• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyelaraskan pengelolaan Laut sawu dengan pemerintah

daerah

Kawasan Konservasi Perairan laut Sawu terletak di propinsi NTT. Sehingga mau tidak mau program pengelolaan TNP Laut Sawu harus selaras dengan program pembangunan propinsi NTT dan kabupaten yang berada di dalamnya. Berdasarkan buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, sasaran dan tujuan pengelolaan Laut Sawu mengakomodir strategi pokok pengembangan daerah. Tujuan yang ingin dicapai dari pengelolaan juga mencerminkan delapan agenda pembangunan propinsi NTT yang tercantum di RPJMD NTT 2009-2013. Begitu juga dengan kebijakan tata ruang propinsi NTT (Perda RTRW 2010-2030) mempertimbangkan kawasan perlindungan termasuk didalamnya zonasi dari TNP Laut sawu dan juga kawasan konservasi lainnya. Adanya keselarasan antara rencana pengelolaan dan rencana pembangunan daerah ini dapat terjadi karena berperannya fungsi Dewan Konservasi NTT.

Menurut Gaspar Enga dari Bappeda yang juga anggota Dewan Konservasi:” Aktifnya anggota Dewan Konservasi dalam perencanaan strategi pembangunan NTT memberikan kontribusi yang besar masuknya rencana pengelolaan TNP Laut Sawu dalam rencana pembangunan daerah propinsi.” Setiap anggota Dewan Konservasi NTT yang duduk di kantor kedinasan, misalnya BLHD, DKP dan Pariwisata mengintegrasikan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu dalam rencana pembangunan dari dinas mereka yang kemudian diolah lagi oleh Bappeda. Sehingga orang-orang kunci di kedinasan tersebut harus mempunyai pemahaman dan visi yang sama untuk membangun perairan Laut

Sawu. Hal ini juga ditegaskan oleh Bapak Joni Rohi dari Dinas Pariwisata bahwa keterlibatan dinas dalam memasukkan program yang berkaitan dengan TNP Laut Sawu membantu mempercepat proses integrasi ini.”

Proses pembelajaran adalah:

- Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di NTT mendapatkan dukungan dari gubernur beserta jajarannya. Hal ini bisa didapatkan karena anggota tim yang aktif mempersiapkan kawasan konservasi di NTT terdiri dari orang-orang yang mewakili dinas-dinas dari jajaran di Propinsi NTT. Peran mereka sangat strategis dalam mempengaruhi kebijakan propinsi NTT.

- Peningkatan pemahaman di tingkat pengambil keputusan dilakukan dengan diskusi melalui workshop dan pertemuan informal. Mereka inilah yang juga memberikan masukan kepada kepala daerah NTT

- Dewan Konservasi NTT melakukan diskusi dengan kepala daerah lebih dari lima kali pertahun sejak mereka terbentuk. Berangkat dari meningkatnya pemahaman dan ketertarikan ini, dukungan dari Kepala Daerah juga semakin meningkat. - Peran orang-orang kunci di kantor-kantor dinas ketika memasukkan kegiatan

yang berkaitan dengan TNP Laut Sawu dalam rencana anggaran didukung oleh Bappeda sebagai badan yang mengkoordinasikan rencana pembangunan daerah. Sehingga kerjasama antara bagian rencana program di dinas dan Bappeda sangat penting.

Mengintegrasikan pengelolaan kawasan perairan masyarakat ke

dalam pengelolaan TNP Laut Sawu

Keanekaragaman masyarakat di propinsi NTT sangat tinggi. Hal ini juga diakui dalam buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu. Keanekaragaman suku dan tata kehidupannya ini memberikan pengaruh bagaimana mereka mengatur sumber daya alam lautnya. Sejak turun temurun, masyarakat pesisir di NTT mempunyai kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. Ini dapat dijumpai pada masyarakat Belong

(Kupang), Sumba, Alor, Solor, Rote, Timor dan Lembata. Beberapa kearifan lokal ini sudah mengalamai degradasi, namun masih ada yang tetap eksis sampai sekarang.

