BAB III PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PASCA
3.1 Mentalitas Lapar pada Orang Jepang
Setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, dan menyadari
bahwa strateginya untuk menguasai dunia melalui kekuatan militernya mengalami
kegagalan dan bahkan mengalami kerugian di berbagai sektor ekonomi yang
cukup parah akibat terjadinya penghancuran terhadap dua kota pusat industrinya,
Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh AS, Jepang mulai merayap untuk
membangun negaranya dengan berangkat kembali dari titik nol. Bagaimana pun
strategi untuk menguasai dunia dengan kekuatan militer harus diganti dengan
menampilkan dirinya sebagai “economic animal” yang benar-benar harus bisa
tampil tanpa pandang bulu dan juga harus menyingkirkan segala bentuk
pertimbangan moralitas untuk mencapai tujuannya itu.
Menurut Ishihara Shintaro, seorang pengarang terkenal dan pernah
menjadi anggota Diet ( Parlemen ) dari LDP, unsur paling mendasar dalam proses
modernisasi Jepang pasca kekalahannya dari Perang Dunia II ialah dengan
membentuk “mentalitas lapar” orang Jepang. Kita semua maklum, orang lapar
bisa berbuat apa saja untuk menutupi laparnya, termasuk berbuat yang tidak
Seperti dikemukakan Ishihara Shinto, suatu perasaan lapar mungkin
memberikan daya dorong yang amat kuat untuk mencapai suatu cita-cita, namun
hampir tidak dapat berfungsi sebagai suatu aspirasi dalam cara apapun, kecuali
dalam cara yang paling primitif. Cita-cita Nasional yang didasarkan pada aspirasi
“lapar” pasti memperlihatkan kesempitan dan wawasan yang kurang dalam,
karena hanya mengejar kepentingan sesaat. Namun memang benar, dengan
mentalitas lapar ini yang kemudian menjadi moralitas nasional bangsa Jepang
diharapkan akan dapat mengejar ketertinggalan bahkan akhirnya bisa
mengungguli bangsa Barat, terutama Amerika Serikat yang pernah menjadi
musuhnya.
Ketika itu selepas Perang Dunia II, masyarakat Jepang dengan
perekonomiannya memang dalam keadaan amat kusut. Karena itu, mereka harus
berusaha keras untuk bisa kembali sebagai bangsa yang unggul. Dan fokus untuk
meraih keunggulan ini adalah dengan terus memacu pertumbuhan ekonomi.
Karena didasari dengan “semangat lapar” ini akhirnya menimbulkan kekosongan
spiritual di jantung bangsa Jepang. Dan berujung dengan terjadinya degenerasi
moral. Dari sudut ini Ishihara Shintaro berkeyakinan dengan “mentalitas lapar” itu
bangsa Jepang tidak akan dapat menyelamatkan bangsa dan negaranya dari
keruntuhan kalau mereka tidak cepat-cepat “banting stir”.
Namun di sisi lain, Ishihara juga mengaku “mentalitas lapar” yang
kebutuhan”, karena sesungguhnya “mentalitas lapar” ini terutama dipicu oleh rasa
rendah diri terhadap peradaban Barat yang lebih maju. Sejak zaman Tokugawa,
rasa “iri” untuk bisa menguasai dunia seperti bangsa Barat memang sudah
tertanam dalam jiwanya. Karena itulah Jepang membangun kekuatan militer yang
tangguh dengan perhitungan lewat ekspansi militerisme Jepang akan tampil
menjadi pemimpin dunia. Namun terbukti gagal karena kemudian dikalahkan
secara militer pula dengan dijatuhkannya bom atom oleh Barat (Amerika Serikat)
di dua kota industri utama Jepang.
Dengan “mentalitas lapar”, bangsa Jepang yang merasa rendah diri ini
terbakar aspirasinya untuk kembali berusaha mengungguli Barat. Tanpa sindroma
lapar yang merasuki jiwa bangsa Jepang di semua lapisan, maka Jepang tak akan
pernah dapat menjadi suatu bangsa yang maju dan modern industrinya dalam
waktu singkat bahkan akhirnya terbukti mampu mengungguli Barat. Namun kali
ini bukan di segi militerisme, melainkan teknologi, industri di mana hasil
produknya telah membanjiri sekaligus menguasai dunia. Banyak negara-negara
industri Barat yang semula memandang Jepang dengan sebelah mata justru mulai
ketakutan akan ekspansi produk teknologi canggih dan industri Jepang yang mulai
tampil seperti gurita raksasa.
