• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Polycystic Ovary Syndrome a. Definisi

Polycystic ovary syndrome (PCOS) adalah gangguan endokrin yang heterogen, kompleks dengan etiologi yang tidak diketahui. PCOS pertama kali dijelaskan pada tahun 1935, oleh Stein dan Leventhal sebagai kelompok gejala yang terdiri dari hirsutisme, amenore, pembesaran ovarium, dan obesitas; istilah

‘sindrom ovarium polikistik’ kemudian diperkenalkan meskipun nama sindrom Stein-Leventhal masih diterima (Podfigurna-Stopa et al., 2015).

Ovarium polikistik biasanya dideteksi dengan USG atau bentuk lain dari pencitraan panggul, dengan perkiraan prevalensi pada populasi umum berkisar antara 20-33%. Namun, tidak semua wanita dengan ovarium polikistik menunjukkan gambaran klinis dan biokimia yang menentukan sindrom tersebut.

Meskipun sekarang jelas bahwa USG memberikan teknik yang sangat baik untuk mendeteksi morfologi ovarium polikistik, identifikasi ovarium polikistik dengan USG tidak secara otomatis memberikan diagnosis PCOS (Balen et al., 2010).

b. Epidemiologi

Penelitian pertama untuk menetapkan prevalensi PCOS pada populasi yang tidak dipilih dilakukan di Amerika Serikat bagian selatan dan diterbitkan pada tahun 1998. Pada sebagian besar studi yang lebih baru, meskipun terdapat variasi dalam metodologi, prevalensi PCOS yang ditentukan oleh kriteria National Institutes of Health 1990 relatif seragam, antara 5 dan 10%, sedangkan prevalensi PCOS menurut definisi Androgen Excess & PCOS Society berkisar antara 10–15% dan PCOS menurut 2003 Rotterdam berkisar antara 5-20%. Secara keseluruhan, prevalensi PCOS dalam suatu populasi tidak terkait dengan derajat obesitas pada populasi tersebut, yang menunjukkan bahwa PCOS bukanlah konsekuensi dari epidemi obesitas modern (Azziz, 2018).

(2)

Beberapa studi lainnya juga menyebutkan bahwa PCOS merupakan gangguan yang umum terjadi pada wanita usia reproduktif di mana prevalensinya mencapai 15-20% bergantung kriteria diagnosis yang digunakan (Brutocao et al., 2018). Dalam studi lainnya angka kejadian PCOS yang dilaporkan dalam berbagai penelitian berkisar dari 2,2% hingga setinggi 26%. Secara umum, meskipun PCOS lebih sering terdiagnosis pada wanita usia reproduksi, PCOS sendiri juga merupakan kelainan terkait genetik yang dapat pula ditemukan pada seluruh wanita dari berbagai kelompok usia (Hestiantoro et al., 2016). Angka prevalensi PCOS di Indonesia pada penelitian yang dilakukan oleh Sumapraja et al. (2011) didapatkan frekuensi tertinggi pada rentang usia 26-30 tahun, yaitu sebesar 45,7%.

Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindrom ini datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi (85-90% dengan oligomenore dan 30-40% dengan amenore sekunder), infertilitas (90%–95%), serta kelainan lainnya seperti hirsutisme (70%) dan jerawat (15-30%). Berdasarkan hasil penelitian Sumapraja et al. (2011), terdapat sebanyak 44,8% pasien PCOS yang memiliki fenotipe gangguan ovulasi dan ovarium polikistik. Endokrinopati dimulai saat pubertas dan berakhir saat menopause, yang memiliki konsekuensi merugikan berdasarkan presentasi klinis dan temuan laboratorium (Sayyah-Melli et al., 2015;

Azizi dan Elyasi, 2017).

c. Etiologi

Penyebab PCOS hingga saat ini masih belum diketahui sepenuhnya, diyakini penyebabnya multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks antara faktor genetik, perilaku, dan lingkungan (Podfigurna-Stopa et al., 2015). Dengan berkembangnya teknologi, fokus penelitian untuk mencari penyebab PCOS terus berubah, dari faktor ovarium, aksis HPA, hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini saling berinteraksi dalam regulasi fungsi ovarium (Hestiantoro et al., 2016).

Penelitian mengenai PCOS pada berbagai ras etnik menemukan bahwa prevalensi PCOS pada berbagai ras tidak berbeda, tetapi ras berpengaruh terhadap manifestasi klinis PCOS (resistensi insulin, obesitas, hiperandrogenisme, dislipidemia). Perbedaan manifestasi klinis ini mungkin disebabkan oleh faktor

(3)

lingkungan, seperti pola makan, kebiasaan olahraga, dan gaya hidup (Gambar 1) (Hestiantoro et al., 2016).

Gambar 1. Model Hubungan Kompleks antara Faktor Genetik dan Lingkungan terhadap Kejadian PCOS (Hestiantoro et al., 2016)

d. Patofisiologi

Sampai saat ini, patofisiologi PCOS masih belum jelas. Namun, bukti substansial menunjukkan adanya interaksi kompleks antara faktor endokrin, metabolik, genetik, dan lingkungan intrinsik (Yau et al., 2017; Holm, 2010).

Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis PCOS (Holm, 2010):

1) Defek neuroendokrin, menyebabkan peningkatan frekuensi pulsasi dan amplitudo LH dengan FSH yang relatif rendah.

2) Defek intrinsik pada produksi androgen ovarium.

3) Perubahan metabolisme kortisol dan gangguan produksi androgen adrenal.

FAKTOR LINGKUNGAN Obesitas

Gaya hidup pasif Diet tidak seimbang Gangguan intrauterin

KELOMPOK ETNIS

GEN PREDISPOSISI / PROTEKTIF

Gen yang berhubungan dengan biosintesis, regulasi

dan fungsi androgen

Gen yang berhubungan dengan

sekresi dan resistensi insulin Genotip proinflamasi

HIPERANDROGENISME INFLAMASI

RESISTENSI INSULIN DAN TOLERANSI GLUKOSA

(4)

4) Resistensi insulin dengan hiperinsulinemia kompensasi yang mengakibatkan peningkatan produksi androgen ovarium secara langsung dan tidak langsung melalui penghambatan produksi SHBG hepar.

5) Peningkatan aktivitas saraf simpatis.

6) Defek genetik.

Gambar 2. Patofisiologi PCOS (Holm, 2010)

Heterogenitas PCOS semakin memperkuat sifat multifaktorialnya. Di antara fenotipe yang beragam, hiperandrogenisme dan disfungsi ovarium dikenali sebagai dua ciri utama PCOS. Ketika ovarium dirangsang untuk menghasilkan androgen dalam jumlah berlebihan, akumulasi banyak folikel atau kista dapat diamati di ovarium. Resistensi insulin juga merupakan penyebab utama hiperandrogenisme pada PCOS, melalui stimulasi sekresi androgen ovarium dan penghambatan produksi sex hormone–binding globulin (SHBG). Wanita dengan PCOS dan hiperandrogenisme dapat mengalami pertumbuhan rambut berlebih, jerawat, dan/

atau folikulogenesis abnormal. Tiga jalur patofisiologis utama yaitu disfungsi ovulasi, pelepasan gonadotropin yang tidak teratur, dan resistensi insulin (Yau et al., 2017).

