167
ENAM
TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN
DARI “PENAMBANG” MEN
JADI
MASYARAKAT ADAT
Pengantar
Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung, paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek lingkungan hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan hadirnya PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak ini kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau yang juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya kapitalisme (Fauji, 2005).
identitasnya dengan mentransformasikan identitas gerakan penambang menjadi gerakan masyarakat adat ketika berhadapan dengan PT IMK.
Transformasi identitas gerakan dimungkinkan karena munculnya kesadaran dari para aktor yang berjuang secara sosial dengan membangun identitas gerakan agar mampu menciptakan ruang demokratis bagi aksi sosial otonomnya (Manan, 2005). Bagaimana proses untuk membangun identitas (baru) tersebut akan dijelaskan dengan mendeskripsikan kondisi, faktor dan kekuatan pendukung yang digunakan para aktor untuk menciptakan identitas, solidaritas dan mempertahankannya. Hal lain adalah mendeskripsikan keterkaitan antara PT IMK dengan isu-isu dalam konflik, serta mendeskripsikan latar sosial dan budaya aksi kolektif sebagaimana kondisi dan kekuatan pendukung ini membentuk dan mencetak perenungan dan kesadaran para aktor dalam situasi konkrit aksi kolektif dan gerakan sosial.
Membangun Ideologi Gerakan
Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampu menjembatani persoalan struktural yang dihadapi penambang memaksa mereka melakukan transformasi identitas perjuangan dari penambang menjadi masyarakat adat, seperti yang diungkapkan salah seorang tokoh tambang rakyat.43 Secara umum tujuan utama
penambang ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif dan berorientasi material, yakni hanya terpaku pada motif ekonomi yaitu penguasaan kembali lobang-lobang tambang emas yang selama ini sudah diusahakan mereka sendiri. Tindakannya cenderung pada upaya secara paksa agar dapat mengambil-alih kembali lobang tambang tersebut sebagaimana yang juga dilakukan oleh para penguasa (negara) dan pengusaha terhadap mereka. Wujud nyata aksinya dilakukan melalui unjuk rasa, maupun aksi-aksi protes lainnya baik secara damai maupun dengan cara kekerasan agar dapat mengambil alih kembali (reklaming) lobang tambang tersebut. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.
43 Wawancara dilakukan dengan Bapak Murin dan Bapak Arsad pada tanggal 10 Juli
169
Dalam kasus PT IMK, faktor utama penyebab terjadinya aksi-aksi perlawanan para penambang dan masyarakat pada umumnya terhadap PT IMK dikarenakan multiinterpretasi dan ketiadaan pegangan bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak menguasai tambang, siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tambang. Akibat dari ketidakjelasan tersebut, maka masing-masing pihak (pemerintah, perusahaan, dan masyarakat) saling mengklaim bahwa merekalah yang lebih berhak dari pihak lainnya. Misalnya ketika PT IMK memperoleh Kontrak Karya dari Presiden langsung
melakukan “penggusuran” terhadap seluruh aktifitas tambang rakyat.
Didukung oleh aparat Satuan Tugas dari Pemerintah Daerah Tingkat II Barito Utara, PT IMK menggusur tambang rakyat kerikil I, Kerikil II, dan Kerikil III di wilayah Kecamatan Siang. Bahkan penambang yang digusur tidak memperoleh ganti rugi dengan jalan apapun sesuai dengan perintah Bupati, dengan alasan mereka “menggusur” karena harus menertibkan Tambang Rakyat Tanpa Ijin (PETI). Dipihak lain,
para penambang merasa bahwa mereka pemilik yang “sah” karena
usaha pertambangan awalnya dilakukan oleh mereka.
Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013
Gambar 6.1.
Berbagai perlawanan terhadap PT IMK baru dimulai pada tahun 1993 melalui aksi demonstrasi baik di lingkungan Kecamatan Siang Selatan, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, hingga ke Jakarta dan sampai di kantor pusat PT Indo Muro Kencana di Australia. Para penambang menuntut ganti rugi lahan karena tanah dan usaha tambangnya diambil alih dan dikelola oleh PT IMK. Namun usaha ini tidak memperoleh hasil karena PT IMK sudah mengantongi ijin dari pemerintah seperti yang dijelaskan mantan pegawai PT IMK. 44
Ketidakjelasan peroleh ganti rugi, seolah-olah dapat memberikan penjelasan secara aktual perlunya melakukan transformasi struktur dan bentuk gerakan sosial yang lebih humanis dan emansipatoris.
Berbagai simbol perjuangan kemudian diproduksi berbasis pada rasa ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma politik, tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para penambang dan keluarganya serta berbagai bentuk praktek-praktek yang merugikan mereka. Puncaknya terjadi pada tahun 1999 ketika para penambang mengusir sejumlah karyawan PT IMK dari areal tambang Batu Tambang (Betmen), Lungkuh Jua dan Bakit Kaya dengan mengusung mandau. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.
Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013
Gambar 6.2.
Aksi Pengusiran Staf Pengemboran di Lapangan
44 Wawancara dilakukan dengan Mantan Pegawai PT IMK Bapak Ayin pada tanggal 11
171
Mereka juga melakukan aksi pengambil-alihan atau reklaiming wilayah Halubai, Permata, Elpi dan Batu Badinding yang sedang ditambang dan berproduksi. Tindakan ini dilakukan karena PT IMK menguasai, memanfaatkan, dan mendistribusi hasil-hasil tambang yang menjadi pendukung kehidupan mereka termasuk melakukan ekspansi batas wilayah kehidupan mereka. Namun aksi pengambil-alihan tambang tidak bertahan lama, karena pihak PT IMK kemudian menimbun tambang dan mengisi air sehingga masyarakat tidak bisa memperoleh apapun dari hasil tambangnya, seperti pada gambar 6.3. di bawah ini.
Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)
Gambar 6.3.
Lokasi Tambang Sebelum dan Sesudah Dialiri Air
Di pihak lain komitmen dan solidaritas para penambang untuk terus memperjuangan hak-hak mereka ternodai karena ada anggota
aksi “membelot dan membela” PT IMK. Dengan kata lain, para
penambang tidak pernah mampu membangun identitas secara kolektif guna membangun solidaritas dan komitmen ketika berhadapan dengan PT IMK. Akibatnya aksi-aksi yang mereka lakukan selalu “gagal”.
Belajar dari kegagalan aksi, ada sejumlah aktor yang terlibat dalam aksi membangun jaringan dan mengembangkan partisipasi aktor lainnya di luar wilayah tambang. Aktor yang dimaksud adalah sejumlah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau yang biasa disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti; JATAM, WALHI,
ALPERUDI, ELSAM, YLBHI, Tapal dan Kantor Hukum Ahmad Yani. Selain itu, tujuan mengembangkan jaringan adalah agar mereka dapat mengembangkan sumberdaya serta meningkatkan mobilisasi kekuatan aksi perlawanan. Pada akhirnya dengan memperluas jaringan dan partisipasi aktor, para penambang dapat memperluas medan atau area perlawanan ke tingkat nasional maupun internasional serta memberikan peluang dan kapasitas para penambang untuk terus meningkatkan aksi-aksi perlawanan terhadap PT IMK.
Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sebenarnya para penambang memiliki peluang untuk memperoleh ijin penambangan secara legal melalui pendirian koperasi. Karenanya pada tahun 2004, para penambang khususnya di Desa Marindu bersepakat mendirikan Koperasi diberi nama dengan Koperasi “Harapan Bersama” dengan ijin No. 412.32/BH/178/2004 tanggal 5 Januari 2004. Dengan berdirinya koperasi, harapan para penambang memperoleh legitimasi atau ijin dari negara. Namun kenyataannya semangat masyarakat mendirikan koperasi ini tidak dibarengi dengan komitmen dan keseriusan para pengurusnya untuk mengelolanya. Koperasi kemudian tidak berjalan lagi dan Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD) dengan sendirinya dicabut oleh pemerintah.
173
Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)
Gambar 6.4.
Lokasi Bukit Puruk Kambang Yang Sebagian Sudah Dieksploitasi
berdasarkan hukum adat. Selanjutnya dalam pasal (2) selain fungsi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) Damang Kepala Adat juga mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas dan fungsinya kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota.
Munculnya gerakan reformasi juga merupakan pintu pembuka berkembangnya gerakan sosio-politik dari para penambang menjadi gerakan sosial-politik masyarakat adat. Negara juga dihadapkan pada posisi kontrol politik yang lemah terhadap setiap aksi, terlebih ketika aksi kekerasan menjadi salah satu bentuk bagian. Peluang politik ini dengan cepat direspon para penambang, karena mereka sudah memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi untuk melawan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Seiring bergulirnya reformasi hingga pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 1999 sebagai era perubahan sosial-politik penuh keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke demokrasi, ternyata tidak membawa dampak berarti bagi gerakan para penambang untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik para elit politik, elit agama, kalangan intelektual dan berbagai organisasi rakyat ternyata cenderung membiarkan para penambang bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut hak yang selama ini diabaikan. Meskipun demikian ada banyak organisasi non pemerintah (ornop) yang peduli untuk memberikan advokasi dan pendampingan bagi para penambang dalam melakukan perjuangan.
Penelitian menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan sosial mungkin agak kecil skalanya. Hal ini terlihat dari kronologis aksi demonstasi yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan kekerasan menghancurkan fasilitas milik perusahaan serta melakukan pembakaran. Ketika struktur politik membuka peluang bagi gerakan sosial mereka, aktivitas gerakan cenderung menjadi semakin radikal.
175
Perilaku militansi penambang dan kontrol politik negara masih ada hingga saat ini terutama yang dilakukan pihak pasukan keamaman (Brimob) membuat reaksi penambang justru cenderung terbuka dan lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Hal ini mungkin berbeda dengan komunitas penambang di berbagai wilayah konflik lainnya yang beragam dalam merespon peluang-peluang politik yang ada termasuk situasi yang ada, kemungkinan resiko yang akan mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai.
Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama dengan lembaga-lembaga non pemerintah di atas, kesadaran politik penambang dapat dibangun. Kerja bersama ini merupakan proses dimana para penambang dapat melakukan penilaian kembali atas dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan kepentingan bersama di antara mereka. Kesadaran politik penambang tidak hanya memahami posisi marginal mereka secara sosial maupun politik sehingga memberi peluang untuk mencari alternatif strategi gerakan lain guna mencapai tujuan mereka. Termasuk dengan mengubah identitas gerakan itu sendiri dari penambang menjadi masyarakat adat.
Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto merupakan momentum bagi mereka juga untuk mendorong agenda reformasi melalui penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam kesadaran politik, karena pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap kemungkinan dilakukan mobilisasi tindakan. Setelah presiden Soeharto lengser dan rezim Orde Baru dapat dijatuhkan, kemudian para aktivis gerakan masyarakat mulai beralih pada pentingnya membantu masyarakat adat melalui gerakan-gerakan sosial masyarakat adat.
Beragam upaya dilakukan oleh LMMDD-KT, baik pada konstruksi gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah komunitas para penambang rakyat dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus, perumusan tuntutan, penyadaran sosial-politik melalui kegiatan pendampingan bagi para penambang yang menjadi korban dengan hadirnya PT IMK. Selain itu juga dilakukan aktivitas “diskusi kampung” pada beberapa desa lainnya untuk mengidentifikasi dan merumuskan strategi bersama (dokumen LMMDDKT, 2013).
Di sini para penambang yang juga sebagian besar adalah warga masyarakat adat Siang Murung, mendiskusikan berbagai hal yang mengakibatkan penderitaan mereka dan tidak terselesaikannya konflik yang dialami terutama keberadaan pertambangan rakyat yang diambil alih oleh PT IMK. Kemudian mereka melakukan artikulasi pemecahan masalah hasil identifikasi, paling tidak berupa rencana dan strategi tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan konflik yang tentunya dapat menguntungkan para penambang rakyat. Disinilah kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan rumusan tuntutan-tuntutan penambang rakyat atas persoalan penguasaan terhadap lobang-lobang tambang yang dihadapi dan cara-cara yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan
merubah identitas gerakan dari “penambang rakyat” menjadi “masyarakat adat”.
177
mobilisasi sumber daya yang tersedia dan peluang bagi perubahan identitas sebuah gerakan sosial.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penambang rakyat dengan strategi utama melakukan pendudukan kembali lobang-lobang tambang dikuasakan kepada PT IMK oleh negara dilakukan pada tahun 1993 telah menunjukkan keberhasilan untuk membangun kekuatan sebuah gerakan sosial baru yang sekaligus memperlihatkan kekuatan politik tertentu. Hal ini mendorong untuk mengembangkan strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah strategi dan isu gerakan dari penambang menjadi masyarakat adat, yakni strategi untuk memobilisasi opini publik karena mereka mayoritas masyarakat adat.
Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini mengajak Kepala Adat Dayak Oreng Kambang untuk terlibat dan menjadi bagian dari gerakan guna menegaskan identitas dengan menempatkan kembali peran lembaga adat yang sudah ada di masyarakat. Selain itu juga dilakukan pemetaan geokultural untuk menegaskan adat wilayah trasidional.45 Dengan strategi ini tentunya dapat menarik simpati
khalayak dalam memperjuangkan isu hak-hak atas potensi tambang sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas lobang tambang rakyat yang telah diambil alih PT IMK. Perubahan strategi perjuangan dari penambang menjadi masyarakat adat ditargetkan dapat memberikan perubahan arah gerakan, dan lebih jauh lagi dalam rangka mempertahankan kembali identitas ke-dayak-an.
Diasumsikan bahwa pemimpin informal, seperti Kepala Adat Dayak dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari perjuangan mereka. Dipihak lain bahwa dengan keterlibatan Kepala Adat perjuangan mereka tidak semata-mata hanya untuk memperjuangkan tuntutan ganti rugi melainkan upaya memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang dikuasai mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang
45 Wilayah adat atau wilayah tradisional dimaknai sebagai wilayah total meliputi;
menyebut tanah mereka seperti susu ibu yang memiliki kedalaman dan hubungan batiniah (Fauzi, 2006).
Sebagai simbol perlawanan masyarakat adat Dayak, mereka kemudian melakukan upacara adat memasang Hinting Pali atau Maniring Hinting. Hal ini dilakukan karena orang Dayak mempunyai hubungan yang sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya. Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan ini tidak mudah untuk dipahami dan dimengerti atau dipercayai oleh orang lain. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan akan simbol-simbol tertentu adalah hal yang wajar, walaupun sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk memahami dan menginterpretasi simbol-simbol tersebut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai budaya orang Dayak, bersumber dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata
“Haring” yang artinya kehidupan ada dengan sendirinya). Pada intinya kepercayaan Kaharingan ini percaya pada segala benda dan makhluk yang memiliki Gana (Roh), dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti tercantum dalam tutur Balian : Inyaho hai mamparuguh tungkupah, kilat panjang mampa rinjet ruang (Guntur/suara agung membuka kuasanya, kilat panjang menggerakkan ruang/membelah-belah angkasa).
179
Dalam kehidupan sehari-hari, umat Kaharingan percaya kepada mahluk-mahluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu keselamatan manusia, memberi rezeki dan menyebarkan penyakit, dan lain-lain yang tersebar di air (sungai, danau, dan laut), gunung, hutan, tanaman, dan tempat-tempat tertentu. Bagi pemeluk Kaharingan, makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka, walaupun penyebab munculnya tindakan itu akibat perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, wujud tertinggi dalam praktek kepercayaan Kaharingan adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar Pali (pantangan) dan melaksanakan upacara ritual yang meliputi gawi belom (upacara kehidupan) seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan manajah antang dan gawi matei (upacara kematian) seperti upacara tiwah.
Orang Dayak pada masa keemasan sebelum membuka lahan baik untuk pertanian dan berladang terlebih dahulu membuat tanda supaya orang lain tidak merampas atau menyerobot serta menggarap ladang di tempat yang diberi tanda (simbol adat berupa Tarinting atau Hinting) atau memberi patok pada kayu dari setiap sudut rintisan areal dari tanah kosong yang akan digarapnya (Salilah, 1977:1).
garis batas/portal adat seperti berkelahi, berjudi dan perbuatan yang tidak senonoh apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah dapat dikenakan singer atau membayar denda adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah itu.
Tradisi maniring hinting dalam konteks perlawanan dan perjuangan hak-hak atas penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat Dayak dari para pengusaha atau investor, dalam praktiknya melakukan hal yang melanggar adat tidak mentaati adat atau melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut orang yang belom dia bahadat (hidup tidak beradat). Karena itu, maniring hinting menjadi salah satu cara penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi memelihara tertib sosial dalam kehidupan masyarakat adat Dayak.
181
memang sengaja melanggar, memutus, membongkar, melanggar serta menyerobot tanah tersebut. 46
Dalam konteks seperti ini, masyarakat adat Dayak mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud kekuasaan dan kekayaan menurut Liqua (2016) lain berbentuk “hak atas wilayahnya”:
1. Apabila melebihi kehidupan keseharian harus dengan ijin/kesepakatan masyarakat (usaha yang umum dilakukan masyarakat dalam satu wilayah tertentu) secara spontanitas. Contoh: menangkap ikan di luhak (sungai kecil) atau ayap pada musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak berkelebihan.
2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya.
3. Orang luar yang akan memanfaatkanya harus dengan ijin dan membayar uang pengakuan (mesi recognitie retribusi) kepada masyarakat adat; kontribusi ini untuk pembangunan daerah tersebut. (tidak boleh diatur oleh Peraturan Pemeritah seperti ketentuan pokok kewajiban investor dalam membayar pajak/kontribusi kepada daerah dan pusat, tapi harus berpijak pada kesepakatan dengan daerah penghasil atauotonomi khusus desa).
4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara perorangan) oleh warga.
5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing (pihak asing walau dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk apapun).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan orang Dayak sudah memiliki ideologi yang kuat dan berakar yang biasanya dikonsepkan dengan religi orang Dayak. 47 Ideologi atau religi ini pula
46 Kasus meninggalnya salah satu Damang Kepala Adat dikarenakan membuka tali atau
patok agar perusahaan dapat masuk dan melakukan aktifitas (Hasil wawancara dengan Kepala Adat Oreng Kambang, 11 Juli 2016 di Oreng Kambang).
47 Radam (1987:17) dan Miden (1999:65) menyatakan religi orang Dayak dipahami
yang kemudian menjadi pendukung utama terjadinya transformasi identitas gerakan dari penambang menjadi gerakan masyarakat adat. 48
Dengan ideologi atau religi ini, orang Dayak mampu merespon hadirnya dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke hampir semua relung kehidupan orang Dayak, yaitu negara (state) dan pasar (the market). Tindakan yang mereka lakukan adalah melaksanakan ritual-ritual sebagai sistem simbol yang teratur dalam suasana hati (sentimen) tertentu dan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan jaga rayanya agar dapat menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan sebagai pernyataan diri dengan penguasaan diri. Di dalam ritual-ritual tersebut juga terkandung segala aturan, norma dan etika untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature).
Isu Penting Melandasi Munculnya Gerakan Masyarakat Adat
Munculnya tindakan kolektif yang dilakukan masyarakat adat Oreng Kambang merupakan tindakan yang diorientasikan pada seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan makna-makna kultural yang mendukung berkembangnya kesadaran politik, dan yang mengilhami sekaligus meligitimasi gerakan perlawanan yang dilakukan. Dalam kerangka ini pula, maka isu terkait hak-hak adat atas penguasaan sumberdaya alam menjadi sprit perjuangan orang Dayak melawan PT IMK.
Orang Dayak percaya bahwa tanah dan alam sekitar mempunyai pola hubungan religius sehingga dalam memanfaatkan, dan menentukan sistem pemilikan, dan melakukan ekstraksi sumber daya
eskatologis serta aktifitas-aktifitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenal ikatan sosial.
48 Religi bagi orang Dayak dapat dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua hal
183
alam harus diatur (King, 1978; dan Ukur, 1992). Karenanya bagi orang Dayak, tanah dan alam sekitar menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan yang akan datang (Djuweng, 1992). Salah satunya terkait dengan keberadaan Gunung Puruk Kambang yang kemudian dijadikan sebagai wilayah suci dan sakral bagi orang Dayak dan oleh pemerintah dijadikan sebagai Situs Budaya untuk dilestarikan.
Selanjutnya mengacu pada Odop dan Lakon (2009:23-25) alamnya orang Dayak memiliki 3 (tiga) unsur penting membentuk jati diri atau identitas orang Dayak, yaitu: hutan, tanah, dan air. Ekosistem hutan dan orang Dayak tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan orang Dayak sejak awal keberadaannya di muka bumi hingga kematiannya. Hal ini terlihat jelas dalam wujud persekutuan hidup dan kemandirian orang Dayak sebagai suatu
“masyarakat kecil” hutan yang berkelanjutan. Hutan bagi orang Dayak merupakan dunia, sumber kehidupan, darah dan jiwa (Pilin dan Petebang, 1999). Mereka percaya bahwa hutan, tanah, dan sungai itu dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus yang dibedakannya dari roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam diri manusia hidupnya berkreasi karena terkait dengan roh di luar manusia. Roh di luar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat tidak baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat baik selalu akan melindungi manusia, sedangkan roh yang bersifat tidak baik selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan ini kemudian mereka ungkapkan melalui berbagai ritual sewaktu memulai aktivitas perladangan.
Dayak sejati. Untuk mempertahankan eksistensi dan cara hidup mereka yang khas orang Dayak menerapkan tujuh prinsip dalam menejemen pemanfaatan sumber daya alam, yaitu : (1) kesinambungan; (2) kolektivitas; (3) keanekaragaman; (4) subsistensi; (5) organik; (6) ritualitas; dan (7) hukum adat.
Hasil analisis di lapangan menunjukkan telah terjadi pergeseran pola usaha yang berpengaruh pada cara masyarakat memanfaatkan lahan dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an, masyarakat Dayak masih banyak yang mencari kayu ulin, kayu gaharu, pantung, berburu hewan liar, dan mendulang emas secara tradisional. Pada tahun 1990-an, usaha-usaha tersebut mulai sulit dilakukan karena kelangkaan sumberdaya, akibat semakin intensifnya eksploitasi terhadap sumberdaya hutan. Pada tahun 2000-an pola usaha dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat Dayak masih menunjukkan ketergantungan yang tinggi usaha penambangan emas, karet dan padi ladang dengan sistem berpindah-pindah.
Selain ritual, orang Dayak juga memiliki mitos-mitos sebagai sistem simbol menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan secara langsung tetapi lebih sebagai teguran seperti“pandehen utus” (pengokoh ketahanan suku dan bangsa). Mitos ini dikembangkan untuk mengisi ruang yang diperlukan dalam pemikiran orang Dayak. Karena mitos bagi orang Dayak adalah juga sebuah religi yang juga berfungsi sebagai perisai yang melindungi atau menghalangi seseorang dari kecenderungannya berlebihan untuk memberlakukan alam. Selain itu, mitos bagi orang Dayak berfungsi sosial guna mengatur, mempertahankan, dan memindahkan sentimen-sentimen sebagai landasan kelangsungan dan ketergantungan sekalian orang dalam masyarakat yang bersangkutan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos bagi orang Dayak kemudian dapat dipahami sebagai rasionalisasi dari berbagai pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan yang baru sebagai penunjang guna memelihara eksistensi atau identitas ke Dayak-annya.
185
yang menggarapnya. Tahap berikutnya muncul hak (yakni sesuatu yang merupakan pilihan bagi si penyandang hak). Namun bagi masyarakat adat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa “kewajiban” karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan misalnya pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka aksesnya terhadap tanah menjadi hilang, meski seringkali bersifat sementara. Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu
adalah “hak” (misalnya diberi hak untuk mengelola HPH selama 25
tahun), baru kemudian muncul hubungan dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah disebutkan,
lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru
dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998).
Cara pemindah-tanganan hak atas tanah di dalam masyarakat Dayak adalah melalui : (1) jual-beli (hajual hapili), (2) perwarisan, (3) pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai (sanda, hasanda) dan (6) perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana seorang keluarga tertentu sangat membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara Tiwah, dan lain-lain.
mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerah-daerah yang secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat adat.
Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van
Vollenhoven, “hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh Mahadi, “hak wilayah” oleh M. Tauuchid dan “hak ulayat” oleh
Soekanto Ridwan (1982) dalam (Florus, Paulus, 1994: 55). Konsep yang paling banyak digunakan kemudian adalah “hak ulayat”.
Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat penting untuk Masyarakat Adat Dayak, karena tanah adat merupakan penunjang keberlangsungan hidup dan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Karena itu tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat masyarakat adat baik kolektif (ulayat) maupun perorangan di Kalimantan Tengah perlu diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan Pemerintah Provinsi dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13/2009 Jo Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah harusnya menjadi kekuatan mendukung gerakan perlawanan masyarakat adat. Tanah adat yang diolah dan dikuasai masyarakat adat selama ini, secara yuridis sudah diharmoniskan sehingga memiliki sandaran hukum tertulis atau hukum positif.
Terkait isu penguasahaan sumberdaya alam (tanah) yang menyangkut kontrol hukum positif atas tanah lokal oleh negara tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh masyarakat adat dikarenakan pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah. Perwakilan masyarakat adat menolak sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai tanah negara ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
187
1. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
2. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah ke Damangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.
3. Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.
4. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.
5. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.
6. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis) yang selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum gabungan para Mantir/Let adat baik yang berada di kecamatan maupun di desa/kelurahan.
para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat oleh Bupati/Walikota.
8. Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
9. Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan adat yang
berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam
menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan berjumlah 3 orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan berjumlah 3 orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan oleh keputusan Bupati/Walikota.
10.Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat dayak itu tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga untuk memperkokoh keberadaan masyarakat adat Dayak bersangkutan.
189
Mengacu Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah No.16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, Bab XIV Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan bahwa :
(1) Hak-hak adat Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah adalah tanah adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian, kesusasteraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta, bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional, tata ruang, dan ekosistem.
(2) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengakui, menghormati dan menghargai keberadaan hak-hak masyarakat adat Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Peraturan Gubernur.
Atas dasar berbagai isu di atas, maka dapat dikatakan bahwa bentuk penegasan kembali hukum adat dan tanah adat menjadi isu utama untuk melakukan transformasi identitas gerakan penambang menjadi gerakan masyarakat adat. Gerakan yang awalnya adalah perjuangan para penambang yang terbatas berkembang ke gerakan trasformasi sosial dan politik yang lebih luas melalui gerakan mempertahankan hak-hak adat.
Menuju Gerakan Mempertahankan Hak-hak Adat
konflik antar suku Dayak terkait dengan kegiatan ritual adat seperti saling bunuh (habunu), saling potong kepala (hakayau), dan saling memperbudak (hajipen) diantara suku-suku Dayak yang kemudian dikenal dengan rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Semangat ini yang kemudian disebut dengan “semangat Anoi” mendorong kesadaran orang Dayak salah satunya adalah pentingnya mempertahankan hak-hak adat Dayak.
Walaupun umurnya lebih dari seratus tahun lalu terpedam dalam sejarah, namun “semangat Anoi” masih tetap diakui oleh orang Dayak sebagai peristiwa bersejarah yang terbesar dan unik karena mampu menghadirkan tokoh-tokoh adat (informal leader) +1.000 orang mewakili 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan. Rapat akbar ini merupakan persidangan pengadilan adat terbesar untuk menyelesaikan hampir 300 perkara berkaitan dengan konflik antar suku Dayak selama dua bulan (60 hari) untuk menghasilkan sejumlah peraturan adat. Disepakati 96 pasal Hukum Adat untuk menjadi pedoman bagi para Damang Kepala Adat di seluruh Kalimantan yang kebanyakan bertugas mengatur tentang sanksi-sanksi adat di dalam interaksi sesama orang Dayak maupun dalam kehidupan perladangan. Misalnya tradisi saling potong kepala (hakayau) sudah tidak terjadi lagi dimana kepala manusia simbol diganti dengan buah kelapa. 49
Rapat damai ini juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yaitu; persaudaraan, perdamaian, dan kesadaran tertib hukum yang diwujudkan dalam perilaku, sebagai terbitnya cahaya peradaban untuk menyinari hutan belantara Kalimantan. Manarik dalam rapat ini, pihak Belanda (Kontrolir Tanah Dayak A.C. da Hee dan Kontrolir Melawi J.P.J. Barth) yang menginisiasi rapat ini menampilkan diri lebih sebagai saudara sesama manusia daripada sebagai penguasa. Sikap ini disambut dengan semangat yang sama dengan bahasa yang berbeda: Belanda, Melayu, dan Dayak yang kemudian melahirkan Pakat Dayak. Pakat Dayak berisikan; (1) perang antara Belanda dan pasukan Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masing-masing; (2) mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan
191
membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada kedaulatan dan status lembaga adat (Kedamangan); (3) semua pihak sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku); (4) dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali dilakukan dengan latar belakang dendam; (5) menghentikan kegiatan kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan); (6) menghentikan kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual beli budak); (7) menyempurnakan warisan turun temurun yang dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang dijalankan pemerintah; dan (8) memberi kesempatan untuk berbagai pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan dicarikan penyelesaiannya.
Pakat Dayak juga merupakan bentuk kesepakatan, kerukunan, persatuan dan kesatuan langkah dan pandangan pada suatu kurun waktu.Karenanya Pakat Dayak dapat dikatakan sebagai institusi atau sebagai sekumpulan norma dan perilaku yang tetap sepanjang waktu dengan cara memberi tujuan yang bernilai kolektif (Uphoof, 1986:1-19) yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai kerangka interaksi dan integrasi dimana jati diri orang Dayak akan terus berkembang dari waktu ke waktu dalam mengisi ruang pembangunan atau dalam ruang membentuk peradapan. Selain itu, Pakat Dayak juga digunakan sebagai alat perjuangan, karena pengertian pakat mengandung suatu kebulatan pikiran, pandangan dan langkah ke suatu tujuan atau suatu pencerahan pikiran atau kebangkitan atau kebangkitan kembali kebudayaan (cultural revival) (Usop, 1994:v-vii).
Walaupun rapat damai di Tumbang Anoi (1894) merupakan sejarah besar bagi orang Dayak, tetapi sebagian orang Dayak menganggap pertemuan tersebut merupakan kekalahan dan mengembangkan mentalitas budak di kalangan orang Dayak sebagai
politik desivilasi “ragi usang” (Kusni, 2010). Orang Dayak kemudian
tanggal 18 Juli 1919 dengan didirikannya organisasi oleh beberapa tokoh Dayak yang diberi nama dengan Pakat Dayak atau Serikat Dayak. Berdirinya organisasi ini bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya di berbagai pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Apakah berdirinya organisasi Pakat Dayak tidak terpisahkan dari Gerakan Kebangkitan Nasional untuk kemerdekaan Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh. Namun demikian, dengan berdirinya organisasi ini diharapkan dapat
melahirkan kesadaran “baru” tentang pentingnya gerakan membela
harkat dan martabat orang Dayak, baik secara politik, ekonomi, budaya maupun sosial.
Meskipun Pakat Dayak sudah dibentuk, tetapi masih banyak orang Dayak yang belum sadar pentingnya membangun integritas ke-Dayak-an karena mereka tetap merasa dirinya sebagai Dayak Oot Danum, Dayak Ngaju, Dayak Siang, Dayak Bakumpai dan Dayak Maanyan, yang berasal dari daerah utus itu dan utus ini. Hal ini terlihat dari upaya membentuk Komite Kesadaran Bangsa Dayak tahun 1938 agar orang Dayak memiliki wakil di Parlemen Belanda (Volksraad) di Betawi. Komite ini kemudian menyebarkan selebaran (yang dikenal sebagai Suara Dayak) untuk disampaikan ke berbagai pelosok sungai atau DAS, walaupun pada akhirnya tidak berhasil membawa wakil orang Dayak duduk di Parlemen Belanda (Van Klinken, 2004:18).
193
satunya menyiapkan proposal pembentukan provinsi Kalimantan Tengah. Dasar pembentukan adalah secara geografis luas Kalimantan Tengah 1,5 kali dari luas pulau Jawa, memiliki sumber daya manusia kurang lebih 450.000 jiwa pada tahun 1957, serta memiliki sumber daya alam yang sangat besar untuk menunjang pemerintahan. Pertimbangan lain bahwa faktor etnologis, sosiologis dan psykologi lebih didominasi oleh masyarakat dari suku Dayak (Jidan, 1994 dan Usop, 1978). Gerakan ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang dicatat dalam Lembaran Negara No. 53 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Kalimantan Tengah. Oleh karenanya KRKT yang diselenggarakan di Banjarmasin dijadikan sebagai tonggak penyelenggarakan KRKT berikutnya dan kemudian disebut sebagai KRKT I.
Pada masa Orde Baru, tepatnya memperingati 100 tahun Rapat Tumbang Anoi (tahun 1994), beberapa tokoh adat Dayak dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyepakati perlunya membentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah yang disingkat LMMDD-KT. Lembaga selanjutnya dijadikan sebagai wadah atau ranah (field) untuk membangun jaringan hubungan-hubungan antar orang Dayak, seperti yang dikembangkan oleh Bourdieu (Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J, 2008:525). Pembentukan lembaga ini terinspirasi dari gerakan Pakat Dayak yang telah berjuang pada masa kolonial. Karenanya LMMDD-KT dibentuk bukan sebagai gerakan instan tetapi gerakan untuk terus menginstitu-sionalisasikan Pakat Dayak dalam kehidupan orang Dayak. 50
Sejak dibentuk, LMMDD-KT melakukan berbagai tindakan kolektif melalui aksi-aksi massa untuk memperjuangkan kepentingan orang Dayak. Salah satu aksi massa yang pernah dilakukan adalah menolak calon Gubernur Kalimantan Tengah “dropping” pusat (Karna Suwanda adalah calon Gubernur ketiga yang ditolak) dengan melakukan demo besar-besaran oleh masyarakat menuntut dipilihnya
“putera daerah” pada tahun 1996. Namun akhirnya calon gubernur
50 Wawancara dilakukan dengan tokoh adat Dayak pada tanggal 05 Maret 2010 di
dropping pusat yang dipilih adalah Warsito Rasman (masa bakti 17 Juli 1994 hingga Juli 1999). Untuk menegaskan sikap ini, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan KRKT II pada tahun 1995 di Palangkaraya. Butir-butir kesepakatan hasil KRKT II adalah; (1) tetap memperjuangkan Gubernur berasal putra daerah; (2) memperjuangkan untuk memperoleh otonomi daerah; dan (3) memperjuangkan hak-hak adat orang Dayak.
Terlepas dari kegagalan untuk mempengaruhi pemerintah agar memilih Gubernur Kalimantan Tengah dari orang Dayak, namun perjuangan ini memunculkan kembali politik etnis atau politik Dayak atau Pan Dayak. Hal ini terjadi karena sejak kemerdekaan, apalagi pada masa pemerintahan Orde Baru orang Dayak terus termajinalisasi. Dengan menggunakan stigma sosial yang negatif dan
mengatasnamakan pembangunan, orang Dayak kemudian
dikategorikan sebagai “suku terasing” atau sebagai yang others sehingga
perlu dilakukan program relokasi seperti yang dilakukan pada masa kolonial Belanda (Mutia, 2006:14-15), dan juga dibeberapa negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Filipina (Ghee dan Gomes, 1993). Di balik alasan memberadabkan dan memodernkan orang Dayak yang disodorkan untuk mendukung program relokasi, tetapi kerap kali terdapat kaitan langsung untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya.
195
merendahkan harkat dan martabat mereka. 51 Penghinaan ini
membangkitkan solidaritas dengan menggunakan berbagai antribut kebudayaan yang dipercaya memiliki kekuatan untuk melawan. Kode-kode budaya kemudian digunakan untuk menyatakan perang atau dalam bahasa Dayak Ngaju Asang yang hanya bisa dimengerti oleh orang Dayak. Dengan mengirim tombak yang diikat dengan rotan merah atau telah dijernang yang diartikan orang Dayak menyatakan perang dengan orang Madura. Orang Dayak yang tinggal terpencar di pedalaman kemudian turun ke kota untuk melakukan ritual perang adat yang disebut kayau atau mengayau.
Ritual kayau atau mengayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh adat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam upacara Tiwah. Menurut Mukhlis (2008), kayau terbagi menjadi empat bagian: (1) Mengayau dalam arti yang sebenarnya yaitu memenggal kepala saat terjadi peperangan; (2) Mengayau Bajai (buaya) yaitu memenggal kepala buaya yang menyambar manusia. Menurut tradisi orang Dayak buaya yang menyambar manusia adalah buaya yang bersalah sehingga buaya tersebut harus dihukum; (3) Mengayau batang kayu yaitu memenggal pohon kayu yang dianggap bersalah karena ada orang Dayak yang ketimpa pohon kayu tersebut sehingga menimbulkan korban jiwa; dan (4) Mengayau danum (air) yaitu menebas air sungai jika ada orang Dayak yang tenggelam sehingga perlu dilakukan pembalasan. Empat bagian ini dilakukan melalui ritual dengan berbagai macam persembahan, bisa berupa hewan kurban, sesaji dan berbagai macam perlengkapannya dilakukan oleh basir atau dukun.
Perdebatan apakah kayau digunakan pada saat terjadinya konflik masih dipertanyakan. Namun menurut seorang anggota Pasus Dayak menyatakan bahwa; “…sebelum mereka berperang melawan orang Madura mereka dimandikan terlebih dahulu oleh basir atau dukun sehingga mereka tidak sadarkan diri (semacam kesurupan) untuk kemudian berlomba memotong kepala musuh (orang Madura) dengan
51 Hasil wawancara dengan seorang anggota Pasukan Khusus (Pasus) di Sampit, 10
Mandau merupakan bentuk ksatria (Lingu, 2002:75). Kegiatan memandikan inilah yang oleh orang Dayak disebut sebagai ritual kayau untuk mengubah kekuatan spiritual (spiritual capital) mereka menghadapi musuh. Dengan menggunakan antribut kebudayaan dalam konflik dapat menjadi medium perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas sekaligus sebagai upaya penegasan solidaritas diri oleh orang Dayak, yang dalam hal ini diarahkan terhadap para pendatang keturunan Madura. Tanasaldy dengan mengutip Davidson (2007:477) menyatakan bahwa konflik paling keras antara orang Dayak dan orang Madura dalam sejarah dapat dipandang sebagai penegasan diri orang Dayak setelah sekian lama tertekan dan terpinggirkan.
Dengan semakin meningkatnya ekskalasi konflik, maka LMMDD-KT pada tahun 2001 menggelar KRLMMDD-KT III di Palangkara dengan acara khusus membicarakan konflik dengan etnis Madura. KRKT III dihadiri berbagai elemen masyarakat (elit politik, akademisi, LSM, tokoh adat dll) dari pusat hingga kabupaten/kota di seluruh Kalimantan Tengah. Seorang tokoh pemuda Dayak yang mengikuti KRKT III menyatakan bahwa solidaritas ke-Dayak-an yang muncul sangat kuat dan saling bahu membahu untuk menutupi seluruh biaya kongres. Tekad yang kemudian dibangun dalam KRKT III disebut dengan Tekad Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (TDAB-BK).
197
sebagai akar rumput tersumbat dan merasa terpinggir dan termarginalkan. Karenanya KRKT III memperjuangkan nilai secara damai, bahu membahu, melalui organisasi (nilai demokrasi), bila terpaksa atau terdesak sedia mengangkat senjata bila yakin akan misi perjuangan, menentang kelaliman dan eksploitasi, monopoli dan otoriterianisme atau sentralisasi, KKN, menentang kekerasan dan cara-cara kekerasan.