Bangsa Jepang, memang menempatkan dirinya ibarat permukaan cermin
yang luas, yang menerima dan memantulkan cahaya dari peradaban
bangsa-bangsa lain di dunia. Para ahli tehnik, industri otomotif dan elektronika,
bayangan kemajuan dari negara lain untuk kemudian diadopsi, direkayasa
sehingga akhirnya menjadi produk baru yang lebih canggih dari aslinya dan itu
merupakan karya bangsa Jepang yang kemudian dilempar ke pasaran dunia.
Program pendidikan merupakan aset utama dalam program pembangunan
nasional Jepang. Anggaran belanja negara, banyak tersedot dalam program ini dan
pada awalnya terutama untuk proyek-proyek penerjemahan serta riset dan
penelitian, khususnya di bidang teknologi dan industri. Seperti halnya yang
dilakukan oleh Taiwan yang kini termasuk “Macan Asia” sebagai salah satu
negara industri baru di kawasan Timur, Jepang mendidik para penerjemah (antara
lain dengan mengirim mereka keluar negeri) di mana setelah memperoleh
pengetahuan bahasa yang cukup mereka harus segera kembali dan mulai
melaksanakan tugas menerjemahkan buku apa saja dari luar, khususnya dari
negara-negara Barat yang dianggap sudah lebih maju, ke dalam bahasa Jepang.
Dengan cara demikian rakyat Jepang, terutama para pelajar dan mahasiswa
yang duduk di perguruan tinggi, tak harus membuang waktu dengan bersusah
payah belajar bahasa asing. Mereka dapat mempelajari dan mengadopsi ilmu-ilmu
terapan dari Barat dengan lebih mudah melalui literature yang sudah tertulis
dalam bahasa Jepang. (catatan : Dahulu Prof. Dr. Sutan Takdir Alisjahbana
semasa hidupnya juga tak jemu-jemunya menyarankan kepada Pemerintah untuk
membentuk suatu komisi penerjemah yang bertugas menerjemahkan buku-buku
pintas untuk mengadopsi ilmu dari Barat, namun kurang mendapat tanggapan dari
pihak Pemerintah Indonesia ).
Dewasa ini kita menyaksikan, di samping Jepang, negara-negara Timur
lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan dan Tiongkok telah menjadi negara industri
maju, menguasai teknologi canggih dan komoditas industrinya yang berbasis
teknologi telah menguasai dunia. Semua itu antara lain karena sudah sejak lama
negara-negara tersebut telah melakukan program penerjemahan dan penelitian
yang sangat membantu para mahasiswa untuk menyerap ilmu dari Barat.
Bagi bangsa Jepang sendiri, sudah jelas program penerjemahan dan
penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari “mentalitas lapar”. Dengan
menjadikan dirinya sebagai cermin yang luas, yang sanggup menerima dan
memantulkan kembali semua bayangan obyek yang terjangkau, bangsa Jepang
tidak bersikap fanatik dalam memandang bangsa lain di dunia. Prinsip tidak ada
kawan dan lawan yang abadi telah ditanam jauh-jauh di lubuk hatinya.
Demikianlah, dalam rangka memenuhi rasa laparnya itu, bangsa Jepang tetap
mencoba menjalin hubungan baik dengan musuh-musuhnya, seperti Cina, Korea
dan juga Amerika Serikat serta beberapa negara di Eropa. Yang penting,
bagaimana dapat menyerap ilmu mereka dan melihat peluang pasar di
negara-negara tersebut untuk nanti menjadi lahan bagi penjualan komoditasnya.
Yang dipertanyakan, apakah usaha-usaha Jepang itu dapat diterima baik
oleh bangsa Asia lainnya yang sejak dulu masih dihinggapi trauma kekejaman
dulu juga telah melakukan banyak kekejaman terhadap bangsa Cina, Korea,
Thailand, Malaysia dan negara-negara lain di Asia. Dan trauma kekejaman itu
masih terus melekat hingga hari ini.
Menyadari kenyataan tersebut, maka dalam simposium di Tokyo tentang
“Masa Depan Asia” yang diselenggarakan pada awal bulan Juni 2003, Perdana
Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Perdana Menteri Thailand Thaksin
Shinawatra mengingatkan kepada bangsa-bangsa Asia yang pernah menjadi
korban kekejaman Jepang untuk melupakan dendam tentang konflik masa lalu
demi kesatuan dan kesejahteraan regional Asia di Masa Depan”. Tentu, seruan
kedua Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi bahwa ternyata meskipun sudah
lewat setengah abad, bangsa-bangsa Asia masih tetap belum bisa melupakan
kekejaman rakyatnya di masa lalu. Lebih-lebih lagi, karena agresi Jepang yang
pernah berlangsung terhadap negara-negara tetangganya di Asia dan sikap
Pemerintahnya yang tidak mau minta maaf, apalagi memberikan kompensasi
kepada korbannya, menjadi sumber kepahitan yang sulit dihapuskan.
Mengingat kenyataan itu, Perdana Menteri Junichiro Koizumi tentu tidak
ingin mengalami nasib seperti Perdana Menteri sebelumnya, yakni Kakuei Tanaka
yang pada tahun 1974 melakukan kunjungan ke berbagai negara di Asia seperti
Thailand, Malaysia dan Indonesia di mana ternyata mendapat sambutan
demonstrasi anti Jepang yang demikian kuatnya, terjadi pembakaran dan
dihapuskan sebagai lembaran hitam paling buruk dalam sejarah hubungan
Indonesia-Jepang. Sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Mahathir Mohamad sempat ”menyindir” Junichiro dalam acara simposium
tentang “masa depan Asia” tersebut dengan menegaskan bahwa sebenarnya
banyak peluang yang dimiliki Jepang untuk menyembuhkan luka-luka lama yang
diperbuatnya dengan negara-negara tetangganya. “kadang-kadang kita melakukan
kesalahan di masa silam. Dan kita tidak ingin mengulanginya lagi. Dan Jepang
bisa berbuat seperti begitu dan dapat menebus antara lain dengan dengan
meminjamkan uang dan memperkenalkan kemajuan teknologi yang telah
dicapainya.”
Kalau mau, tentu Jepang dengan mudah dapat melakukannya, sebab
Jepang sudah memiliki apa yang dikehendaki Mahathir. Modal untuk investasi
dan kemampuan untuk ahli teknologi. Masalahnya, bukankah Jepang ingin tetap
mendominasi perekonomian di Asia, bahkan di dunia. Kalau apa yang
dikehendaki Mahathir dipenuhi begitu saja, maka Jepang tak bisa memerankan
dirinya sebagai gurita yang bisa mendikte ( sekaligus mencengkeram )
negara-negara tetangganya di bidang ekonomi.
Gurita ekonomi Jepang semakin terasa ketika sampai tahun 2003, negeri
ini telah mengendalikan 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di kawasan
Asia. Produk ekspornya pun yang terbesar masuk ke negara-negara Asia. Di satu
sisi, seperti dikatakan oleh Presiden Pilipina Gloria Macapagal-Arroyo yang juga
banyak di Asia untuk menghindari dominasi Amerika Serikat. Arroyo memang
menginginkan agar bangsa Asia lebih bertanggung jawab untuk semua keamanan
ekonomi dan politik di Asia. Kalau Jepang, Cina dan negara-negara Asia lainnya
dapat menjalin kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan, maka akan
menghasilkan sebuah dunia multipolar yang tidak bisa didikte oleh AS.
Dan Jepang tentu sudah paham pula dengan keinginan itu, karena
bukankah itu pula yang menjadi keinginan Jepang. Bukankah dulu di masa Perang
Dunia II, Jepang pula yang menyatakan dirinya sebagai “saudara tua” terhadap
bangsa-bangsa Asia lainnya. Jadi jelaslah, bila Amerika Serikat tidak mampu
mendominasi perekonomian Asia ( dan itulah memang yang diinginkan Jepang ),
maka Jepanglah ( sebagai sesama bangsa Asia ), yang akan menjadi penggantinya.
Tetapi karena kedua negara itu tetap sama-sama kapitalis yang sedang
kelaparan, maka masalahnya “perlindungan” yang akan diberikan oleh Amerika
Serikat atau Jepang bagi bangsa atau negara-negara Asia lainnya tak ubahnya
akan membuat negara-negara di Asia ini seperti harus memilih, masuk ke mulut
macan atau mulut singa. Dan tentu saja tak ada satu negara pun yang mau
mengalami nasib seperti itu.
Baik Jepang maupun Amerika Serikat, memang tak pernah melepaskan
perhatiannya terhadap pasar Asia yang dianggapnya sangat menguntungkan.
perang dagang antara keduanya telah berlangsung lama untuk mendominasi
Semula, setidaknya sebelum Bill Clinton berkuasa, Amerika Serikat
memang masih melihat Jepang dengan sebelah mata. Ketika itu, berbagai produk
Jepang, mulai otomotif, elektornik hingga peralatan rumah tangga mengalir ke
negeri Paman Sam ini. Di masa Clintonlah, kalangan industri di AS terbangun
dari tidur dan melihat bahwa gurita Jepang ternyata sudah berada di depan mata.
Dan sejak itulah, AS dengan sigap mengambil langkah-langkah strategis
agar produk-produk Jepang tak semakin dominan semakin menguasai pasar di
negerinya. Ketika itu, pasar-pasar di AS memang sudah didominasi oleh produk
Jepang. Sebagai contoh, dari lebih 8 juta mobil yang diproduksi Jepang pada
tahun 1977, lebih dari separuhnya di ekspor dan hampir dua juta diantaranya
menghiasi etalase took mobil di AS. Padahal, AS sendiri adalah negara produsen
mobil.
Nilai ekspor Jepang ke negeri Paman Sam sepanjang dekade 1970-an juga
terus meningkat, hingga mencapai 18 miliar dollar AS pada tahun 1977. Padahal
dua tahun sebelumnya baru mencapai 11 miliar dollar AS. Sementara itu pada
masa yang sama, impor Jepang dari AS tak melebihi angka 10 miliar dollar AS.
Melihat kepincangan itu, dimulailah “penciptaan keseimbangan”, ala
Clinton, antara lain Jepang diharuskan membeli berbagai jenis produk pertanian
seperti beras, buah-buahan, sayuran segar, daging, bahkan juga berbagai produk
elektronik seperti mainan anak-anak dan lain-lain dari AS. Padahal, semua itu
Di bagian depan telah kita singgung bagaimana pihak Jepang mengalami
kesulitan ketika “ditodong” untuk membeli beras dari AS. Sebab kualitas beras
Jepang sendiri jauh lebih baik dan orang Jepang sudah terbiasa mengkonsumsi
beras hasil pertaniannya sendiri yang lebih enak. Tapi apa daya, “todongan” itu
pun harus diterima karena banyak perusahaan Jepang membutuhkan pasar
domestik AS untuk menampung produksinya, yang tak mungkin hanya bisa
ditampung oleh pasar di Asia atau Eropa.
Setidaknya sepanjang dasawarsa tahun 1970-an dan berlanjut di era
Pemerintahan Clinton, Jepang memang benar-benar dihadapkan pada Perang
Pasar dengan AS yang amat menyulitkan. Sampai-sampai, kalangan industri
Jepang mulai mengambil langkah-langkah pengamanan ke dalam, antara lain
dengan menawarkan pensiun dini atau penurunan gaji sebagai pilihan daripada
melakukan PHK secara besar-besaran kepada para karyawan di perusahaannya
yang diperhitungkan akan mengalami dampak tidak menguntungkan akibat
“perang” tersebut lebih-lebih kalau sampai berlangsung berkepanjangan.
Mungkin tidak berlebihan bila dikatakan, dekade tahun 1970-an
merupakan masa resesi pertama bagi Jepang sejak selesainya Perang Dunia II.
Sebagai suatu masa yang sangat menyulitkan. Dalam dekade ini pulalah nanti
akan kita temui “Peristiwa Malari” yang sangat memukul kredibilitas Jepang
khususnya di Indonesia pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Kakuei Tanaka.
dari Departemen Keuangan Jepang ini lebih sibuk mengurusi inflasi, padahal
banyak faktor lain yang menuntut untuk segera diatasi. Dan angka pengangguran
pun melonjak sejak tahun 1977 hingga 2 persen dari total angkatan kerja. Hampir
20 ribu perusahaan bangkrut, sementara utang yang belum terbayar melejit sampai
12 miliar dollar.
Banyak komoditas yang diproduksi secara besar-besaran oleh Jepang yang
akhirnya menumpuk saja di gudang. Dan ini tentu merupakan masalah serius,
bukan hanya karena melonjaknya biaya pemakaian gudang, tetapi terutama juga
karena perputaran investasi menjadi terhambat. Apalagi, bagi investasi berskala
besar, seperti industri baja untuk keperluan produk otomotif dan industri
elektronik yang usia produknya sangat pendek karena akan selalu disusul dengan
produk baru yang lebih canggih seperti di bidang komponen komputer, telepon
genggam, radio dan lain sebagainya.
Orang Jepang sendiri, menyadari situasi perekonomian di negaranya yang
tak menentu, memilih memangkas semua anggaran belanja yang tidak pokok,
seperti biaya rekreasi atau pakaian baru dan pembelian barang mewah lainnya.
Mereka memilih menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Karena itu pula
sepanjang dasawarsa tahun 1970-an, disambung tahun 1980-an, orang Jepang
yang sejak mula memang gemar menabung menjadi semakin rajin untuk
menabungkan uang yang disisihkannya dari anggaran belanja sehari-hari. Ketika
itu tabungan Jepang secara Nasional mencapai 30 persen dari GNP dan sebagian
justru merepotkan pihak bank-bank nasional karena tidak dapat memanfaatkan
uang masyarakat yang menumpuk itu, yang harus disediakan bunganya, akibat
jalur untuk investasi masih mampat atau hanya sedikit yang bisa dimanfaatkan.
Berbagai jenis industri besar, misalnya di bidang perkapalan, mobil dan
kereta api yang telah mereka produksi, ternyata menghadapi hambatan akibat
berkurangnya pesanan dari negara lain. Apalagi, negara tetangga dekatnya, Korea
Selatan ternyata sudah mulai menggeliat sebagai salah satu “Macan Asia” yang
baru juga memproduksi komoditas hasil dari teknologi tinggi seperti yang telah
dilakukan oleh Jepang. Belum lagi produk-produk dari Taiwan dan Cina yang
juga mulai merambah pasaran dunia.
Jepang benar-benar tak lagi merupakan “Pemain Tunggal” sebagai “raja”
yang bisa malang melintang memainkan pasar Asia, lebih-lebih pasar dunia. Di
Indonesia sendiri, selama berpuluh-puluh tahun sejak Jepang mengakhiri
penjajahannya, sebenarnya mereka telah datang kembali sebagai penjajah. Para
investor “memberi bantuan” untuk membangun Indonesia dengan merambah dan
menguasai semua proyek, mulai pembangkit tenaga listrik, pembuatan jalan dan
jembatan, pembangunan kantor, sentra perkantoran, sentra pemukiman, sentra
bisnis, sentra industri dan lain-lain. Sementara itu, sebagaimana sudah disebutkan,
berbagai jenis produk otomotif dan elektronik telah menguasai pasar Indonesia
mulai di kota besar sampai kota-kota kecil.
melainkan akan membeli “Honda”. Mereka tidak menyebut akan memakai
“pompa air” tetapi akn memakai “sanyo”. Semua itu, menandakan bahwa
produk-produk Jepang merupakan satu-satunya pilihan karena merk-merk tersebut
dianggap produk terbaik dengan harga terjangkau.
Kini, orang Indonesia memang bisa memilih banyak produk lain di luar
yang dihasilkan oleh Jepang, akibat kebangkitan industri dari Korea dan Cina di
samping produk Eropa yang sejak dulu memang sudah masuk ke Indonesia.
Berbagai merk seperti KLA dan Hyundai dari Korea Selatan serta Liang Jing dari
Cina juga sudah mulai banyak dikenali, disamping BMW, Pigeot, Fiat, Citroen
(mobil) dan IBM (komputer/peralatan kantor) dan lain-lain dari Eropa atau AS
yang sudah lama masuk ke Indonesia. Dan ini jelas suatu tantangan bagi Jepang.
Dahulu orang yang kemampuannya kurang karena tidak mempunyai
pilihan lain yang lebih murah, harus menunggu beberapa bulan ataupun beberapa
tahun hanya untuk mendapatkan televisi ataupun mesin cuci karena harus
mengumpulkan uang terlebih dahulu. Dan sebaliknya orang yang kemampuannya
lebih tetap harus membeli produk Jepang karena produk Eropa yang
diinginkannya tidak ada di Indonesia dan dilarang masuk oleh Pemerintah
Indonesia.
Demikianlah penjajahan yang mereka lakukan yang dapat kita sebut
sebagai “penjajahan gaya baru” ataupun “penjajahan ekonomi” yang dampaknya
sangat menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini mereka lakukan dengan
yang benar-benar memahami apa yang telah diperbuat perusahaan Jepang dan
Pemerintahan Jepang yang selama berpuluh-puluh tahun memeras harta dan
keringat orang Indonesia.
Mereka seperti memakai topeng dimana wajah mereka yang sebenarnya
sangat kejam dan licik akan tertutup gambar topeng yang mereka buat dengan
gambar yang menyerupai “dewa penyelamat” yang selalu memberikan bantuan
yang sebenarnya adalah “hutang”. Dimana kata-kata ini dibantu oleh
penguasa-penguasa di zaman sebelum reformasi di Indonesia.
Dari hal yang disebutkan di atas haruslah kita mulai dari sekarang,
walaupun sudah sangat terlambat untuk berhati-hati atas kebaikan hati saudara tua
kita tersebut dengan pengalaman yang sudah kita peroleh selama ini bahwa
mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri tanpa punya niat untuk
membantu orang lain.