• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iklan Politik dan Kebebasan Pers (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Iklan Politik dan Kebebasan Pers (1)"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

KAMIS,

9 FEBRUARI 2012

TEMAperingatan Hari Pers Nasio-nal (HPN) tahun ini adalah ’’Kemer-dekaan Pers, dari dan untuk Rakyat’’, sepertinya ingin mengingatkan untuk kali ke sekian tentang pentingnya kemer-dekaan pers. Bahwa kemerkemer-dekaan pers itu bukan semata-mata untuk pers melainkan lebih luas dari itu, yakni bagi kepentingan masyarakat, bangsa, negara, bahkan kemanusiaan.

Kemerdekaan pers dalam pengertian

sebagai salah satu wujud kedaulatan rak-yat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, memang berasal dari rakyat. Rumusan itu tertuang dalam ketentuan Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebagaimana UU yang lain, UU Pers itu yang membuat juga rakyat, melalui wakil-wakil mereka di lembaga legislatif. Jadi tepat sekali penegasan kemerdekaan pers itu dari rakyat untuk rakyat. Pers sekadar sarana dan pelaku

dari kemerdekaan itu.

Pada era keterbukaan informasi dan demokratisasi seperti sekarang ini, kemerdekaan pers sangatlah penting. Kemerdekaan pers bahkan menjadi salah satu indikasi, apakah suatu negara meng-anut sistem demokrasi secara sehat atau tidak. Suatu bangsa tidak layak menyebut negaranya menganut sistem demokrasi manakala tidak ada kemerdekaan/ kebe-basan pers.

Kemerdekaan/ kebebasan pers adalah kondisi yang mutlak diperlukan agar pers dapat melaksanakan semua hak,

fungsi, dan peranannya. Dengan kata lain, tanpa ada kemerdekaan/ kebebasan pers, pelaksanaan hak, fungsi, dan peranan pers tidak maksimal. Bahkan bisa terhambat. Jika ini terjadi, yang rugi sesungguhnya bukan hanya kalangan pers melainkan juga kita semua, masyarakat luas.

Kemerdekaan pers atau kebebasan pers? Dua istilah yang secara harfiah berbeda tetapi substansinya sama. Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengibaratkan seperti selembar daun

sirih, Dibolak-balik berbeda warna tetapi kalau digigit sama rasanya.

Konstitusi nasional kita memang per-nah menggunakan dua istilah itu. Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 menggunakan istilah kebebasan pers. Adapun UU Nomor 40 Tahun 1999, dan UUD 1945 menggunakan istilah kemerdekaan pers.

Fungsi Pers

Esensi kemerdekaan/ kebebasan pers dapat dilihat dari dua hal. Bebas dari apa dan bebas untuk apa. Yang pertama, tentu bebas dari ancaman dan paksaan. Bebas dari sensor, beredel (breidel), dan larangan penyiaran. Masa sebelum diundangkan-nya UU Nomor 40 Tahun 1999 dikenal sebagai masa pers tiarap. Sensor, beredel, larangan penyiaran dalam berbagai ben-tuknya sering dilakukan terhadap pers nasional. Koran-koran seperti Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, atau Detak, pada masa Orde Baru pernah diberedel.

Begitu juga beragam ancaman dan tekanan sering dilakukan terhadap pers. Baik itu oleh penguasa, aparat keamanan ataupun masyarakat. Terutama dari mere-ka yang merasa kepentingannya tergang-gu oleh suatu pemberitaan pers.

Lantas, bebas untuk apa? Ya, bebas untuk melaksanakan hak-haknya. Di antara hak yang sangat penting dari pers adalah hak untuk mencari, mengolah, dan menyiarkan informasi dan gagasan. Bebas untuk apa lagi? Untuk melak-sanakan fungsi pers, terutama fungsi seba-gai sarana informasi, edukasi dan kontrol sosial. Apa lagi? Bebas untuk melak-sanakan perannya. Terutama terkait dengan peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengawasi, mengkri-tik, mengoreksi, dan memberi saran ter-hadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Juga peran memper-juangkan kebenaran dan keadilan.

Fungsi dan peran pers itu nyata, semua berkaitan dengan kepentingan umum. Tetapi semua itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik manakala pers tidak diberi kebebasan dalam mencari informasi, mengolah informasi, dan menyiarkan informasi. Inilah pentingnya dukungan semua pihak terhadap prinsip kemerdekaan/ kebebasan pers.

DALAMdunia jurnalistik, menerima upah

atau imbalan dari narasumber, terlebih yang dapat memengaruhi pemberitaan adalah hal yang pan-tang dilakukan para pewarta. Upah atau imbalan tidak saja berisiko membuat wartawan kehilangan objektivitasnya, namun juga menghalanginya dari menyampaikan informasi krusial yang patut dike-tahui publik. Laporan yang dihasilkan oleh pewarta semacam demikian pula tak akan dapat memenuhi hak warga negara untuk tahu (right to know).

Pada gilirannya media tempat wartawan melakukan kerja profesionalnya akan kehilangan kepercayaan publik sebagai ujung tombak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan.

Dalam ranah hukum, fungsi media sebagai sarana kontrol sosial telah terpositifkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lebih lanjut Pasal 6 (a) UU Pers menegaskan peran pers nasional untuk memenuhi hak masya-rakat untuk tahu.

Ugeranperilaku para pewarta kita kenal seba-gai kode etik jurnalistik, yang menurut penjelasan Pasal 7 UU Pers adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Terkait dengan etika pewarta dalam relasinya dengan narasumber, Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) misalnya menyatakan; wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar, yang dapat mengun-tungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.

Hal senada dijumpai pula dalam Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada butir ke-14. Pada butir ke-13 Kode Etik Jurnalistik AJI bahkan menegaskan larangan bagi jurnalis untuk memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi. Jika Lembaga Ekonomi

Pasal 3 Ayat (2) UU Pers memberi ruang bagi media untuk menjalankan fungsinya sebagai lem-baga ekonomi, antara lain dengan menawarkan jasa iklan dalam berbagai formatnya. Fungsi

seba-gai lembaga ekonomi inilah yang dalam konteks berbagai kontestasi memperebutkan jabatan poli-tik menjadi celah bagi calon elite untuk mengintro-duksi diri pada konstituen, bahkan menjinakkan media.

Elite politik berlomba-lomba ’’membeli’’ media dengan selubung legal; pemasangan iklan. Potensi dana besar dari calon elite politik

membu-at media memandang momen perekrutan ke-pemimpinan politik lebih sebagai lahan subur mendulang untung ketimbang panggilan tugas mengawal demokrasi. Akibatnya, media meng-ikuti keinginan customer.

Jika pada masa lalu kebebasan pers dirampas dengan represi, kini ketidakbebasan itu justru karena keridaan penuh sukacita media itu. Sukar untuk tidak mengatakan bahwa media yang men-jalankan praktik semacam itu sebagai tidak sedang mencari keuntungan dengan posisi yang dimiliki-nya. Media lebih berpihak pada calon elite politik yang menawarkan keuntungan daripada kepada kepentingan publik.

Media lupa bahwa di balik fungsinya sebagai lembaga ekonomi, ia tidak boleh abai terhadap fungsinya sebagai pengawas kekuasaan. Pada akhirnya, publik jugalah yang dikorbankan karena media kehilangan kemampuannya untuk mela-kukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran ter-hadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Padahal informasi dari medialah sebenarnya bekal utama publik dalam menjatuhkan pilihan-nya dalam pemilihan umum.

Dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional 2012 ini, patut kiranya insan media memaknai ulang terhadap kebebasan pers. Bahwa kebebasan pers tidaklah cukup dimaknai sebagai bebas dari segala intervensi yang represif dan koersif semata, namun juga dari buaian kapital yang memiliki kesamaan muara: pengangkangan hak publik untuk tahu. (10)

— Manunggal K Wardaya, dosen Fakultas

Hukum Unsoed, PhD Researcher pada Radboud Universiteit Nijmegen Belanda

”Pers jihad”; kami teguhkan ung-kapan ini membarengi peringatan Hari Pers Nasional 2012 untuk mereflek-sikan seperti apa seharusnya media hidup dan menyisakan idealisme tugas zamannya. Pertanyaan yang pasti mengemuka, jihad seperti apa? Jika pemaknaan suku kata itu diartiku-lasikan sebagai ”perangî, sepatut-nyalah semua pelaku pekerjaan pro-fetik kejurnalistikan memahami kebu-tuhan mendesak bangsa untuk me-nyelesaikan aneka persoalan dari star-ting pointyang tak bisa ditawar.

Titik mulai itu, apalagi kalau bukan mobilisasi sikap antikorupsi? Kebu-tuhan bangsa bisa dimaknai dari lingkup ini, ketika banyak bukti yang menunjukkan kelumpuhan penegakan hukum menghadapi sistem dan struk-tur yang terhegemoni oleh ekspresi pertarungan politik. Kita tidak ragu memosisikan kondisi-kondisi yang sekarang kita hadapi itu sebagai tugas zaman bagi pers, dalam aksentuasi pada pilihan sikap berada di tengah atau bahkan menjadi garda depan pemberantasan korupsi.

Inilah kenyataan yang tak tere-lakkan: penegakan hukum lewat im-plementasi pemprosesan kasus-ka-sus korupsi dalam praktiknya tidak akan gesit bergerak tanpa determinasi pemberitaan media. Ketika media tidak atau kurang memberi daya tekan yang kuat, penanganan kasus juga cenderung tidak akan mendapat pengawalan kritis publik. Demikian pula, aksi-aksi kontrol dari elemen-ele-men masyarakat sipil bisa dipastikan tidak akan kuat bergaung tanpa cam-pur tangan ekspose media.

Dengan positioningyang luar biasa menentukan itu, maka iktikad untuk membangun arah akan sangat menen-tukan: seperti apa ”keberpihakan” media terhadap gerakan antikorupsi. Secara teoretik dan yang berlangsung sebagai praksis, media bukan ruang hampa yang memantulkan realitas publik seperti apa adanya. Realitas media sudah terbentuk melalui proses-proses konstruksi, bagaimana bing-kainya, bagaimana orientasinya, serta bagaimana ”isian”etika untuk memberi makna.

Ruang ”jihad”, dalam konteks za-man serbakorup yang dihadapi oleh bangsa ini, memanggil pers untuk tersemangati berada di garda depan, memerankan diri sebagai bagian dari

civil society yang ikut mengawal, membangun konstruksi kehidupan bernegara dan berpemerintahan yang transparan dan akuntabel. Sa-ngatlah besar tanggung jawab moral itu: betapa determinasi kuat pember-itaan media akan menjaga agar pene-gakan hukum tidak mengalami ke-melempeman.

Perdebatan tentang pers yang partisan, kontroversi mengenai pemi-lik modal yang terafiliasi ke kekuatan politik tertentu, serta perang kepen-tingan lewat rivalitas industri media, kita lihat sebagai bagian dari dinami-ka zaman. Di tengah kondisi demi-kian, pikiran-pikiran waras tentang tugas suci media tetap perlu diketen-gahkan. Tetaplah sangat penting di-teteskan oase tentang ”pers jihad” sebagai bagian dari harapan bangsa ini untuk bersama-sama memerangi bahaya akut korupsi.

”Pers Jihad”, Konteks Tugas Zaman

Si kembar asal Semarang yang ter-pisah selama hampir tiga dekade akhirnya bertemu di Swedia, usai menjalin kontak lewat situs jejaring sosial. Setelah dua wanita yang diadopsi oleh dua keluarga yang berbeda itu bertemu, muncul tekad untuk mencari orang tua biologis mereka. Secara biologi mereka adalah anak pasangan Radjiman dan Maryati yang sekarang tinggal di Desa Klampok, Ke-camatan Godong, Grobogan. Kondisi ekonomi memaksa si kembar diserahkan ke panti asuhan.

Lewat panti asuhan, pengadopsian dilakukan. Pengadopsian lintas negara memang jamak terjadi. Bintang-bintang Hollywood biasa melakukan hal tersebut. Kisah tentang si kembar asal Semarang juga memberi gambaran bahwa warga Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari lalu lintas global pengadopsian anak. Sepanjang orang tua merelakan dan memenuhi berbagai ketentuan yang dite-tapkan pihak berwenang, adopsi meru-pakan tindakan legal.

Namun, di balik upaya legal itu sebe-narnya muncul persoalan-persoalan psi-kologis yang bisa berdampak sosial. Misalnya saja adanya potensi pemutusan hubungan antara pihak pengadopsi dengan orang tua biologis. Dengan jarak yang terpisah ribuan kilometer, secara ”alamiah” Nur Khasanah dan Nur Hidayah yang kemudian berganti nama menjadi Emilie Falk dan Lin Backlund sulit untuk berhubungan dengan Radjiman dan Maryati. Begitu pula sebaliknya.

Tetapi, dari kisah yang sejauh ini muncul, tidak ada upaya dari pengadopsi untuk menghilangkan jejak masa lalu Emilie dan Lin. Mereka juga telah menceritakan peristiwa-peristiwa penting seputar proses pengadopsian, yang akhirnya mendorong Emilie mencari kembarannya dengan memanfaatkan jaringan yang mengetahui keberadaan anak-anak Indonesia yang diadopsi warga Swedia. Dari upaya itu dia menemukan Lin, yang juga telah mendapat cerita tentang jati dirinya saat belum diadopsi.

Dari kisah dramatis mereka, nilai-nilai kemanusiaan terasa sangat menonjol. Tetapi, sebenarnya peristiwa itu mengingat-kan kita amengingat-kan perlunya merefleksi berbagai hal di balik proses pengadopsian. Bidang medis dan psikologi terus berkembang. Perkembangan dalam dua disiplin ilmu itu perlu ditelusuri, untuk mengkaji apakah atu-ran-aturan yang ada masih sejalan dengan pengetahuan yang ada. Misalnya saja menyangkut keterpisahan dua anak kem-bar akibat adopsi.

Seorang dokter yang memisahkan bayi kembar siam pernah menuturkan, bagian paling mengharukan adalah ketika usai operasi dua bayi itu dipertemukan lagi. Mereka menunjukkan ekspresi kegembi-raan. Dari penuturan itu, mungkin saja anak kembar membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus. Apakah hal-hal ini sudah diper-hatikan oleh otoritas hukum yang menangani pengadopsian anak? Pengkajian aturan legal adopsi agaknya diperlukan dengan tak hanya melibatkan ahli hukum.

Problematika dan Romantika di Balik Adopsi

Jusuf Kalla rintis jalan jadi capres lagi.

Mottonya, lebih sering lebih baik...

* * *

BK temukan pembiaran oleh pimpinan Banggar DPR.

Kalau aman ya syukur, kalau ketahuan ikut menyalahkan...

(Biasa dibiarkan, tak biasa membiarkan)

Kirimkan artikel dan foto terbaru Anda ke:

wacana_nasional@suaramerdeka. info.

Panjang maksimal 7.500 karakter dengan spasi

Alamat Pengiriman Artikel

Iklan Politik dan Makna Kebebasan

Oleh

Manunggal K Wardaya

Wakil Pemimpin Redaksi : Gunawan Permadi. Redaktur Senior:Amir Machmud NS, Sri Mulyadi, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo. Redaktur Pelaksana : Ananto Pradono, Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo. Koordinator Liputan: Hartono, I Nengah Segara Seni. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, Zaenal Abidin, Eko Riyono, Edy Muspriyanto, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, Muhammad Ali, Dwi Ani Retnowulan, Bambang Tri Subeno, Johanes Sarbini, Hermanto, Simon Dodit, Edi Indarto, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Mohammad Saronji, Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Nugroho Dwi Adiseno, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, Dwi Ariadi, M Jokomono, Saroni Asikin, Purwoko Adi Seno, Karyadi, Arswinda Ayu Rusmaladewi, Maratun Nashihah, Abduh Imanulhaq, Mundaru Karya, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, Moh. Anhar, M Norman Wijaya, Surya Yuli P, Rukardi, AAdib, Noviar Yudho P, Budi Cahyono, Yunantyo Adi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Dian Chandra TB. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data & Analisa: Djito Patiatmodjo (Kepala). Personalia:Sri Mulyadi (Kepala), Priyonggo. RedakturArtistik: Putut Wahyu Widodo (Koordinator), Toto Tri Nugroho, Joko Sunarto, Djoko Susilo Reporter Biro Semarang :Agus Toto Widyatmoko ( Kepala), Sutomo, Irawan Aryanto, Moh. Kundori, Roosalina, Adhitia Armitrianto, Rosyid Ridho, Dicky Eko Supriyanto, Yuniarto Hari Santosa, Basuni Hariwoto, Maulana M Fahmi. Biro Jakarta :Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Wagiman Sidharta, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo.Biro Surakarta : Budi Santoso ( Kepala ), Won Poerwono, Subakti ASidik, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo, Anindito, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Anie R Rosyida, Wisnu Kisawa, Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Widodo Prasetyo, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo. Biro Banyumas :Sigit Harsanto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Sigit Oediarto. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono Toepra, Muhammad Burhan, M Achid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, Djamal AG, Urip Daryanto, Sukardi, Abdul Muiz, Anton Wahyu Hartono, Mulyanto Ari Wibowo. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Sholahudin, Nur Kholiq, Juli Nugroho. Daerah Istimewa Yogyakarta: Bambang Unjianto, Sugiarto, Asril Sutan Marajo, Agung Priyo Wicaksono, Juili Nugroho. Koresponden :Wiharjono (Malang), Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118. Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605. Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Romdhani, Manajer Riset dan Pengembangan :Agus Widyanto. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan :Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum :Adi P. Manajer Produksi: Bambang Chadar. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM024-8454333 ■REDAKSI:(024) 6580900 Faks (024) 6580605 e-mail: redaksi@suaramerdeka.info. Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.

Direktur Bisnis :Poerwono Direktur Pemberitaan :Sasongko Tedjo

Direktur SDM :Sara Ariana Fiestri Pendiri :H Hetami Komisaris Utama : Ir Budi Santoso Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono

Pemimpin Redaksi : Hendro Basuki Terbit sejak 11 Februari 1950

PT Suara Merdeka Press

Pers, dari dan untuk Rakyat

Oleh

Soetjipto

Jika pada masa lalu kebebasan

pers dirampas dengan represi, kini

ketidakbebasan itu justru karena

keridaan penuh sukacita media itu

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum dipisahkan dengan kromatografi vakum cair, dilakukan dahulu uji KLT terhadap ekstrak total n-heksana dan metanol umbi Dahlia merah (Tabel 2 dan 3) dan daun dan batang

Uji reliabilitas untuk pelanggaran kode etik jurnalistik pada pasal 2 (poin 1) yaitu wartawan tidak profesional dengan tugasnya seperti: tidak menunjukkan identitas

Teknologi Informasi sudah menjadi kelaziman dalam proses di berbagai kegiatan. Pengolahan data memegang peranan penting dalam penyediaan data dan informasi statistik yang

Perlakuan strangulasi double dengan jarak 10 cm (T3) pada 13 sampai 19 MSP memiliki jumlah tunas yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (T0) tetapi berbeda sangat nyata dengan

Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat hubungan antara usia, status gizi (IMT), masa kerja, gerakan repetitif, dan postur kerja dengan gejala CTS.. Kata kunci : Gerakan

Pada pasal yang tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, disebutkan “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak

HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DENGAN PERSEPSI TERHADAP PENGEMBANGAN

Tesis yang berjudul PERS LOKAL DAN ETIKA JURNALISTIK (Studi Deskriptif tentang Penerapan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Media Cetak di Kota Solo) ini adalah karya penelitian