• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebutan suku Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-sub suku Dayak yang ada di Kalimantan, mulai dikenal pada saat dilakukan rapat damai yang dihadiri kepala-kepala suku adat Dayak se Kalimantan di Tumbang Anoi dari tanggal 22 Mei -24 Juli 1894. (Ilon, 1987a; Usop, 1994:v-vii dan Kurniawan, 2007). Rapat ini merupakan peristiwa yang sangat bersejarah pada abad ke-19 untuk merintis persatuan dan kesatuan dengan mengokohkan sistem adat-istiadat dan tata krama maupun sikap moral (Ilona, 1987:7) melalui berbagai penyelesaian

konflik antar suku Dayak terkait dengan kegiatan ritual adat seperti saling bunuh (habunu), saling potong kepala (hakayau), dan saling memperbudak (hajipen) diantara suku-suku Dayak yang kemudian dikenal dengan rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Semangat ini yang kemudian disebut dengan “semangat Anoi” mendorong

kesadaran orang Dayak salah satunya adalah pentingnya mempertahankan hak-hak adat Dayak.

Walaupun umurnya lebih dari seratus tahun lalu terpedam dalam sejarah, namun “semangat Anoi” masih tetap diakui oleh orang Dayak sebagai peristiwa bersejarah yang terbesar dan unik karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh adat (informal leader) +1.000 orang mewakili 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan. Rapat akbar ini merupakan persidangan pengadilan adat terbesar untuk menyelesaikan hampir 300 perkara berkaitan dengan konflik antar suku Dayak selama dua bulan (60 hari) untuk menghasilkan sejumlah peraturan adat. Disepakati 96 pasal Hukum Adat untuk menjadi pedoman bagi para Damang Kepala Adat di seluruh Kalimantan yang kebanyakan bertugas mengatur tentang sanksi-sanksi adat di dalam interaksi sesama orang Dayak maupun dalam kehidupan perladangan. Misalnya tradisi saling potong kepala (hakayau) sudah tidak terjadi lagi dimana kepala manusia simbol diganti dengan buah kelapa. 49

Rapat damai ini juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yaitu; persaudaraan, perdamaian, dan kesadaran tertib hukum yang diwujudkan dalam perilaku, sebagai terbitnya cahaya peradaban untuk menyinari hutan belantara Kalimantan. Manarik dalam rapat ini, pihak Belanda (Kontrolir Tanah Dayak A.C. da Hee dan Kontrolir Melawi J.P.J. Barth) yang menginisiasi rapat ini menampilkan diri lebih sebagai saudara sesama manusia daripada sebagai penguasa. Sikap ini disambut dengan semangat yang sama dengan bahasa yang berbeda: Belanda, Melayu, dan Dayak yang kemudian melahirkan Pakat Dayak. Pakat Dayak berisikan; (1) perang antara Belanda dan pasukan Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masing-masing; (2) mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan

191

membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada kedaulatan dan status lembaga adat (Kedamangan); (3) semua pihak sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku); (4) dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali dilakukan dengan latar belakang dendam; (5) menghentikan kegiatan kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan); (6) menghentikan kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual beli budak); (7) menyempurnakan warisan turun temurun yang dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang dijalankan pemerintah; dan (8) memberi kesempatan untuk berbagai pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan dicarikan penyelesaiannya.

Pakat Dayak juga merupakan bentuk kesepakatan, kerukunan, persatuan dan kesatuan langkah dan pandangan pada suatu kurun waktu.Karenanya Pakat Dayak dapat dikatakan sebagai institusi atau sebagai sekumpulan norma dan perilaku yang tetap sepanjang waktu dengan cara memberi tujuan yang bernilai kolektif (Uphoof, 1986:1-19) yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai kerangka interaksi dan integrasi dimana jati diri orang Dayak akan terus berkembang dari waktu ke waktu dalam mengisi ruang pembangunan atau dalam ruang membentuk peradapan. Selain itu, Pakat Dayak juga digunakan sebagai alat perjuangan, karena pengertian pakat mengandung suatu kebulatan pikiran, pandangan dan langkah ke suatu tujuan atau suatu pencerahan pikiran atau kebangkitan atau kebangkitan kembali kebudayaan (cultural revival) (Usop, 1994:v-vii).

