu pemberontakan terhadap titah Tuhan.

GMIST Mahanaim memandang perceraian sebagai bentuk dari kekerasan hati manusia

terhadap titah Tuhan, dengan demikian perempuan yang memilih bercerai karena mengalami

kekerasan dalam rumah tangga tidak luput dari sikap diskriminatif gereja. Salah satu responden

harus melepaskan jabatan kemajelisan karena dianggap tidak layak untuk menjadi seorang

(28)

beberapa tokoh gereja sangat mempengaruhi doktrin GMIST tentang anti perceraian yang telah

diuraikan dalam bab I, seperti Agustinius, Marthin Luther, Yohanes Calvin. Selain itu terdapat

pula dokumen tertua, diperkirakan terkumpul bersamaan dengan zaman terkumpulnya dokumen

Perjanjian Baru. Dokumen itu adalah surat-surat Ignasius, uskup Anthiokia di Siria yang pada

umumnya diperkirakan ditulis tahun 110 ZB. Surat yang ditujukan Ignasius untuk Polycarpus

uskup Smirna, berisi tentang himbauan agar relasi suami-istri tidak terjebak oleh hawa nafsu

tetapi terorientasi pada penghormatan terhadap Allah. Hermas penulis dari karya yang berjudul

“Pastor” pada abad II bahwa suami wajib menceraikan istrinya yang berselingkuh, dan suami

ataupun istri tidak dapat menikah lagi. Namun istri memiliki peluang bertobat sementara suami

memberikan peluang untuk berdamai.43 Pernikahan menurutnya harus tetap mengikat diantara

suami-istri. Kekristenan awalpun telah mewariskan prinsip bahwa Allah mengikat laki-laki dan

perempuan dalam wadah perkawinan karena itu tidak dapat diceraikan.44 Menurut para tokoh

gereja pernikahan bersifat kekal, oleh sebab itu saya menarik kesimpulan bahwa pandangan dari

tokoh-tokoh gereja berkaitan dengan perceraian adalah menolak perceraian. Perceraian berarti

mengingkari berkat Allah dalam kehidupan keluarga.

GMIST Mahanaim nampak masih memegang teguh pandangan menolak perceraian

berdasarkan warisan pandangan para tokoh-tokoh gereja dan hasil penginjilan yang dilakukan

oleh para kolonial di kepulauan Sangihe Talaud. Terkait dengan hal tersebut maka aturan-aturan

tertulis dalam peraturan gereja sering bersifat diskriminatif. Dalam proses penyaringan calon

majelis tidak diperkenankan seorang yang bercerai diajukan menjadi calon majelis. Para pendeta,

majelis seringkali mengungkapkan kalimat yang bersifat menghakimi kepada lima responden

yang bercerai. Perceraian adalah perbuatan dosa karena melanggar titah Allah, sehingga mereka

43

Groenen, Perkawinan Sakramental, 159-162

44

(29)

tidak diberikan peluang untuk turut berperan aktif dalam pelayanan di gereja. Gereja dalam hal

ini justru telah mengambil alih kedaulatan Allah dalam menentukan kelayakan ataupun

kredibilitas seseorang dalam menjawab panggilan iman untuk melayani. Hal ini akan berkaitan

erat dengan pandangan jemaat terhadap sifat Allah. Allah akan dipandang sebagai Allah yang

berpihak pada ketidakadilan, dan berkompromi dengan beragam tindakan kekerasan. Allah yang

tidak memiliki belas kasihan dan hanya menjadi penonton ketika kekerasan menjadi alat

melegalkan kekuasaan. Allah yang hanya berpihak kepada para penguasa gereja dan budaya

patriakhi.

Berkaitan dengan pandangan GMIST Mahanaim tentang doktrin anti perceraian dan

beberapa tokoh gereja tentang doktrin Kristen anti perceraian, terdapat perbedaan signifikan

dengan beberapa penafsir konservatif terhadap Matius 19: 1-12 dan tafsiran penulis berdasar

perspektif lima reponden yang bercerai. Menurut pandangan GMIST Mahanaim dan pandangan

beberapa tokoh gereja, perceraian tidak dapat dilakukan karena telah melanggar titah Tuhan.

