• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN TATA KELOLA & KELEMBAGAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN: PEMBELAJARAN DARI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU. Andie Wibianto/MPAG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN TATA KELOLA & KELEMBAGAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN: PEMBELAJARAN DARI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU. Andie Wibianto/MPAG"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN TATA KELOLA & KELEMBAGAAN

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN:

PEMBELAJARAN DARI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU

(2)

Ringkasan

Upaya membangun tata kelola sebuah kawasan konservasi perairan merupakan faktor penting untuk mencapai pengelolaan yang efektif berdasarkan EKKP3K. Taman Nasional Perairan Laut Sawu sebagai salah satu kawasan konservasi perairan mengalami proses membangun tata kelola ini dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dokumentasi pembelajaran proses membangun tata kelola di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu merupakan upaya untuk berbagi pengalaman dengan kawasan konservasi perairan lainnya.

Pembelajaran dimulai dari bagaimana konsep bersama tentang pengelolaan dibangun. Berbagai diskusi dilakukan untuk membangun pemahaman sebagai langkah awal untuk membangun konsep. TNP Laut Sawu merupakan kawasan konservasi nasional sehingga lembaga pengelolanya juga merupakan wakil dari pemerintah nasional yaitu BKKPN Kupang. Lembaga ini diperkuat dengan mitra-mitra di daerah melalui Tim P4KKP yang membantu proses perumusan rencana pengelolaan. Kemudian tim P4KKP bertransformasi menjadi Dewan Konservasi NTT yang berperan menjembatani berbagai isu konservasi dengan pemerintah daerah. Masyarakat luas juga dilibatkan dalam proses perencanaan melalui konsultasi public, melalui sistem perwakilan. Kelompok perempuan juga dilibatkan dalam konsultasi publik walaupun persentasenya kecil.

Integrasi rencana pengelolaan dengan tata ruang propinsi NTT menunjukkan bagaimana rencana pengelolaan berintegrasi dengan rencana pembangunan daerah. Begitu juga dengan masuknya kearifan lokal ke dalam zona pemanfaatan tradisional. Integrasi kepentingan daerah dan kearifan lokal merupakan salah satu upaya untuk menjamin manfaat dan kepentingan lokal di dalam rencana pengelolaan. Walaupun dari segi manfaat ekonomi langsung, hal ini belum dirasakan masyarakat luas. Namun strategi pemanfaatan sudah dirumuskan di buku pengelolaan.

(3)

Daftar Isi

Ringkasan... 2 Daftar Isi ... 3 Daftar Singkatan ... 4 1. Pendahuluan... 5 Metode ... 6 Struktur penulisan ... 7

2. Tata Kelola dan Kelembagaan ... 8

Tata kelola secara global... 8

Tata kelola menurut EKKP3K ... 11

3. Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu ... 13

4. Gambaran umum pembelajaran ... 16

5. Upaya membangun konsep pengelolaan Laut Sawu ... 18

6. Pengembangan kelembagaan ... 21

7. Mendorong partisipasi masyarakat ... 24

8. Membangun kemitraan ... 27

9. Mendorong partisipasi kelompok perempuan dalam tata kelola Laut Sawu ... 30

10. Menyelaraskan pengelolaan Laut Sawu dengan kebijakan dan kepentingan lokal .... 32

Menyelaraskan pengelolaan Laut Sawu dengan pemerintah daerah ... 32

Mengintegrasikan pengelolaan kawasan perairan masyarakat ke dalam pengelolaan TNP Laut Sawu ... 33

Manfaat pengelolaan secara ekonomi ... 37

11. Kesimpulan ... 39

Daftar Pustaka... 40

(4)

Daftar Singkatan

BLHD Badan Lingkungan Hidup Daerah

BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional BKSDA Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT DKP Dinas Kelautan dan Perikanan

EKKP3K Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

IUCN International Union for Conservation of Nature

KK Keluarga

LMMA Locally managed marine area

LSM lembaga Swadaya Masyarakat

MPA Marine Protected Area

NTT Nusa Tenggara Timur

PKK Program Kesejahteraan Keluarga PP Peraturan Pemerintah

RFLP-FAO Regional Fisheries and Livelihoods Program- Food and Agriculture Organisation of United Nations

RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah

TNC The Nature Conservancy TNP Taman Nasional Perairan

Tim P4KKP Tim Pengkajian, Penetapan dan Perancangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

(5)

1. Pendahuluan

Dokumentasi pembelajaran membangun Tata Kelola dan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Laut Sawu merupakan upaya untuk mendokumentasikan dan menggambarkan proses serta faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan tantangan, yang berkontribusi terhadap kesuksesan dan kegagalan ketika membangun tata kelola sebuah kawasan konservasi perairan.

Tujuan utama dari dokumentasi proses pembelajaran ini adalah untuk berbagi pengalaman tentang proses yang pernah dilakukan ke berbagai pihak yang terlibat secara aktif untuk membangun tata kelola sebuah kawasan konservasi perairan. Berbagai kegiatan telah dilakukan sebagai bagian dari upaya membangun tata kelola. Lebih dari lima tahun, TNC ikut ambil bagian dalam membangun tata kelola laut sawu. Para pemangku kepentingan kawasan perairan di Laut Sawu telah melakukan kegiatan membangun tata kelolanya lebih dari 10 tahun. Proses pembelajaran dari keterlibatan berbagai pihak dan rentang waktu yang cukup lama diharapkan dapat membantu kawasan lain dalam membangun tata kelola kawasan konservasinya. Sementara itu, upaya untuk membangun tata kelola di Taman Nasional Perairan Laut Sawu juga merupakan kegiatan yang terus menerus dilakukan dalam rangka mencapai pengelolaan kawasan konservasi yang efektif sesuai dengan Buku Pedoman EKKP3K.

Dokumentasi ini ditujukan untuk para pihak yang tertarik dalam membangun tata kelola sebuah kawasan konservasi perairan. Proses pembelajaran ini juga bisa membantu para pihak untuk melakukan persiapan, pelaksanaan dan pemantauan atas upaya-upaya untuk membangun tata kelola.

(6)

Metode

Dokumentasi proses pembelajaran ini mengangkat studi kasus di Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Sumber utama dari dokumentasi proses pembelajaran ini adalah dari dokumen yang dapat diakses, misalnya laporan, presentasi, dan dokumen resmi pemerintah. Sumber lainnya adalah wawancara dan diskusi terstruktur dengan 19 orang yang terlibat langsung dalam membangun tata kelola TNP Laut Sawu sejak diinisiasi atau terlibat di tengah-tengah proses membangun tata kelola (Lampiran A). Pertanyaan kunci yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman mereka meliputi:

- Keterlibatan dalam proses membangun tata kelola TNP Laut Sawu - Keberhasilan yang paling berkesan

- Tantangan terbesar dalam membangun TNP

- ”Best Practices” dari kegiatan yang pernah dilakukan.

- Bagaimana kegiatan bisa dilakukan dengan lebih baik dimasa datang?

Berdasarkan hasil diskusi itu maka penulisan proses pembelajaran dengan membagi tema-tema:

- Upaya membangun konsep bersama

- Pengembangan kelembagaan dan dasar hukumnya - Upaya mendorong keterlibatan masyarakat

- Membangun kemitraan

- Keterlibatan perempuan dalam membangun tata kelola TNP Laut Sawu

- Menyelaraskan pengelolaan TNP Laut Sawu dengan kebijakan lokal, termasuk didalamnya manfaat bagi pemangku lokal

(7)

Struktur penulisan

Dokumentasi pembelajaran ini dikemas dalam dua belas bagian. Bagian pertama yang merupakan bagian dari bab ini adalah pengantar yang memaparkan tentang latar belakang, tujuan, target pembaca dan struktur penulisan. Bagian kedua memaparkan tentang tata kelola dan kelembagaan baik secara global maupun berdasarkan EKKP3K, faktor-faktor penting dalam tata kelola dan peran tata kelola dalam mencapai keberhasilan. Bagian ketiga menceritakan tentang TNP Laut Sawu.

Bagian keempat merupakan pengantar tentang penulisan proses pembelajaran untuk bagian-bagian berikutnya. Bagian kelima memaparkan tentang proses pembelajaran membangun konsep bersama pengelolaan Laut sawu. Bagian ini menceritakan tentang proses membangun tujuan bersama. Bagian keenam memaparkan tentang proses pengembangan kelembagaan dan landasan hukumnya. Bagian ini juga menceritakan tentang peran kelembagaan, upaya membangun struktur kelembagaan dan kapasitas manusianya. Bagian ketujuh menceritakan tentang upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam tata kelola. Bagian kedelapan memaparkan tentang upaya untuk membangun kemitraan. Bagian kesembilan menceritakan tentang keterlibatan kelompok perempuan dalam membangun tata kelola Laut Sawu. Bagian kesepuluh memaparkan tentang upaya untuk menyelaraskan pengelolaan TNP Laut Sawu dengan kebijakan pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Bagian ini juga membahas tentang manfaat pengelolaan secara ekonomi. Bagian terakhir memaparkan tentang kesimpulan.

(8)

2. Tata Kelola dan Kelembagaan

Upaya membangun tata kelola di kawasan konservasi perairan adalah sebuah upaya untuk menjamin bahwa kawasan konservasi perairan tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Bagian ini membahas tentang tata kelola secara global, tata kelola di dalam perspektif EKKP3K, dan faktor-faktor penting yang memperkuat dalam tata kelola untuk mencapai keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif.

Tata Kelola secara global

Kompleksnya hubungan antara sumber daya alam laut dan manusia serta institusi yang memanfaatkannya membutuhkan sebuah system pengelolaan yang baik. Secara umum ada tiga bentuk pendekatan pengelolaan kawasan konservasi perairan di dunia (Kooiman 2003):

- dikelola oleh pemerintah

- dikelola oleh berbagai pihak dengan pendekatan kolaborasi - dikelola oleh masyarakat termasuk didalamnya swasta

Pengelolaan sebuah kawasan konservasi perairan oleh pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun daerah, maka pengelolaan dan tanggungjawab pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah. Kerangka hukum formal merupakan dasar utama dalam pengelolaan, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Besarnya kekuasaan pemerintah untuk mengatur pengelolaan bukan berarti menutup partisipasi masyarakat. Great Barrier Reef MPA di Australia merupakan salah satu contoh dimana masyarakat berpartisipasi dalam zonasi dan pengelolaan walaupun negara mempuyai hak dan tanggungjawab penuh dalam pengelolaannya (Olsson et al 2008; Sutton dan Tobin 2009).

(9)

Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaborasi dilakukan dengan pertimbangan begitu banyak para pihak yang berkepentingan sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara kolaborasi. Maksud dari pengelolaan secara kolaborasi ini bagaimana para pihak berbagi peran, pengalaman dan pengetahuan, dan kepercayaan dalam pengelolaan (Berkes et al 2009). Pengelolaan secara kolaborasi dapat dianggap sebuah proses penyelesaian masalah secara bersama.

Pengelolaan oleh masyarakat, termasuk didalamnya oleh lembaga swadaya masyarakat, masyarakat dan swasta. Contoh pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adalah LMMA, pengelolaan kawasan konservasi dengan berdasarkan Sasi di Maluku. Pengelolaan oleh swasta, misalnya adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh hotel dan resort dengan berbagai tingkatan partisipasi masyarakat dan pemerintah untuk pengelolaannya (Svensson et al 2008).

Ketiga bentuk pengelolaan ini bisa berdiri sendiri atau merupakan gabungan. Kooiman et al (2005) menganalisa bahwa penggunaan salah satu bentuk pendekatan pengelolaan saja sering menghasilkan pengelolaan yang jauh dari harapan. Mohan et al (2005) menambahkan bagaimana sebuah kawasan konservasi perairan yang dikelola oleh pemerintah secara de jure namun dalam pelaksanaannya menggunakan pendekatan kolaborasi dari berbagai pihak, terutama untuk daerah-daerah yang jauh dari pusat pengelolaan. Berdasarkan studi di 20 kawasan konservasi perairan di dunia, kombinasi dari ketiga pendekatan pengelolaan diatas bisa memperkuat tata kelola kawasan konservasi perairan (Jones et al. 2013).

Pengelolaan kawasan konservasi perairan melibatkan pelaku, institusi dan interaksi (Kooiman dan Bavinck 2005). Pelaku adalah pihak-pihak yang terlibat baik itu secara individu maupun organisasi. Jumlah para pihak yang mempunyai kepentingan dengan kawasan konservasi berubah-ubah dengan berjalannya waktu. Untuk melibatkan banyak orang memang membutuhkan waktu yang cukup lama tetapi jika diperlukan adanya konsensus, dukungan, dan juga dalam rangka meningkatkan kesadaran semua pemangku kepentingan maka pelibatan banyak pihak adalah hal yang penting dalam membangun tata kelola.

(10)

Institusi merupakan kerangka struktur, cara dan bentuk interaksi antara berbagai orang/organisasi, misalnya aturan-aturan perorangan mengetahui bagaimana berinteraksi, apa yang mereka harapkan dan diharapkan dari berinteraksi. Kerangka institusi ini bisa secara formal yang disahkan dalam aturan-aturan atau tidak formal. Institusi ini diperlukan dengan meningkatnya jumlah pelaku yang mempunyai berbagai kepentingan seiring dengan berjalannya waktu. Mahon et al (2005) mengusulkan kerangka interaksi yang dikenal dengan institusi harus di formalkan terutama untuk memudahkan komunikasi, kelembagaan dan partisipasi perwakilan dari para pihak sehingga memudahkan pelaku-pelakunya untuk terlibat.

Sementara itu, interaksi merupakan bentuk hubungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Interaksi dibatasi oleh kerangka institusi dan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi. Ketiga komponen ini: pelaku, institusi dan interaksi merupakan komponen penting dalam membangun tata kelola.

Para pihak yang terlibat dalam tata kelola mempunyai berbagai alasan yang menjadi dasar mereka untuk ikut berpartisipasi dalam membangun tata kelola. Jones et al. (2011) mendiskusikan tentang lima insentif yang bisa dirancang dari awal sehingga mendorong para pelakunya untuk terlibat dalam pengelolaan. Kelima insentif ini berangkat dari pemahaman bahwa pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan kerangka hukum sebagai dasar untuk mengelola sumber daya alam, memperkuat peran masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta market insentif yaitu penggunaan insentif ekonomi untuk membantu peningkatan sumberpenghidupan masyarakat. Insentif tersebut adalah

1. Ekonomi: menggunakan pendekatan ekonomi dan hak kepemilikan untuk mencapat tujuan kawasan konservasi perairan. Insentif ini didorong oleh mekanisme pasar

2. Interpretasi: mempromosikan kesadaran tentang komponen konservasi di kawasan konservasi perairan, tujuan dan kebijakan untuk mencapai tujuan ini

(11)

4. Hukum: merumuskan dan melaksanakaan hukum, peraturan untuk meningkatkan kepatuhan atas peraturan kawasan konservasi perairan.

5. Partisipasi: menyediakan ruang dan waktu bagi semua pihak kunci untuk ikut terlibat dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang bisa

mempengaruhi kehidupan dan rasa kepemilikan mereka terhadap kawasan konservasi perairan.

Insentif-insentif ini menjadi aspek-aspek penting dalam upaya membangun tata kelola.

Kajian di 20 kawasan konservasi perairan di negara-negara kawasan segitiga karang menemukan beberapa aspek yang mempengaruhi tata kelola yaitu kejelasan hak kepemilikan atas sumber daya, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, keanekaragaman institusi yang terlibat dan faktor legal (Jones et al. 2013). Sementara itu, kajian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi didunia oleh IUCN (Leverington et al. 2008) menemukan beberapa aspek yang mempengaruhi tata kelola yaitu: berhubungan dengan tahap perencanaan, komunikasi yang intensif, partisipasi masyarakat, sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola kawasan konservasi, penelitian dan pemantauan, sarana dan prasarana, serta informasi. Indonesia juga mempunyai panduan teknis dalam menilai efektifias pengelolaan. Hal ini akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

 

Tata kelola menurut EKKP3K

EKKP3K atau yang dikenal dengan Pedoman Teknis Evaluasi Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, merupakan perangkat untuk menilai kerja dan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi dalam memberikan hasil-hasil yang diharapkan pada aspek-aspek kelembagaan, sumberdaya kawasan dan sosial ekonomi budaya masyarakat, berdasarkan SK Dirjen KP3K No.44 tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (EKKP3K).

(12)

Berdasarkan EKKP3K, pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan Pulau-pulau kecil harus mencakup tiga aspek, yaitu aspek tata kelola, sumberdaya dan sosial ekonomi budaya. Adapun strategi dan kegiatan yang dikembangkan untuk membangun tata kelola adalah:

- peningkatan sumber daya manusia - penatakelolaan kelembagaan - peningkatan kapasitas infrastruktur

- penyusunan peraturan pengelolaan kawasan

- pengembangan organisasi/kelembagaan masyarakat - pengembangan kemitraan

- pembentukan jejaring kawasan konservasi perairan - pengembangan sistem pendanaan berkelanjutan - monitoring dan evaluasi

Tata kelola berpengaruh besar terhadap efektifitas pengelolaan. Untuk itu proses membangun tata kelola menjadi sangat penting.

(13)

3. Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu

Laut Sawu dideklarasikan oleh pemerintah sebagai sebuah Taman Nasional Perairan dengan nama Taman Nasional Perairan Laut Sawu (TNP Laut Sawu) melalui sebuah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 38/2009 tanggal 8 Mei 2009. TNP Laut Sawu mempunyai luas perairan sekitar 3,5 juta hektar. TNP Laut Sawu terdiri dari 2 bagian yaitu Wilayah Perairan Selat Sumba dan sekitarnya, seluas 567.165, 64 ha dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya, seluas 2.953.964, 37 hektar.

Figure 1: Peta zonasi Laut Sawu

Laut Sawu mempunyai sebaran terumbu karang dengan keanekaragaman hayati species yang sangat tinggi. TNC mencatat 532 species karang dimana 11 species endemik dan sub endemik dan merupakan tempat hidup bagi 350 jenis ikan karang (TNC Savu Sea, 2011). TNP Laut Sawu mempunyai luas hutan mangrove sekitar 5019,53 hektar dengan

(14)

daerah yang mempunyai luasan mangrove paling besar yaitu Sumba Timur dan Rote Ndao. Sementara itu berdasarkan citra satelit, lamun paling banyak ditemukan di Sumba Timur, Sabu Raijua dan Rote Ndao dengan total luasan 5320,62 hektar.

TNP Laut Sawu juga merupakan perlintasan dari 22 jenis mamalia laut (termasuk paus biru dan paus sperma), habitat penting bagi duyung, ikan pari manta dan penyu (Kahn 2005). Fenomena upwelling yang membawa massa air laut bersuhu dingin dari dasar perairan yang kaya akan nutrient ke perairan diatasnya menyebabkan beberapa kawasan seperti perairan Kupang sebelah barat, Rote sebelah barat, Sumba Timur dan Manggarai serta Manggarai Barat pada bulan Mei sampai October mempunyai produktifitas primer yang tinggi bagi perikanan. Laut Sawu merupakan sumber ikan dan memberikan kontribusi 65% sumber ikan kepada propinsi NTT. Selain itu, Laut Sawu juga merupakan daerah utama jalur pelayaran di Indonesia.

Melihat dari pentingnya sumber daya alam Laut Sawu, maka TNP Laut Sawu ditetapkan dengan tujuan (Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, 2013-2032):

 Melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya

 Mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara berkelanjutan

 Melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di dalam dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan

Secara khusus tujuan pencadangan TNP Laut Sawu:

 Mewujudkan kelestarian sumber daya ikan dan ekosistemnya sebagai bagian wilayah ekologi perairan Laut Sunda Kecil

 Melindungi dan mengelola ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya sebagai platform pembangunan daerah (bidang perikanan, pariwisata, masyarakat pesisr, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi)

 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sumber mata pencaharian yang berkelanjutan

(15)

Perairan yang ada di TNP Laut Sawu merupakan wilayah perairan dari 10 kabupaten di propinsi NTT, dengan perincian 49 kecamatan dan 189 desa pesisir. Jumlah rumah tangga perikanan yang berada di pantai dari 10 kabupaten ini terbanyak berada di Kabupaten Kupang (1.399 KK), diikuti Kabupaten Rote Ndao (1.247 KK), Kabupaten Manggarai (1.162 KK) dan kabupaten lainnya berada dibawah 1000 KK (BPS NTT 2012). Masyarakat yang tinggal di TNP Laut Sawu mempunyai keragaman suku bahasa dan kesenian seperti halnya keragaman budaya NTT secara umum. Misalnya di Pulau Timor ada suku Helong, Dawan, Tetun, Kemak dan Marae. Sementara di Pulau Rote terdapat suku Rote. Di Flores terdapat suku Manggarai Riung, Ngada, Ende Lio, Nagekeo, Sikka-Krowe Muhang, Lamaholot, Kedang dan Labala. Ditambah lagi suku Sabu, Alor, dan Sumba.

(16)

4. Gambaran umum pembelajaran

Tata kelola merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (EKKP3K). Sedikit dokumentasi yang menggambarkan bagaimana proses tata kelola sebuah kawasan konservasi perairan dibangun. Dimulai dari tahap awal ketika konsensus dibangun untuk membangun konsep pengelolaan, hal ini akan dipaparkan di bagian kelima. Pengembangan kelembagaan dan landasan hukum merupakan salah satu aspek penting dalam tata kelola. Pengembangan kelembagaan disini termasuk di dalamnya kemampuan pengelolanya dalam memecahkan masalah, analisa pemangku kepentingan yang dinamis, dan menciptakan serta menangkap peluang yang ada. Hal ini akan dijelaskan pada bagian pengembangan kelembagaan (Bagian Keenam). Jones et al (2011) mengungkapkan bahwa empat faktor penting dalam pengembangan sumber daya manusia di kawasan konservasi yaitu faktor kepemimpinan, peran lembaga swadaya masyarakat dan keadilan dan stewardship. Gutierrez et al (2011) menganalisa bahwa kepemimpinan sebagai salah satu aspek dalam social capital yang ada di masyarakat yang merupakan faktor penting dalam pencapaian pengelolaan yang efektif. Pengalaman-pengalaman membangun kelembagaan lengkap dengan sumber daya manusianya akan di bahas pada bagian ini.

Partisipasi masyarakat telah diakui merupakan hal penting dalam pengelolaan kawasan konservasi. Partisipasi masyarakat didorong dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Pada bagian bagaimana mendorong partisipasi masyarakat memaparkan bagaimana tim TNP Laut Sawu membangun cara yang efektif untuk mendekatkan masyarakat dengan pengelola (Bagian 7). Bagian 8 memaparkan tentang pengalaman dalam membangun kemitraan di TNP Laut Sawu. Diakui banyak pihak bagaimana membangun kemitraan merupakan tantangan tersendiri. Sementara itu, TNP Laut Sawu mendapatkan dukungan yang cukup besar baik itu dari Pemerintah Daerah, akademik dan

(17)

masyarakat umum. Hal ini akan dijelaskan pada Bagian 8. Bagian sembilan menjelaskan tentang upaya yang dilakukan untuk mendorong partisipasi aktif kelompok perempuan. Baik perempuan maupun laki-laki merupakan agen perubahan dalam proses pembangunan (Okali et al 2011). Sudah sewajarnyalah jika partisipasi kelompok perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam lebih ditingkatkan (Fitriana and Stacey 2012). Bagian ini membahas bagaimana upaya yang dilakukan untuk mendorong partisipasi kelompok perempuan,

IUCN melaksanakan kajian dari kawasan konservasi secara global (Leverington 2008). Mereka menemukan bahwa program khusus yang memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat merupakan hal penting dalam membangun upaya pengelolaan yang baik. Hal ini akan di bahas pada bagian 10. Bagian 11 memaparkan tentang upaya TNP Laut Sawu untuk menyelaraskan dengan kebijakan daerah propinsi NTT. Bagian ini juga membahas tentang integrasi kebijakan lokal dalam rencana pengelolaan. Lilifuk, pengelolaan tradisional di Desa Kuanheum-Kabupaten Kupang, merupakan salah satu contoh pengelolaan tradisional yang diintegrasikan dalam rencana pengelolaan TNP Laut Sawu. Bagian terakhir, yaitu penutup, merupakan kesimpulan dari berbagai pengalaman membangun tata kelola TNP Laut Sawu.

(18)

5. Upaya membangun konsep pengelolaan Laut Sawu

Awal mula pembentukan kawasan konservasi di Laut Sawu dimulai dengan diskusi tentang wilayah perlintasan mamalia laut di Laut Sawu pada awal tahun 2002. Dalam perjalanannya sampai dengan bulan Oktober 2005 sebuah tim dibentuk untuk mendorong proses melindungi mamalia laut di Laut Sawu. Studi ekologi dan sosial ekonomi masyarakat secara intensif dilakukan. Awal tahun 2008, inisiasi tentang pembentukan kawasan konservasi dimulai. Pada bulan Januari 2009, workshop yang dihadiri oleh 21 Bupati di NTT, kepala Bappeda dan dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten yang berkaitan dengan Laut Sawu menyepakati dan mendukung pembentukan kawasan konservasi TNP Laut Sawu. Tonggak deklarasi pencadangan Laut Sawu sebagai wilayah konservasi dilakukan pada World Ocean Conference/WOC bulan Mei 2009. Kemudian, dari tahun 2010 sampai 2013 konsultasi publik dilakukan di tingkat desa. Saat ini masyarakat NTT menunggu keputusan mentri tentang penetapan TNP Laut Sawu sebagai sebuah kawasan konserasi perairan.

Diskusi untuk membangun konsep dimulai dari membangun pemahaman pemangku kepentingan di NTT, terutama pemerintah daerah. Diskusi, seminar dan kegiatan bersama dilakukan untuk membangun pemahaman dan kesepakatan bersama bagaimana laut sawu ini akan dikelola. Upaya membangun pemahaman ini dilakukan dengan diskusi mingguan oleh anggota Tim P4KKP bersama pemangku kepentingan lainnya. Selain itu juga, pelatihan tentang dasar-dasar kawasan konservasi perairan dengan peserta para birokrat di NTT dan perguruan tinggi membantu peningkatan pemahaman. Kemudian mereka inilah yang ikut menyebarluaskan tentang informasi kawasan konservasi. Ibu Maria Goreti, BKKPN Kupang, mengatakan bahwa peningkatan pemahaman oleh birokrat di Pemda propinsi memperlancar kerjasama dan selanjutnya bisa membantu peningkatan pemahaman masyarakat. Kemampuan untuk membangun pemahaman dan

(19)

tujuan bersama ini merupakan tantangan besar. Bapak Maxi Ndun dari Himpunan Nelayan mengatakan sosialisasi keliling masyarakat membantu untuk membangun konsep bersama. Beliau menegaskan bahwa jika masyarakat mengetahui manfaat pengelolaan bagi sektor perikanan, nelayan akan mendukung penuh kegiatan ini.

Bapak Issak Angwarmasse dari Dinas kelautan dan perikanan Propinsi NTT mengatakan bahwa visi bersama bagaimana anak cucu bisa menikmati apa yang kita nikmati sekarang menjadi dasar dalam membangun pemahaman pengelolaan Laut Sawu. Bapak Raimundus Nggajo dari BKKPN Kupang menegaskan bahwa tidak ada kepentingan lain selain untuk bersama-sama mengelola dan menjaga sumber daya di Laut Sawu. Berangkat dari kesamaan visi dan misi untuk mengelola Laut Sawu ini maka tim P4KKP merumuskan tujuan pengelolaan TNP Laut Sawu seperti yang sudah dituliskan di awal.

Diskusi tentang inisiasi TNP Laut Sawu dimulai dengan wilayah perlintasan paus. Dalam perjalanan perumusan perencanaan pengelolaan, semua aspek biologi dan ekologi dimasukkan dan mempunyai bobot yang sama, termasuk di dalamnya pengelolaan habitat penting dan perlintasan Paus. Rofi Al Hanif dari BKKPN Kupang menyatakan bahwa seharusnya Paus sebagai hewan yang menjadi simbol Laut Sawu lebih ditekankan dan tercermin lebih kuat dalam buku perencanaan. Begitu juga dengan alat tangkap yang dapat menganggu perlintasan paus seharusnya dilarang di TNP Laut Sawu ini, misalnya

gillnet dan longline. Untuk menjawab hal ini, BKKPN Kupang bersama Dewan

Konservasi berencana untuk menyiapkan Pusat Informasi Paus di Kupang sebagai upaya untuk mengangkat Paus sebagai hewan perlindungan utama di TNP Laut Sawu.

Pembelajaran dari proses membangun konsep secara bersama adalah:

- Upaya membangun konsep kawasan konservasi dimulai dari membangun pemahaman bersama dengan waktu yang tidak pendek. Diskusi formal dan informal membantu proses ini.

- Rumusan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu merupakan hasil dari upaya membangun konsep bersama antara Tim P4KKP dan BKKPN dimana didalamnya

(20)

terdapat rumusan tujuan pengelolaan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini.

- Inisiasi awal dari konsep pengelolaan Laut Sawu adalah perlindungan perlintasan Paus. Namun dalam perumusan rencana pengelolaan, penekanan terhadap paus tidak begitu menonjol. Sehingga tim akhirnya menyadari hal ini dan menyiapkan Pusat Informasi Paus di Kupang.

(21)

6. Pengembangan kelembagaan

Upaya membangun tata kelola kawasan konservasi mengalami dinamika yang sangat tinggi, baik itu untuk mengelola sumberdaya alamnya maupun para pihak yang memanfaatkan sumber daya alam. Untuk itu membangun tata kelola harus memperhatikan kelembagaan dan kemampuan pengelolanya.

Kelembagaan merupakan faktor penting dalam membangun tata kelola sebuah kawasan perairan. Sebuah lembaga dibentuk untuk mengimplementasikan pengelolaan. Lembaga ini bisa dibentuk oleh pemerintah, lsm maupun masyarakat sipil. TNP Laut Sawu merupakan kawasan konservasi taman nasional perairan pertama yang dikelola oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Lembaga pengelolanya disebut dengan Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang (BKKPN-Kupang) yang dibentuk pada bulan Maret 2008. BKKPN Kupang mempunyai tugas melaksanakan pemangkuan, pemanfaatan dan pengawasan kawasan konservasi perairan nasional yang bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikan dan lingkungannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku (Buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu).

BKKPN Kupang dibantu oleh Tim P4KKP Laut Sawu melalui SK Gubernur No. 180/2009 untuk menjalankan tugasnya dalam menyiapkan rencana pengelolaan. Tujuan pembentukan tim P4KKP agar representasi pemerintah daerah dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi yang ada di NTT tetap terkawal (TNC 2012). Peran Tim P4KKP akan berakhir ketika TNP Laut Sawu ditetapkan.

Persiapan penetapan dilakukan sejak medio 2012. Dengan persiapan ini maka Tim P4KKP juga bersiap-siap mengakhiri perannya dan bermetamorfosis menjadi Dewan Konservasi NTT berdasarkan SK Gubernur No 74/20013. Fungsi Dewan Konservasi lebih luas dengan mengintegrasikan seluruh kegiatan konservasi di NTT. Dewan

(22)

Konservasi ini adalah dewan yang dibentuk untuk tingkat propinsi. Diharapkan kabupaten juga membentuk tim konservasi untuk tingkat kabupaten sehingga bisa mengkoordinir berbagai keahlian dan kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Kawasan konservasi TNP Laut Sawu mencakup 3.5 juta hektar, yang terdiri dari 10 kabupaten dan 195 desa pesisir. Wilayah yang luas ini membutuhkan tenaga profesional di bidang konservasi. BKKPN Kupang juga mengelola tujuh kawasan konservasi lainnya di NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan Papua. Sementara itu, saat ini BKKPN Kupang mempunyai jumlah staf sebanyak 80 orang. Jumlah ini sudah termasuk 10 orang tenaga kontrak yang ditempatkan di kabupaten di NTT sebagai jembatan untuk berkomunikasi dengan Pemda Kabupaten.

Menurut DR Yesaya Mau keberadaan satu orang tenaga kontrak di kabupaten tidak mampu secara penuh melaksanakan tugas BKKPN Kupang di tingkat Kabupaten. Perhatian tentang strategi penempatan dan kombinasi keahlian staf di tingkat kabupaten juga menjadi perhatian anggota dewan konservasi lainnya. Ibu Ana Salean menambahkan permasalahan sumber daya manusia di BKKPN Kupang membutuhkan perhatian karena sebagai badan pengelola yang mengelola kawasan yang luas di NTT harus kuat. Beliau menambahkan belum lagi kemampuan tenaga kontrak ini dalam berkomunikasi dan bernegoisasi dengan pemerintah daerah. Sehingga perhatian tentang penempatan staf menjadi perhatian banyak pihak. Sumber daya manusia merupakan faktor penting sesuai dengan EKKP3K.

Pembelajaran dari membangun kelembagaan:

- Dukungan kelembagaan dari Gubernur sangat kuat untuk memperlancar proses pengelolaan TNP Laut Sawu. Hal ini terbukti lewat pembentukan Tim dan Dewan Konservasi. Sinergi antara kegiatan BKKPN dan juga tim pendukung dari

(23)

- BKKPN tidak bekerja sendiri dalam menggalang dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat. Jejaring dan upaya menghilangkan ego sektoral dari berbagai instansi membantu kelancaran proses perencanaan dan sosialisasinya. - Hal penting lainnya bahwa setiap pertemuan terdokumentasi dengan baik. Catatan

pertemuan merupakan dokumen penting ketika melakukan seri pertemuan. Sehingga hasil diskusi sebelumnya menjadi bahan rujukan setiap peserta yang hadir dan diskusi antar lembaga berdasarkan catatan pertemuan tersebut. Catatan pertemuan ini juga menjadi alat untuk mengevaluasi komitmen yang diberikan oleh lembaga yang ahdir ketika pertemuan.

- Pembelajaran lainnya, anggota dewan konservasi menyatakan bahwa

kepemimpinan dalam tata kelola Laut Sawu adalah sangat penting. Rusydi dari Universitas Muhammadiyah mengatakan bahwa kepemimpinan yang ada di BKKPN dan juga tim inisiator dari Tim P4KKP serta Dewan Konservasi

mempengaruhi kelancaran proses membangun koordinasi. Kepemimpinan dalam proses ini merupakan pengikat bagi semua orang yang ingin ikut aktif

berpartisipasi. Hal ini didukung dengan kajian oleh Gutierrez et al 2011 bahwa kepemimpinan di masyarakat merupakan hal pentng dalam pengelolaan kawasan konservasi.

- Kawasan yang begitu luas membutuhkan tenaga profesional. Sehingga strategi penempatan staf harus mendapatkan perhatian

(24)

7. Mendorong Partisipasi Masyarakat

Yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat adalah peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dengan berjalannya waktu, partisipasi masyarakat telah bergerak dari partisipasi yang terbatas sampai kepada partisipasi untuk ikut dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa tingkatan partisipasi masyarakat (Pretty et al. 1995; Arnstein 1969):

- Informing: kelompok masyarakat menerima informasi tentang kegiatan dari pihak luar. Tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk mempengaruhi merubah kebijakan. Komunikasi lebih satu arah

- Consulting: Masyarakat menerima informasi tentang sebuah rencana kegiatan. Pendapat mereka juga dimintakan

- Pengambilan keputusan bersama: Masyarakat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Tahap ini merupakan pendekaan arus bawah yang sempurna.

Proses partisipasi masyarakat yang terjadi di TNP Laut Sawu dimulai dari wakil masyarakat dari 110 desa terlibat dalam pemetaan partisipatif pada tahap awal. Tim survai melakukan kajian ekologi berdasarkan hasil diskusi pemetaan dengan wakil masyarakat ini. BKKPN, kemudian, sebagai lembaga pengelola TNP Laut Sawu membentuk tim kelompok kerja yang bertujuan untuk menghasilkan rencana pengelolaan dan zonasi tahun 2010. Rencana pengelolaan dan zonasi ini dipresentasikan ke masyarakat lewat konsultasi publik di 125 desa.

Konsultasi publik ditingkat desa dilakukan oleh tim konsultasi publik yang terdiri dari anggota dewan konservasi dan BKKPN. Tim menghubungi Dinas kelautan dan Perikanan tingkat Kabupaten untuk menyiapkan acara konsultasi publik. Kemudian, tim dari kabupaten memberitahukan kepada desa. Di beberapa tempat, lembaga swadaya

(25)

masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten juga dilibatkan untuk membantu proses konsultasi publik.

Kegiatan konsultasi publik tidak dilakukan disetiap desa, namun dilakukan di ibukota kecamatan misalnya, atau di desa dimana ada beberapa desa yang berdekatan. Total ada 45 lokasi dimana konsultasi publik dilakukan. Melihat dari jumlah desa yang terlibat dalam konsultasi publi (125 desa) maka sekali konsultasi publik, ada dua sampai tiga desa terlibat sekaligus.

Wakil masyarakat dipilih oleh kepala desa ikut hadir dalam pertemuan tersebut. Diskusi dilakukan secara dinamis. Setiap peserta dapat memberikan masukan. Bahkan rencana pengelolaan ini pernah ditolak masyarakat di Manggarai Barat akibat imbas dari informasi yang tidak tepat dari kegiatan di Taman Nasional Komodo. Dewan Konservasi menjelaskan kepada masyarakat luas tentang rencana pengelolaan TNP Laut Sawu. Masyarakat di Desa Nangabere menerima usulan tentang rencana pengelolaan ini dan menyetujui rencana zonasi. Pemahaman tidak hanya dilakukan ketika konsultasi publik namun juga ketika acara informal dilakukan. Hasil diskusi dengan masyarakat ini kemudian menjadi masukan dan modifikasi dalam zonasi dilakukan.

Dari hasil diskusi diatas, berdasarkan tingkat partisipasi Pretty et al. (1995), keterlibatan masyarakat ketika proses sosialisasi rencana pengelolaan TNP Laut Sawu baru pada tahap consulting dimana mereka dimintakan pendapatnya tentang rencana pengelolaan. Masyarakat belum ikut serta dalam proses pengambilan keputusan.

Ada beberapa pembelajaran ketika konsultasi publik yaitu:

- Pelibatan LSM yang berada di tingkat kabupaten, apapun bidang kegiatan mereka, sangat membantu proses pendekatan masyarakat. Mereka telah melakukan kegiatan bersama masyarakat sehingga mengetahui karakteristik masyarakat.

- Pedoman pelaksanaan konsultasi publik telah disiapkan oleh tim pelaksana konsultasi publik. Sehingga siapapun anggota tim pelaksana konsultasi publik yang

(26)

melaksanakan kegiatan di desa-desa menyampaikan informasi dan memfasilitasi diskusi dalam standard yang hampir sama.

- Konsultasi publik dapat dipolitisir oleh sekelompok tertentu yang mempunyai kepentingan berbeda. Misalnya konsultasi publik di Sumba Timur dimana sekelompok orang mempunyai kepentingan lain. Pembelajarannya adalah peta pemangku kepentingan juga harus dipelajari ketika mengajak masyarakat ikut dalam diskusi rencana pengelolaan.

- Ketika konsultasi publik hanya wakil masyarakat yang dipilih oleh kepala desa yang ikut hadir dalam pertemuan. Informasi tentang rencana pengelolaan ini hanya terbatas sampai ke peserta yang hadir. Misalnya, ketika penulis menanyakan kepada ketua forum nelayan tradisional di Oelua dan Papela, Rote tentang rencana pengelolaan laut Sawu, mereka tidak mengetahui. Begitu juga ketika nelayan di Oesapa Kupang yang menangkap ikan di perairan laut Sawu mereka tidak mengetahui tenang rencana pengelolaan ini. Sehingga perlu diinformasikan kepada kepala desa dan wakil masyarakat yang hadir agar mereka juga perlu menginformasikan kepada teman lainnya. Pembelajaran dari sini adalah jumlah desa dan masyarakat nelayan di NTT ini sangat banyak sehingga diadakan pertemuan dengan sistem perwakilan. Perlu dipikirkan mekanisme penyebarluasan informasi ini dari peserta yang hadir ketika konsultasi publik ke anggota nelayan lainnya.

- Masyarakat terlibat dalam kegiatan persiapan rencana pengelolaan laut sawu lewat pemetaan partisipatif dan konsultasi publik. Hanya beberapa orang yang terlibat dalam pemetaan partisipatif. Wakil masyarakat terlibat secara luas dalam konsultasi publik. Sementara itu tim perancang TNP Laut sawu berharap informasi tentang rencana pengelolaan laut Sawu tersebar luas. Sehingga perlu kesepakatan dengan anggota tim lainnya di tingkat kabupaten dan propinsi bahwa kegiatan lainnya yang dilakukan bersama masyarakat pesisir dihubungkan dengan rencana pengelolaan laut sawu sehingga masyarakat bisa terinformasikan tentang laut sawu.

- Bentuk penerimaan masyarakat atas rencana pengelolaan ini berbeda-beda, ada yang mendukung prositif ada juga yang menentang. Kemampuan tim konsultasi publik untuk menjelaskan dan fasilitasi proses diskusi sangat berperan penting untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat.

(27)

8. Membangun Kemitraan

Pelaksanaan kemitraan dalam kawasan konservasi merupakan amanat peraturan pemerintah melalui PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Sebagaimana tercantum dalam pasal 18 dari PP 60 Tahun 2007: ‘Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi’. Berdasarkan mandat ini maka pengelolaan kawasan konservasi harus membangun kemitraan dari berbagai pemangku kepentingan. Ada beberapa manfaat dalam melibatkan berbagai pihak (Kooiman, 2005):

- keanekaragaman para pelaku saling meningkatkan pengetahuan - dapat memformulasikan permasalahan dengan lebih baik sehingga

menghasilkan solusi yang lebih baik juga

- meningkatkan kepatuhan atas kebijakan yang telah ditetapkan - berbagi peran dan tanggungjawab

- merupakan hak setiap pemangku kepentingan untuk didengar dan

mendengar mengenai rencana pengelolaan, terutama rencana tersebut akan memberikan dampak ats sumber penghidupan mereka

Menurut Biengen (2013) ada tiga aspek penting dalam kemitraan: konsultasi, koordinasi kerjasama. Tiga aspek ini bisa berdiri sendiri dan bisa juga saling terintegrasi. Untuk kasus TNP Laut Sawu yang begitu luas dan keragaman masyarakatnya yang tinggi, maka dukungan pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat dan masyarakat luas sangat diperlukan. DR Yesaya Mau, Kepala BKKPN Kupang, mengatakan bahwa BKKPN sangat membutuhkan para mitra untuk sama-sama membangun dan mengelola TNP Laut sawu yang juga memberikan

(28)

kesejahteraan masyarakat yang tinggal di kawasan ini. Dewan Konservasi merupakan salah satu bentuk kemitraan yang solid di NTT.

Berdasarkan buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, ada sebuah badan kolaborasi yang disebut dengan Dewan Konservasi NTT yang dibentuk bedasarkan SK Gubernur No 74/Kep/HK/2013. Dewan konservasi ini merupakan kemitraan yang strategis antara berbagai pihak di NTT dengan lembaga pengelola. Fungsi dewan konservasi ini menjembatani dan mengkoordinasikan berbagai pihak yang terkait terhadap dukungan TNP Laut Sawu. Lebih jelasnya ada di Buku Rencana Pengelolaan Laut Sawu.

Hal yang menarik dari Dewan Konservasi NTT adalah anggotanya bersedia melakukan kegiatan yang berkaitan dengan TNP laut Sawu tanpa mengharapkan imbalan ekonomi.

Commitment dari anggota dewan konservasi untuk mewujudkan pelaksanaan TNP laut

sawu yang efektif sangat tinggi. Semua pihak yang diwawancara untuk dokumentasi ini mengatakan bahwa investasi pertemanan yang tidak hanya tentang Laut Sawu sangat membantu proses diskusi dan upaya membangun tata kelola laut Sawu. Jotham Ninef, Ketua Harian Dewan Konservasi NTT mengatakan bahwa kegiatan bersama-sama tentang pengelolaan sumber daya alam laut telah dilakukan jauh sebelum pembentukan dewan konservasi. Kegiatan sosial bersama seperti olahraga (seperti bulutangkis, selam bersama) merupakan contoh bagaimana awal dan upaya untuk memperat kemitraan dilakukan. Pernyataan ini juga didukung oleh Efferhad Ludoni, yang dulunya bertugas di Polisi Air namun sekarang di kepolisian Kupang, bahwa pertemanan dan visi bersama tentang betapa pentingnya upaya untuk melindungi sumber daya alam yang ada di perairan Laut Sawu menjadi penguat dalam segala kegiatan di Dewan Konservasi.

Dari kegiatan kemitraan ini juga, dewan konservasi berhasil menjembatani diskusi antara BKKPN Kupang dan BKSDA NTT tentang langkah konkrit yang bisa dilakukan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya alam pesisir dan laut di NTT. Pada medio October 2013, dalam sebuah seminar membangun jejaring kawasan konservasi perairan di NTT, BKSDA sangat mengapresiasi kegiatan dewan konservasi NTT dan mendukung upaya membangun kerjasama (Wiratno, 2013).

(29)

Beberapa pembelajaran dari upaya membangun kemitraan adalah:

- Investasi pertemanan dan kegiatan sosial diluar kegiatan pekerjaan merupakan faktor penting didalam membangun kemitraan yang lebih erat. Anggota tim dewan konservasi membangun proses ini dari sejak mereka mulai melakukan diskusi-diskusi tentang pengelolaan sumber daya alam laut di awal tahun 2000an. - Upaya membangun kemitraan merupakan bentuk koordinasi, kolaborasi,

kerjasama secara bersama. Sehingga upaya membangun kepercayaan bersama sangatlah penting dalam membangun kemitraan ini

- Ada 33 orang yang menjadi anggota dewan konservasi ditambah dengan lima pelaksana harian. Mereka ini adalah para pihak dan wakil dari organisasi yang mempunyai kepentingan untuk membangun kawasan konservasi perairan di NTT. Keterlibatan berbagai organisasi dan individu yang ada di NTT membantu proses membangun koordinasi dan kerjasama kegiatan.

- Disamping komitmen organisasi, komitmen individu merupakan faktor penting di NTT ini. Hal ini terlihat walaupun ada beberapa dari anggota dewan konservasi yang sudah dipindahtugaskan ke bidang lainnya, tetap memberikan kontribusi pemikiran dan tenaga untuk kawasan konservasi perairan NTT.

(30)

9. Mendorong Partisipasi Kelompok Perempuan dalam

Tata Kelola Laut Sawu

Sumber daya alam laut dimanfaatkan oleh kelompok perempuan dan laki-laki. Apalagi di NTT, sumberpenghidupan yang berasal dari kawasan pesisir dan mangrove merupakan faktor penting bagi kelompok perempuan (Fitriana and Stacey, 2012). Mereka membentuk kelompok informal untuk melakukan kegiatan secara bersama, misalnya pergi dan pulang bersama, kemudian juga melakukan proses dan penjualan bersama jika hasil tersebut dijual. Kegiatan di wilayah pesisir ini tidak hanya sekedar mengambil hasil laut bagi kelompok perempuan namun ada kekuatan dan keterikatan sosial yang dibangun dalam kegiatan ini. Di Kei-Maluku, aktifitas memanfaatkan hasil laut di kawasan pesisir bagi kelompok perempuan sekaligus menjadi ajang pertukaran informasi, dan berbagi suka-duka (Sitmatauw, 2013). Sehingga keterlibatan mereka dalam pengelolaan kawasan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam laut merupakan faktor penting (Harcourt, 2008) dan kelompok perempuan seharusnya tidak mendapatkan dampak negatif yang lebih besar dari pengelolaan kawasan konservasi.

Dalam upaya membangun tata kelola kawasan konservasi NTT, kelompok perempuan di tingkat desa terlibat ketika proses konsultasi publik. Menurut Ibu Rehatta, anggota dewan konservasi NTT dari Universitas Kristen Artha Wacana: ”Kelompok perempuan merupakan pemangku kepentingan yang penting dalam pengelolaan sumber daya alam di NTT”. Kelompok perempuan diundang untuk pertemuan konsultasi publik. Berdasarkan undangan yang dikirimkan ke desa-desa memang dituliskan peserta dari wakil PKK yang bisa dianggap merupakan wakil dari kelompok perempuan. Sementara itu, dari investigasi dokumentasi hasil konsultasi publik di tujuh kabupaten, rata-rata sekitar 10.6% persen wakil dari kelompok perempuan ikut menandatangai proses diskusi

(31)

akhir kesepakatan di tingkat kabupaten. Namun dari tujuh kabupaten ini (Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Timur), ada dua kabupaten dimana tidak ada wakil dari kelompok perempuan yang iku menandatangani rekomendasi hasil akhir, yaitu Rote Ndao dan Sumba Barat. Dari proses ini terlihat bahwa kelompok perempuan memang diundang dan diikutsertakan dalam diskusi namun terkadang dalam proses perumusan hasil dan pengambilan keputusan tidak diikutsertakan. Padahal kelompok perempuan juga merupakan pemanfaat sumber daya alam pesisir dan laut sehingga seharusnya diikutsertakan dalam perumusan hasil dan pengambilan keputusan (Harcourt, 2008).

Pembelajarannya adalah ketika mengirimkan undangan harus menegaskan kembali hadirnya wakil kelompok perempuan walaupun undangan panitia sudah mencantumkan wakil dari PKK yang mungkin dimaksudkan sebagai wakil dari kelompok perempuan. Selain itu keterbatasan waktu dan batasan tempat pelaksanaan terkadang membatasi keterlibatan kelompok perempuan. Ini merupakan pembelajaran dalam mengundang wakil dari kelompok perempuan. Harapan keterlibatan kelompok perempuan tidak hanya ditingkat kehadiran, namun juga ikut dalam diskusi perumusan hasil dan proses pengambilan keputusan. Hal ini terkadang yang dilupakan dimana banyak pihak beranggapan kehadiran saja sudah penting yang sebenarnya ikut dalam perumusan hasil dan bagaimana hasil dari pengelolaan ini tidak merugikan kepentingan kelompok perempuan yang juga banyak melakukan kegiatan di wilayah pesisir.

