MEMPERTAHANKAN PERS DENGAN ETIKA JURNALISME1 Oleh: Bambang Suteng Sulasmono2
1. Pengantar : Pers/Media Cetak Diprediksi Mati
Prediksi tentang akhir dari pers/media cetak bergema luas di Amerika Serikat
pada akhir dekade pertama abad 21. Mengawali artikelnya tentang belum (jadi) matinya
surat kabar di Amerika Serikat, Marc Edge (2012) menyatakan:
“Predictions that newspapers as a medium would soon go extinct grew in frequency in 2009 after several newspaper companies declared bankruptcy and a number of U.S. dailies closed. Such predictions had been made before, dating to the advent of radio in the 1920s, and they increased in frequency and certainty after the Internet emerged in the 1990s. Circulation declines that began in the mid-1990s at many dailies and began to accelerate in 2005 gave increased credibility to such predictions. More ominously for newspapers, their print advertising revenues also started to decline precipitously that year. From 2006 to 2011, U.S. print advertising revenues fell by 55 percent. The growth of online advertising revenue, which had been rapid, slowed with the recession and came nowhere near to making up the difference”.3
Kutipan di atas menunjukkan bahwa prediksi tentang akan matinya pers/surat kabar
sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1920an ketika radio muncul sebagai wahana
komunikasi massa, dan semakin meningkat (kekhawatiran itu) dengan munculnya
internet di tahun 1990an. Penurunan sirkulasi yang dialami oleh beberapa surat kabar
1Makalah disajikan pada Seminar Nasional Program Studi Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana bekerjasama dengan Monumen Pers Nasional, dengan tema: Eksistensi Pers Sampai Kapan? Kamis 12 Maret 2015.
2
Dosen Program S2Magister Manajemen Pendidikan dan S1 PPKn-FKIP UKSW 3
harian mulai pertengahan tahun 1990an dan mengalami percepatan yang di tahun 2005
semakin meningkatkan kredibilitas dari prediksi semacam itu. Lebih buruk lagi
keuntungan media cetak dari iklan juga mulai menurun tajam pada tahun-tahun itu. Dari
tahun 2006 s/d 2011 keuntungan iklan cetak di AS turun sebesar 55%.
Di Indonesia, wacana dan praktik “matinya media cetak” juga terjadi. Kompas
22 Juni 2006, misalnya memuat perbedaan pendapat -tentang apakah media cetak akan
mati 20 tahun lagi- antara Asto Subroto (Direktur Eksekutif MARS) yang mengatakan
bahwa “koran sebagai media cetak akan mati”, dengan Suryopratomo (waktu itu masih
Pimred Kompas) yang menyatakan bahwa “media cetak format kertas saya kira masih
akan tetap bertahan”. Kegalauan tentang masa depan media cetak terus berlanjut. Global
Future Institute misalnya, pada tanggal 28 Agustus 2014 mengadakan seminar yang
diberi tajuk “Prospek Media Massa RI 2015: Peluang dan Hambatan”, yang menurut
catatan Adji Subela (2014) dimaksudkan untuk meraba dan memetakan apa dan
bagaimana pers kita tahun depan, apalagi di masa mendatang. Sementara itu ketika
mengulas berhenti terbitnya sebuah majalah Ibukota Dian Lestari Ningsih (2014) juga
mengajukan pertanyaan senada: “bagaimana kelangsungan hidup majalah di masa
depan? Mati atau akankah masih tetap hidup?”
Wacana tentang matinya media cetak mendapat pembenaran jika kita menyimak
data yang diajukan oleh Tabrani Yunis (2014), sebagai berikut:
Sedang untuk wilayah Jateng dan DIY, Supadiyanto (2014) menyajikan data yang
kurang lebih sama ketika mengisahkan kasus “gulung tikarnya” Harian Pagi Jogja Raya
(milik Jawa Pos Group) pada tahun 2011, pergantian nama KR Bisnis menjadi Koran
Merapi dan kemudian menjadi Koran Merapi Pembaruan tahun 2012, serta
bermetamor-fosisnya “koran kuning” Meteor menjadi Jateng Pos dan dan Jogyakarta Pos serta Warta
Jateng milik Kompas Group menjadi Tribun Jateng pada tahun 2013. Data itu menurut
Supadiyanto (2014) menunjukkan betapa bisnis media cetak di kawasan DIY dan Jateng
cukup riskan mengalami fluktuasi tinggi.
Apakah data data di atas, bersama fakta tentang bangkrutnya The New York
Times, Newsweek, The Rocky Mountain News, The Seattle Post Intelegencer dan Lee
Enterprises di AS, dan Finacial Times Deutschland (FTD) dan Berliner Zeitung di
Jerman, serta penurunan oplah sebesar 1 – 2 juta eksemplar selama beberapa tahun
terakhir yang dialami oleh Yomiuri Shimbun dan Asahi Newspaper di Jepang
(Supadiyanto 2014) membenarkan prediksi tentang matinya pers/media cetak
sebagaimana tersebut di atas? Ternyata tidak demikian.
2. Pers/Media Cetak Tidak Jadi Mati
Melalui tulisannya yang berjudul “Not dead yet: Newspaper company annual
reports show chains still profitable”, Marc Edge (2012) membuktikan bahwa sejak tahun 2009, tidak ada satupun surat kabar harian utama di AS yang gulung tikar. Yang terjadi
adalah beberapa perusahaan itu mengkosolodasikan kinerja mereka, beberapa
mengurangi frekuensi terbitnya, yang semuanya berdampak pada pengurangan biaya.
Beberapa perusahaan surat kabar mungkin menderita kerugian keuangan jangka pendek,
tetapi semua perusahaan yang diteliti sesungguhnya terus memperoleh laba tahunan
walaupun laba itu mengalami penurunan. Penelitian yang bertujuan untuk menguji
kesehatan ekonomi perusahaan surat kabar di AS dan Kanada berdasarkan
laporan-laporan keuangan perusahaan itu menyimpulkan bahwa bisnis surat kabar di AS dan
Kanada sehat dan kuat secara ekonomi, dan mampu bertahan sampai beberapa tahun
mendatang. Bagaimana media cetak bisa terhindar dari mantra “the death of
newspapers” yang berkembang selama ini?. Hasil penelitian di atas menyiratkan bahwa
memang ada upaya serius dari pihak pengelola sendiri untuk mempertahankan
Di samping itu ada pula upaya-upaya untuk memadukan/menyilangkan media
cetak dengan media digital. Dunia persuratkabaran di AS, misalnya mencatat langkah
Jeff Bezos (founder Amazon) dalam membeli The Washington Post pada tanggal 5
Agustus 2013. Mengomentari tindakan itu Gopal Ratnam (2014), kontributor Foreign
Policy menyatakan “Adalah jelas bahwa model usaha koran tradisional, yang sangat
mengandalkan pada iklan, tidak lagi mampu menghasilkan pendapatan yang besar.
Para usahawan tidak suka menggunakan iklan cetak karena pembaca media cetak telah
menurun dengan cepat. Oleh karena itu fokus ke media digital tampaknya merupakan
satu-satunya pilihan”. Gopal yakin bahwa pembelian di atas merupakan bagian dari
kecenderungan besar (pemaduan/penyilangan media cetak dan media digital) yang
dipercaya dapat menyelamatkan industri surat kabar itu sendiri.
Jessica Tyner (2013) berdasarkan amatannya terhadap perilaku bisnis Warren
Buffet, yang dari tahun 2012 s/d 2013 membeli 28 surat kabar harian di AS, menyebut
ada 5 (lima) alasan mengapa suratkabar masih akan bertahan, yaitu (1) masih cukup
tersedia ruang bagi suratkabar bagi komunitas lokal, (2) surat kabar dapat merangkul
lebih banyak platform, (3) tersedia data demografis online yang dapat dimanfaatkan
suratkabar, (4) penerapan strategi paywall, dan (5) semakin jarang media cetak semakian
ia akan lebih dihargai. Surat kabar lokal masih belum terkalahkan dalam kemampuannya
dalam mengungkap spirit masyarakat lokal. Informasi tentang apa yang terjadi di sekitar
masyarakat lokal masih lebih mudah didapatkan melalui suratkabar lokal katimbang
melalui internet. Di samping itu industri surat kabar kini juga dapat mengemas isi
pemberitaannnya ke dalam berbagai platform, media digital misalnya. Industri suratkabar
kini tidak lagi berpikir sebagai industri cetak semata, namun lebih sebagai bagian dari
keseluruhan industri media. Suratkabar juga dapat memanfaatkan apa yang berkembang
di dunia online, utamanya perihal apa yang dianggap penting oleh pembaca, yang
memungkinnya membuat isi pemberitaan yang sesuai kebutuhan pembaca. Sedang
penerapan sistem paywall oleh industri media cetak juga semakin dapat diterima
masyarakat.
Dalam catatan Mary Hilers (2013) Warrent Buffet sendiri berpendapat bahwa ada
tiga hal yang diperlukan agar suratkabar bertahan hidup yaitu (1) kehadiran tim redaksi
yang handal, (2) isi pemberitaan yang bernilai, dan (3) tetap menjaga sirkulasi. Agar bisa
bertahan suratkabar memerlukan tim yang berpengalaman, dan berdedikasi yang peduli
komunitas memiliki berita dan nilai-nilai. Adalah menjadi tanggungjawab suratkabar
untuk menggali secara dalam suatu komunitas, mempelajari hal hal apa yang penting
bagi komunitas ybs, dan menghasilkan pemberitaan yang memberi informasi dan
sekaligus melibatkan pembaca dalam kounitas ybs. Pengurangan sirkulasi mungkin
memang dapat memperbaiki keuntungan sementara, namun hal itu akan berakibat
semaskin menurunnya relevan suratkabar bagi para pembacanya.
Dalam konteks persuratkabaran di Indonesia,Supadiyanto (2014) mengemukakan
bahwa ada lima peluang emas yang dimiliki media cetak di tengah sengitnya kompetisi
bisnis media massa, terutama agresivitas media online, yaitu: Pertama, media cetak tetap memiliki peluang dalam merebut perhatian pembaca tradisional (loyal) di mana
usia mereka saat ini berada pada kisaran lebih dari 40 tahun ke atas. Model pembaca
tradisional menjadikan surat kabar sejak usia kecil hingga sekarang atau dalam sepanjang
hidupnya menjadi rujukan informasi utama. Sangat sulit bagi mereka untuk
mengubah/menggeser gaya hidup dalam menjadikan media cetak sebagai sumber
rujukan utamanya. Kedua, dari sisi konten media cetak tidak bisa tergantikan oleh jenis media massa lainnya. Dari sisi kedalaman, kelengkapan dan keragaman dimensi berbagai
persoalan yang disajikan sebagai total news atau lebih tepatnya news in its totality.
Setiap total news siap untuk dibedah dalam arti dibuat terbuka untuk diperikan
(description), dijelaskan (explanation) dan bersama itu penyelesaian soal ditawarkan
(solution). Ketiga, teknologi surat kabar sangat "welcome" untuk dipersilangkan dengan teknologi Internet sehingga menghasilkan tablet newspaper atau paperless newspaper; di
mana surat kabar tidak lagi berwujud kertas, melainkan berujud media digital. Secara
substansial, konten yang ada di surat kabar berbasis kertas sama persis yang terkandung
dalam tablet newspaper maupun paperless newspaper atau electronic paper (e-paper).
Masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri memiliki dua pilihan dalam mengakses
surat kabar bersangkutan, yakni dalam bentuk kertas atau dalam versi lain yang
berbentuk digital. Keempat, adanya peluang pasar di Indonesia yang belum tersentuh oleh media cetak masih sangat besar. Dengan membandingkan tingkat penetrasi Internet
di Indonesia pada Agustus 2013 yang masih berkisar antara 40 juta - 85 juta pengguna
(penetrasi Internet di Indonesia sebesar 16,7 - 35,4 persen); sedangkan jumlah oplah/tiras
seluruh media cetak di Indonesia mencapai 21 juta eksemplar (artinya tingkat penetrasi
media cetak di Indonesia baru mencapai 8,75 persen); sedangkan komposisi penduduk
mengembangkan industri media cetak di Indonesia. Kelima, sektor industri media cetak dapat menggerakkan sektor perekonomian yang jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan industri media online.
Agak berbeda dengan semua strategi bertahan hidup di atas, dua koran lokal di
Zimbabwe (The Mirror dan The Masvingo Star) menerapkan strategi bertahan hidup
dengan cara berpihak pada salah satu dari dua partai yang bersaing di propinsi Masvingo.
The Mirror memihak pada partai oposisi Movement for Democratic Change (MDC)
sedang The Masvingo Star memilih berpihak pada partai berkuasa The Zimbabwe
African National Union Patriotic Front (ZANU PF). Pemberitaan ke dua koran tentang
perbedaan pandang di antara partai pemerintah dan partai oposisi tentang berbagai
persoalan publik mampu menarik konsumen untuk membeli koran, sehingga kedua koran
itu mampu bertahan hidup di tengah krisis ekonomi yang melanda Zimbabwe kala itu
(Chiyadzwa & Maunganidze, 2013). Oleh karena itu Chiyadzwa & Maunganidze
berkesimpulan bahwa keragaman politik itu sehat bagi demokrasi, karena hal itu
memungkinkan hadirnya pandangan-pandangan redaksional (editorial) yang beragam
pula, yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi kebaikan bersama.
Jadi memang media cetak belum jadi mati saat ini, bukan saja karena prediksi
tentang kematian media cetak itu memang beragam soal kapan waktunya hal itu akan
terjadi (mulai dari yang menyatakan tahun 2020 sampai ke tahun 2043) namun juga
karena ada beragam upaya dari para pengelola media cetak untuk mempertahankan
kehidupannya. Oleh karena itu menjadi penting kini adalah bagaimana cara untuk tetap
memelihara kehidupan media cetak itu sendiri.
3. Etika Jurnalisme sebagai Jantung Kehidupan Pers.
Gambaran upaya pers dalam mempertahankan hidupnya di atas mengingatkan
kita pada strategi bersaing dari Potter (2007) yang mencakup keunggulan biaya, fokus
dan diferensiasi. Para pengelola pers umumnya tidak menggunakan strategi keunggulan
biaya, tetapi jelas mereka menempuh strategi fokus dan diferensiasi. Apa yang
dianjurkan oleh Warren Buffet agar pers melayani komunitas-komunitas lokal dengan
segala nilai dan dinamikanya sejalan dengan inti strategi bersaing fokus dari Potter
Strategi fokus digunakan untuk membangun keunggulan bersaing dalam suatu lembaga
yang mampu melayani target strateginya yang sempit secara lebih efektif dan efisien
konsumen memiliki persyaratan yang unik dan ketika lembaga pesaing lainnya tidak
berusaha untuk berspesialisasi dalam target segmen yang sama (David 2008). Sebagai
akibatnya, suatu lembaga akan mencapai diferensiasi karena mampu memenuhi
kebutuhan target tertentu (Porter 2007).
Strategi bersaing lain yang dapat ditempuh pers/media cetak adalah strategi
diferensiasi dengan cara berupaya keras mempertahankan karakteristiknya sebagai
media yang masih diyakini mampu memegang teguh nilai-nilai/etika jurnalisme.
Diferensiasi adalah salah satu strategi organisasi yang memberikan perbedaan yang lebih
unik dari pada pesaing, sehingga dengan perbedaan itu konsumen memiliki nilai yang
lebih tinggi dari produk tersebut.
Bahwa pers masih lebih mampu menaati etika jurnalisme ketimbang media
online dapat kita lihat dari pendapat Margianto dan Syaefullah (tth) tentang adanya 3
(tiga) problema etis dalam jurnalisme online saat ini. Persoalan etis pertama muncul dari
Interaktivitas komunitas dalam media online. Ketika media online membuka ruang
terjadinya percakapan itu pada halaman-halaman komentar yang disediakan pada setiap
berita, maka kita sering melihat komentar-komentar pembaca terasa binal, kasar, sarkas,
dan jauh dari sopan santun. Hampir semua media online di Indonesia memiliki forum,
dan dii dalam forum, kita juga kerap menjumpai percakapan- percakapan sejenis. Malah
tak sedikit kita menjumpai posting-posting bernuansa seronok di sana. Hal itu tentu
bertentangan dengan pasal 6 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berbunyi “Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan
susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”.
Persoalan etik kedua adalah terkait dengan langgam baru jurnalistik cepat dan ringkas. Soal “cepat”ini bahkan terasa menjadi ideologi baru yang terkesan mengalahkan
“nilai-nilai” yang lain. Adu cepat ini lantas membawa sebuah implikasi serius mengenai
akurasi. Atas nama kecepatan, seringkali berita-berita tayang tanpa akurasi, mulai dari
hal yang sederhana yaitu ejaan nama narasumber hingga yang paling serius yaitu
substansi berita. Atas nama kecepatan, media seolah tak mempedulikan hak masyarakat
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.” Akurasi berita dapat dicapai apabila pers melakukan
verifikasi terhadap informasi yang diperolehnya sebagaimana dituntut oleh pasal 3 KEJ yang antara lain menyatakan “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi...dst”. Dalam hubungan ini kita dapat memahami betapa marahnya seorang pengguna jasa
media online terhadap pemberitaan Tribunnews.com tentang “mole people” beberapa
hari lalu. Melalui tulisan yang berjudul “Sekampret Inikah Media Kita”
(http://batukalimantan.com/uncategorized/) penulis mengisahkan bagaimana ia
menelusuri kebenaran isi berita itu, yang pada akhirnya pada akhirnya membawa ia pada
kesimpulan bahwa pemberitaan Tribun sama sekali tidak akurat karena apa yang
diberitakan sesungguhnya merupakan terjemahan artikel tentang sebuah film
science-fiction yang dibuat tahun 1956!. Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa demi rating, demi target jumlah “klik” yang ditetapkan redaktur, maka penulis berita di atas memuat informasi yang tidak akurat dengan mengabaikan nilai-nilai dasar jurnalisme.
Selain berkaitan dengan soal akurasi, dan ini merupakan problem etis yang
ketiga, prinsip cepat dan mengalir juga menyinggung prinsip jurnalistik yaitu soal
keberimbangan berita atau cover both side. Soal ke- berimbangan berita ini tercantum
dalam butir 3 KEWI: “Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah,
tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran
informasi, serta tidak melakukan plagiat.” Pasal 3 KEJ juga menegaskan hal yang sama:
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.” Dijelaskan dalam KEJ, menguji informasi berarti melakukan check and
recheck tentang kebenaran informasi itu. Sementara, berimbang adalah memberikan
ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Lazimnya, media cetak menayangkan berita yang di dalamnya termuat kaidah
keberimbangan itu.
Maka adalah menjadi tanggungjawab insan pers untuk selalu memegang
teguh kode etik profesi mereka baik yang tertuang dalam KEJ maupun KEWI
(terlampir). Jurnalis perlu untuk menghayati sembilan elemen jurnalisme yang
patut diketahui dan dijalankan jurnalis dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
(dalam Winarto, tth), yaitu 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah
3) Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi, 4) Para praktisin ya harus
menjaga independensi terhadap sumber berita, 5) Jurnalisme harus bertindak
sebagai pemantau kekuasaan, 6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik
untuk kritik ataupun dukungan warga, 7) Jurnalisme harus berupaya membuat
hal penting menarik dan relevan, 8) Jurnalisme harus menjaga agar berita
komprehensif dan proporsional, dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan
mengikuti nurani mereka.
Dalam pandangan Raffelberg (dalam Atmakusumah, 2013) secara moral
wartawan merupakan pihak-pihak otonom yang putusan-putusannya didasarkan
pada pertimbangan rasional, bernas dengan informasi, tidak memihak, dan bukan
karena paksaan. Putusannya objektif dan bebas dari pengaruh yang tidak patut.
Wartawan tidak boleh terlalu bergantung pada satu narasumber informasi yang
tunggal (seperti: kalangan lobby dan kelompok kepentingan khusus) dan jangan
berutang budi kepada narasumber. Pisahkan hubungan pribadi dari hubungan
profesional. Dengarkan dengan cermat semua pihak dan cerminkan ketera ngan
mereka dalam tulisan. Jauhkan diri Anda dari kepentingan bisnis atau
kepentingan ekonomi perusahaan pemilik media massa Anda sendiri.
Tentu memegang teguh nilai-nilai jurnalisme dalam melaksanakan profesi
sebagai jurnalis tidaklah mudah. Istilah -istilah semacam “jurnalisme kepiting”,
“jurnalisme tiarap” yang pernah berkembang di era Orde Baru, atau “budaya
amplop” yang terus mengungkung independensi jurnalis sampai saat ini
mengisyaratkan bahwa memang menegakkan etika jurnalisme itu tidaklah
mudah.
4. Penutup
Dari paparan singkat di atas dapat dirangkum beberapa simpulan sebagai berikut.
Pertama, Pers/media cetak memang diramalkan akan mati baik dalam waktu dekat atau dalam jangka yang masih agak lama. Untuk saat ini ramalan itu belum terbukti
kebanarannya. Kedua, dalam kenyataan para pengelola pers berupaya memperpanjang hidupnya dengan berbagai strategi atau kiat seperti: mengkonsolidasikan kinerja
organisasi, mengurangi frekuensi terbit, memfokuskan diri pada komunitas-komunitas
lokal, menyilangkan media cetak dengan media digital disertai teknik paywall,
mendekatkan diri pada partai politik tertentu dalam sistem politik yang terpolarisasi.
Ketiga, etika jurnalisme menjadi andalan utama pers agar tetap bertahan hidup dan mampu bersaing dengan media lain yang dalam banyak hal tidak mampu melayani
kebutuhan masyarakat akan informasi yang benar, akurat dan berimbang, yang lahir dari
tim redaksi yang handal dan berintegritas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. “Sekampret Inikah Media Kita”
http://batukalimantan.com/uncategorized/ diunduh 9 Maret 2015
Atmakusumah. 2013. Kembali ke Standar Jurnalisme Profesional dan Etika Pers; Jurnal Dewan Pers: Edisi No. 7 November 2013, hal 37 – 43.
Chiyadzwa, I.F & Maunganidze, G. 2013. Survival strategies of community newspapers during the economic crisis in Zimbabwe: A case study of The Mirror and Masvingo Star (1999 to 2010); International Journal of Humanities and Social Science Invention, Volume 2 Issue 5 May, 2013: pp 95 – 100.
David, Fred R. 2008. Manajemen Strategis: Konsep, Edisi 10. Jakarta: Salemba.
Edge, Marc. 2012. Not dead yet: Newspaper company annual reports show chains still profitable; a Paper For Presentation to The Association for Education in Journalism and Mass Coomunication Annual Convention; Chigago: August 9-12, 2012
Jessica Tyner.2013. 5 Reason Print Newspapers Will Survive; http://blog.realmatch.com/news-publishers/ diunduh 8 April 2015
Margianto, Heru.J. dan Syaefullah, Asep. tth. Media Online: Antara Pembaca, Laba dan Etika. Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia: Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Mary Hilers. 2013. What Buffet Thinks of the Future of Newspapers; http://blog.realmatch.com/news-publishers/ diunduh 8 April 2015
Porter, Michael. S. 2007. Strategi Bersaing (Competitive Strategy); Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Tanggerang: Karisma Publishing Group.
Supadiyanto, G. 2013. Implikasi Teknologi Digital Dan Internet (Paperless Newspaper) Pada Industri Media Cetak Di Indonesia; Prosiding Seminar Nasional 2013: Menuju Masyarakat Madani dan Lestari.
Tabrani Yunis. 2014. Mematikan Media Cetak Aceh;
http://m.kompasiana.com/post/read/702862/1/mematikan -media-cetak-aceh.html
LAMPIRAN
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran:
1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani
tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran:
Cara-cara yang profesional adalah:
1. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
2. menghormati hak privasi;
3. tidak menyuap;
4. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
5. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
6. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
7. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
8. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran:
1. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi
itu.
2. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing- masing
pihak secara proporsional.
3. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
4. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
1. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal
yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
2. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
3. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
4. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
5. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
1. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang
memudahkan orang lain untuk melacak.
2. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
1. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi
atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
2. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain
yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
1. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
2. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan
narasumber.
3. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
4. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran:
1. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui
secara jelas.
2. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran:
1. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
2. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang
terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran:
1. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak
ada teguran dari pihak luar.
2. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran:
1. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
2. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
3. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
pers.
Jakarta,
Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia: 1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
1. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
2. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
3. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
4. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
5. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
6. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa’ a Hia
7. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
8. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
9. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
10.Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
11.Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
12.Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
13.Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
14.Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
15.Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
16.Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
17.Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
18.Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
19.Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
20.Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
21.Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
22.Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.
23.Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
24.Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
25.Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
26.Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
27.Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra