• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menunggu instuksi lebih lanjut

Aku duduk bersila di lantai untuk menunggu. Arus manusia mulai mengisi ruangan, meng ambil kantong-kantong persediaan. Tidak lama kemudi an tempat ini pun penuh. Aku penasaran apakah ibuku dan Prim akan tinggal di tempat mereka menaruh pasi en. Tapi kurasa tidak. Nama mereka terdaftar di sini. Aku sudah mulai gelisah ketika

144 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

kulihat ibuku muncul. Aku mencari ke belakang dan cuma melihat lautan manusia yang tak kukenal.

“Di mana Prim?” tanyaku.

“Bukannya dia ada di sini?” jawabnya. “Dia harusnya sudah turun

kemari dari rumah sakit. Dia pergi sepuluh menit sebelum aku pergi.

Di mana dia? Ke mana dia pergi?”

Kupejamkan mataku rapat-rapat selama beberapa saat, mengikuti jejaknya sebagaimana aku melacak binatang buruan. Melihatnya bereaksi mendengar sirene, bergegas membantu pasien, mengangguk ketika mereka mengarahkannya untuk turun ke bunker, lalu dia ragu-ragu di tangga. Sejenak tampak bingung. Tapi kenapa?

Mataku langsung terbuka. “Kucing! Dia mencarinya!”

“Oh, tidak,” kata ibuku.

Kami sama-sama tahu bahwa aku benar. Kami bergerak mendorong arus manusia yang masuk, berusaha keluar dari bunker, jauh di depan, aku bisa melihat mereka bersiap-siap menutup pintu logam yang tebal. Perlahan-lahan memutar roda besi pada setiap sisi ke dalam. Entah bagaimana aku tahu sekalinya pintu itu tertutup, tak ada apa pun di dunia ini yang bisa meyakinkan para tentara ini untuk membukanya. Mungkin bahkan itu di luar kendali mereka. Tanpa pandang bulu aku segera mendorong orang-orang untuk minggir sambil aku berteriak pada para tentara itu untuk menunggu. Ruang antara pintu itu menyempit hingga semeter, tiga puluh sentimeter, hingga tinggal beberapa inci yang tersisa ketika aku menyelipkan tanganku di celah pintu.

“Buka pintu! Biarkan aku keluar!” teriakku.

Kekuatiran terlukis di wajah para tentara ketika mereka memutar roda pintu agar makin membuka. Tak cukup celah untuk aku lewat, tapi cukup untuk mencegah jemariku remuk. Aku mengambil

145 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

kesempatan untuk menyelipkan bahuku di celah pintu. “Prim!” aku

berteriak ke arah tangga. Ibuku memohon pada para penjaga ketika

aku berusaha menyelipkan tubuhku keluar. “Prim!”

Lalu aku mendengarnya. Bunyi samar langkah-langkah kaki di

tangga. “Kami datang!” aku mendengar suara adikku. “Tahan pintunya!” Suara Gale.

“Mereka datang!” aku memberitahu pada penjaga dan mereka

membuka pintu hingga celahnya berjarak semeter. Tapi aku tak berani

bergerak—takut mereka akan mengunci kami di luar—sampai Prim

muncul, kedua pipinya merah karena habis berlari, memeluk Buttercup. Kutarik dia masuk dan Gale ikut di belakangnya, memutar tas besar menyamping agar bisa masuk ke bunker. Pintu-pintu menutup dengan bunyi keras dan mantap.

“Apa yang kaupikirkan?” Kuguncang-guncang tubuh Prim dengan marah lalu kupeluk dia, membuat Buttercup terjepit di antara kami. Prim sudah siap memberi penjelasan. “Aku tak bisa

meninggalkannya, Katniss. Tidak untuk kedua kalinya. Kau harus melihatnya mondar-mandir di kamar dan melolong. Dia kembali

untuk melindungi kita.”

“Oke. Oke.” Kuambil napas beberapa kali untuk menenangkan diri,

melangkah mundur, dan kuangkat Buttercup dengan menjepit

tengkuknya. “Seharusnya kau kutenggelamkan saat aku punya kesempatan.” Kedua telinganya merapat dan dia mengeluarkan cakarnya. Aku mendesis padanya sebelum Buttercup mendesis padaku, yang sepertinya membuat dia sedikit kesal, karena dia menganggap desisan adalah cara pribadinya untuk menghinaku. Sebagai balasannya, dia mengeong pasrah sehingga membuat adikku langsung membelanya.

146 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Oh, Katniss, jangan menggodanya,” kata Prim, dan mengambil Buttercup kembali ke pelukannya. “Dia sudah terlalu gelisah.”

Pemikiran bahwa aku sudah melukai perasaan kucing kecil yang kasar malah membuatku terpancing menggodanya. Tapi Prim tampak sungguh-sungguh mencemaskannya. Aku membayangkan bulu Buttercup jadi bahan sepasang sarung tangan, bayangan yang

membantuku menghadapi kucing itu selama bertahun-tahun. “Oke,

maaf. Tempat kita di bawah huruf E besar di dinding. Lebih baik kita menaruhnya sebelum dia gelisah lagi,” Prim bergegas lagi dan aku

berhadapan dengan Gale. Dia memegangi kotak persediaan medis dari dapur kami di 12. Tempat terakhir kami ngobrol, berciuman, berjauhan, entahlah. Tas berburuku tersampir di bahunya.

“Jika Peeta benar, tempat ini tak punya kesempatan melawan,”

katanya.

Peeta. Darah seperti tetesan air hujan di jendela. Seperti lumpur basah di sepatu bot.

“Terima kasih untuk… segalanya.” Aku mengambil barang kami. “Apa yang kaulakukan di kamar kami?”

“Hanya memeriksa ulang,” katanya. “Kami ada di Empat

-Puluh-Tujuh jika kau membutuhkanku.”

Hampir semua orang kembali ke tempat mereka ketika pintu ditutup, jadi aku menyeberang menuju rumah baru kami dengan paling tidak lima ratus pasang mata mengawasiku. Aku berusaha tampil ekstratenang untuk menggantikan kepanikanku menyeruduk orang banyak tadi. Seolah-olah ketenanga nku bisa menipu banyak orang. Cuma sampai di situ sa ja kemampuanku menjadi panutan. Oh, lagi pula siapa yang peduli? Mereka juga sudah menganggapku sinting . Seorang pria, yang seingatku kudorong sampai jatuh ke lantai, menoleh bertatapan dengan mataku sambil m engelus sikunya dengan kesal. Aku nyaris mendesis padanya.

147 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Prim menaruh Buttercup di ranjang bawah, terbungkus selimut hingga hanya wajahnya yang kelihatan. Dia suka diperlakukan seperti ini saat ada petir, satu-satunya hal yang membuatnya takut. Ibuku menaruh kotaknya dengan hati-hati di tempat penyimpanan. Aku berjongkok, dengan punggung menempel pada dinding, melihat apa yang berhasil diselamatkan Gale dari tas berburuku. Buku tanaman, jaket berburuku, foto pernikahan orangtuaku, dan barang-barang pribadi dari laciku. Pin mockingjay-ku sekarang hidup di pakaian Cinna, tapi ada bandul emas dan parasut perak dengan alat sadap dan mutiara Peeta. Aku menggelungkan mutiara ke tepian parasut, menaruhnya ke pojok di dalam tas berburuku, seakan mutiara itu adalah hidup Peeta dan tak ada seorang pun yang bisa merenggut nyawanya selama aku bisa menjaganya.

Bunyi sirene yang samar itu terputus mendadak. Suara Coin terdengar melalui sistem audio distrik, berterima kasih pada kami semua atas kegiatan evakuasi yang patut dicontoh. Dia menekankan bahwa ini bukan latihan, karena Peeta Mellark, pemenang dari Distrik 12 mungkin sudah menyatakan di televisi bahwa akan ada serangan di 13 malam ini.

Pada saat itulah bom pertama menghantam kami. Benturan yang awalnya dirasakan diikuti ledakan yang bergaung di bagian dalam tubuhku, mengguncang isi perutku, ke sumsum tulangku, dan akar-akar gigiku. Kami semua bakal mati, pikirku. Aku langsung mendongak, mengira bakal melihat retakan besar di langit-langit, dan batu-batu besar berjatuhan menimpa kami, tapi bunker ini hanya bergetar sedikit. Lampu padam dan aku merasa kehilangan orientasi

karena kegelapan total. Suara-suara manusia yang tak berbicara—

pekikan-pekikan spontan, napas-napas memburu, rengekan bayi, satu tawa yang terdengar sedikit gila—bergelora dalam udara yang berat. Kemudian terdengar dengungan generator, cahaya lampu remang-remang menggantikan cahaya benderang yang biasanya ada di 13.

148 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Suasananya mirip dengan rumah-rumah kami di 12, ketika lilin-lilin dan api memberikan cahaya temaram pada malam musim dingin.

Aku mendekati Prim dalam cahaya remang ini, menangkupkan tanganku di kakinya, dan menarik tubuhku ke atasnya. Suaranya tetap

tenang ketika dia membujuk Buttercup. “Tidak apa-apa, Sayang, tidak apa-apa. Kita akan baik-baik saja di sini.”

Ibuku memeluk kami berdua. Aku membiarkan diriku jadi anak-anak lagi selama sesaat dan menyandarkan kepalaku di bahu ibuku.

“Ini tidak seperti bom di Delapan,” kataku.

“Mungkin rudal bunker,” kata Prim, menjaga suaranya tetap tenang demi kucingnya. “Kami mempelajarinya pada saat orientasi warga baru. Rudal-rudal itu dirancang menembus ke dalam tanah sebelum

meledak. Karena tak ada gunanya mengebom permukaan Tiga Belas.”

“Nuklir?” tanyaku, dan rasa dingin menjalar di sekujur tubuhku.

“Belum tentu,” kata Prim. “Ada bom yang memang kekuatannya besar. Tapi… kurasa bisa jadi juga nuklir.”

Kegelapan ini membuatku sulit melihat pintu-pintu logam berat di ujung bunker. Apakah pintu itu bisa melindungi kami dari serangan nuklir? Bahkan jika pintu itu seratus persen efektif tahan terhadap radiasi, yang kemungkinan besar tidak bisa, apakah kami bisa

meninggalkan tempat ini? Memikirkan bahwa aku harus

menghabiskan sisa hidupku di ruang batu ini membuatku ngeri. Aku ingin berlari menerjang pintu dan menuntut dibebaskan menuju apa pun yang ada di atas sana. Tapi tak ada gunanya. Mereka takkan pernah mengizinkanku keluar, dan aku mungkin bisa memulai kekalapan yang membuat manusia saling menginjak.

“Kita amat jauh di dalam tanah, aku yakin kita aman,” kata ibuku

menghiburku. Apakah dia memikirkan ayahku meledak

149 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Peeta memiliki alat yang diperlukan untuk memberi peringatan pada

kita.”

Alat yang diperlukan. Istilah umum yang entah bagaimana memberikan segala yang diperlukannya untuk membunyikan alarm. Pengetahuan, kesempatan, keberanian. Dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Sepertinya dalam benak Peeta ada semacam pertarungan, yang mendesaknya untuk menyampaikan pesan itu. Kenapa? Bakat terbesarnya adalah memanipulasi kata-kata. Apakah kesulitannya timbul karena dia disiksa? Atau yang lain lagi? Dia jadi gila, misalnya?

Suara Coin, yang terdengar lebih muram, terdengar di dalam bunker,

volume suaranya berkeredap dengan cahaya lampu. “Ternyata

informasi dari Peeta Mellark benar dan kita berutang amat besar padanya. Alat-alat sensor menunjukkan rudal pertama bukanlah nuklir, tapi bom yang sangat kuat. Kita masih menanti bom selanjutnya. Selama serangan terjadi, semua penduduk harus tinggal

di area mereka kecuali mendapat perintah lain.”

Seorang tentara memberitahu ibuku bahwa dia diperlukan di pos P3K. Dia tampak enggan meninggalkan kami meskipun kami hanya berjarak tiga puluh meter jauhnya.

“Kami akan baik-baik saja, sungguh,” kataku padanya. “Memangnya ada yang bisa melewati dia?” Aku menunjuk Buttercup, yang

memberikan desisan setengah hati, sehingga kami semua bisa sedikit tertawa. Bahkan aku pun merasa kasihan padanya. Setelah ibuku

pergi, aku menyarankan pada adikku, “Kenapa kau tidak naik saja ke ranjang dengannya, Prim?”

“Aku tahu ini konyol… tapi aku takut ranjangnya jatuh menimpa

kita saat serangan,” katanya.

Jika ranjangnya roboh, seluruh bunker ini pasti akan ambruk menimpa kami, tapi kuputuskan logika semacam ini takkan

150 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

membantunya. Sebagai gantinya, aku membersihkan kotak

penyimpanan dan membuat tempat tidur untuk Buttercup. Lalu aku memasang matras di depannya agar bisa kubagi menjadi tempat tidur berdua dengan adikku.

Kami mendapat kesempatan untuk menggunakan kamar mandi dan menyikat gigi secara bergiliran dalam kelompok-kelompok kecil, tapi kegiatan mandi dibatalkan untuk hari ini. Aku bergelung dengan Prim di matras, memakai selimut dobel karena gua ini memancarkan rasa dingin yang lembab. Buttercup, tetap tampak menderita meskipun Prim terus-menerus memperhatikannya, bergerak-gerak di kotaknya dan mengembuskan napas kucingnya di wajahku.

Walaupun kondisinya tidak menyenangkan, aku senang punya waktu bersama adikku. Kesibukanku sejak aku tiba di sini—tidak, sejak

Hunger Games pertama sebenarnya—membuatku kurang

memperhatikannya. Aku tidak menjaganya sebagaimana yang harusnya kulakukan, seperti yang dulu kulakukan. Selain itu, Gale-lah yang memeriksa kompartemen kami, bukan aku. Dan itu sesuatu yang harus kutebus.

Aku sadar bahwa aku tak pernah bertanya padanya tentang bagaimana dia mengatasi shock yang ditimbulkan karena datang

kemari. “Apakah kau menyukai Tiga Belas, Prim?” tanyaku.

“Sekarang?” tanyanya. Kami berdua tertawa. “Kadang-kadang aku sangat rindu rumah. Tapi lalu aku ingat tak ada yang tersisa di sana yang bisa kurindukan. Aku merasa lebih aman di sini. Kami tidak harus menguatirkanmu. Yah, yang pasti tidak dengan kekuatiran yang

sama.” Prim terdiam sejenak, lalu senyum terlintas di bibirnya. “Kurasa mereka akan melatihku menjadi dokter.”

Itu pertama kali aku mendengarnya. “Ya, tentu saja. Mereka bodoh

151 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Mereka sudah mengawasiku ketika aku membantu di rumah sakit.

Aku sudah mengambil kursus-kursus medis. Cuma hal-hal pemula. Aku sudah tahu banyak sejak di rumah. Tapi, tetap saja masih banyak

yang harus dipelajari,” kata Prim.

“Bagus sekali,” kataku. Prim jadi dokter. Dia bahkan tak bisa

memimpikannya di 12. Sesuatu yang kecil dan tenang, seperti korek api yang tersulut, menyalakan cahaya dalam diriku. Inilah jenis masa depan yang bisa dihasilkan dari pemberontakan.

“Bagaimana denganmu, Katniss? Bagaimana kau menghadapinya?”

Ujung jari Prim bergerak mengelus bagian di antara kedua mata

Buttercup. “Dan jangan bilang kau baik-baik saja.”

Memang benar. Apa pun kebalikan dari baik-baik saja, di situlah kondisiku sekarang. Jadi aku bercerita padanya tentang Peeta, keadaannya yang memburuk di layar televisi, dan bagaimana mereka pasti membunuhnya saat ini. Buttercup harus bisa sendirian saat ini karena Prim mengalihkan perhatian sepenuhnya padaku. Dia menarikku mendekat, jemarinya menyisir rambut di belakang telingaku. Aku berhenti bicara karena sesungguhnya tak ada lagi yang bisa kubicarakan dan ada rasa sakit yang menusuk di tempat jantungku berada. Mungkin aku mengalami serangan jantung, tapi aku tak merasa patut menyebutnya.

“Katniss, kurasa Presiden Snow takkan membunuh Peeta,” katanya.

Tentu saja, dia mengatakan hal ini; dia pikir apa yang dikatakannya akan membuatku tenang. Tapi kalimat selanjutnya dari Prim

mengejutkanku. “Jika dia membunuhnya, dia tak punya lagi orang

yang kauinginkan. Dia takkan punya cara untuk menyakitimu.”

Mendadak, aku teringat pada gadis lain, seseorang yang sudah melihat segala kekejian yang ditawarkan Capitol. Johanna Mason, peserta dari Distrik 7 di arena terakhir. Aku berusaha mencegahnya masuk ke hutan, di sana ada burung-burung jabberjay yang bisa

152 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

meniru suara orang-orang yang kita sayangi dalam keadaan tersiksa,

tapi dia menepis peringatanku dan berkata, “Mereka tak bisa

menyakitiku. Aku tidak seperti kalian. Tak ada seorang pun yang tersisa yang kucintai.”

Saat itulah aku tahu Prim benar, Snow tak bisa menghabisi Peeta, terutama sekarang. Ketika Mockingjay menimbulkan banyak malapetaka. Dia sudah membunuh Cinna. Menghancurkan rumahku. Keluargaku, Gale, bahkan Haymitch tak terjangkau olehnya. Peeta satu-satunya yang dia miliki.

“Jadi menurutmu apa yang akan mereka lakukan terhadapnya?”

tanyaku.

Prim terdengar seperti orang yang berusia seribu tahun ketika dia bicara.

“Apa pun yang diperlukan untuk menghancurkanmu.”

153 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m BAB 11

APA yang akan menghancurkanku?

Ini pertanyaan yang menggerogotiku selama tiga hari berikutnya ketika kami menunggu untuk dilepaskan dari penjara yang mengamankan kami. Apa yang akan menghancurkanku hingga berkeping-keping hingga aku tak lagi bisa bangkit, tak lagi berguna? Aku tak memberitahu siapa pun tentang kegundahan hatiku ini, tapi hal ini terus menggerogoti hari-hariku dan merayap ke dalam mimpi-mimpi burukku.

Empat rudal bunker jatuh selama masa perlindungan ini, semuanya berkekuatan besar, sangat merusak, tapi serangan itu tak mendesak. Bom-bom itu dijatuhkan dalam interval waktu yang panjang sehingga ketika kami mengira serangan berakhir, ledakan lain mengirimkan gelombang kejut hingga ke ulu hatimu. Rasanya bom ini lebih dirancang untuk membuat kami tetap terkunci dalam bunker daripada

membinasa minta baterai tambahan—suatu pemborosan—untuk

digunakan dalam permainan ini. Penduduk di 13 teramat butuh hiburan.

Pada malam ketiga, saat kami bermain, pertanyaan yang menggangguku terjawab sudah. Kucing Gila jadi metafora situasiku. Aku Buttercup. Peeta, benda yang amat kuinginkan, adalah cahayanya. Selama Buttercup merasa dia punya kesempatan, menangkap cahaya yang selalu bergerak kabur dengan cakarnya, dia siap berperang. (Itulah keadaanku sejak aku meninggalkan arena, dengan Peeta dalam keadaan hidup.) Saat lampu padam, selama beberapa saat Buttercup tampak gelisah dan bingung, tapi dia kemudian pulih lalu melakukan kegiatan-kegiatan lain. (Itulah yang akan terjadi jika Peeta tewas.)

Tapi satu hal yang membuat Buttercup bersemangat adalah ketika aku menyalakan senter tapi membuatnya tanpa harapan untuk bisa

154 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

menjangkau cahaya tersebut, jauh tinggi di dinding, tak bisa dicapai dengan lompatannya. Dia belari di bawah dinding, melolong, dan tak bisa ditenangkan atau dialihkan perhatiannya. Dia tak berguna sampai aku memadamkan senter. (Itulah yang berusaha dilakukan Snow padaku sekarang, hanya saja aku tak tahu jenis permainan apa yang dilakukannya.)

Mungkin kesadaran macam inilah yang diperlukan Snow. Sudah buruk bagiku memikirkan bahwa Peeta jadi miliknya sekarang dan disiksa untuk mendapat informasi tentang pemberontak. Tapi memikirkan bahwa dia sengaja disiksa untuk membuatku tak berdaya tak mampu kutanggung rasanya. Saat menyadari semua inilah pertahananku mulai hancur.

Setelah Kucing Gila, kami diarahkan ke tempat tidur. Lampu hidup dan mati tak menentu; kadang-kadang lampu menyala terang benderang, kadang-kadang kami harus menyipitkan mata untuk bisa melihat dalam keremangan. Pada jam tidur mereka memadamkan lampu hingga nyaris gelap total dan menyalakan lampu-lampu jaga di masing-masing tempat tidur. Prim, yang memutuskan bahwa dinding ini akan bertahan, bergelung bersama Buttercup di ranjang bagian bawah. Ibuku mengambil ranjang atas. Aku menawarkan diri untuk tidur di ranjang tapi mereka membuatku tidur di matras di lantai karena aku sering bergerak-gerak saat tidur.