Sementara menurut beberapa penafsir Matius 19:1-12 pada prinsipnya pengajaran Yesus

melarang perceraian, walaupun terdapat pengecualian didalamnya. Namun Ruth Schafer dalam

tafsirannya mengemukakan bahwa perzinahan dalam konteks kekinian harus dipahami secara

berbeda, kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi pengecualian dalam perceraian karena

kekerasan bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Menurut penulis perceraian sangat bersifat situasional, maksudnya perlu melihat dan

mendalami sebab akibat dari konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Perzinahan tidak hanya

sebatas persoalan perselingkuhan semata. Perzinahan dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan

yang tidak lagi mencerminkan tanggungjawab, kasih yang tulus, penghargaan terhadap istri

(30)

hanya dapat dilakukan oleh para suami tetapi dapat juga dilakukan oleh para istri yang menjadi

korban kekerasan. Perceraian dari perspektif lima responden yang bercerai tidak dapat dipandang

sebagai bentuk pelanggaran dari firman Tuhan, melainkan tindakan yang dilakukan berdasarkan

pemahaman yang hakiki bahwa setiap manusia wajib menghargai kehidupan yang telah Tuhan

berikan. Perceraian juga merupakan hasil penghayatan iman mereka terhadap keadilan dan kasih

Tuhan yang universal.

4.4 Menggapai Keadilan Melalui Perceraian.

Prinsip keadilan menjadi salah satu penekanan Matius dalam mengangkat perlawanan

terhadap bentuk-betuk ketidakadilan dari dominasi Romawi ataupun sikap umat Yahudi yang

tidak adil terhadap kekristenan. Prinsip keadilan menjadi tema yang dimunculkan disetiap aspek

kekristenan untuk menunjukkan kembali perbedaan signifikan antara Kerajaan Allah dan

Kerajaan Dunia. Prinsip keadilan menjadi tema yang diusung dalam memelihara dan membina

kehidupan rumah tangga.

Konteks Matius 19: 1-12 telah memperlihatkan keberpihakan Yesus terhadap kaum

perempuan, walaupun pada ayat 9 memperlihatkan signifikansi perspektif laki-laki yang

memprakarsai proses perceraian yang terfokus pada perempuan sebagai pelaku perzinahan.

Situasi dan kondisi dalam pemerintahan Allah memberikan ruang dan kesempatan bagi

perempuan yang telah mengalami kesewenangan akibat dominasi patriakhi dalam rumah tangga

untuk dicintai, dan dihargai sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama

dengan kaum laki-laki. Dalam Bab II telah dipaparkan kehidupan rumah tangga dalam kultur

Yunani-Romawi ataupun Yahudi bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Anak laki-laki

dalam kultur Yunani-Romawi dan Yahudi lebih diharapkan daripada anak perempuan. Anak

(31)

“menjadi cadangan” dalam struktur sosial masyarakat. Istri memiliki kewajiban untuk patuh

terhadap titah dan perintah suami, termasuk perihal perceraian yang dikehendaki oleh suami. Hal

ini merupakan gambaran bahwa dalam masyarakat Romawi telah terjadi manipulasi dan

dehumanisasi terhadap kedudukan dan peran perempuan.

Keberpihakan Yesus terhadap posisi perempuan tercermin melalui pengajaranNya

tentang larangan untuk bercerai. Sikap Yesus menunjukkan prinsip keadilan gender seharusnya

diterapkan dalam kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini Yesus berupaya untuk mengubah

paradigma tentang perempuan sebagai objek menjadi perempuan sebagai subjek. Larangan

perceraian yang ditujukan kepada laki-laki merupakan manifestasi pembelaan Yesus terhadap

penderitaan yang dialami oleh para istri akibat dehumanisasi yang dilakukan oleh pihak suami.

Dengan demikian teks Matius 19: 1-12 yang berisi pengajaran tentang larangan perceraian lahir

dari pergumulan penderitaan para istri dalam rumah tangga Yahudi dan pergumulan secara

politis dari dominasi Romawi yang pejuratif. Keberpihakan Yesus menunjukkan keberpihakan

Allah kepada setiap orang yang termarginalkan secara khusus dalam hal ini adalah perempuan.