Menurut Buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, ada sekitar 20 kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pesisir sekitar TNP Laut Sawu. Ada enam yang masih berjalan dan dimasukkan kedalam rencana pengelolaan dan dua kebijakan lokal di revitalisasi dan diperkuat melalui Peraturan Desa. Kearifan lokal ini masuk dalam zona pemanfaatan tradisional.

Kearifan lokal Lilifuk di Desa Kuanheun, Kabupaten Kupang merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang diperkuat menjadi Perdes dan juga menjadi bagian zonasi dan rencana pengelolaan. Revitalisasi kearifan lokal Lilifuk dilakukan melalui kerjasama antara tim persiapan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu dengan TNC, RFLP-FAO dan Bengkel APPeK. TNC memberikan bantuan teknis untuk melakukan kajian Lilifuk, Regional Fisheries and Livelihoods Program dari FAO mendukung Bengkel APPeK sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Kupang untuk memfasilitasi aplikasi Lilifuk ke dalam bentuk Perdes. Kerjasama berbagai pihak ini menghasilkan Lilifuk masuk dalam rencana pengelolaan dan disahkan dalam bentuk Peraturan Desa tentang perlindungan sumber daya laut di wilayah Lilifuk.

Lilifuk melindungi sebuah kolam yang terjadi ketika surut rendah dengan luas sekitar + 2ha dan kedalaman + 5m (Perdes Kuanheun). Di daam kolam ini terdapat berbagai jenis ikan, lamun dan terumbu karang yang kondisinya sudah kurang baik yaitu tutupan karang + 20% (Fajariyanto et al. 2012). Ketika surut rendah ikan berkumpul dalam kolam ini. Awalnya Lilifuk ini dimilik oleh Suku Baineo. Ketika terompet yang terbuat dari kerang dibunyikan sebagai tanda masyarakat boleh mengambil hasil yang ada di dalam kolam, masyarakat termasuk dari desa tetangga boleh mengambil dengan alat tangkap serok. Dari hasil panen, 40% diserahkan kepada Suku Baineo. Yang melanggar aturan didenda beras dan babi sebagai bahan yang dibutuhkan untuk sidang adat.

Figure 2 Peta hasil diskusi bersama masyarakat di Desa Kuanheum Sumber: Perdes

Ketika proses revitalisasi, Suku Baineo menyerahkan proses ini kepada desa. Sekarang masyarakat yang akan mengambil hasil laut di kolam ini harus membayar Rp 2500,-. Persentase hasil dibagikan untuk gereja, desa, duku Baineo dan Kelompok Masyarakat Pengawas Desa (Pokmaswas). Ada beberapa aturan tambahan ketika proses revitalisasi ini yaitu masyarakat tidak boleh menggunakan alat tangkap serok karena dapat merusak dasar kolam, hanya boleh menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, tidak boleh mengambil Kima dan anak ikan Pada. Terjadi diskusi yang hangat dengan kelompok perempuan tentang batasan ukuran Ikan Pada, karena anakan ikan Pada paling banyak diambil oleh kelompok perempuan sebagai bahan makanan rempeyek untuk dijual. Namun kelompok ibu-ibu ini akhirnya menyadari tentang keberlanjutan ikan jika mengambil anak ikan dan mereka setuju dengan peraturan baru ini. Tim pengelolaan TNP Laut Sawu membantu proses penetapan Perdes, penandaan tanda batas dengan buoy, dan papan informasi.

Figure 3: Foto pemasangan tanda batas Lilifuk di Kabupaten Kupang

Pembelajaran dari integrasi kearifan lokal masyarakat ke dalam rencana pengelolaan TNP Laut Sawu adalah:

- Tim persiapan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu menyadari bahwa pengelolaan kawasan konservasi ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat di NTT, sehingga setiap kearifan lokal yang berasal dari masyarakat harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pengelolaan.

