• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

D. Sanksi Pidana

1. Menurut Hukum Islam

Sanksi pidana dalam bahasa Arab disebut ‘uqu>bah.‘Uqu>bah artinya: mengiringnya dan datang dibelakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz: yang artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukan.28 Perbuatan yang dilarang ( روظحملا) adakalanya berupa mengajarkan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan lafaz syari>’ah ( عيرش) dalam definisi tersebut mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu tidak ada larangannya dalam syara’

dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada dalam larangan dalam syara’ maka perbuatan tersebut hukumnya mudah, sesuai dengan dalil kaidah yang berbunyi: Pada dasarnya semua perkara diperbolehkan, sehingga ada dalil yang mengajukan keharamannya.

Pengertian jarimah menurut syara’, pada lahirnya agak berbeda dengan pengertian jarimah atau tindak pidana menurut hukum positif dalam kaitan dengan

28

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: PT Sinar Grafika), h. 136.

masalah hukuman takzir. Menurut hukum Islam hukuman takzir adalah hukuman yang ketentuan jumlahnya tidak tercantum di dalam nash sedangkan menurut hukum positif, hukuman itu harus tercantum dalam undang-undang. Akan tetapi, apabila dipelajari dapat juga kita temui persesuaiannya terutama pada garis besarnya.Hukuman takzir dimaksudkan untuk mencegah dari kerusakan timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya takzir itu demikian maka jelas sekali hal itu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena setiap perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an.

. . . .

“…dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS.Al-Baqarah [2]: 60)

Di samping itu, meskipun hukuman takzir itu ketentuannya diserahkan kepada ulil amri (penguasa), namun dalam pelaksanaannya tetap berpedoman kepada dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tujuan mencegah manusia, supaya ia tidak membuat kekacauan dan tidak membuat kerusakan.29

Alangkah tepat dan indahnya Al-Qur’an ketika mengumpulkan antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, karena sama bahayanya terhadap pribadi, keluarga, tanah air, dan akhlak. Tidak ada bedanya orang yang mabuk karena

29

judi dengan orang mabuk karena khamr dan judi termasuk perbuatan syaitan.30Dalam hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr dan judi diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status hukum.Meminum minuman memabukan (khamr) dan berjudi adalah dua perbuatan yang dilarang.Para peminum khamr dan berjudi dinilai sebagai perilaku setan.Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr diungkapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status hukum.Hal itu diungkapkan sebagai berikut.

Surah Al-Baqarah ayat 219

                                                  .

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada

keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219).

Mengenai isi kandungan ayat tersebut, tampak jelas bahwa ayat ini sudah menyentuh sisimanfaat dan mudharat, ketika di turunkan ayat ini. Dalam Al-Qur’an dan tafsirnya menjelaskan manfaat meminum khamr sedikit sekali, boleh dikatakan tidak ada artinya dibandingkan dengan bahayanya.

30

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. XI, h. 352.

Misalnya: minum khamr, mungkin dapat menjadi obat, dapat dijadikan perdagangan yang mendatangkan keuntungan, dan dapat menimbulkan semangat bagi para prajurit-prajurit yang akan pergi berperang dan lain-lain. Tapi semua itu bukanlah manfaat yang berarti. Begitu juga berjudi dapat menolong orang miskin kalau yang menang itu orang yang dermawan, cepat mendapat keuntungan tanpa susah payah. Tapi semuanya itu juga tidak ada artinya, dan tidak ada berkatnya. Tentang bahaya-bahaya minum khamr dan judi, dan apa yang akan diderita oleh peminum khamr dan pemain judi nantinya, selain dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an juga banyak diterangkan dalam hadist-hadist Nabi Muhammad SAW.31

Kata maisir dijumpai dalam Qur’an sebanyak 3 kali, yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat 90-91 diketahui bahwa judi merupakan perbuatan keji yang diharamkan Islam. Keharaman judi dalam surah Al-Baqarah ayat 219 tidak begitu jelas. Dalam surah Al-maa’idah ayat 90, Allah SWT secara tegas menyatakan yang artinya: “wahai oran-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengudi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jahuilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan.Penyebab diharamkannya perbuatan judi dijelaskan Allah SWT dalam ayat 91 yang artinya, “sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu

31

lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengintai Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perintah itu).