Konteks Matius 19:1-12 mendatangkan pembebasan bagi para perempuan dan mengangkat

harkat mereka melalui larangan perceraian. Jika larangan perceraian merupakan upaya

pembelaan terhadap perempuan dalam konteks Matius, muncul pertanyaan atas pergumulan

perempuan dalam konteks kekinian yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yaitu:

bagaimana upaya pembelaan terhadap perempuan yang secara kontinu mengalami kekerasan dari

suami saat ini?

Warisan tradisi patriakhi yang dianut oleh masyarakat Romawi dari masa lampau masih

terasa dalam konteks kekinian. Jalinan tradisi patriakhi semakin terikat kuat ketika menjadi

(32)

beberapa bagian Alkitab salah satunya dalam teks- teks Perjanjian Baru, seperti Matius 5: 32, 19:

1-12, I Korintus 7: 10-11, Efesus 5: 22-23, dalam warisan kolonial menjadi pembenaran

terhadap tindak kekerasan dan dominasi yang dilakukan oleh para suami dan tindakan

diskriminatif yang dilakukan gereja. Penggunaan Kitab Suci yang diskriminatif terhadap

perempuan menurut Pui lan sarat dengan kepentingan politis imperialisme Barat. Pui lan

mengungkapkan Kitab Suci yang diperkenalkan kepada perempuan Kristen Asia tidak hanya

sebagai berkat tetapi juga beban. Para misionaris Barat menggunakan Kitab Suci hanya untuk

pembenaran terhadap agresi politik militer dan semakin mendukung perempuan untuk hidup di

ruang domestik.

Lima responden yang telah bercerai merupakan korban dari kontruksi relasi yang

timpang antara laki-laki dan perempuan. Budaya patriakhi yang bias gender telah melahirkan

penindasan dan pengalaman traumatis bagi lima responden yang tidak hanya terjadi pada ranah

domestik tetapi sampai pada ranah publik, dimulai dari penganiayaan yang dilakukan oleh suami

sampai pelecehan yang dialami dalam lingkup pekerjaan, tindakan diskriminatif dalam gereja

dan masyarakat. Pengalaman-pengalaman kekerasan dari lima responden merupakan hasil dari

bangunan struktur patriakhi yang menunjukkan jurang lebar dalam perbedaan kedudukan antara

laki-laki dan perempuan, tidak heran jika perempuan lebih sering menjadi objek daripada subjek.

Pengalaman kelima responden menunjukkan bahwa mereka pun hanya dianggap sebagai objek

oleh para suami. Mereka dipandang sebagai alat yang dapat menghasilkan uang untuk suami

memenuhi hasrat judi, miras dan seks. Keterpurukan lima responden dalam kehidupan rumah

tangga telah dipaparkan dalam bab II tidak terlepas dari berbagai faktor, seperti faktor budaya

patriakhi yang berkolaborasi dengan kapitalisme global. Kapitalisme global yang lebih terarah

(33)

sebagai objek dan bukan subjek. Untuk mencapai tujuan mendapatkan riba maka iklan dari satu

produksi sangat dibutuhkan, perempuan merupakan sosok yang paling mujarab untuk dapat

menarik konsumen. Penggunaan figur perempuan dengan mengedepankan bentuk eksploitasi

organ-organ tubuh sensitif dan daya tarik seksual seringkali digunakan dalam iklan di media

cetak atau elektronik untuk produk seperti: mobil, motor, dan jeans.45 Gambaran baku akan

perempuan yang cantik, seksi dan sensual menjadi parameter kesempurnaan tentang perempuan,

tidak heran dalam dunia kerja kelima responden mendapatkan tuntutan untuk menampilkan

kecantikan fisik. Tuntutan ini mengharuskan kebutuhan yang dipenuhi dalam keluarga semakin

meningkat. Tindakan diskriminatif terhadap kelima responden dalam lingkup keluarga, gereja

dan masyarakat menggambarkan dehumanisasi yang terjadi terhadap peran dan posisi

perempuan.

Dalam lingkup gereja, dehumanisasi terhadap perempuan juga dirasakan oleh kelima

responden. Perceraian menjadi parameter perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh para

tokoh gereja. Gereja menggugat hak untuk melayani dari kelima responden, gereja memandang

perceraian yang terjadi merupakan perbuatan dosa oleh sebab itu kelima responden yang telah

bercerai tidak memiliki hak untuk berperan aktif dalam mengemban tugas sebagai pelayan dalam

gereja. Dehumanisasi yang terjadi dalam gereja terhadap kelima responden sebagai perempuan

tidak terlepas dari bentukan warisan budaya patriakhi yang sangat melekat dalam Kitab Suci,

seperti yang telah disampaikan oleh Pui lan bahwa dehumanisasi terhadap perempuan berkaitan

erat dengan warisan budaya patriakhi dari agama Abrahamik.

Pengalaman kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh kelima responden jelas

memaparkan realitas hidup yang masih bergulat dengan ketidakadilan gender. Gender mengacu

pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang terjadi berdasar proses sosial dan budaya

45

(34)

yang panjang. Perbedaan gender merupakan salah satu bagian signifikan dalam kehidupan

laki-laki dan perempuan, perihal perbedaan gender tidak menjadi masalah selama perbedaan gender

tidak mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan ataupun laki-laki. Namun ketika perbedaan

gender dijadikan alat untuk memonopoli, mendominasi bahkan mendehumanisasi pihak yang

lain maka perbedaan gender akan menjadi persoalan yang serius dalam realitas sosial

masyarakat.

Isu ketidakadilan gender menempa kehidupan rumah tangga dari kelima responden.

Tindakan kekerasan baik verbal ataupun fisik seperti pemukulan, kata-kata tidak senonoh dari

suami membuat mereka hidup dalam penderitaan berkepanjangan. Dalam upaya keluar dari

tindakan-tindakan kekerasan, kelima responden tiba pada refleksi diri bahwa mereka adalah

manusia yang layak untuk memperjuangkan keutuhan dan keselamatan diri. Mereka memiliki

hak yang sama dengan suami untuk dihargai, dan dihormati, jika penghargaan dan

pernghormatan tidak mereka dapatkan dalam afirmasi pernikahan maka solusi terbaik adalah

memutuskan afrimasi pernikahan itu sendiri. Memutuskan afirmasi pernikahan berarti bercerai,

sementara bercerai dalam doktrin yang dianut oleh GMIST merupakan tindakan dosa terhadap

Allah. Namun hasil refleksi diri mereka terhadap larangan perceraian memunculkan perspektif

baru. Jika para tokoh-tokoh gereja di GMIST Mahanaim memandang perceraian adalah dosa,

namun bagi mereka perceraian bukanlah tindakan dosa, melainkan karya penyelamatan Allah

terhadap penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan rumah tangga.

Menjawab pertanyaan tentang aplikasi larangan perceraian dalam teks Matius 19:1-12

dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga pada kekinian zaman, maka menurut penulis dapat

berkaca dari pengalaman kekerasan yang memunculkan perspektif baru dari kelima responden

Referensi

Dokumen terkait

Panggung pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai

Pada hari ini Kamis tanggal Delapan Bulan September Tahun Dua Ribu Enam Belas (08-09- 2016), kami yang bertanda tangan di bawah ini Kelompok Kerja (Pokja) ULP

Pengertian pengembangan diri menurut Badan Standar Nilai Pendidikan (BNSP) dan Pusat kurikulum badan penelitian dan pengembangan departemen pendidikan nasional (PUSBANGKURANDIK)

Mengembalikan kesuburan menjadi isu penting, karena sekali testis berhenti memproduksi sperma dan cadangan sperma dikosongkan, pria akan menjadi tidak subur

Pokja ULP Kegiatan Perencanaan Pembangunan Jembatan Pekerjaan FS Fly Over Depo Pertamina Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Seleksi Sederhana

(5) Pusat data dan informasi Perikanan dan Pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berkewajiban menyajikan informasi secara akurat, mutakhir,

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas