• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman papalele dari orang tua merupakan bagian dari proses belajar.Menjual roti dan kue di lingkungan desa dan sesekali membawanya ke pasar mendampingi sang ibu adalah awal untuk selanjutnya terus menekuni papalele. Itulah penga-

18 Ciri khas makanan pokok di Maluku yang terbuat dari serbuk pohon sagu yang sudah diolah menjadi tepung sagu. Setelah dimasak akan berbentuk bubur yang sangat kental. Kalau dimakan harus memakai kuah tertentu agar mudah ditelan dan tidak menempel. Lihat juga Mailoa J.P (2006:74)

149 laman pertama salah satu informan mama Yoke yang menutur- kan awal mula saat dia memulai papalele untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya. Sebetulnya sebelum menikah, menjual roti seadanya telah dilakukan setiap hari, kadang-kadang kalau kue yang dijual di desanya tidak habis, ia kemudian mendampingi sang ibu ke pasar sambil menjual sisa dagangan. Keadaan itu terus berlangsung bahkan sampai pada saat berkeluarga (menikah) dan mempuyai anak, menjual roti tetap dilakukan. Baru keadaan berubah drastis sejak suami meninggal dunia karena sakit tahun 1993, papalele dilakoni secara penuh. Tidak ada pilihan pekerjaan lain karena hanya lulusan SMP, apalagi kebutuhan hidup anak-anak harus dipe- nuhi, termasuk mengupayakan agar anak-anak tetap berse- kolah, tidak boleh ada di antara anak-anak yang harus berhenti sekolah, akunya.

Berjualan sebagai seorang papalele harus mengutamakan kejujuran kepada pembeli. Menerima resiko rugi dan hasil seadanya menjadikan ‘mama Yoke’ tetap bertahan. Dalam menjalankan usaha, kadang ada penjual membohongi pembeli hanya untuk mengejar keuntungan. Tindakan ini tentu saja tidak terpuji dan sangat merugikan pembeli. Tetapi bagi ‘mama Yoke’, kejujuran dalam berjualan adalah hal yang utama. Ia mengakui bahwa jujur dalam berjualan akan memberikan berkah tersendiri. Untuk membuktikan hal itu, ‘mama Yoke’ menceritakan bahwa biasanya di kalangan papalele dan pasar di kota Ambon, masyarakat sangat mengenal dan mengetahui bahwa buah salak pegunungan yang berasal dari Hatalai sangat enak rasanya.

Kualitas buah lokal lebih unggul dari buah impor dan selalu menjadi incaran pembeli. Berbeda dengan buah salak dari daerah lain di luar Ambon, termasuk dari Surabaya,

150

Makassar, Bali Manado atau Sorong, yang dari segi bentuk dan ukuran yang tidak terlalu besar, tidak lonjong dan kualitas rasa yang agak asam-manis. Maka salak yang berasal dari kota Ambon, bentuk dan ukurannya agak besar, berbentuk lonjong dan selalu manis rasanya. Dia menceritakan pengalaman itu terjadi satu hari:

…Mo kalo ada orang tanya salak dari mana to, beta tetap bilang beta jual salak manado, tetap beta bilang mana- do… beta biasa kalau salak gunung, salak manado, yang ini salak gunung, ini salak manado, ini salak sorong, kalau misalnya katong parlente orang makan orang bilang, i, tanta itu parlente, umpamanya beta seng dapa hasil parlente itu tapi beta pung ana-ana bisa dapa, jadi kalau beta mau biking apa-apa beta pikir, beta pung ana- ana ada lai, kalau misalnya beta parlente orang, orang bisa parlente katong pung ana-ana”20

(Kalau ada pembeli yang bertanya asal buah salak, saya tetap mengatakan bahwa buah salak ini dari Manado,… “ini salak gunung, yang ini Manado, ini salak Sorong”. Kalau kita berbohong, disaat mereka (pembeli) makan buah tersebut dan tahu rasanya, mereka akan mengata- kan ..‘ibu itu berbohong’. Dampaknya saya tidak merasa- kan, tetapi anak-anak saya yang nanti akan merasakan. Jadi apa yang akan saya lakukan, saya akan berpikir matang. Karena satu saat anak-anak saya akan dibohongi orang lain).

Kualitas produk yang diutamakan untuk menjaga keper- cayaan pelanggan. Perilaku tidak jujur dalam menjual akan berdampak buruk. Berbagai cara tidak jujur dapat dilakukan seperti mengurangi jumlah barang, atau membohongi pembeli tentang asal barang. Dampak yang ditimbulkan dengan cara

151 seperti ini akan mengakibatkan pembeli tidak lagi datang dan membeli barang yang dijual. Mereka sudah mengetahui perilaku penjual yang selalu merugikan. Pernyataan ‘mama Yoke’ di atas menunjukkan bahwa sebetulnya sikap jujur dimulai dari pribadi setiap orang, termasuk dia yang menjual. Dengan bersikap jujur kepada pembeli, satu saat nanti mereka juga akan memetik hasilnya, termasuk pada anak-anaknya. Yang paling utama dalam menjual baginya adalah jujur, dan itu tetap harus dilakukan.

Papalele adalah pekerjaan yang tidak mengenal umur. Usia yang terus bertambah, bukan halangan untuk tetap bersemangat mencari penghasilan bagi keluarga. Saat ini ‘mama Yoke’ sudah berusia 54 tahun. Usia seperti ini pada kenyataan- nya masih dianggap layak dan produktif dalam bekerja. Tetapi menurut anak-anaknya, papalele tidak perlu lagi diteruskan, mengingat pertimbangan bahwa mereka semua telah berhasil dalam studi dengan pengorbanan dan biaya dari hasil papalele. Pertimbangan lain adalah, karena anak-anak tidak ada lagi bersekolah, maka sudah waktunya ibu mereka harus beristira- hat. Berhenti papalele dan tinggal saja di rumah sambil bekerja apa adanya dan menikmati hasil usaha anak-anaknya adalah impian mereka. Sebaliknya bagi dia, sepanjang kekuatan masih diberikan Tuhan, maka bekerja terus harus dijalani. Walaupun anak-anak sudah meng-inginkan hal tersebut. Dia mengatakan kepada anak-anaknya “…mama masi kuat, beta bilang nanti kalo mama su seng kuat, la mama stop, spanjang mama masih kuat masi bisa” (Mama masih bisa berjualan, saya katakan untuk anak-anak, saatnya nanti kalau fisik sudah tidak sanggup lagi berjualan, mama akan berhenti). Karena itu untuk semen- tara ia menolak berhenti papalele.

152

Para informan selalu menghindari berhutang, walaupun kebutuhan keuangan mendesak. Pengalaman kesulitan uang sekolah bagi anak-anak, diatasi dengan memanfaatkan hasil kebun. Pengalaman kesulitan uang masih segar di ingatannya ketika harus memilih, mempertahankan modal berjualan atau harus memberikan kepada salah satu anaknya untuk keperluan biaya sekolah. Kesulitan uang, bukan berarti berpasrah terha- dap kondisi itu, tetapi berupaya mengatasi dan berusaha agar tidak berutang kepada orang lain dengan cara memanfaatkan hasil alam sekitar. Hasil dusun-hutan adalah aset yang sewaktu- waktu dapat dijadikan uang jika kebutuhan mendesak dan bersifat darurat. Kepada saya dia menceritakan pengalaman itu:

Salalu mau pigi, sombayang dolo, Tuhan beta mau pi cari jualan, jualan apa yang beta dapat, sampe sana Antua kasi beta apa, yang bisa beta buat par ana-ana pung kebutuhan, pernah beta pung ana Bidan ni mau pi praktek, nanti beta musti bali obat-obat sandiri. Beta bilang nanti ambil uang jualan jua, tinggal mama pung uang naik deng uang oto besok. Pulang beta pigi hutan seng tau ambil apa di hutan, cuma dari rumah sumbo- yang saja, lalu ada kalapa kering yang jatuh, dengan apa ka yang bisa par bantu jual lai, laste dapa.

(setiap akan pergi papalele diawali dengan berdoa “Tuhan saya mau pergi cari bahan untuk dijual. Jualan apapun yang didapat, adalah dari Tuhan dan pasti ada untuk kebutuhan anak-anak. Satu saat pernah anak saya yang saat ini sudah menjadi bidan, ketika masih sekolah akan mengikuti kerja praktik, saat itu peralatan praktik harus dibiayai sendiri untuk membeli obat-obatan. Dia kemudian datang meminta uang untuk membeli obat- obatan. Saya mengatakan, “nanti ambil uang jualan ini saja, yang penting berikan mama uang transpor mobil untuk pulang dan untuk esok pergi. Setelah itu saya pulang dan pergi ke hutan, dalam kebingungan dan tidak tahu harus mengambil apa, saya terus berdoa.

153 Akhirnya saya mendapatkan buah kelapa lalu segera dijual menjadi tambahan uang).

Kesimpulan

Kehidupan keseharian papalele yang sederhana nampak- nya membantu menjelaskan adanya nilai juang yang sangat kuat. Ketika tenaga dan waktu dicurahkan penuh bagi kepen- tingan keluarga, setidaknya telah membentuk karakter mereka untuk mempertahankan eksistensi keluarga sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Semangat berkorban ini mampu menem- bus sekat-sekat ganasnya persaingan hidup. Semangat itu dibingkai melalui jiwa kerja keras, setia, sabar, dan bahkan siap dan tetap bertahan dalam perubahan kondisi kekinian. Nilai ini dimaknai sebagai upaya berjuang yang terus-menerus tanpa memperhitungkan untung-buntung (pamrih) dalam dunianya. Oleh karenanya nilai itulah yang sebenarnya tidak pernah dikembangkan oleh mereka secara formal. Yang patut dijadikan inspirasi adalah adanya kesan kuat bahwa semangat berjuang terbangun bukanlah karena kuatnya sentuhan dan tuntutan modernisme, tetapi semangat yang terbangun dan dibentuk secara alami dari situasi yang serba terbatas.

Hidup sederhana dan berkekurangan serta kuatnya tekan- an kesulitan keuangan yang melanda rumah tangga informan

telah membentuk mereka mencurahkan segala energi untuk

papalele dan konsisten menjalaninya. Modal kebun sebagai warisan yang dimiliki keluarga, memberikan cukup waktu untuk mengelolanya. Aset ini tidak membebani keuangan keluarga dan resiko kegagalan hasil panen jauh lebih kecil. Kesulitan-kesulitan ekonomi yang selalu menyertai tidak mem- buat anggota rumah tangga pasrah atau berontak terhadap situasi demikian. Justru sebaliknya mereka dan anggota keluar-

154

ganya secara aktif berterima dan membagi tanggung jawab tugas-tugas keseharian. Pergeseran tugas antar anggota rumah tangga merupakan strategi untuk menggunakan waktu luang. Kesadaran bertumbuh dalam keluarga sebagai satu proses yang bertanggung jawab.

Hidup yang sederhana dan serba pas-pasan, terwariskan dari generasi sebelumnya. Sejarah masa lalu menjadikan

papalele tetap eksis. Dengan menjadi papalele, keluarga mendapat tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada sisi lain, papalele menjadi alat aktualisasi diri, khususnya kaum perempuan. Bentuk perjuangan papalele bagi generasi mereka (anak-anak) tidak lagi sulit mendapat pendidikan. Anak-anak sebagai generasi penerus keluarga merupakan investasi tidak langsung yang dilakukan papalele.

Dokumen terkait