Aku tidak bergerak-gerak sekarang, semua ototku kaku karena tegang berusaha menguatkan diri. Rasa sakit di hatiku kembali lagi, dan dari sana kubayangkan ada retakan kecil yang menyebar ke seluruh tubuhku. Menembus dadaku, turun ke kedua lengan dan kakiku, lalu wajahku, menyisakan retakan di sepanjang jalur yang dilewatinya. Satu hantaman lagi dari rudal bunker dan aku bisa pecah jadi serpihan tajam berkeping-keping.

Ketika kebanyakan orang yang resah gelisah sudah tidur, dengan hati-hati aku melepas selimutku dan berjingkat-jingkat berjalan di gua

155 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

sampai aku menemukan Finnick, merasa bahwa entah karena alasan apa dia akan mengerti. Dia duduk di bawah lampu jaga di ruangannya, menjalin talinya, bahkan tak berpura-pura tidur. Ketika aku berbisik padanya tentang rencana Snow untuk menghancurkanku, aku tersadar. Strategi ini bukan berita baru buat Finnick. Inilah yang menghancurkannya.

“Ini yang mereka lakukan padamu dengan Annie, kan?”

“Yah, yang jelas mereka tidak menangkapnya karena mereka pikir dia bisa menjadi sumber informasi,” katanya. “Mereka tahu aku tak

pernah mengambil risiko dengan memberitahunya apa pun. Demi

keamanannya sendiri.”

“Oh, Finnick. Aku minta maaf,” kataku.

“Tidak, aku yang minta maaf. Karena tidak memperingatkanmu,”

Finnick memberitahuku.

Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul. Aku terikat di ranjang, kalap karena marah dan sedih sehabis diselamatkan. Finnick berusaha

menenangkanku tentang Peeta. “Mereka pasti segera tahu dia tidak

tahu apa-apa. Dan mereka tidak akan membunuhnya jika mereka pikir

mereka bisa memanfaatkannya untuk mendapatkanmu.”

“Kau sudah memperingatkanku kok. Di pesawat ringan. Hanya saja ketika kau bilang mereka akan memanfaatkan Peeta untuk mendapatkanku, kupikir maksudmu adalah menjadikannya sebagai

umpan. Entah bagaimana memancingku untuk datang ke Capitol,”

kataku.

“Seharusnya aku tidak bicara seperti itu. Sudah terlambat untuk membantumu. Karena aku tidak memperingatkanmu sebelum Quarter

Quell, seharusnya aku tidak membocorkan cara kerja Snow.” Finnick

menarik ujung talinya, dan ikatan yang rumit langsung menjadi tali

156 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

denganmu. Setelah Hunger Games pertamamu kupikir semua urusan asmara itu cuma akting bagimu. Kami berharap kau meneruskan strategi itu. Tapi baru pada saat Peeta menghantam medan gaya dan

nyaris tewas aku…” Finnick tampak ragu-ragu.

Kupikirkan kembali kejadian di arena. Bagaimana aku menangis ketika Finnick menghidupkan Peeta kembali. Wajah bingung Finnick. Caranya menerima keanehan tingkah lakuku, menyalahkannya pada

kehamilan pura-puraku. “Kau apa?”

“Aku salah menilaimu. Kau memang mencintainya. Aku tidak tahu dengan cara apa kau mencintainya. Mungkin kau sendiri tidak tahu. Tapi siapa pun yang memperhatikanmu bisa melihat betapa kau amat

menyayanginya.” kata Finnick lembut.

Siapa pun? Pada kunjungan Snow sebelum Tur Kemenangan, dia menantangku untuk menghapus keraguan apa pun tentang cintaku

pada Peeta. “Yakinkan aku,” kata Snow. Sepertinya, di bawah langit

merah jambu yang panas dan Peeta berada di alam hidup dan mati, akhirnya aku melakukannya. Dan setelah melakukannya, aku memberinya senjata yang dia perlukan untuk menghancurkanku.

Aku dan Finnick duduk lama dalam keheningan, memperhatikan ikatan terbentuk dan menghilang, sebelum aku bisa bertanya,

Dokumen terkait