Dari ketiga ayat tersebut, para mufasir menyimpulkan beberapa hal. 1) judi merupakan dosa besar. 2) judi merupakan perbuatan setan. 3) judi sejajar dengan syirik. 4) judi menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia. 5) judi membuat orang malas berusaha. 6) judi juga akan menjauhkan orang dari Allah SWT. Selain lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya, perbuatan judi dilarang oleh Allah SWT karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi yang positif dalam menunjang di dunia dan akhirat.32

Jika Islam membolehkan bermacam-macam hiburan dan permainan bagi orang Muslim, namun ia mengharamkan setiap permainan yang dibarengi dengan judi, di mana pemain tidak lepas dari untung dan rugi. Dan sabda Rasulullah SAW mengenai hal itu: “barangsiapa berkata kepada kawannya: ‘marilah berjudi’, maka

hendaklah ia bersedekah.” Dengan demikian, seorang Muslim tidak menjadikan permainan judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi waktu senggang, sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari uang, dengan alasan apapun.33

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah takzir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah takzir sebab setiap orang

32

Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, h. 298-299.

33

yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar harus di takzir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia.34

Jarimah takzir adalah segala bentuk tindak pidana yang dikenakan hukuman takzir.Yang dimaksud dengan takzir adalah mengenakan hukuman selain hukuman hudud dan kafarat kepada pelaku perbuatan tindak pidana, baik perbuatan tindak pidanaitu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi seseorang.Hukuman dalam jarimah takzir tidak di tentukan bentuk, jenis dan jumlahnya oleh syara’.Hanya menentukan sejumlah hukuman, dari hukuman terendah sampai hukuman tertinggi. Untuk menentukan hukuman mana yang harus dilaksanakan terhadap suatu tindak pidana hukuman takzir, hukum Islam menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim, setelah mempertimbangkan kemaslahatan terpidana, lingkungan yang mengitarinya, dan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan hukum tersebut.35

Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman sesuai dengan macam tindak pidana takzir serta keadaan pelaku.Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana takzir tidak mempunyai batasan-batasan tertentu.Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi wewenang kepada penguasa atau hakim untuk menentukan tindak pidana setengah hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan)

34

Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, h. 359-360.

35

serta prinsip umum hukum Islam.Dari keterangan di atas bahwa tidak ada satu kejahatan yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman.36Para ulama sepakat bahwa bentuk dan kualitas hukuman takzir tidak boleh menyamai hukuman diat atau hudud.37

Dalam hukum Islam, akan disebutkan beberapa hukuman takzir terpenting yang ditetapkan oleh hukum Islam. Selain itu, harus diingat bahwa prisnsip-prinsip hukum Islam tidak menolak untuk mengambil hukuman lain apapun juga yang dapat mewujudkan tujuan hukuman dalam hukum Islam.38

a. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari’at Islam hukum takzir adalah untuk memberikan pengajaran (Al-ta’dib) dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu dalam hukuman takzir tidak boleh pemotong anggota badan atau penghilangan nyawa, akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat suatu pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya hukuman tersebut jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau jika pemberantasan kejahatan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya.39Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati

36

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 100.

37

H.E. Hasan Saleh Ed. 1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pres, 2008), h. 465.

38

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 86-87.

39

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. 6, h. 299.

sebagai takzir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik.Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.40

b. Hukuman cambuk

Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku jarimah takzir. Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku jarimah zina ghairu muhshan dan jarimah qadzf. Namun dalam jarimah takzir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat kejahatan.41Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini adalah cambuk yang pertentangan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat.Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibnu Taimiyah, dengan alasan sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.42

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai takzir harus dicambukkan lebih keras dari pada cambuk dalam had agar dengan takzir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan.

40

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.

41

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 149.

42

Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam takzir dengan sifat cambuk dalam hudud.Apabila orang yang dihukum takzir itu laki-laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus di buka. Akan tetapi,apabila orang terhukum itu seseorang perempuan maka bajunya tidak boleh di buka, karena jikan demikian akan terbukalah auratnya. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum43

c. Hukuman Penjara

Hukuman penjara dalam syari’at Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu: 1) Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini ditegaskan untuk jarimah penghinaan, penjualan khamr, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci bulan ramadhan dengan berbuka di siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang perkara di depan sidang pengadilan, dan saksi palsu. Batas tertinggi hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha, menurut Imam Syafi’i batas tertinggi hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun.Adapun pendapat yang dinukil dari

43

Abdullah Az-zaubairi adalah ditetapkanya masa hukuman penjara dengan satu bulan, atau enam bulan.44

2) Hukuman Penjara Tidak Terbatas

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum meninggal dunia atau sampai ia bertaubat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini dalam hukum pidana Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya. Misalnya, seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga. Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua (sampai ia bertaubat) dikenakan antara lain untuk orang yang dituduh membunuh dan mencuri, melakukan homoseksual, atau penyihir. Mencuri untuk yang ketiga kalinya menurut Imam Abu Hanafiah, atau mencuri untuk kedua kalinya menurut imam yang lain.45

d. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan). Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun di dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman takzir. Di antara jarimah takzir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannasts (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar dari Madinah. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh

44

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 262-263.

45 Ibid.

kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.46

Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Imam Syafi’i dan Hambali, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun. Menurut Imam Abu Hanafi, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman takzir, bukan hukuman had.47

e. Hukuman Denda (Al-gharamah)

Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya. Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah takzir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempeetimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun kondisi tempat dan waktunya.48

46 Ibid., h. 264. 47 Ibid., h. 265. 48 Ibid., h. 267.

40

1. Menurut Hukum Positif

Bahwa pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama, moral kesusilaan, dan pancasila, bangsa dan negara.serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Namun melihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) dengan segala perubahan dan tambahannya, tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.

Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai akses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda.Meskipun kenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun akses negatifnya lebih besar daripada akses positifnya.Apabila Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 BAB II huruf C angka 5 menyimpulkan, bahwa usaha pembangunan dalam bidang materiil tidak boleh menelantarkan usaha dalam bidang spiritual, malahan kedua bidang tersebut harus dibangun secara simultan, maka adanya dua kepentingan yang berbeda tersebut perlu segera diselesaikan.

Pemerintah harus mengambil langkah dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia.

Perjudian adalah salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu pada tingkat dewasa ini perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah, untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian. Maka untuk maksud tersebut perlu mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yang sekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera.1

Dalam pasal 303 KUHP pada ayat (3) dijelaskan yang di maksud permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemudian mendapat untung bergantung pada keberuntungan belaka, juga karena permainannya lebih berlatih atau lebih bermahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bemain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.2

Pada ayat (3) diterangkan tentang arti perjudian, yakni: tiap-tiap permainan di mana pada umumnya kemudian mendapat untung bergantung pada peruntungan

1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

2

belaka, dan juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Dari rumusan di atas sebenarnya ada dua pengertian perjudian yakni sebagai berikut. a. Suatu permainan yang kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan atau nasib belaka. Pada macam perjudian ini, menang atau kalah dalam arti mendapat untung atau rugi hanyalah bergantung pada keberuntungan saja, atau secara kebetulan saja. Misalnya dalam permainan judi dengan mengunakan alat dadu.

b. Permainan yang kemungkinan mendapat untung atau kemenangan sedikit atau banyak bergantung pada kemahiran atau terlatih si pembuat. Misalnya permaian melempar bola, permainan dengan memanah, bermain bridge, atau domino.3

Dua pengertian perjudian di atas diperluas juga pada dua macam pertaruhan, yaitu:

a. Segala bentuk pertaruhan tentang keputusan perlombaan lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain. Misalnya dua orang bertaruh tentang suatu pertandingan sepak bola antar dua kesebelasan, di mana yang satu bertaruh dengan menebak satu kesebelasan sebagai pemenangnya dan yang satu pada kesebelasan lainnya.

b. Segala bentuk pertaruhan lainnya yang tidak ditentukan. Dengan kalimat yang tidak menentukan bentuk pertaruhan secara limitatif, maka segala bentuk pertaruhan dengan cara bagaimanapun dan dalam segala hal manapun adalah termasuk perjudian. Seperti beberapa permainan kuis untuk mendapatkan hadiah

3

yang ditayangkan pada televisi termasuk juga pengertian perjudian menurut pasal ini. Tetapi permainan kuis itu tidak termasuk permainan judi yang dilarang, apabila terlebih dulu telah mendapat izin dari instansi atau pejabat yang berwenang.4

Dokumen terkait