pikiran yang tidak efektif dan memberikan informasi tentang makanan yang sesuai dan tidak sesuai pada PCOS.
Sesi 4 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, memberikan informasi mengenai dampak olahraga pada PCOS, menjelaskan jenis olahraga dan memilihnya berdasarkan batasan lingkungan hidup, dan mempraktikkan beberapa olahraga.
Sesi 5 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, mengajarkan metode relaksasi dan pengendalian stres, dan memvisualisasikan pikiran.
Sesi 6 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana pikiran memengaruhi tubuh, menjelaskan pengenalan depresi dan berlatih meditasi.
Sesi 7 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana mengenali kebahagiaan, dan mengajarkan ekspresi diri yang positif dan bagaimana mencatat thought.
Sesi 8 Memantau status peserta dan mengevaluasi kemajuan mereka melalui diskusi.
6. Marker Inflamasi High Sensitive C-Reactive Protein (hs-CRP)
C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat kecil. CRP merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam praktik klinis untuk menilai, mendiagnosis, dan menentukan prognosis inflamasi (Chandrashekara, 2014). Pada kondisi tertentu seperti reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan, baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi CRP dapat meningkat sampai 100 kali, sementara CRP dapat meningkat sebesar 1000 kali atau lebih selama kerusakan, inflamasi, dan kematian jaringan (Sproston dan Ashworth, 2018).
CRP disintesis terutama di hepatosit tetapi juga oleh sel otot polos, makrofag, sel endotel, limfosit, dan adiposit. Bukti menunjukkan bahwa estrogen memengaruhi kadar CRP. Selain sebagai marker inflamasi yang baik, CRP juga merupakan salah satu prediktor sensitif untuk morbiditas kardiovaskular
(Blumenfeld, 2019). Terdapat bukti yang berkembang bahwa CRP memainkan peran penting dalam proses inflamasi dan respons host terhadap infeksi termasuk jalur komplemen, apoptosis, fagositosis, pelepasan nitrat oksida (NO), dan produksi sitokin, terutama interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α (Sproston dan Ashworth, 2018).
High sensitive C-reactive protein (hs-CRP) adalah C-Reactive Protein yang diukur dengan highly sensitive assay (Kamath et al., 2015). Pengukuran hs-CRP mampu mengukur serum CRP di bawah 0,6 mg/dL. Kadar CRP normal yaitu < 10 mg/L, sedangkan kadar hs-CRP < 3 mg/L (Devaraj, 2020). Beberapa faktor memengaruhi peningkatan kadar hs-CRP antara lain peningkatan tekanan darah, peningkatan IMT, merokok, sindrom metabolik, penurunan HDL atau peningkatan trigliserida, penggunaan estrogen/progesteron, dan infeksi. Sedangkan yang dapat menyebabkan penurunan kadar hs-CRP antara lain konsumsi alkohol, peningkatan aktivitas, penurunan berat badan, dan pengunaan obat golongan statin, fibrat, dan niasin (Pearson et al., 2003).
a. Kadar hs-CRP pada PCOS dan Depresi
Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan kadar inflamasi yaitu CRP, di mana individu yang memiliki skor depresi lebih tinggi, memiliki skor hs-CRP yang lebih tinggi. Studi longitudinal ini menemukan bahwa depresi terkait dengan peningkatan kadar hs-CRP terutama pada wanita (Ma et al., 2011). Studi lainnya juga menemukan bahwa, semakin meningkat keparahan depresi, semakin meningkat pula kadar hs-CRP (Tayefi et al., 2017; Tabatabaeizadeh et al., 2018).
Pada PCOS, terjadinya peningkatan kadar CRP, sitokin inflamasi (seperti IL-6 dan IL-18), dan jumlah leukosit, mengindikasikan adanya low grade chronic inflammation (Blumenfeld, 2019; Rostamtabar et al., 2020; Rudnicka et al., 2020).
Komponen yang berbeda dari sindrom metabolik berkorelasi dengan marker inflamasi termasuk CRP, fibrinogen, dan jumlah leukosit. Kadar hs-CRP cenderung meningkat pada subjek dengan resistensi insulin dan obesitas. Di sisi lain, dislipidemia, hipertensi, sensitivitas insulin yang rendah, dan obesitas abdominal cenderung meningkatkan kadar CRP (Rostamtabar et al., 2020).