Pelepasan pulsatil gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus sering terganggu pada PCOS, yang menyebabkan hipersekresi

(5)

luteinizing hormone (LH) oleh kelenjar hipofisis, yang menyebabkan disfungsi ovarium dan hiperandrogenisme. Sekresi LH yang terganggu ini tampaknya muncul di awal masa pubertas dan terkait dengan penghambatan sekresi GnRH oleh progesteron yang terganggu. Meskipun kadar serum follicle-stimulating hormone (FSH) umumnya normal, folikel tampaknya lebih resisten terhadap FSH pada wanita dengan PCOS daripada kontrol. Efek ini mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar anti-Mullerian hormone (AMH) intraovarian (Azziz, 2018).

e. Kriteria Diagnosis

Diagnosis PCOS bergantung pada kriteria spesifik yang berbeda menurut asosiasi ilmiah yang merilisnya (Aversa et al., 2020). Diagnosis PCOS didasarkan pada kriteria Rotterdam 2003 yang mencakup adanya dua dari tiga kriteria berikut ini (Rotterdam Consensus, 2004):

a. oligo / anovulasi

b. hiperandrogenisme klinis dan / atau biokimiawi

c. ovarium polikistik yang didapatkan dari USG ginekologis.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis PCOS (Azziz, 2018)

f. Gambaran Klinis

Gambaran klinis meliputi manifestasi reproduksi seperti berkurangnya frekuensi ovulasi, siklus menstruasi yang tidak teratur (sembilan atau lebih sedikit periode per tahun), berkurangnya fertilitas, ovarium polikistik pada USG, dan konsentrasi tinggi hormon pria seperti testosteron (melalui tes darah) yang dapat menyebabkan pertumbuhan rambut berlebih pada wajah atau tubuh (hirsutisme) dan jerawat (Podfigurna-Stopa et al., 2015).

(6)

Konsekuensi PCOS tidak hanya meliputi masalah reproduksi, wanita dengan PCOS memiliki risiko timbulnya gangguan metabolik dan kardiovaskuler. Baik sindrom metabolik dan PCOS memiliki resistensi insulin sebagai salah satu aspek penting patogenesis. Resistensi insulin dapat ditemukan pada 50-80% perempuan dengan PCOS.Pada pasien PCOS yang obesitas, resistensi insulin dapat ditemukan pada 70-80% pasien sedangkan pada pasien PCOS yang tidak obesitas dapat ditemukan pada 20-25% pasien (Nandi et al., 2014).

Tabel 2. Tanda dan Gejala pada PCOS (Balen et al., 2010)

2. Depresi pada PCOS

Depresi merupakan kondisi emosional yang ditandai dengan gejala somatik dan kognitif termasuk perasaan sedih, tidak berharga, sulit tidur, kehilangan nafsu makan dan hasrat seksual, serta hilang minat pada aktivitas biasa. Gejala lain yaitu kelelahan, perubahan psikomotor, pikiran bersalah, penurunan konsentrasi, dan ide bunuh diri. Diagnosis klinis depresi ditegakkan ketika gejala depresi menjadi persisten selama lebih dari 2 minggu (APA, 2013).

(7)

Tabel 3. Kriteria Diagnostik Depresi

Kriteria A–C mewakili episode depresi mayor Kriteria A–C mewakili episode depresi mayor

A. Lima (atau lebih) dari gejala berikut telah muncul selama periode 2 minggu yang sama dan menunjukkan perubahan dari fungsi sebelumnya: setidaknya satu gejala adalah (1) mood depresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan

1. Mood yang depresif hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih, kosong, putus asa) atau pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya, tampak menangis)

2. Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata dalam semua, atau hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh catatan subjektif atau pengamatan)

3. Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak berdiet atau penambahan berat badan (misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam sebulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5. Agitasi atau keterbelakangan psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau perlambatan)

6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari

7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas (yang mungkin bersifat delusi) hampir setiap hari (bukan hanya mencela diri sendiri atau rasa bersalah karena sakit)

8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari (baik secara subjektif atau seperti yang diamati oleh orang lain)

9. Pikiran kematian yang berulang (bukan hanya ketakutan akan kematian), ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk bunuh diri

B. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya

C. Episode tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis lainnya D. Terjadinya episode depresif berat tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan skizoafektif,

skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan delusi, atau spektrum skizofrenia tertentu dan tidak spesifik lainnya dan gangguan psikotik lainnya

E. Tidak pernah ada episode manik atau episode hipomania

Masalah psikologis yang terkait dengan PCOS yang paling mendapat perhatian adalah depresi (Barry, 2019). Meskipun jelas bahwa depresi merupakan risiko pada PCOS, upaya untuk mengidentifikasi penyebab spesifik depresi pada PCOS belum memberikan jawaban yang jelas, oleh karena banyak variabel dapat berkontribusi terhadap depresi pada PCOS (berat badan, jerawat, hirsutisme, testosteron) baik secara langsung maupun tidak langsung (Barry et al., 2018). Studi meta-analisis menunjukkan wanita dengan PCOS lebih sering menderita depresi dan sangat memengaruhi kualitas hidup dan fungsi seksual (Yin et al., 2020).

(8)

Dalam sebuah studi cross-sectional pada wanita usia reproduksi di India, ditemukan bahwa prevalensi depresi pada wanita dengan PCOS yaitu 25,7%

dengan gejala yang berhubungan dalam meningkatkan kecenderungan timbulnya keluhan depresi yaitu jerawat, dengan odds ratio (OR) terkait depresi dengan atau tanpa keluhan jerawat yaitu 3,78:1 (Chaudhari et al., 2018). Meta-analisis dari 24 studi dengan 167.912 pasien menunjukkan bahwa PCOS dikaitkan dengan peningkatan terhadap diagnosis klinis depresi yang signifikan secara statistik (OR:

2,79; 95% CI: 2,23-3,50) (Brutocao et al., 2018).

Day et al. (2018) menunjukkan bahwa depresi pada PCOS mungkin memiliki aspek genetik yang terkait dengan IMT. Seseorang yang didiagnosis dengan kondisi yang berarti hidup mereka akan terkena dampak dari berbagai masalah jangka pendek dan jangka panjang dengan berbagai tingkat yang berbeda mungkin akan mengalami cemas dan penurunan mood sebagai reaksi alami.

Penelitian menunjukkan bahwa walaupun testosteron mungkin menyebabkan depresi secara tidak langsung dengan menyebabkan gejala distres pada PCOS, bukti untuk efek langsung testosteron lemah (Barry et al., 2018; Borghi et al., 2018).

PCOS memengaruhi kualitas hidup dan dapat memperburuk depresi yang ada baik karena gambaran PCOS atau karena diagnosis kronis (Podfigurna-Stopa et al., 2015).

Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan kadar kortisol, peningkatan aktivitas simpatis dan penurunan kadar serotonin dalam sistem saraf pusat, gambaran yang juga terkait dengan resistensi insulin (Zangeneh et al., 2012).

Mekanisme di mana inflamasi terkait dengan depresi termasuk menyebabkan perilaku sakit oleh marker inflamasi serta efek inflamasi di otak seperti perubahan dalam metabolisme neurotransmiter, aktivasi corticotropin-releasing hormone (CRH), dan gangguan dalam plastisitas sinaptik. Inflamasi dan perilaku sakit juga berperan dalam hipotesis pertahanan host patogen yang menimbulkan depresi sebagai adaptasi evolusioner dan bagian integral dari pertahanan host yang dimediasi imun terhadap patogen (Lamers et al., 2019).