Walaupun rapat damai di Tumbang Anoi (1894) merupakan sejarah besar bagi orang Dayak, tetapi sebagian orang Dayak menganggap pertemuan tersebut merupakan kekalahan dan mengembangkan mentalitas budak di kalangan orang Dayak sebagai

politik desivilasi “ragi usang” (Kusni, 2010). Orang Dayak kemudian

memiliki rasa rendah diri sampai-sampai ada yang tidak mengakui dirinya orang Dayak dan mau berbahasa Dayak. Kesalahan rapat damai di Tumbang Anoi, dikoreksi setelah 25 tahun kemudian, tepatnya pada

tanggal 18 Juli 1919 dengan didirikannya organisasi oleh beberapa tokoh Dayak yang diberi nama dengan Pakat Dayak atau Serikat Dayak. Berdirinya organisasi ini bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya di berbagai pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Apakah berdirinya organisasi Pakat Dayak tidak terpisahkan dari Gerakan Kebangkitan Nasional untuk kemerdekaan Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh. Namun demikian, dengan berdirinya organisasi ini diharapkan dapat

melahirkan kesadaran “baru” tentang pentingnya gerakan membela

harkat dan martabat orang Dayak, baik secara politik, ekonomi, budaya maupun sosial.

Meskipun Pakat Dayak sudah dibentuk, tetapi masih banyak orang Dayak yang belum sadar pentingnya membangun integritas ke-Dayak-an karena mereka tetap merasa dirinya sebagai Dayak Oot Danum, Dayak Ngaju, Dayak Siang, Dayak Bakumpai dan Dayak Maanyan, yang berasal dari daerah utus itu dan utus ini. Hal ini terlihat dari upaya membentuk Komite Kesadaran Bangsa Dayak tahun 1938 agar orang Dayak memiliki wakil di Parlemen Belanda (Volksraad) di Betawi. Komite ini kemudian menyebarkan selebaran (yang dikenal sebagai Suara Dayak) untuk disampaikan ke berbagai pelosok sungai atau DAS, walaupun pada akhirnya tidak berhasil membawa wakil orang Dayak duduk di Parlemen Belanda (Van Klinken, 2004:18).

Perjuangan selanjutnya terjadi dari tahun 1953-1957 setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dengan melibatkan banyak aktor dan organisasi kemasyarakatan, seperti: pasukan khusus (Pasus); Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS); Serikat Keharingan Dayak Indonesia (SKDI); Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) dll berjuang untuk membentuk Daerah Otonom (Provinsi Kalimantan Tengah), lepas dari wilayah administrasi Kalimantan Selatan. Untuk mempersiapkan segala sesuatu membentuk Daerah Otonom, maka pada tahun 1956 beberapa tokoh Dayak dan organisasi kemasyarakatan di bawahnya menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) di Banjarmasin. Latar belakang dilaksanakan kongres ini salah

193

satunya menyiapkan proposal pembentukan provinsi Kalimantan Tengah. Dasar pembentukan adalah secara geografis luas Kalimantan Tengah 1,5 kali dari luas pulau Jawa, memiliki sumber daya manusia kurang lebih 450.000 jiwa pada tahun 1957, serta memiliki sumber daya alam yang sangat besar untuk menunjang pemerintahan. Pertimbangan lain bahwa faktor etnologis, sosiologis dan psykologi lebih didominasi oleh masyarakat dari suku Dayak (Jidan, 1994 dan Usop, 1978). Gerakan ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang dicatat dalam Lembaran Negara No. 53 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Kalimantan Tengah. Oleh karenanya KRKT yang diselenggarakan di Banjarmasin dijadikan sebagai tonggak penyelenggarakan KRKT berikutnya dan kemudian disebut sebagai KRKT I.

Pada masa Orde Baru, tepatnya memperingati 100 tahun Rapat Tumbang Anoi (tahun 1994), beberapa tokoh adat Dayak dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyepakati perlunya membentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah yang disingkat LMMDD-KT. Lembaga selanjutnya dijadikan sebagai wadah atau ranah (field) untuk membangun jaringan hubungan-hubungan antar orang Dayak, seperti yang dikembangkan oleh Bourdieu (Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J, 2008:525). Pembentukan lembaga ini terinspirasi dari gerakan Pakat Dayak yang telah berjuang pada masa kolonial. Karenanya LMMDD-KT dibentuk bukan sebagai gerakan instan tetapi gerakan untuk terus menginstitu-sionalisasikan Pakat Dayak dalam kehidupan orang Dayak. 50