Butir-butir kesepakatan yang kemudian dihasilkan KRKT III adalah : (1) menerima TDAB-BK; (2) menerima pusat sebagai mediator; (3) menolak cara-cara kekerasan; dan (4) menerima dengan bersyarat
bahwa warga masyarakat pengungsi Madura menyatakan diri “siap
damai dan minta maaf”. Agar butit-butir kesepakatan tersebut dapat
Setelah KRKT III, LMMDD-KT menindak-lanjuti upaya penyelesaian konflik dengan menyelenggarkan pertemuan Tekat Mufakat Masyarakat Kalimantan (TMMK) di Batu Malang, Jawa Timur pada tahun 2002. TMMK diselenggarakan untuk menyatukan seluruh kepentingan orang Dayak di Bumi Kalimantan (empat provinsi). Ada sembilan butir kesepakatan yang dihasilkan di Batu Malang bahwa Masyarakat Kalimantan; (1) siap melaksanakan TDAB-BK; (2) bersama pemerintah secepatnya meningkatkan kurukunan masyarakat yang multi etnis; (3) berupaya sekuat tenaga mewujudkan normalisasi melalui penciptaan keadaan aman, damai, dan rasa aman; (4) bertekad berupaya menghormati budaya masing-masing dengan prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” untuk berdampingan secara rukun dan damai; (5) sepakat mengakhiri penderitaan para korban pertikaian dan keluarga anak bangsa dari keturunan etnis manapun; (6) keturunan Madura korban kerusuhan diproses pengembaliannya secara bertahap yang didukung oleh iklim kondusif sesuai dengan kebijakan Pemeritah dan kebijakan Pemerintah Daerah; (7) mendukung Pemerintah menegakkan supermasi huku; (8) siap melakukan langkah-langkah proaktif untuk kehidupan rukun, damai, dan harmonis; dan (9) implementasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk: (a) pemulihan sosial kembali ke tempat semula sesuai dengan kondisi masing-maing daerah; (b) Pemda Kabupaten/Kota se Kalimantan segera membentuk Perda Kependudukan; (c) langkah-langkah nyata pemberdayaan masyarakat Kalimantan; (d) bersama seluruh komponen bangsa mewaspadai dan memerangi provokator; (e) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam pemulangan kembali, pemberdayaan dan relokasi sesuai dengan kebijakan nasional; (f) dibentuk Polisi sektor di tempat relokasi dan Pam Swakarsa; (g) untuk melaksanakan (a-f) supaya dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) lintas tokoh dan sektor.
Setelah melaksanakan TMMK, LMMDD-KT kembali
199
memperjuangkan nasib adat orang Dayak sekaligus memberdayakan masyarakat (community development) agar orang Dayak memahami dan mengerti hak-haknya atas dasar adatnya. Karenanya peran aktif Damang sebagai Kepala Adat menjadi penting terutama dengan memberikan kewenangan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; melakukan pemberdayaan masyarakat atau ekonomi rakyat dan melakukan pemberdayaan atau pelestarian Sumber Daya Alam (lingkungan hidup/ekologi). Damang Kepala Adat se Kalimantan Tengah kemudian mendeklarasikan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Daerah Ekologis atau Daerah Lingkungan Hidup dengan mengacu pada Program Nasional tahun 1999-2004; UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan Perda No. 9 Tahun 2001 tentang Penduduk Dampak Konflik yang memberikan peranan dan fungsi kepada lembaga adat yang masih hidup di Kalimantan Tengah.
orang-orang Dayak menyerahkan hak-hak historisnya kepada pengusa dan pengusaha.
Meskipun mulai kehilangan pengaruh, KRKT IV tetap diselenggarakan pada tahun 2009 guna menjawab berbagai keluhan dari masyakat (orang Dayak) karena semakin tidak terkendalinya eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dilakukan para pengusaha dengan dukungan dari penguasa. Dengan tema: “Tingkatkan Tanggungjawab Sosial Pemerintah Daerah dan Perusahaan Besar Swasta Kunci Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Demi Harkat dan Martabat Masyarakat Kalimantan Tengah”, melalui LMMDD-KT, orang Dayak ingin menyuarakan penolakan terhadap berkembangnya kapitalisme sehingga menempatkan orang Dayak dipinggiran dan hanya terpusat pada sektor modern yang sifatnya artifisial. Kondisi ini memperburuk kemiskinan di mana struktur-struktur sosial-ekonomi terputus dari sumber daya yang bisa diakses orang Dayak hingga di pedalaman Kalimantan. 52
Kelangsungan hidup orang Dayak sekarang sangat bergantung mencari kerja, baik di sektor perekonomian formal maupun informal. Tidak cuma itu, kapitaslime juga dapat menghapuskan inti kebudayaan orang Dayak yang menjadi simbol identitasnya (the end of the nation state). Kalimantan yang dulu dikenal sebagai bagian dari Indonesia kini menjadi bagian dari suatu aktivitas global. Dengan perlawanan ini, orang Dayak hanya ingin mempertahankan simbol identitasnya sambil mengingat bahwa mereka masih digolongkan miskin meskipun memiliki sumber daya yang besar. Dalam konteks Kalimantan walaupun memiliki sumber daya yang besar tetapi masyarakatnya masih tergolong miskin (pernyataan Gubernur Kalimantan Timur dihadapan Presiden RI pada acara peresmian Proyek-proyek di Provinsi Kaltim, di Samarinda 15 Juli 2009, Kompas 16 Juli 2009, dengan judul pemberitaannya Dominasi Tangan Kuat Tidak Membawa Keadilan).
201
Untuk itu, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) ke V pada tanggal 28-29 Juni 2014 di Gedung Tambun Bungai Palangkaraya. Karena penyelenggaraan KRKT ini berdekatan dengan pesta politik, Pemilihah Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maka melalui KRKT diharapkan dapat memberikan masukan dan menjaga kebersamaan sesuai dengan prinsip rumah panjang atau diberi nama dengan Huma Betang. Prinsip yang dimaksud adalah semangat kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity). Tema utama yang diangkat adalah menghadapi Era Ekonomi Pekerja Iptek dan Reformasi serta membahas masalah-masalah marginalisasi, hutan adat, sengketa lahan, korupsi, harmonisasi hukum positif dan adat serta desentralisasi keuangan daerah. Kongres tersebut dihadiri para tokoh adat Dayak serta mantan pejabat daerah di Kalimantan Tengah. Menurut tokoh adat Dayak, tema ini sengaja diangkat berdasarkan kondisi yang dihadapi orang Dayak saat ini dan masa mendatang khususnya di Kalimantan Tengah.
Sumber : http://www.tambang.id/blog/pelayanan-untuk-anggota-asosiasi-pertambangan-rakyat-kalimantan
Gambar 6.5.