Telah diketahui bahwa depresi dapat dikorelasikan dengan sitokin pro- inflamasi, dan beberapa antidepresan mengurangi produksi sitokin pro-inflamasi.

Peningkatan faktor inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi yaitu interleukin (IL)-1β,

(9)

IL-6 dan tumor necrosis factor-α yang berkontribusi pada perkembangan dan keparahan depresi (Young et al., 2014). Sitokin SSP juga dapat menyebabkan perubahan aktivasi dan fungsi leukosit perifer, dan dapat memicu kaskade sitokin di perifer yang dapat memodulasi fungsi spesifik yang berkaitan dengan reproduksi.

Stres dan depresi kronis dapat berdampak pada sistem imun yang menyebabkan peningkatan aktivitas imun. Marker inflamasi yang meningkat secara kronis dapat menjadi penyebab kelelahan, perasaan tertekan, penarikan sosial, dan gangguan tidur pada PCOS. Sitokin melemahkan blood-brain-barrier, menyebabkan kekurangan serotonin dan peningkatan hormon stres kronis (Barry, 2019).

Gejala depresi dan peningkatan kadar sitokin inflamasi sering terjadi bersamaan. Pada kondisi inflamasi kronis, sitokin pro-inflamasi terutama IFN-γ, IL-6, dan TNF-α berperan dalam aktivasi indolamine 2,3-dioxygenase (IDO).

Sementara kortisol berperan dalam aktivasi tryptophan 2,3-dioxygenase (TDO).

Baik IDO maupun TDO merupakan enzim yang berperan mengaktivasi kynurenine pathway dan menyebabkan peningkatan metabolisme tryptophan. Kadar plasma tryptophan yang rendah berdampak pada rendahnya kadar serotonin yang akan menimbulkan tanda dan gejala depresi (Chaves Filho et al., 2018). Pada gambar 3 dapat dilihat gambaran PCOS menyebabkan masalah psikologis.

Gambar 3. Gambaran PCOS yang Menyebabkan Masalah Psikologis (Hiam et al., 2019)

(10)

Interaksi antara faktor biopsikososial dianggap sebagai penyebab tingginya tingkat depresi yang terkait dengan PCOS. IMT yang lebih tinggi telah terbukti dapat memprediksi depresi (Brutocao et al., 2018) dan telah dikaitkan dengan self-esteem yang lebih rendah dan ketidakpuasan tubuh (Podfigurna-Stopa et al., 2015; Stapinska-Syniec et al., 2018). Infertilitas dan kekhawatiran tentang kehamilan juga telah dikaitkan dengan distres yang lebih tinggi (Holton et al., 2018). Jerawat dan tumbuhnya rambut yang tidak diinginkan telah ditemukan berkontribusi pada perasaan sedih dan iritabel, dan cemas (Asik et al., 2015;

Cooney et al., 2017; Podfigurna-Stopa et al., 2015). Bukti systematic review menemukan bahwa rambut yang tidak diinginkan dan ketidakteraturan menstruasi memiliki dampak terbesar pada kualitas hidup terkait kesehatan (Bazarganipour et al., 2015). Terkait dengan ini, penelitian kualitatif telah menunjukkan bahwa distres mungkin terkait dengan persepsi kurangnya kontrol atas gejala PCOS dan dampaknya pada tubuh wanita (Hadjiconstantinou et al., 2017).

Obesitas adalah morbiditas umum yang terlihat pada hingga 80% wanita dengan PCOS dan memainkan peran penting dalam peningkatan risiko komplikasi metabolik seperti dislipidemia dan diabetes tipe 2 (Zangeneh, 2017). Jaringan adiposa terlibat dalam dalam metabolisme normal dan pemeliharaan status endokrin normal dan status imun. Akumulasi adipositas berlebih yang berujung pada obesitas menyebabkan disfungsi kompartemen jaringan adiposa. Hal ini pada akhirnya menyebabkan perubahan imunitas yang ditandai dengan inflamasi, yang menyebabkan gangguan metabolisme dan ketidakseimbangan endokrin (Pal, 2014).

Banyak studi telah mengaitkan obesitas dengan depresi pada populasi umum (Pereira-Miranda et al., 2017; Vittengl, 2018), sehingga masuk akal untuk mengasumsikan bahwa obesitas juga mendorong hubungan ini pada wanita dengan PCOS (Cooney dan Dokras, 2017). Studi meta-regresi menunjukkan bahwa wanita dengan gejala PCOS dan depresi memiliki IMT yang lebih tinggi daripada wanita tanpa gejala ini (SMD 0,11; 95% CI 0,01-0,22; 12 studi). Selain itu, ketika subjek dicocokkan dengan IMT, wanita dengan PCOS masih memiliki risiko gejala depresi yang lebih tinggi (OR 3,25; 95% CI 1,73-6,09; empat studi). Temuan ini menyimpulkan bahwa wanita dengan PCOS memiliki kecenderungan mengalami gangguan depresi (Cooney dan Dokras, 2017).

(11)

Gambar 4 di bawah ini menunjukkan bagaimana proses low grade chronic inflammation dan PCOS terkait. Selain itu, genetik dan gaya hidup dapat menyebabkan perubahan gangguan hormonal, dan terjadinya obesitas bersamaan dengan efek sampingnya, yang biasanya mengikuti peningkatan jaringan adiposa viseral, peningkatan stres oksidatif dalam sel, dan perekrutan sel inflamasi. Selain itu, perubahan hormonal mungkin telah memengaruhi proses ovulasi dan fertilisasi (Rostamtabar et al., 2020).

Gambar 4. Representasi Skematis dari Mediator Inflamasi dan Faktor Terkait yang Terlibat pada PCOS (Rostamtabar et al., 2020)

3. Gangguan Kognitif pada PCOS

Sebuah studi di Iran yang mengukur performa kognitif menggunakan kuesioner Montreal Cognitive Assessment (MoCA) pada wanita dengan PCOS menunjukkan bahwa pada grup PCOS memiliki performa kognitif yang lebih rendah dibandingkan kontrol, terutama dalam domain fungsi eksekutif,

(12)

visuospasial, dan atensi. Hal ini disebabkan oleh beberapa gejala PCOS seperti hiperandrogenisme sangat terkait dengan status psikologis yang dapat mengganggu fungsi kognitif (Mehrabadi et al., 2020).

Resistesi insulin dan hiperandrogenisme yang terjadi pada PCOS dinyatakan berhubungan dengan fungsi kognitif yang ditunjukkan oleh gangguan struktural dan fungsional otak (Saydam dan Yildiz, 2021). Studi fMRI menunjukkan pengaruh resistensi insulin pada metabolisme glukosa otak, yang dapat memengaruhi kognisi pada pasien PCOS. Laporan fMRI juga menunjukkan bahwa pasien PCOS dengan resistensi insulin dapat menunjukkan aktivasi regional yang lebih besar selama kinerja suatu emotional task (Castellano et al., 2015). Faktor parameter endokrin dan metabolik memegang peranan penting dalam memediasi defisit kognitif pada PCOS (Franik et al., 2019). PCOS dapat menyebabkan perubahan aktivitas daerah otak yang bertanggung jawab untuk memori kerja visuospasial, pemrosesan wajah, dan memori episodik. Konektivitas fungsional yang berkurang dalam lobus frontal kanan terkait dengan kadar luteinizing hormone (LH) yang tinggi pada wanita dengan PCOS (Lai et al., 2020).

4. Gangguan Kognitif pada PCOS dengan Depresi

Depresi yang terjadi pada wanita dengan PCOS juga akan menimbulkan defek pada fungsi kognitif. Literatur menunjukkan adanya gangguan kognitif (seperti memori, atensi, kinerja verbal, fungsi eksekutif, fungsi psikomotor, dan fungsi otak) dalam sistem kognitif orang yang mengalami depresi dan cemas (Spritzer, 2014). Disregulasi respon emosional dan sirkuit regulasi mendasari patofisiologi depresi. Regio sentral limbik dan paralimbik termasuk korteks prefrontal, cingulate anterior, amigdala, nucleus accumbens terutama terlibat dalam perilaku termotivasi. Area-area ini bertanggung jawab terhadap integrasi dan regulasi kognisi dan informasi yang relevan secara emosional termasuk peristiwa yang menonjol, bermanfaat, dan tidak bermanfaat. Peningkatan aktivitas diamati di korteks prefrontal dan cingulate anterior ventral pada pasien dengan depresi (Saydam dan Yildiz, 2021).

Wanita dengan PCOS memiliki peningkatan risiko gangguan mood. Studi pada 7 wanita resisten insulin dengan PCOS dan 5 kontrol yang dilakukan fMRI

(13)

dan tugas pemrosesan emosional simultan dan PET CT menunjukkan, ketika gambaran emosional negatif diperlihatkan, wanita resisten insulin dengan PCOS mengalami peningkatan aktivasi regional di korteks prefrontal kiri dan cingulate anterior ventral dibandingkan dengan kontrol dan perbedaan antara kelompok ini menghilang setelah terapi metformin. Area yang terkena ini bertanggung jawab untuk menerjemahkan isyarat eksternal dan internal ke dalam respon perilaku dan berperan dalam pengambilan keputusan. Pasien yang resisten insulin dengan PCOS ditemukan memiliki aktivasi limbik yang lebih besar selama tugas emosional daripada kontrol yang mengakibatkan peningkatan kecemasan yang dapat diatasi dengan terapi metformin. Peningkatan ketersediaan -opioid receptordi nucleus accumbens dan amigdala dikaitkan dengan gangguan mood karena area ini berkontribusi pada pemrosesan emosional dan aversif serta reward antisipatif (Marsh et al., 2013).

Peningkatan aktivasi limbik dan peningkatan ketersediaan reseptor opioid di area yang terkait dengan pemrosesan emosional dikaitkan dengan peningkatan gangguan mood dan ansietas pada wanita dengan PCOS. Interaksi antara resistensi insulin, sistem opioid, dan regulasi emosional dianggap penting dalam memahami patofisiologi gangguan mood yang sering terlihat pada wanita dengan PCOS (Saydam dan Yildiz, 2021). Gambar 5 di bawah ini memperlihatkan ringkasan modalitas neuroimaging dan implikasinya pada PCOS.

Gambar 5. Neuroimaging pada PCOS dan Implikasinya (Saydam dan Yildiz, 2021)

(14)

Selain dari segi biologi, dari aspek psikososial seperti persepsi seseorang juga berperan dalam timbulnya defisit kognitif pada PCOS yang mengalami depresi.

Wanita dengan PCOS diketahui memiliki distorsi persepsi self-image independen dari fungsi seksual dan IMT. Persepsi dan dimensi afektif kognitif tampaknya memainkan peran penting dalam disfungsi self-image pada wanita dengan PCOS, dan berdampak pada disfungsi seksual dan depresi yang terkait dengan sindrom tersebut (Kogure et al., 2019). Sebuah studi melihat bagaimana persepsi terhadap sakit yang dialami wanita dengan PCOS dapat berkaitan dengan distres psikologis yang dialami. Persepsi penyakit berperan penting dalam berkontribusi terhadap distres psikologis pada wanita dengan PCOS, di mana mereka yang melaporkan lebih banyak gejala (dikenal sebagai identitas penyakit), mengalami konsekuensi yang dirasakan lebih tinggi, kontrol pribadi yang kurang, dan pemahaman yang lebih rendah tentang penyakit (dikenal sebagai koherensi penyakit) yang semuanya secara signifikan terkait dengan distres yang lebih tinggi (Light et al., 2021).

Model regulasi diri dari Leventhal menekankan adaptasi terhadap penyakit dan outcome kesehatan. Jalur emosi didasarkan pada bagaimana individu secara emosional mengatur, mengatasi, dan menilai ancaman kesehatan. Outcome penyakit adaptif bergantung pada sistem regulasi diri yang konsisten dan stabil antara persepsi penyakit (cognitive pathway), respon emosional (emotion pathway), koping, dan persepsi penilaian (Light et al., 2021). Studi menunjukkan bahwa intervensi yang menargetkan pada persepsi penyakit dapat menjadi kunci untuk mengubah perilaku dan memperbaiki kualitas hidup pada wanita dengan PCOS yang mengalami depresi (Mani et al., 2018).

5. Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Aaron Beck mengembangkan bentuk psikoterapi pada 1960-an dan 1970-an yang awalnya ia beri nama “cognitive therapy” sebuah istilah yang sering digunakan secara sinonim dengan “cognitive behavior therapy” (CBT). Beck merancang psikoterapi yang terstruktur, berjangka pendek, berorientasi saat ini untuk depresi. Sejak saat itu, psikoterapis di seluruh dunia telah berhasil mengadaptasi terapi ini ke populasi yang sangat beragam dengan berbagai gangguan dan masalah, dalam banyak setting dan format. Adaptasi ini telah

(15)

mengubah fokus, teknik, dan lama terapi, tetapi asumsi teoretis tetap konstan.

Dalam semua bentuk CBT yang diturunkan dari model Beck, klinisi mendasarkan terapi pada formulasi kognitif: keyakinan maladaptif, strategi perilaku, dan faktor pemeliharaan yang menjadi ciri gangguan tertentu (Beck, 2021).

Efektivitas CBT untuk berbagai masalah psikologis telah diteliti lebih luas daripada pendekatan psikoterapi lainnya. Reputasi CBT sebagai terapi yang sangat efektif didasarkan pada penelitian lanjutan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa CBT lebih efektif daripada obat-obatan saja untuk terapi ansietas dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menjalani CBT untuk berbagai jenis masalah – khususnya, untuk ansietas dan depresi – tetap sehat lebih lama. Ini berarti bahwa orang yang memiliki CBT relaps lebih jarang daripada mereka yang memiliki bentuk lain dari psikoterapi atau hanya minum obat. Hasil positif ini kemungkinan sebagian disebabkan oleh aspek edukasi CBT – orang yang menjalani CBT menerima banyak informasi yang dapat mereka gunakan untuk menjadi terapis bagi diri mereka sendiri (Branch dan Willson, 2020).

CBT berfokus pada cara seseorang berpikir dan bertindak untuk membantu masalah emosional dan perilaku. CBT adalah psikoterapi yang bertujuan untuk membantu klien mengatasi masalah emosional mereka (Branch dan Willson, 2020).

