• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menulis Cerpen

Dalam dokumen B. Indonesia Bahasa Indonesia (Halaman 77-81)

Tujuan pembelajaran:

Setelah mempelajari materi pada subbab ini, kamu diharapkan dapat membuat karya seni cerpen.

Setelah kamu mempelajari tentang cerpen dan dapat menemukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya, sekarang waktunya kamu berkarya. Buatlah sebuah cerpen, tuliskan pada kertas folio! Karya kamu tersebut dapat menjadi bahan untuk majalah dinding sekolahmu. Cerpen berikut dapat menjadi contoh.

Pacarku Keren Sekali…

Siang terik, Mesa tergesa melangkah di koridor sekolah, berkali-kali ia melirik jam di pergelangan tangan kanannya, yang tertutup gelang karet warna hijau. Ugh, pasti terlambat, pikirnya. Sekeliling sudah sepi. Tidak ada satu pun anak-anak yang terlihat di luar kelas. Untuk Pak Ujang nggak pelit, buat membukakan pintu gerbang depan, pikirnya.

"Tok…tok…tok…," tangan Mesa mengetuk pintu kelas yang tertutup rapat, dan menunggu sahutan dengan dada berdebar.

"Masuk…," sahut suara dari dalam kelas. Itu suara Pak Suwandi. Dan Mesa membuka pintu kemudian masuk. "Dari mana kamu?" tanya Pak Suwandi menyelidik. Sudah dua kali pelajaran Pak Suwandi, Mesa terlambat. Mesa tidak bisa menjawab, kecuali menundukkan wajahnya dalam, meminta belas kasihan dari Pak Suwandi. "Apa jam istirahat masih kurang?" tanya Pak Suwandi lagi, dan Mesa menggeleng.

"Seharusnya jam istirahatmya sampai empat kali, Pak," seru Joel, anak paling badung di kelas satu, berteriak dari bangku belakang. Dan langsung disambut gelak tawa anak-anak yang lain.

"Ini untuk kedua kalinya lho Mesa. Oke untuk kali ini, masih ada toleransi, tapi saya nggak mau, ada yang ketiga kalinya," ujar Pak Suwandi, kalimatnya seperti sebuah ancaman buat Mesa. Mesa mengangguk dan dipersilakan duduk.

Dan Pak Suwandi pun melanjutkan pelajaran fisikanya.

"Elo kenapa sih, kan udah gue bilangin nggak usah ikut….," Wati berbisik pelan, begitu Mesa duduk. Wati tidak mau, teman baiknya itu terkena hukuman seperti minggu lalu, gara-gara terlambat. Untungnya Pak Suwandi nggak segalak Pak Sabari.

Mesa mengedikkan bahu sembari mengambil buku dalam tasnya.

"Elo balik sama Frans?" tanya Wati masih penasaran. Mesa menggeleng. "Nggak, Frans masih ada di sana."

"Nggak, katanya sih, jam pelajaran terakhirnya kosong," sahut Mesa. Diambilnya bolpoin dan dicatatannya tulisan yang ada di papan tulis. Wati hanya geleng-geleng kepala. Suara Pak Suwandi yang serak-serak nggak jelas, nggak begitu tertangkap di otak Mesa. Pikirannya terbagi dua, antara Frans dan Pak Suwandi.

Dan sepertinya, Mesa lebih memikirkan Frans, cowoknya di sekolah itu, yang telah membuat dirinya kena marah oleh beberapa guru pengajar karena sering telat sehabis jam istirahat.

Sampai jam pelajaran terakhir, tidak ada satu pun materi yang terserap otaknya. Wajah Frans terus membayanginya. Dan Mesa terus berdoa, mendoakan Frans dari jauh. Semoga saja dia berhasil, bisiknya pelan.

Ketika sampai di rumah, Mesa segera menghubungi Frans di rumah, tapi pembantunya bilang, Frans belum pulang. Mesa menitip pesan pada si pembantu, kalau Frans pulang, agar segera meneleponnya. Coba Frans punya ponsel, gue nggak bakalan kebingungan begini, pikirnya, setelah meletakkan gagang telepon.