Studi meta-analysis juga menunjukkan bahwa CRP yang bersirkulasi 96%
lebih tinggi pada wanita dengan PCOS dibandingkan dengan kontrol sehat. Hal ini menguatkan bukti molekuler yang ada tentang low grade chronic inflammation yang mungkin mendukung patogenesis gangguan ini (Escobar-Morreale et al., 2011). Studi lainnya menyebutkan faktor prediktor utama dari peningkatan CRP adalah indeks massa tubuh dan resistensi insulin, tetapi ada juga hubungan antara jumlah jumlah leukosit pada PCOS dan konsentrasi androgen itu sendiri, sehingga inflamasi dapat dimediasi tidak hanya melalui adipositas tetapi juga melalui peningkatan konsentrasi androgen (Rudnicka et al., 2020).
b. Pengaruh CBT terhadap Depresi dan hs-CRP
Sebuah studi studi systematic review yang melakukan tinjauan pengaruh CBT terhadap inflamasi, dalam kaitannya dengan terapi depresi, menemukan pada beberapa studi, sebagian besar bukti menunjukkan bahwa CBT dapat memengaruhi proses inflamasi (Lopresti, 2017). Beberapa studi memperoleh hasil adanya efikasi CBT untuk menurunkan depresi dan CRP (Doering et al., 2007; Chen et al., 2011;
Irwin et al., 2015). Namun ada pula yang menemukan CBT tidak memberikan efek terhadap penurunan kadar CRP, hanya pada gejala depresi dan marker inflamasi lainnya (Mikocka-Walus et al., 2016; Zgierska et al., 2016; Dahl et al., 2016).
Terdapat kemungkinan bahwa CBT memicu perubahan gaya hidup positif yang pada gilirannya dapat menurunkan inflamasi. Misalnya, peningkatan kualitas tidur yang dipastikan memiliki efek anti-inflamasi (Irwin et al., 2016). Latihan teknik relaksasi dan keterlibatan dalam kegiatan yang menyenangkan juga didorong dalam CBT, di mana beberapa studi menemukan latihan relaksasi dipastikan memiliki efek anti-inflamasi (Kang et al., 2011; Laudenslager et al., 2016), dan partisipasi harian yang lebih besar dalam aktivitas positif bersifat protektif terhadap inflamasi (Sin et al., 2015).
B. Kerangka Berpikir
: Panah melambangkan perjalanan gangguan : Panah melambangkan perjalanan psikoterapi CBT
Gambar 10. Kerangka Pikir
Berdasarkan gambar di atas dapat dilhat bahwa PCOS berkaitan dengan adanya abnormalitas pada regulasi aksis HPG (jalur warna ungu) dan HPA (jalur warna kuning), di mana terjadi frekuensi pulsatil GnRH yang abnormal, peningkatan rasio LH/FSH, dan ekskresi androgen adrenal dan ovarium yang berlebihan. Sementara itu, insulin dan leptin juga berperan dalam disfungsi endokrin pada pasien PCOS (Wang et al., 2017). Hal inilah yang mendasari terjadinya patofisiologi hiperandrogenisme (jalur warna ungu), resistensi insulin (jalur warna hijau), yang mengarah kepada terjadinya low grade chronic inflammation (jalur warna merah) pada wanita dengan PCOS (Yau et al., 2017;
Rostamtabar et al., 2020), di mana pada penelitian ini melihat peningkatan kadar hs-CRP. Peningkatan kadar kortisol, peningkatan aktivitas simpatis, dan penurunan kadar serotonin terkait dengan timbulnya gejala depresi (Zangeneh et al., 2012;
Lamers et al., 2019). Mekanisme inilah yang membuat wanita dengan PCOS lebih sering menderita depresi (Cooney dan Dokras, 2017; Yin et al., 2020).
CBT bekerja dengan menenangkan aktivitas di korteks (garis putus-putus) (Beck, 2021). CBT dapat meningkatkan sistem kontrol kognitif dengan menambah mekanisme kontrol umpan balik dan mempromosikan fleksibilitas kognitif yang diperlukan agar psikoterapi menjadi efektif (Yang et al., 2018). CBT membantu pasien memproses emosi mereka dengan cara yang lebih adaptif. Dengan CBT, pasien memperoleh keterampilan untuk merespon emosi mereka secara lebih efektif – untuk manfaat jangka panjang (Beck, 2021). Diharapkan dengan pemberian psikoterapi CBT, dapat menurunkan gejala depresi yang dialami oleh wanita dengan PCOS, juga terjadi perbaikan pada kadar hs-CRP.