CBT merupakan metode yang bertujuan untuk mengurangi distres dan disfungsi psikologis dengan mengeksplorasi dan membahas bagaimana integrasi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang berkontribusi pada masalah yang muncul. CBT mengacu pada pendekatan terapi yang didasarkan pada premis bahwa proses kognitif terlibat dalam berkembangnya psikopatologi, terutama distres emosional dan gangguan fungsi, dan memerlukan terapis untuk menyesuaikan intervensi agar dapat membantu pasien dengan sebaik-baiknya (Kazantzis et al., 2018). Salah satu komponen penting dari terapi kognitif melibatkan mengajar pasien untuk mengidentifikasi pikiran yang mengarah pada distres atau disfungsi, untuk mengevaluasi pemikiran mereka, dan untuk secara efektif menanggapi kognisi ini.

Gambar 6 di bawah ini menggambarkan model kognitif (Beck dan Hindman, 2017).

(16)

Gambar 6. Model Kognitif (Beck dan Hindman, 2017)

Ahli teori kognitif percaya bahwa kognisi maladaptif, sering disebut sebagai automatic thought menyebabkan emosi dan perilaku maladaptif. Dengan demikian, identifikasi dan disputasi yang sukses dari penilaian maladaptif ini, dan penggantian dengan yang lebih adaptif akan mengarah pada emosi yang lebih sehat dan perilaku yang lebih fungsional. Sebelum sebuah pikiran disfungsional dapat diselesaikan, ia harus dikenali terlebih dahulu (O’Donohue dan Fisher, 2012). Konsep sentral dalam CBT adalah seseorang “merasakan apa yang dipikirkan”. Oleh karena itu, CBT bekerja dengan prinsip bahwa klien dapat hidup lebih bahagia dan produktif jika klien berpikir dengan cara yang sehat (Branch dan Willson, 2020).

Beberapa prinsip terapi CBT yaitu (Beck, 2021):

1. Rencana terapi CBT didasarkan pada konseptualisasi kognitif yang terus berkembang.

2. CBT membutuhkan hubungan terapeutik yang baik.

3. CBT terus memantau kemajuan klien.

4. CBT diadaptasi secara budaya dan menyesuaikan terapi dengan individu.

5. CBT menekankan hal-hal yang positif.

6. CBT menekankan kolaborasi dan partisipasi aktif.

7. CBT adalah aspiratif, berbasis nilai, dan berorientasi pada tujuan.

8. CBT awalnya menekankan masa kini.

9. CBT bersifat edukatif.

10. CBT peka terhadap waktu.

11. Sesi CBT terstruktur.

12. CBT menggunakan penemuan terbimbing dan mengajarkan klien untuk menanggapi kognisi disfungsional mereka.

(17)

13. CBT mencakup action plan (pekerjaan rumah terapi).

14. CBT menggunakan berbagai teknik untuk mengubah pikiran, mood, dan perilaku.

Ketika mulai akan memahami kesulitan emosional, CBT mendorong klien untuk memecahkan masalah spesifik yang dimiliki dengan menggunakan format ABC, di mana:

- A adalah activating event, yang berarti peristiwa eksternal nyata yang telah terjadi, peristiwa masa depan yang diantisipasi terjadi atau peristiwa internal dalam pikiran, seperti gambar, ingatan, atau mimpi. A sering disebut sebagai

“trigger”.

- B adalah beliefs. Keyakinan mencakup pemikiran, aturan pribadi, tuntutan yang dibuat (pada diri sendiri, dunia, dan orang lain) dan makna yang dilekatkan pada peristiwa eksternal dan internal.

- C adalah consequences. Konsekuensi termasuk emosi, perilaku, dan sensasi fisik yang menyertai emosi yang berbeda.

Di bawah ini dapat dilihat model ABC dari suatu masalah dalam bentuk gambar 7. Menuliskan masalah dalam format ABC yang merupakan teknik CBT sentral, dapat membantu membedakan antara pikiran, perasaan, dan perilaku serta peristiwa pemicunya (Branch dan Willson, 2020).

Gambar 7. Model ABC (Branch dan Willson, 2020)

(18)

a. Konseptualisasi Kognitif

Konseptualisasi kognitif adalah landasan CBT. Melalui hal ini seorang psikoterapis mengetahui framework dari terapi yang akan dijalankan, dan dapat membantu terapis untuk (Beck, 2021):

- memahami klien, kekuatan dan kelemahan, aspirasi dan tantangan;

- mengenali bagaimana klien mengalami gangguan psikologis dengan pikiran disfungsional dan perilaku maladaptif;

- memperkuat hubungan terapeutik;

- merencanakan terapi di dalam dan di seluruh sesi;

- memilih intervensi yang tepat dan menyesuaikan terapi sesuai kebutuhan; dan - mengatasi titik macet.

CBT didasarkan pada model kognitif, yang berhipotesis bahwa emosi, perilaku, dan fisiologi seseorang dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang peristiwa (baik eksternal, seperti gagal dalam ujian, dan internal, seperti gejala fisik yang mengganggu). Cognitive Conceptualization Diagrams (CCD) membantu terapis mengatur sejumlah besar data yang didapatkan dari klien (Beck, 2021).

Gambar 8. Strengths-Based Cognitive Conceptualization Diagram (Beck, 2021)

(19)

Strengths-Based Cognitive Conceptualization Diagram (SB-CCD; gambar 8) membantu terapis memperhatikan dan mengatur pola kognisi dan perilaku yang membantu klien. Ini menggambarkan, antara lain, hubungan antara (Beck, 2021):

- life event yang penting dan adaptive core belief,

- adaptive core belief dan makna automatic thought klien,

- adaptive core belief, intermediate belief terkait, dan strategi koping adaptif, - situasi, automatic thought adaptif, dan perilaku adaptif.

b. CBT terhadap Depresi

Beberapa studi telah melihat keefektifan CBT terhadap depresi. Lepping et al. (2017) telah melakukan review terhadap trial CBT yang mengukur clinical global impression (CGI) terhadap gejala depresi. Hasil studi ini menemukan skor CGI 2,2 di mana mengindikasikan CBT memberikan respon klinis yang signifikan terhadap depresi dan menyarankan untuk terus memberikan terapi CBT pada pasien dengan depresi (Lepping et al., 2017). Kognisi maladaptif khusus untuk depresi disebut sebagai triad kognitif: keyakinan negatif tentang diri sendiri, pengalaman hidup (dan dunia pada umumnya), dan masa depan. Pada depresi, kognisi negatif ini memengaruhi (dan pada gilirannya dipengaruhi oleh) mood, perilaku, dan gejala fisik individu. Pasien depresi biasanya merasa sedih, kosong, iritabel, cemas dan/atau bersalah; mereka sering meramalkan masa depan tidak memiliki apa-apa selain masalah dan rasa sakit yang tak berkesudahan; mereka umumnya mengalami penurunan energi dan motivasi; mereka mungkin mengalami gangguan tidur, libido, dan nafsu makan; mereka cenderung mengurangi tingkat aktivitas mereka dan mengasingkan diri dari orang lain (Beck dan Hindman, 2017).