Dan malamnya, Frans menelepon. Adik Mesa yang mengangkat "Mbak Mesa, telepon…," kata Meli, berteriak memanggil Mesa.

"Dari mana?" tanya Mesa dengan suara yang juga keras. Ia sedang berada dalam kamar mandi.

"Siapa lagi….," kata Meli, pergi meniggalkan telepon. Mesa langsung keluar. Pasti dari Frans, pikirnya. Dan ketika telepon diangkat, suara Frans langsung terdengar.

"Mesa…?"

"Eh, Frans, gimana? Lolos nggak? Kok sampai malam begini?" sembur Mesa yang sudah tak sabar, ingin mendengar cerita Frans. Dilihatnya jam dinding, jam tujuh lewat lima.

"Iya, kan yang ikut jumlahnya sampai puluhan," sahut Frans menjelaskan. "Iya, trus gimana?" tanya Mesa penasaran.

"Alhamdulillah, gue masuk lima besar."

"Oh, ya? Ah, syukurlah," kata Mesa dengan hati berbunga-bunga mendengar penjelasan Frans. "Kapan di tes lagi?"

"Mungkin dua hari lagi," jawab Frans. "Hari…Rabu?" tanya Mesa.

"Iya," sahut Frans.

"Ya udah, semoga kamu berhasil ya." "Thanks," sahut Frans.

Dan sambungan telepon terputus.

Hari Rabu? Pikir Mesa, kemudian pergi ke kamar dan melihat jadwal pelajaran untuk hari Rabu. Ya ampun, hari Rabu ada pelajaran Pak Sabari. Aduh, gimana dong, apa gue harus kena hukuman lagi, seperti waktu itu? aduh, kenapa harus hari Rabu sih? Kenapa nggak besok saja. Besok kan, pelajaran terakhir, pelajaran Bu Mimin.

Kalau pelajaran Bu Mimin kan, nggak begitu ketat? Jadi, kalaupun terlambat, Bu Mimin tidak akan memberikan hukuman.

Sudah seminggu yang lalu, waktu istirahat Mesa selalu terpakai untuk Frans. Ia harus mengantarkan Frans ikut casting di salah satu stasiun televisi. Frans yang memang punya basik seni peran, sedang mengadu nasib untuk mendapatkan salah satu peran di sinetron.

Semoga saja ia bisa lulus. Kalau Frans lulus seleksi, kan yang untung gue juga. Gue bisa bangga, bisa pamer ke anak-anak yang lain, kalau gue punya pacar cowok keren, pemain sinetron. Teman-teman akan iri melihat itu. Wuih, bangganya gue, pikir Mesa membayangkan.

Walaupun untuk itu, Mesa harus rela berkorban, mengantar Frans dengan mobilnya. Untung letak stasiun TV itu tidak begitu jauh dari sekolahnya. Dan ia sudah siap untuk mengambil resiko itu. Terlambat beberapa menit, setelah jam istirahat. Tapi demi cintanya pada Frans, apa pun akan dilakukan oleh Mesa.

Mesa bangga, dari sekian banyak cewek-cewek yang waiting list di sekolah, dialah yang terpilih oleh Frans, mendapatkan cintanya.

Frans memang cakep, wajahnya mirip pemain sinetron. Hidungnya tinggi men- julang, alis matanya tebal, sorot matanya tajam, seperti pedang. Dan sorot mata itulah yang telah melumpuhkan Mesa. Membuat Mesa selalu berbunga-bunga kalau sedang di dekatnya. Pelukan Frans begitu hangat dan lembut, sehangat bulan malam pada bintang.

Makanya Mesa yakin banget, kalau Frans akan bisa lolos casting itu, Karena menurutnya, wajah Frans tidak kalah cakep dibandingkan pemain-pemain sinetron yang sekarang ini ada.

Frans itu kakak kelas Mesa. Mesa kenal Frans karena mereka sama-sama ambil eksrakurikuler teater. Frans memang jago teater. Kalau sedang memerankan sebuah peran, ia sungguh-sungguh. Entahlah, dia dapat turunan darah seni dari mana. Padahal kedua orang tuanya yang Mesa tahu adalah karyawan bank.

***

Pengorbanan Mesa selama ini, mengantarkan Frans ikut casting, ternyata nggak sia-sia. Frans akhirnya lolos tes dan dia dapat peran utama dalam sinetron. Mesa merasa bangga dan berbunga-bunga. Ia selalu mengantarkan Frans syuting sinetron yang sudah dimulai minggu lalu. Mesa mengantarkan Frans sepulang sekolah, dengan mobilnya.

Beberapa bulan kemudian, sinetron Frans mulai tayang di TV. Frans sebagai pemeran utamanya. Ia bermain dengan bintang baru juga, namanya Tasya Mareta. Mesa sempat kenalan di lokasi syuting.

Sejak itu, anak-anak di sekolah selalu mengagumi Frans dan ada yang sampai mengejar-ngejar minta tanda tangan segala. Mesa sebagai pacarnya, merasa bangga karena Frans, cowoknya, banyak dikagumi oleh cewek-cewek. Bukan hanya di kelasnya saja, tapi hampir satu sekolah.

"Bangganya, yang punya pacar artis…," Wati meledek Mesa, pada saat Mesa berada di dalam kelas, menunggu Pak Rian, guru sejarah datang.

"Ah, biasa aja," sahut Mesa mengelak. Padahal dalam hatinya, ada kebanggaan seluas samudra.

"Tapi, Frans kok jadi aneh ya, Mes?" tanya Wati tiba-tiba, mengejutkan Mesa. "Aneh kenapa?" tanya Mesa tidak paham, langsung menatap Wati di sampingnya. "Dandanannya itu lho…."

"Dandanannya kenapa?" tanya Mesa penasaran. "Aneh," sahut Wati serius.

"Aneh gimana?"

"Ih, elo kan ceweknya, kok nggak ada perhatian sih?" Wati menyalahkan. "Maksudnya apa sih?" Mesa masih belum paham dengan apa yang dikatakan teman karibnya itu.

"Elo lihat deh mukanya, sekarang kayaknya Frans pakai bedak. Dan bibirnya itu. bibirnya itu kan, merah karena lipstik," ujar Wati panjang lebar.

Penjelasan Wati membuat Mesa terkejut. Apa benar begitu? Pikir Mesa. Selama ini memang Mesa tidak pernah memerhatikan Frans sampai sejauh itu. ia terlalu sayang pada Frans. Ia takut kalau sampai Frans kesamber cewek lain di sekolahnya, yang genit-genitnya minta ampun. Makanya Mesa banyak memikirkan penampilan dirinya sendiri.

"Masa sih, Wat?" tanya Mesa nggak percaya.

"Ih, lo gimana sih,masa sebagai ceweknya nggak tahu."

Setelah mendengar penjelasan dari Wati, pada jam istirahat, Mesa menemui Frans. Ketika mereka sedang duduk di kantin berdua, Mesa sengaja mencuri-curi pandang ke wajah Frans.

"Frans, kok kamu jadi….," tanya Mesa, menggantung kalimatnya. "Kenapa?" tanya Frans, heran.

"Kamu pake bedak ya?" Mesa berbisik pelan di telinga Frans, takut kalau ada yang mendengar. Frans mengangguk. "Dan, bibir kamu pakai lipstik?" Frans kembali mengangguk.

"Gue kan sekarang artis, jadi harus tampil oke, di depan umum," sahut Frans bangga.

Mesa hanya terbengong mendengar jawaban itu. Apa seorang artis harus tampil begitu? Pikirnya. Akhirnya Mesa harus bisa menerima Frans yang sekarang, yang namanya sudah mulai ngetop karena Frans adalah cowoknya. Apa pun itu, karena dia adalah cowok yang dulu selalu dibangga-banggakan sebagai pacar yang keren sekalee…Walaupun sekarang sudah berubah.

Dalam dokumen B. Indonesia Bahasa Indonesia (Halaman 77-81)