Sejak dibentuk, LMMDD-KT melakukan berbagai tindakan kolektif melalui aksi-aksi massa untuk memperjuangkan kepentingan orang Dayak. Salah satu aksi massa yang pernah dilakukan adalah menolak calon Gubernur Kalimantan Tengah “dropping” pusat (Karna

Suwanda adalah calon Gubernur ketiga yang ditolak) dengan melakukan demo besar-besaran oleh masyarakat menuntut dipilihnya

“putera daerah” pada tahun 1996. Namun akhirnya calon gubernur

50 Wawancara dilakukan dengan tokoh adat Dayak pada tanggal 05 Maret 2010 di Palangkaraya.

dropping pusat yang dipilih adalah Warsito Rasman (masa bakti 17 Juli 1994 hingga Juli 1999). Untuk menegaskan sikap ini, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan KRKT II pada tahun 1995 di Palangkaraya. Butir-butir kesepakatan hasil KRKT II adalah; (1) tetap memperjuangkan Gubernur berasal putra daerah; (2) memperjuangkan untuk memperoleh otonomi daerah; dan (3) memperjuangkan hak-hak adat orang Dayak.

Terlepas dari kegagalan untuk mempengaruhi pemerintah agar memilih Gubernur Kalimantan Tengah dari orang Dayak, namun perjuangan ini memunculkan kembali politik etnis atau politik Dayak atau Pan Dayak. Hal ini terjadi karena sejak kemerdekaan, apalagi pada masa pemerintahan Orde Baru orang Dayak terus termajinalisasi. Dengan menggunakan stigma sosial yang negatif dan

mengatasnamakan pembangunan, orang Dayak kemudian

dikategorikan sebagai “suku terasing” atau sebagai yang others sehingga

perlu dilakukan program relokasi seperti yang dilakukan pada masa kolonial Belanda (Mutia, 2006:14-15), dan juga dibeberapa negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Filipina (Ghee dan Gomes, 1993). Di balik alasan memberadabkan dan memodernkan orang Dayak yang disodorkan untuk mendukung program relokasi, tetapi kerap kali terdapat kaitan langsung untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya. Mengiringi perjalanan euforia reformasi, di Kalimantan muncul konflik etnik antara Madura dan Dayak. Konflik ini mendapatkan perhatian secara khusus dari Human Right Watch karena memakan ratusan korban jiwa dan ribuan orang dari etnis Madura harus mengungsi di berbagai wilayah di Indonesia. Orang Madura meninggalkan harta bendanya yang jumlahnya tidak sedikit karena mereka telah hidup puluhan tahun di Kalimantan (data yang sebenarnya hingga saat ini belum diketahui). Awal mula konflik etnis ini di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Ketapang pada tahun 1999, kemudian menjalar ke Kalimantan Tengah tepatnya pada tahun 2001 di Sampit. Dimulai perkelahian antar individu, tetapi mampu memancing menjadi konflik antar etnis, karena salah satu etnis (orang Dayak) merasa terhina dengan berbagai ucapan dan tindakan yang

195

merendahkan harkat dan martabat mereka. 51 Penghinaan ini membangkitkan solidaritas dengan menggunakan berbagai antribut kebudayaan yang dipercaya memiliki kekuatan untuk melawan. Kode-kode budaya kemudian digunakan untuk menyatakan perang atau dalam bahasa Dayak Ngaju Asang yang hanya bisa dimengerti oleh orang Dayak. Dengan mengirim tombak yang diikat dengan rotan merah atau telah dijernang yang diartikan orang Dayak menyatakan perang dengan orang Madura. Orang Dayak yang tinggal terpencar di pedalaman kemudian turun ke kota untuk melakukan ritual perang adat yang disebut kayau atau mengayau.

Ritual kayau atau mengayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh adat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam upacara Tiwah. Menurut Mukhlis (2008), kayau terbagi menjadi empat bagian: (1) Mengayau dalam arti yang sebenarnya yaitu memenggal kepala saat terjadi peperangan; (2) Mengayau Bajai (buaya) yaitu memenggal kepala buaya yang menyambar manusia. Menurut tradisi orang Dayak buaya yang menyambar manusia adalah buaya yang bersalah sehingga buaya tersebut harus dihukum; (3) Mengayau batang kayu yaitu memenggal pohon kayu yang dianggap bersalah karena ada orang Dayak yang ketimpa pohon kayu tersebut sehingga menimbulkan korban jiwa; dan (4) Mengayau danum (air) yaitu menebas air sungai jika ada orang Dayak yang tenggelam sehingga perlu dilakukan pembalasan. Empat bagian ini dilakukan melalui ritual dengan berbagai macam persembahan, bisa berupa hewan kurban, sesaji dan berbagai macam perlengkapannya dilakukan oleh basir atau dukun.

Perdebatan apakah kayau digunakan pada saat terjadinya konflik masih dipertanyakan. Namun menurut seorang anggota Pasus Dayak menyatakan bahwa; “…sebelum mereka berperang melawan orang

Madura mereka dimandikan terlebih dahulu oleh basir atau dukun sehingga mereka tidak sadarkan diri (semacam kesurupan) untuk kemudian berlomba memotong kepala musuh (orang Madura) dengan

51 Hasil wawancara dengan seorang anggota Pasukan Khusus (Pasus) di Sampit, 10 September 2010.

Mandau merupakan bentuk ksatria (Lingu, 2002:75). Kegiatan memandikan inilah yang oleh orang Dayak disebut sebagai ritual kayau untuk mengubah kekuatan spiritual (spiritual capital) mereka menghadapi musuh. Dengan menggunakan antribut kebudayaan dalam konflik dapat menjadi medium perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas sekaligus sebagai upaya penegasan solidaritas diri oleh orang Dayak, yang dalam hal ini diarahkan terhadap para pendatang keturunan Madura. Tanasaldy dengan mengutip Davidson (2007:477) menyatakan bahwa konflik paling keras antara orang Dayak dan orang Madura dalam sejarah dapat dipandang sebagai penegasan diri orang Dayak setelah sekian lama tertekan dan terpinggirkan.

Dengan semakin meningkatnya ekskalasi konflik, maka LMMDD-KT pada tahun 2001 menggelar KRLMMDD-KT III di Palangkara dengan acara khusus membicarakan konflik dengan etnis Madura. KRKT III dihadiri berbagai elemen masyarakat (elit politik, akademisi, LSM, tokoh adat dll) dari pusat hingga kabupaten/kota di seluruh Kalimantan Tengah. Seorang tokoh pemuda Dayak yang mengikuti KRKT III menyatakan bahwa solidaritas ke-Dayak-an yang muncul sangat kuat dan saling bahu membahu untuk menutupi seluruh biaya kongres. Tekad yang kemudian dibangun dalam KRKT III disebut dengan Tekad Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (TDAB-BK).

Nam Centre (2001, dalam Usop, 2003) menyatakan paling tidak ada tujuh pokok masalah yang menjadi akar terjadi konflik etnis antara orang Dayak dengan orang Madura: (1) Kebijakan pembangunan yang salah dimasa lalu; (2) Pembinaan Sumber Daya Manusia yang kurang berhasil; (3) Benturan budaya; (4) Ketidakadilan; (5) Kemiskinan; (6) Keamanan; dan (7) Ketidakpastian penegakkan hukum. Namun yang menjadi fokus KRKT III lebih menyoroti pada persoalan kebijakan pembangunan yang dinilai salah pada masa lalu mengakibatkan terjadinya benturan budaya, tidak ada penegakkan hukum yang berpihak kepada orang Dayak, tidak terjaminnya keamanan, terjadinya ketidakadilan, kemiskinan semakin meningkat, dan kebijakan pembangunan yang sentralistik/otoriter sehingga aspirasi orang Dayak

197

sebagai akar rumput tersumbat dan merasa terpinggir dan termarginalkan. Karenanya KRKT III memperjuangkan nilai secara damai, bahu membahu, melalui organisasi (nilai demokrasi), bila terpaksa atau terdesak sedia mengangkat senjata bila yakin akan misi perjuangan, menentang kelaliman dan eksploitasi, monopoli dan otoriterianisme atau sentralisasi, KKN, menentang kekerasan dan cara-cara kekerasan.

Butir-butir kesepakatan yang kemudian dihasilkan KRKT III adalah : (1) menerima TDAB-BK; (2) menerima pusat sebagai mediator; (3) menolak cara-cara kekerasan; dan (4) menerima dengan bersyarat

bahwa warga masyarakat pengungsi Madura menyatakan diri “siap

damai dan minta maaf”. Agar butit-butir kesepakatan tersebut dapat

dijalankan KRKT III juga meminta kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk: (1) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Kependudukan; (2) terus menjalankan proses hukum; (3) menghentikan sejenak upaya untuk melakukan pemulangan pengungsi orang Madura setelah dilakukan pendinginan dinamik, rasa aman oleh kedua belah pihak; (4) Budaya Betang: dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung diutamakan; dan (5) melaksanakan pembangunan secara terpadu dari tingkat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Tindak lanjutnya adalah Pemerintah Provinsi Kalimatan Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2001 tentang Penduduk Dampak Konflik yang berisi lima bab: bab pertama (Ketentuan Umum) dengan pasal 1 beserta 19 ayat, antara lain tentang: penanganan penduduk dampak konflik adalah upaya normalisasi kehidupan penduduk daerah, rekonsialiasi, rehabilitasi, ada tentang nilai-nilai/norma-norma dan hukum, serta kelembagaan adat; bab kedua (Kebijakan Daerah) berkenaan dengan rekonsiliasi, rehabitasi, kewenangan dan peranan Damang Kepala Adat; bab ketiga (Penyelenggaraan Pengembalian Penduduk) berkenaan dengan pendataan dan pendaftaran penduduk; pengembalian penduduk; keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan, pengawasan dan pengendalian; bab empat (Sangsi Hukum dan Hukum Adat); dan bab kelima (Penutup)

Setelah KRKT III, LMMDD-KT menindak-lanjuti upaya penyelesaian konflik dengan menyelenggarkan pertemuan Tekat Mufakat Masyarakat Kalimantan (TMMK) di Batu Malang, Jawa Timur pada tahun 2002. TMMK diselenggarakan untuk menyatukan seluruh kepentingan orang Dayak di Bumi Kalimantan (empat provinsi). Ada sembilan butir kesepakatan yang dihasilkan di Batu Malang bahwa Masyarakat Kalimantan; (1) siap melaksanakan TDAB-BK; (2) bersama pemerintah secepatnya meningkatkan kurukunan masyarakat yang multi etnis; (3) berupaya sekuat tenaga mewujudkan normalisasi melalui penciptaan keadaan aman, damai, dan rasa aman; (4) bertekad berupaya menghormati budaya masing-masing dengan prinsip “dimana

bumi dipijak, disitu langit dijunjung” untuk berdampingan secara

rukun dan damai; (5) sepakat mengakhiri penderitaan para korban pertikaian dan keluarga anak bangsa dari keturunan etnis manapun; (6) keturunan Madura korban kerusuhan diproses pengembaliannya secara bertahap yang didukung oleh iklim kondusif sesuai dengan kebijakan Pemeritah dan kebijakan Pemerintah Daerah; (7) mendukung Pemerintah menegakkan supermasi huku; (8) siap melakukan langkah-langkah proaktif untuk kehidupan rukun, damai, dan harmonis; dan (9) implementasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk: (a) pemulihan sosial kembali ke tempat semula sesuai dengan kondisi masing-maing daerah; (b) Pemda Kabupaten/Kota se Kalimantan segera membentuk Perda Kependudukan; (c) langkah-langkah nyata pemberdayaan masyarakat Kalimantan; (d) bersama seluruh komponen bangsa mewaspadai dan memerangi provokator; (e) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam pemulangan kembali, pemberdayaan dan relokasi sesuai dengan kebijakan nasional; (f) dibentuk Polisi sektor di tempat relokasi dan Pam Swakarsa; (g) untuk melaksanakan (a-f) supaya dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) lintas tokoh dan sektor.

Setelah melaksanakan TMMK, LMMDD-KT kembali

menyelenggarakan Musyawarah Besar I Damang Kepala Adat se Kalimantan Tengah (Mubes I DKA-KT) di Palangkaraya pada tahun yang sama (2002). Ide dasar diselenggarakan musyawarah ini adalah meletakkan kembali filosofi sebagai landasan untuk terus

199

memperjuangkan nasib adat orang Dayak sekaligus memberdayakan masyarakat (community development) agar orang Dayak memahami dan mengerti hak-haknya atas dasar adatnya. Karenanya peran aktif Damang sebagai Kepala Adat menjadi penting terutama dengan memberikan kewenangan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; melakukan pemberdayaan masyarakat atau ekonomi rakyat dan melakukan pemberdayaan atau pelestarian Sumber Daya Alam (lingkungan hidup/ekologi). Damang Kepala Adat se Kalimantan Tengah kemudian mendeklarasikan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Daerah Ekologis atau Daerah Lingkungan Hidup dengan mengacu pada Program Nasional tahun 1999-2004; UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan Perda No. 9 Tahun 2001 tentang Penduduk Dampak Konflik yang memberikan peranan dan fungsi kepada lembaga adat yang masih hidup di Kalimantan Tengah.