Model kognitif yang dikemukakan oleh Beck menunjukkan bahwa individu yang depresi dan cemas memiliki distorsi khas atau kecenderungan dalam pikiran mereka. Ini disebut negative automatic thoughts karena itu adalah pikiran yang muncul secara spontan, biasanya sesuai dengan mood, tampak masuk akal, dan sering tidak diperiksa lagi. Pikiran otomatis, bagaimanapun, bisa benar, salah, atau sebagian benar. Bias khas yang terkait dengan depresi dan kecemasan termasuk (O’Donohue dan Fisher, 2012):

(20)

- personalisasi (peristiwa itu diarahkan pada saya atau itu salah saya),

- catastrophizing (melihat peristiwa itu sebagai bencana daripada hanya tidak menyenangkan),

- pikiran dikotomis (melihat peristiwa dalam semua atau tidak sama sekali, istilah hitam dan putih),

- fortune telling (memprediksi masa depan berdasarkan informasi yang terbatas), - mengabaikan hal-hal positif (berfokus pada hal-hal negatif tanpa

mempertimbangkan hal-hal positif),

- overgeneralizing (mengambil satu peristiwa dan menarik kesimpulan luas), - mind-reading (menghubungkan pikiran dan perasaan kepada orang lain

berdasarkan informasi kecil),

- labeling (memandang diri sendiri atau orang lain kaku dalam hal konsep kepribadian atau kegagalan moral).

1) Model CBT untuk Depresi

Teori kognitif mengkonseptualisasikan bahwa orang tidak dipengaruhi oleh peristiwa melainkan pandangan yang mereka ambil tentang peristiwa tersebut. Ini pada dasarnya berarti bahwa perbedaan individu dalam proses berpikir maladaptif dan penilaian negatif dari peristiwa kehidupan mengarah pada pengembangan reaksi kognitif disfungsional. Disfungsi kognitif ini pada gilirannya bertanggung jawab atas sisa gejala dalam domain afektif dan perilaku (Gautam et al., 2020).

Aaron Beck telah mengusulkan model kognitif depresi, dan dirinci dalam Gambar 9. Disfungsi kognitif adalah dari kategori berikut.

- Skema struktur internal yang stabil dari informasi yang biasanya terbentuk selama awal kehidupan, juga termasuk core belief tentang self

- pemrosesan informasi dan intermediate belief biasanya ditafsirkan sebagai aturan hidup dan biasanya dinyatakan dalam kalimat “jika dan kemudian”

- automatic thoughts berhubungan secara proksimal dengan kejadian sehari- hari dan dalam depresi, sering mencerminkan trias kognitif, yaitu, pandangan negatif tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan.

(21)

Gambar 9. Model CBT untuk Depresi (Gautam et al., 2020)

2) Mekanisme Kerja CBT terhadap Depresi

Distorsi atau bias pikiran otomatis ini dihipotesiskan dapat memperburuk atau mempertahankan depresi dan ansietas secara langsung, serta tidak langsung, melalui dampak negatifnya pada perilaku (yaitu, menyebabkan perilaku depresogenik seperti pasif, avoidan, atau isolasi). “Restrukturisasi kognitif”

melibatkan identifikasi distorsi atau bias pikiran otomatis tertentu, situasi yang memunculkannya, dan memodifikasi konten atau kredibilitas pikiran ini (O’Donohue dan Fisher, 2012).

Teknik perilaku kognitif untuk depresi memusatkan perhatian pada hubungan antara berikut ini (Hughes et al., 2014):

- life event (apa yang terjadi);

- kognisi/pikiran (apa yang dipikirkan, bagaimana menilai atau menafsirkan peristiwa dan situasi yang terjadi);

- perilaku (bagaimana bereaksi atau apa yang dilakukan ketika menafsirkan situasi dengan cara tertentu);

- fisiologi/tubuh (bagaimana tubuh bereaksi ketika menafsirkan situasi dengan cara tertentu);

- afek/mood (bagaimana perasaan, konsekuensi emosional terkait dengan bagaimana menafsirkan situasi dengan cara tertentu).

(22)

Sejauh ini CBT merupakan psikoterapi yang paling banyak diteliti untuk gejala depresi pada dewasa. Namun, kurang jelas bagaimana CBT mencapai efek terapeutik. Terapis kognitif berfokus pada dampak pikiran disfungsional pasien saat ini terhadap perilaku saat ini dan fungsi masa depan. CBT dipusatkan di sekitar restrukturisasi kognitif, yang terdiri dari mengevaluasi secara empati dan memodifikasi keyakinan disfungsional pasien. Perubahan keyakinan maladaptif dan konversi konsekuennya menjadi adaptif diasumsikan sebagai kendaraan utama di mana CBT menghasilkan perubahan gejala (Cristea et al., 2015).

CBT dapat mengurangi gejala depresi menunjukkan bahwa mekanisme neuronal mungkin terlibat dalam respon pengobatan. Studi yang memeriksa substrat neural CBT telah menunjukkan perubahan pada daerah kontrol kognitif pada MDD setelah terapi. Daerah prefrontal korteks yang terhubung secara timbal balik bersama-sama dengan korteks cingulate anterior dorsal, lobus parietal posterior, thalamus, dan striatum digambarkan sebagai jaringan kontrol kognitif.

Pada pasien depresi terjadi hipoaktivitas DLPFC yang menunjukkan ketidakmampuan untuk menggunakan kontrol kognitif. CBT dapat meningkatkan sistem kontrol kognitif dengan menambah mekanisme kontrol umpan balik dan mempromosikan fleksibilitas kognitif yang diperlukan agar psikoterapi menjadi efektif (Yang et al., 2018).

Antidepresan meredam aktivitas dalam sistem limbik, pusat emosi di otak.

Sebaliknya, CBT menenangkan aktivitas di korteks. Dengan kata lain, antidepresan mengurangi emosi, sedangkan CBT membantu pasien memproses emosi mereka dengan cara yang lebih adaptif. Salah satu yang dapat menjelaskan mengapa penggunaan antidepresan memiliki kemungkinan relaps yang jauh lebih tinggi jika berhenti minum obat yaitu emosi negatif dapat membanjiri kembali. Tetapi dengan CBT, pasien memperoleh keterampilan untuk merespon emosi mereka secara lebih efektif – untuk manfaat jangka panjang (Beck, 2021).

Intervensi kognitif berusaha untuk mengidentifikasi pikiran dan keyakinan yang memicu reaksi emosional dan perilaku. Komponen perilaku CBT dapat dikonseptualisasikan sebagai behavioral activation (BA), pendekatan terstruktur untuk membantu pasien (Flynn dan Warren, 2017):

- meningkatkan perilaku dan pengalaman yang bermanfaat

(23)

- mengatasi hambatan untuk terlibat dalam perilaku baru ini, dan - mengurangi perilaku yang mempertahankan gejala.