- Pengakuan terhadap kearifan lokal memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa kepentingan masyarakat mendapat tempat di dalam rencana pengelolaan. Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat atas proses yang dibangun. - Identifikasi tentang pengelolaan oleh masyarakat dilakukan oleh Tim. Namun

proses ini belum sampai dengan studi ekologi dari hasil pengelolaan masyarakat ini kepada kawasan konservasi. Memang dari pengelolaan yang turun temurun ini telah memberikan keberlanjutan hasil kepada anak cucu. Namn studi ekologi tetap harus dilakukan untuk melihat keterkaitan dalam arena yang lebih luas.

- Tidak semua kearifan lokal dan kebiasaan masyarakat yang diperoleh secara turun temurun diterima langsung dalam rencana pengelolaan TNP Laut Sawu. Misalnya penggunaan alat tangkap serok dan pengambilan anak ikan Pada di kolam Lilifuk. Selain itu kebiasaan masyarakat di enam desa di kabupaten Sabu Raijua

mengambil karang hidup yang digunakan untuk kapur sirih satu kali dalam satu tahun (pada bulan sabit ketujuh) diterima di dalam rencana pengelolaan dengan persayaratan bahwa pengambilan itu untuk konsumsi pribadi dan keluarga sertia tidak untuk keperluan komersil. Diskusi panjang perlu dilakukan untuk

membangun pemahaman dan persetujuan agar setiap pihak mengetahui

konsekuensi dan manfaat dari setiap tindakan yang diambil. Proses membangun persetujuan peraturan yang ada di dalam Lilifuk, misalnya, merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Manfaat Pengelolaan Secara Ekonomi

Ada beberapa cara untuk mempromosikan upaya untuk mencapai tujuan kawasan konservasi. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan manfaat ekonomi (Jones et al. 2011). Berdasarkan buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, strategi pemanfaatan kawasan mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir dan pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan. Pemberian akses pemanfaatan sumberdaya ikan dan ekosistemnya kepada masyarakat lokal dan tradisional dan merupakan bagian dari pengelolaan TNP Laut Sawu. Untuk kegiatan pengembangan sumber mata pencaharian alternatif memang tidak disebutkan secara detil di dalam buku rencana pengelolaan. Namun kriteria nya dirumuskan yaitu misalnya diterima secara sosial budaya, ramah lingkungan, dan layak dari segi bisnis.

Berdasarkan konsultasi publik pula, kepentingan masyarakat digali dan diupayakan untuk diintegrasikan kedalam rencana pengelolaan. Dari berbagai konsultasi publik, masyarakat mengusulkan bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk penguatan dan pendampingan

masyarakat nelayan agar memiliki mata pencaharian alternatif selain mengambil hasil laut. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan keahlian dan juga kesejahteraan keluarga. Bapak Ferdi Kapitan dari Biro Ekonomi Propinsi NTT mengatakan bahwa kepentingan masyarakat harus diutamakan dalam pengelolaan Laut Sawu tanpa menghilangkan unsur konservasi. Bapak Joni Rohi dari Dinas Pariwisata Propinsi NTT menambahkan pengembangan pariwisata dari kegiatan kawasan konservasi ini bisa melibatkan masyarakat. Beliau mencontohkan kegiatan di Alor dimana masyarakat terlibat aktif di Alor Kecil sebagai boat operator dan pemandu wisata.

Semua orang berharap banyak dari rencana pengelolaan TNP Laut Sawu agar bisa memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat. Saat ini upaya yang dilakukan baru pada tahap mengintegrasikan kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan. Sehingga upaya yang banyak dilakukan adalah diskusi dan konsultasi publik. Upaya nyata untuk memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat belum banyak dilakukan. Bapak Wilhelmus Dere dari Yayasan Iehari yang juga aktif di Dewan Konservasi menekankan bahwa manfaat langsung bagi masyarakat atas pengelolaan kawasan konservasi harus segera menjadi kegiatan prioritas dimasa datang.

Dokumen terkait