Dalam perkembangannya hasil-hasil KRKT III belum diimplementasian sepenuhnya yang kemudian mendorong LMMDD-KT kembali akan menyelenggarakan KRLMMDD-KT IV. Pada saat wacana akan diselenggarakan KRKT IV, dinamika politik di antara orang Dayak telah berubah. LMMDD-KT yang dulunya menjadi aktor untuk memperjuangkan eksistensi, hak-hak dan identitas orang Dayak (1994-2001) mulai kehilangan pengaruh. Posisi-posisi kunci yang diduduki oleh elit politik maupun intelektual orang Dayak mulai meninggalkan LMMDD-KT menjadi anggota pengurus Majelis Adat Dayak Kalimantan Tengah (MAD-KT) yang dibentuk pada tahun 2006 (Lingu, 2002). Masuknya elit politik dan intelektual orang Dayak ke dalam tumbuh MAD-KT yang didukung sepenuh oleh elit yang berkuasa dalam konteks hubungan patron-klien untuk memanfaatkan peluang sebagai free-rider karena kekuasaan politik dan ekonomi melalui lobi-lobi baik dengan pihak penguasa maupun pengusaha. Sebagai free-rider peran yang kemudian dimainkan adalah menjadi wakil dari penguasa melakukan negosiator agar dapat mempengaruhi dan membujuk

orang-orang Dayak menyerahkan hak-hak historisnya kepada pengusa dan pengusaha.

Meskipun mulai kehilangan pengaruh, KRKT IV tetap diselenggarakan pada tahun 2009 guna menjawab berbagai keluhan dari masyakat (orang Dayak) karena semakin tidak terkendalinya eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dilakukan para pengusaha dengan dukungan dari penguasa. Dengan tema: “Tingkatkan

Tanggungjawab Sosial Pemerintah Daerah dan Perusahaan Besar Swasta Kunci Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Demi Harkat dan Martabat Masyarakat Kalimantan Tengah”, melalui

LMMDD-KT, orang Dayak ingin menyuarakan penolakan terhadap berkembangnya kapitalisme sehingga menempatkan orang Dayak dipinggiran dan hanya terpusat pada sektor modern yang sifatnya artifisial. Kondisi ini memperburuk kemiskinan di mana struktur-struktur sosial-ekonomi terputus dari sumber daya yang bisa diakses orang Dayak hingga di pedalaman Kalimantan. 52

Kelangsungan hidup orang Dayak sekarang sangat bergantung mencari kerja, baik di sektor perekonomian formal maupun informal. Tidak cuma itu, kapitaslime juga dapat menghapuskan inti kebudayaan orang Dayak yang menjadi simbol identitasnya (the end of the nation state). Kalimantan yang dulu dikenal sebagai bagian dari Indonesia kini menjadi bagian dari suatu aktivitas global. Dengan perlawanan ini, orang Dayak hanya ingin mempertahankan simbol identitasnya sambil mengingat bahwa mereka masih digolongkan miskin meskipun memiliki sumber daya yang besar. Dalam konteks Kalimantan walaupun memiliki sumber daya yang besar tetapi masyarakatnya masih tergolong miskin (pernyataan Gubernur Kalimantan Timur dihadapan Presiden RI pada acara peresmian Proyek-proyek di Provinsi Kaltim, di Samarinda 15 Juli 2009, Kompas 16 Juli 2009, dengan judul pemberitaannya Dominasi Tangan Kuat Tidak Membawa Keadilan).

201

Untuk itu, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) ke V pada tanggal 28-29 Juni 2014 di Gedung Tambun Bungai Palangkaraya. Karena penyelenggaraan KRKT ini berdekatan dengan pesta politik, Pemilihah Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maka melalui KRKT diharapkan dapat memberikan masukan dan menjaga kebersamaan sesuai dengan prinsip rumah panjang atau diberi nama dengan Huma Betang. Prinsip yang dimaksud adalah semangat kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity). Tema utama yang diangkat adalah menghadapi Era Ekonomi Pekerja Iptek dan Reformasi serta membahas masalah-masalah marginalisasi, hutan adat, sengketa lahan, korupsi, harmonisasi hukum positif dan adat serta desentralisasi keuangan daerah. Kongres tersebut dihadiri para tokoh adat Dayak serta mantan pejabat daerah di Kalimantan Tengah. Menurut tokoh

Dokumen terkait