3) Keuntungan CBT pada Depresi (Gautam et al., 2020)

a) Digunakan untuk mengurangi gejala depresi sebagai terapi independen atau dalam kombinasi dengan obat-obatan

b) Digunakan untuk memodifikasi skema atau keyakinan yang mendasari yang mempertahankan depresi

c) Dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah psikososial yang dapat berkontribusi pada gejala

d) Mengurangi kemungkinan kambuh

e) Meningkatkan kepatuhan terhadap terapi medis yang direkomendasikan.

c. CBT terhadap Depresi pada PCOS

CBT direkomendasikan oleh American Psychological Association dan American College of Physicians sebagai salah satu terapi lini pertama untuk pasien dengan depresi (Qaseem et al., 2016). CBT memiliki ukuran efek sedang hingga besar untuk pengobatan MDD (Cuijpers et al., 2016). Sebuah studi pilot kecil pada remaja dengan PCOS, obesitas, dan depresi menunjukkan bahwa delapan sesi mingguan dan tiga sesi CBT berbasis keluarga, menunjukkan penurunan berat badan dan gejala depresi yang signifikan pada Children’s Depressive Inventory (Rofey et al., 2009). Studi RCT lainnya yang menilai keefektifan CBT pada wanita dengan PCOS yang mengalami depresi dan obesitas menemukan bahwa CBT dengan durasi 45-60 menit selama delapan sesi efektif dalam memperbaiki gejala depresi dan menurunkan IMT pada kelompok perlakuan. Studi ini merekomendasikan pendekatan CBT untuk memperbaiki gejala fisik maupun psikologis pada wanita dengan PCOS (Abdollahi et al., 2018).

Dalam sebuah studi pilot RCT wanita dewasa dengan PCOS, overweight/

obesitas, dan depresi, di mana subjek dilakukan randomisasi untuk 8 kunjungan CBT mingguan ditambah 16 kunjungan lifestyle counseling mingguan (CBT + LS arm) atau 8 kunjungan kontrol ditambah 16 kunjungan lifestyle counseling mingguan (LS arm). Studi ini menemukan bahwa wanita dalam kelompok CBT +

(24)

LS kehilangan lebih banyak berat badan setiap minggu, serta mengalami perbaikan respon stres yang diukur dengan perubahan denyut jantung dan kortisol selama Trier Social Stress Test (TSST) yang dilakukan pada awal dan minggu ke-8. CBT + LS mingguan selama 8 minggu dibandingkan dengan LS saja juga menghasilkan peningkatan kualitas hidup pada wanita overweight/obesitas dengan PCOS dan gejala depresi. Intervensi ini dikaitkan dengan penurunan respon otonom terhadap stresor, yang menunjukkan hubungan potensial antara CBT, penurunan berat badan, dan modulasi respon stres (Cooney et al., 2018).

Secara umum, intervensi 3 komponen termasuk diet, olahraga, dan CBT lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan emosional jangka panjang. Sebuah studi menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup independen pada penurunan berat badan dapat mengurangi depresi dan body-image, tetapi intervensi gaya hidup dan penurunan berat badan dapat meningkatkan self-esteem. Dengan demikian, intervensi gaya hidup melalui tiga komponen berdasarkan CBT terbukti berhasil meningkatkan mood pada wanita dengan PCOS yang overweight atau obesitas dan berusaha untuk hamil (Jiskoot et al., 2020).

Dalam studi RCT yang menilai keefektifan CBT pada wanita dengan PCOS menemukan bahwa, CBT 8 sesi/minggu efektif dalam memperbaiki kualitas hidup dan kelelahan psikologis, hal ini juga meningkatkan kesehatan pada subjek penelitian tersebut (Abdollahi et al., 2019). Studi terbaru di Nigeria juga memperoleh hasil bahwa CBT akan secara signifikan meredakan gejala depresi pada pasien PCOS yang menerima terapi fertilitas bila dibandingkan dengan kontrol, pada tingkat signifikan p < 0,000 (Umeaku et al., 2020). Berdasarkan studi- studi di atas, dapat disimpulkan bahwa CBT memiliki efikasi yang baik untuk depresi pada PCOS (Cooney dan Dokras, 2017).

(25)

Tabel 4. Tahapan CBT terhadap Depresi pada PCOS (Abdollahi et al., 2018)

Sesi 1 Memahami anatomi dan fisiologi sistem reproduksi; definisi ovarium;

bagaimana ovarium bekerja; definisi cognitive-behavior therapy;

mengulangi pernyataan positif tentang self-love; mencoba untuk kesehatannya sendiri.

Sesi 2 Pengulangan tugas sesi sebelumnya; faktor yang memengaruhi fungsi ovarium dan definisi PCOS; teknik pernapasan; teknik waktu.

Sesi 3 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana pernapasan dan nutrisi memengaruhi kesehatan ovarium, mencari tahu pikiran yang tidak efektif dan memberikan informasi tentang makanan yang sesuai dan tidak sesuai pada PCOS.

Sesi 4 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, memberikan informasi mengenai dampak olahraga pada PCOS, menjelaskan jenis olahraga dan memilihnya berdasarkan batasan lingkungan hidup, dan mempraktikkan beberapa olahraga.

Sesi 5 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, mengajarkan metode relaksasi dan pengendalian stres, dan memvisualisasikan pikiran.

Sesi 6 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana pikiran memengaruhi tubuh, menjelaskan pengenalan depresi dan berlatih meditasi.

Sesi 7 Mengumpulkan tugas sesi sebelumnya, menjelaskan bagaimana mengenali kebahagiaan, dan mengajarkan ekspresi diri yang positif dan bagaimana mencatat thought.

Sesi 8 Memantau status peserta dan mengevaluasi kemajuan mereka melalui diskusi.

6. Marker Inflamasi High Sensitive C-Reactive Protein (hs-CRP)

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal walaupun dalam konsentrasi yang amat kecil. CRP merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam praktik klinis untuk menilai, mendiagnosis, dan menentukan prognosis inflamasi (Chandrashekara, 2014). Pada kondisi tertentu seperti reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan, baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi CRP dapat meningkat sampai 100 kali, sementara CRP dapat meningkat sebesar 1000 kali atau lebih selama kerusakan, inflamasi, dan kematian jaringan (Sproston dan Ashworth, 2018).

CRP disintesis terutama di hepatosit tetapi juga oleh sel otot polos, makrofag, sel endotel, limfosit, dan adiposit. Bukti menunjukkan bahwa estrogen memengaruhi kadar CRP. Selain sebagai marker inflamasi yang baik, CRP juga merupakan salah satu prediktor sensitif untuk morbiditas kardiovaskular

(26)

(Blumenfeld, 2019). Terdapat bukti yang berkembang bahwa CRP memainkan peran penting dalam proses inflamasi dan respons host terhadap infeksi termasuk jalur komplemen, apoptosis, fagositosis, pelepasan nitrat oksida (NO), dan produksi sitokin, terutama interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α (Sproston dan Ashworth, 2018).

High sensitive C-reactive protein (hs-CRP) adalah C-Reactive Protein yang diukur dengan highly sensitive assay (Kamath et al., 2015). Pengukuran hs-CRP mampu mengukur serum CRP di bawah 0,6 mg/dL. Kadar CRP normal yaitu < 10 mg/L, sedangkan kadar hs-CRP < 3 mg/L (Devaraj, 2020). Beberapa faktor memengaruhi peningkatan kadar hs-CRP antara lain peningkatan tekanan darah, peningkatan IMT, merokok, sindrom metabolik, penurunan HDL atau peningkatan trigliserida, penggunaan estrogen/progesteron, dan infeksi. Sedangkan yang dapat menyebabkan penurunan kadar hs-CRP antara lain konsumsi alkohol, peningkatan aktivitas, penurunan berat badan, dan pengunaan obat golongan statin, fibrat, dan niasin (Pearson et al., 2003).

a. Kadar hs-CRP pada PCOS dan Depresi

Depresi telah dikaitkan dengan peningkatan kadar inflamasi yaitu CRP, di mana individu yang memiliki skor depresi lebih tinggi, memiliki skor hs-CRP yang lebih tinggi. Studi longitudinal ini menemukan bahwa depresi terkait dengan peningkatan kadar hs-CRP terutama pada wanita (Ma et al., 2011). Studi lainnya juga menemukan bahwa, semakin meningkat keparahan depresi, semakin meningkat pula kadar hs-CRP (Tayefi et al., 2017; Tabatabaeizadeh et al., 2018).

Pada PCOS, terjadinya peningkatan kadar CRP, sitokin inflamasi (seperti IL- 6 dan IL-18), dan jumlah leukosit, mengindikasikan adanya low grade chronic inflammation (Blumenfeld, 2019; Rostamtabar et al., 2020; Rudnicka et al., 2020).

Komponen yang berbeda dari sindrom metabolik berkorelasi dengan marker inflamasi termasuk CRP, fibrinogen, dan jumlah leukosit. Kadar hs-CRP cenderung meningkat pada subjek dengan resistensi insulin dan obesitas. Di sisi lain, dislipidemia, hipertensi, sensitivitas insulin yang rendah, dan obesitas abdominal cenderung meningkatkan kadar CRP (Rostamtabar et al., 2020).

(27)

Studi meta-analysis juga menunjukkan bahwa CRP yang bersirkulasi 96%

lebih tinggi pada wanita dengan PCOS dibandingkan dengan kontrol sehat. Hal ini menguatkan bukti molekuler yang ada tentang low grade chronic inflammation yang mungkin mendukung patogenesis gangguan ini (Escobar-Morreale et al., 2011). Studi lainnya menyebutkan faktor prediktor utama dari peningkatan CRP adalah indeks massa tubuh dan resistensi insulin, tetapi ada juga hubungan antara jumlah jumlah leukosit pada PCOS dan konsentrasi androgen itu sendiri, sehingga inflamasi dapat dimediasi tidak hanya melalui adipositas tetapi juga melalui peningkatan konsentrasi androgen (Rudnicka et al., 2020).

b. Pengaruh CBT terhadap Depresi dan hs-CRP

Sebuah studi studi systematic review yang melakukan tinjauan pengaruh CBT terhadap inflamasi, dalam kaitannya dengan terapi depresi, menemukan pada beberapa studi, sebagian besar bukti menunjukkan bahwa CBT dapat memengaruhi proses inflamasi (Lopresti, 2017). Beberapa studi memperoleh hasil adanya efikasi CBT untuk menurunkan depresi dan CRP (Doering et al., 2007; Chen et al., 2011;

Irwin et al., 2015). Namun ada pula yang menemukan CBT tidak memberikan efek terhadap penurunan kadar CRP, hanya pada gejala depresi dan marker inflamasi lainnya (Mikocka-Walus et al., 2016; Zgierska et al., 2016; Dahl et al., 2016).

Terdapat kemungkinan bahwa CBT memicu perubahan gaya hidup positif yang pada gilirannya dapat menurunkan inflamasi. Misalnya, peningkatan kualitas tidur yang dipastikan memiliki efek anti-inflamasi (Irwin et al., 2016). Latihan teknik relaksasi dan keterlibatan dalam kegiatan yang menyenangkan juga didorong dalam CBT, di mana beberapa studi menemukan latihan relaksasi dipastikan memiliki efek anti-inflamasi (Kang et al., 2011; Laudenslager et al., 2016), dan partisipasi harian yang lebih besar dalam aktivitas positif bersifat protektif terhadap inflamasi (Sin et al., 2015).

(28)

B. Kerangka Berpikir

: Panah melambangkan perjalanan gangguan : Panah melambangkan perjalanan psikoterapi CBT

Gambar 10. Kerangka Pikir

(29)

Berdasarkan gambar di atas dapat dilhat bahwa PCOS berkaitan dengan adanya abnormalitas pada regulasi aksis HPG (jalur warna ungu) dan HPA (jalur warna kuning), di mana terjadi frekuensi pulsatil GnRH yang abnormal, peningkatan rasio LH/FSH, dan ekskresi androgen adrenal dan ovarium yang berlebihan. Sementara itu, insulin dan leptin juga berperan dalam disfungsi endokrin pada pasien PCOS (Wang et al., 2017). Hal inilah yang mendasari terjadinya patofisiologi hiperandrogenisme (jalur warna ungu), resistensi insulin (jalur warna hijau), yang mengarah kepada terjadinya low grade chronic inflammation (jalur warna merah) pada wanita dengan PCOS (Yau et al., 2017;

Rostamtabar et al., 2020), di mana pada penelitian ini melihat peningkatan kadar hs-CRP. Peningkatan kadar kortisol, peningkatan aktivitas simpatis, dan penurunan kadar serotonin terkait dengan timbulnya gejala depresi (Zangeneh et al., 2012;

Lamers et al., 2019). Mekanisme inilah yang membuat wanita dengan PCOS lebih sering menderita depresi (Cooney dan Dokras, 2017; Yin et al., 2020).

CBT bekerja dengan menenangkan aktivitas di korteks (garis putus-putus) (Beck, 2021). CBT dapat meningkatkan sistem kontrol kognitif dengan menambah mekanisme kontrol umpan balik dan mempromosikan fleksibilitas kognitif yang diperlukan agar psikoterapi menjadi efektif (Yang et al., 2018). CBT membantu pasien memproses emosi mereka dengan cara yang lebih adaptif. Dengan CBT, pasien memperoleh keterampilan untuk merespon emosi mereka secara lebih efektif – untuk manfaat jangka panjang (Beck, 2021). Diharapkan dengan pemberian psikoterapi CBT, dapat menurunkan gejala depresi yang dialami oleh wanita dengan PCOS, juga terjadi perbaikan pada kadar hs-CRP.

Gambar

Gambar 1. Model Hubungan Kompleks antara Faktor Genetik dan Lingkungan  terhadap Kejadian PCOS (Hestiantoro et al., 2016)
Gambar 2. Patofisiologi PCOS (Holm, 2010)
Tabel 1. Kriteria Diagnosis PCOS (Azziz, 2018)
Tabel 2. Tanda dan Gejala pada PCOS (Balen et al., 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itulah prodi ilmu komunikasi UMY berinisiatif untuk mengadakan program pengabdian masyarakat bekerjasama dengan Pimpinan Ranting Tantirto Utara, Tamantirto,

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Permohonan kredit yang seharusnya seorang analis kredit sangat mengerti bahwa seharusnya ia tidak meloloskan permohonan kredit itu karena tidak dipenuhinya suatu

1) Cita-cita merupakan ungkapan dari dalam pikiran manusia. Kalau keinginan untuk berperikehidupan yang berkecukupan ternyata dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945,

Pada tabel 1 menunjukkan sampel bukan perokok A dan C memiliki vital capacity yang lebih tinggi dari sampel B dan D hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pada sampel B

Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang

Pemberian beberapa jenis zat pengatur tumbuh pada menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap jumlah daun baru muncul setek pucuk jeruk kacang.. Rata-rata persentase

Pada kondisi tertentu media ini dapat dimodifikasi dengan cara mengambil sebagian (membelah) misal mesin, contoh (spacimen) dan pameran (exhibit) misalnya