(32)

10. Menyelaraskan pengelolaan Laut Sawu dengan

kebijakan dan kepentingan lokal

Menyelaraskan pengelolaan Laut sawu dengan pemerintah

daerah

Kawasan Konservasi Perairan laut Sawu terletak di propinsi NTT. Sehingga mau tidak mau program pengelolaan TNP Laut Sawu harus selaras dengan program pembangunan propinsi NTT dan kabupaten yang berada di dalamnya. Berdasarkan buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, sasaran dan tujuan pengelolaan Laut Sawu mengakomodir strategi pokok pengembangan daerah. Tujuan yang ingin dicapai dari pengelolaan juga mencerminkan delapan agenda pembangunan propinsi NTT yang tercantum di RPJMD NTT 2009-2013. Begitu juga dengan kebijakan tata ruang propinsi NTT (Perda RTRW 2010-2030) mempertimbangkan kawasan perlindungan termasuk didalamnya zonasi dari TNP Laut sawu dan juga kawasan konservasi lainnya. Adanya keselarasan antara rencana pengelolaan dan rencana pembangunan daerah ini dapat terjadi karena berperannya fungsi Dewan Konservasi NTT.

Menurut Gaspar Enga dari Bappeda yang juga anggota Dewan Konservasi:” Aktifnya anggota Dewan Konservasi dalam perencanaan strategi pembangunan NTT memberikan kontribusi yang besar masuknya rencana pengelolaan TNP Laut Sawu dalam rencana pembangunan daerah propinsi.” Setiap anggota Dewan Konservasi NTT yang duduk di kantor kedinasan, misalnya BLHD, DKP dan Pariwisata mengintegrasikan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu dalam rencana pembangunan dari dinas mereka yang kemudian diolah lagi oleh Bappeda. Sehingga orang-orang kunci di kedinasan tersebut harus mempunyai pemahaman dan visi yang sama untuk membangun perairan Laut

(33)

Sawu. Hal ini juga ditegaskan oleh Bapak Joni Rohi dari Dinas Pariwisata bahwa keterlibatan dinas dalam memasukkan program yang berkaitan dengan TNP Laut Sawu membantu mempercepat proses integrasi ini.”

Proses pembelajaran adalah:

- Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di NTT mendapatkan dukungan dari gubernur beserta jajarannya. Hal ini bisa didapatkan karena anggota tim yang aktif mempersiapkan kawasan konservasi di NTT terdiri dari orang-orang yang mewakili dinas-dinas dari jajaran di Propinsi NTT. Peran mereka sangat strategis dalam mempengaruhi kebijakan propinsi NTT.

- Peningkatan pemahaman di tingkat pengambil keputusan dilakukan dengan diskusi melalui workshop dan pertemuan informal. Mereka inilah yang juga memberikan masukan kepada kepala daerah NTT

- Dewan Konservasi NTT melakukan diskusi dengan kepala daerah lebih dari lima kali pertahun sejak mereka terbentuk. Berangkat dari meningkatnya pemahaman dan ketertarikan ini, dukungan dari Kepala Daerah juga semakin meningkat. - Peran orang-orang kunci di kantor-kantor dinas ketika memasukkan kegiatan

yang berkaitan dengan TNP Laut Sawu dalam rencana anggaran didukung oleh Bappeda sebagai badan yang mengkoordinasikan rencana pembangunan daerah. Sehingga kerjasama antara bagian rencana program di dinas dan Bappeda sangat penting.

Mengintegrasikan pengelolaan kawasan perairan masyarakat ke

dalam pengelolaan TNP Laut Sawu

Keanekaragaman masyarakat di propinsi NTT sangat tinggi. Hal ini juga diakui dalam buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu. Keanekaragaman suku dan tata kehidupannya ini memberikan pengaruh bagaimana mereka mengatur sumber daya alam lautnya. Sejak turun temurun, masyarakat pesisir di NTT mempunyai kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. Ini dapat dijumpai pada masyarakat Belong

(34)

(Kupang), Sumba, Alor, Solor, Rote, Timor dan Lembata. Beberapa kearifan lokal ini sudah mengalamai degradasi, namun masih ada yang tetap eksis sampai sekarang.

Menurut Buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, ada sekitar 20 kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pesisir sekitar TNP Laut Sawu. Ada enam yang masih berjalan dan dimasukkan kedalam rencana pengelolaan dan dua kebijakan lokal di revitalisasi dan diperkuat melalui Peraturan Desa. Kearifan lokal ini masuk dalam zona pemanfaatan tradisional.

Kearifan lokal Lilifuk di Desa Kuanheun, Kabupaten Kupang merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang diperkuat menjadi Perdes dan juga menjadi bagian zonasi dan rencana pengelolaan. Revitalisasi kearifan lokal Lilifuk dilakukan melalui kerjasama antara tim persiapan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu dengan TNC, RFLP-FAO dan Bengkel APPeK. TNC memberikan bantuan teknis untuk melakukan kajian Lilifuk, Regional Fisheries and Livelihoods Program dari FAO mendukung Bengkel APPeK sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Kupang untuk memfasilitasi aplikasi Lilifuk ke dalam bentuk Perdes. Kerjasama berbagai pihak ini menghasilkan Lilifuk masuk dalam rencana pengelolaan dan disahkan dalam bentuk Peraturan Desa tentang perlindungan sumber daya laut di wilayah Lilifuk.

Lilifuk melindungi sebuah kolam yang terjadi ketika surut rendah dengan luas sekitar + 2ha dan kedalaman + 5m (Perdes Kuanheun). Di daam kolam ini terdapat berbagai jenis ikan, lamun dan terumbu karang yang kondisinya sudah kurang baik yaitu tutupan karang + 20% (Fajariyanto et al. 2012). Ketika surut rendah ikan berkumpul dalam kolam ini. Awalnya Lilifuk ini dimilik oleh Suku Baineo. Ketika terompet yang terbuat dari kerang dibunyikan sebagai tanda masyarakat boleh mengambil hasil yang ada di dalam kolam, masyarakat termasuk dari desa tetangga boleh mengambil dengan alat tangkap serok. Dari hasil panen, 40% diserahkan kepada Suku Baineo. Yang melanggar aturan didenda beras dan babi sebagai bahan yang dibutuhkan untuk sidang adat.

(35)

Figure 2 Peta hasil diskusi bersama masyarakat di Desa Kuanheum Sumber: Perdes

Ketika proses revitalisasi, Suku Baineo menyerahkan proses ini kepada desa. Sekarang masyarakat yang akan mengambil hasil laut di kolam ini harus membayar Rp 2500,-. Persentase hasil dibagikan untuk gereja, desa, duku Baineo dan Kelompok Masyarakat Pengawas Desa (Pokmaswas). Ada beberapa aturan tambahan ketika proses revitalisasi ini yaitu masyarakat tidak boleh menggunakan alat tangkap serok karena dapat merusak dasar kolam, hanya boleh menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, tidak boleh mengambil Kima dan anak ikan Pada. Terjadi diskusi yang hangat dengan kelompok perempuan tentang batasan ukuran Ikan Pada, karena anakan ikan Pada paling banyak diambil oleh kelompok perempuan sebagai bahan makanan rempeyek untuk dijual. Namun kelompok ibu-ibu ini akhirnya menyadari tentang keberlanjutan ikan jika mengambil anak ikan dan mereka setuju dengan peraturan baru ini. Tim pengelolaan TNP Laut Sawu membantu proses penetapan Perdes, penandaan tanda batas dengan buoy, dan papan informasi.

(36)

Figure 3: Foto pemasangan tanda batas Lilifuk di Kabupaten Kupang

Pembelajaran dari integrasi kearifan lokal masyarakat ke dalam rencana pengelolaan TNP Laut Sawu adalah:

- Tim persiapan rencana pengelolaan TNP Laut Sawu menyadari bahwa pengelolaan kawasan konservasi ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat di NTT, sehingga setiap kearifan lokal yang berasal dari masyarakat harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pengelolaan.

- Pengakuan terhadap kearifan lokal memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa kepentingan masyarakat mendapat tempat di dalam rencana pengelolaan. Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat atas proses yang dibangun. - Identifikasi tentang pengelolaan oleh masyarakat dilakukan oleh Tim. Namun

proses ini belum sampai dengan studi ekologi dari hasil pengelolaan masyarakat ini kepada kawasan konservasi. Memang dari pengelolaan yang turun temurun ini telah memberikan keberlanjutan hasil kepada anak cucu. Namn studi ekologi tetap harus dilakukan untuk melihat keterkaitan dalam arena yang lebih luas.

(37)

- Tidak semua kearifan lokal dan kebiasaan masyarakat yang diperoleh secara turun temurun diterima langsung dalam rencana pengelolaan TNP Laut Sawu. Misalnya penggunaan alat tangkap serok dan pengambilan anak ikan Pada di kolam Lilifuk. Selain itu kebiasaan masyarakat di enam desa di kabupaten Sabu Raijua

mengambil karang hidup yang digunakan untuk kapur sirih satu kali dalam satu tahun (pada bulan sabit ketujuh) diterima di dalam rencana pengelolaan dengan persayaratan bahwa pengambilan itu untuk konsumsi pribadi dan keluarga sertia tidak untuk keperluan komersil. Diskusi panjang perlu dilakukan untuk

membangun pemahaman dan persetujuan agar setiap pihak mengetahui

konsekuensi dan manfaat dari setiap tindakan yang diambil. Proses membangun persetujuan peraturan yang ada di dalam Lilifuk, misalnya, merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Manfaat Pengelolaan Secara Ekonomi

Ada beberapa cara untuk mempromosikan upaya untuk mencapai tujuan kawasan konservasi. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan manfaat ekonomi (Jones et al. 2011). Berdasarkan buku Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu, strategi pemanfaatan kawasan mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir dan pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan. Pemberian akses pemanfaatan sumberdaya ikan dan ekosistemnya kepada masyarakat lokal dan tradisional dan merupakan bagian dari pengelolaan TNP Laut Sawu. Untuk kegiatan pengembangan sumber mata pencaharian alternatif memang tidak disebutkan secara detil di dalam buku rencana pengelolaan. Namun kriteria nya dirumuskan yaitu misalnya diterima secara sosial budaya, ramah lingkungan, dan layak dari segi bisnis.

Berdasarkan konsultasi publik pula, kepentingan masyarakat digali dan diupayakan untuk diintegrasikan kedalam rencana pengelolaan. Dari berbagai konsultasi publik, masyarakat mengusulkan bagaimana upaya yang perlu dilakukan untuk penguatan dan pendampingan

(38)

masyarakat nelayan agar memiliki mata pencaharian alternatif selain mengambil hasil laut. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan keahlian dan juga kesejahteraan keluarga. Bapak Ferdi Kapitan dari Biro Ekonomi Propinsi NTT mengatakan bahwa kepentingan masyarakat harus diutamakan dalam pengelolaan Laut Sawu tanpa menghilangkan unsur konservasi. Bapak Joni Rohi dari Dinas Pariwisata Propinsi NTT menambahkan pengembangan pariwisata dari kegiatan kawasan konservasi ini bisa melibatkan masyarakat. Beliau mencontohkan kegiatan di Alor dimana masyarakat terlibat aktif di Alor Kecil sebagai boat operator dan pemandu wisata.

Semua orang berharap banyak dari rencana pengelolaan TNP Laut Sawu agar bisa memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat. Saat ini upaya yang dilakukan baru pada tahap mengintegrasikan kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah dalam rencana pengelolaan. Sehingga upaya yang banyak dilakukan adalah diskusi dan konsultasi publik. Upaya nyata untuk memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat belum banyak dilakukan. Bapak Wilhelmus Dere dari Yayasan Iehari yang juga aktif di Dewan Konservasi menekankan bahwa manfaat langsung bagi masyarakat atas pengelolaan kawasan konservasi harus segera menjadi kegiatan prioritas dimasa datang.

(39)

11. Kesimpulan

Upaya mendokumentasikan proses pembelajaran membangun tata kelola Laut Sawu dilakukan untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi kisah sukses dan kegagalan yang terjadi dalam proses membangun tata kelola. Pendokumentasian ini juga untuk menampilkan cara-cara yang efektif untuk membangun tata kelola.

TNP Laut Sawu merupakan kawasan konservasi nasional dimana pengelolanya adalah unit pelaksana teknis dan wakil pemerintah pusat di daerah. Pengelola berusaha melaksanakan kebijakan dan peraturan pelaksanaan kawasan konservasi. Jika dilihat dari insentif pemangku kepentingan (Jones et al. 2011), insentif legal menjadi dominan. Namun, besarnya upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman (insentif interpretatif) menjadi bagian dari proses.

Dari temuan proses dokumentasi ini, peningkatan pemahaman dan visi serta membangun kesepakatan merupakan langkah awal dalam membangun konsep bersama. Kemitraan yang berdasarkan keterbukaan dan semangat kerjasama membuat hubungan kerja antara BKKPN sebagai lembaga pengelola dengan Dewan Konservasi sebagai institusi yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi di NTT sangat solid. Kerjasama dilakukan dengan pemerintahd aerah tingkat propinsi dan kabupaten. Begitu juga masyarakat dilibatkan melalui konsultasi publik. Keterlibatan perempuan juga menjadi perhatian ketika konsultasi publik misalnya disebutkan dalam undangan sebagai peserta, walaupun jumlah yang hadir kurang dari 10%. Kepentingan masyarakat lokal diakomodir dalam proses sosialisasi zonasi dan rencana pengelolaan. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam laut diakui dan diintegrasikan kedalam rencana pengelolaan.

(40)

Daftar Pustaka

Berkes, F. (2009). Evolution of co-management: Role of knowledge generation, bridging organizations and social learning. Journal of Environmental Management 90(5): 1692-1702.

Biengen, D (2013). Tilik-Kaji kemitraan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil. Disampaikan pada diskusi Kemitraan 7 Oktober

2013. KKP-WWF Indonesia.

BPS NTT (2012). NTT dalam angka 2012. BPS NTT. Kupang

Buku 1 Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu 2013-2032. BKKPN. Kementerian

Kelautan dan Perikanan

Fajariyanto, Y., Enga, G., Ledo, M., Bengkel APPeK, dan Masyarakat Desa Kuanheun. (2012). Hasil Groundtruthng zonasi TNP Laut sawu di Desa Kuanheun dan

Tesabela, Kabupaten Kupang. TNC

Fitriana, R and Stacey, N. (2012). The Role of Women in the Fishery Sector of Pantar Island, Indonesia. Asian Fisheries Science Special Issue. Asian Fisheries Society. 25S:159-175.

Gutierrez, N.L., Hilborn, R., Defeo, O. (2011). Leadership, social capital and incentives promote successful fisheries. Nature. 470: 386–389

Harcourt, W. (2008). Editorial: whatever happened to women, environment and development? Development 51: 173-175

Jones, P.J.S, Qiu, W., and De Santo EM (2011). Governing Marine Protected Areas -

Getting the Balance Right. Technical Report, United Nations Environment

Programme.

Jones, P. J. S., Qiu, W., De Santo E.M. (2013). Governing marine protected areas: Social-ecological resilience through institutional diversity. Marine Policy 41: 5-13. Jones, P. J. S., De Santo, E. M., Qiu, W., Vestergaard, O.(2013). Introduction: An

empirical framework for deconstructing the realities of governing marine protected areas. Marine Policy (0).

(41)

Kahn, B. (2005). Indonesia Oceanic Cetacean Program Activity Report April-June 2005. TNC-APEX.

Kooiman and Bavinck (2005). The Governance Perspective. In Kooiman, J., Bavinck, M., Jentoft, S., Pulin, R. (Eds.). Fish for Life: Interactive Governance for

Fisheries. Amsterdam University Press, Amsterdam.

Leverington, F. Marc Hockings and Katia Lemos Costa (2008). Management

effectiveness evaluation in protected areas: Report for the project ‘Global study into management effectiveness evaluation of protected areas’, The University of

Queensland, Gatton, IUCN WCPA, TNC, WWF, Australia.

Okali, C. (2011). Searching for new pathways towards achieving gender equity Beyond Boserup and ‘Women’s role in economic development’. ESA Working paper

11-09. Food and Agriculture Organisation of the United Nations.

Olsson P, Folke C, Hughes TP (2008). Navigating the transition to ecosystem-based management of the Great Barrier Reef, Australia. Proc Natl Acad Sci

USA.105:9489–9494.

Robin Mahon, Maarten Bavinck, and Rathindra Nath Roy (2005) Governance in Action. In Kooiman, J., Bavinck, M., Jentoft, S., Pulin, R. (Eds.), 2005. Fish for Life:

Interactive Governance for Fisheries. Amsterdam University Press, Amsterdam.

Sitmatauw, M. (2013). Bameti Integritas Perempuan Evav-Kei Kecil. Unpublished report. WWF-Indonesia

Sutton, S.G., Tobin, R. C. (2009). Recreational fishers’ attitudes towards the 2004

rezoning of the Great Barrier Reef Marine Park. Environmental Conservation: 1-8 Svensson, P., Rodwell, L.D., Attrill, M.J (2008). Hotel managed marine reserves: A

willingness to pay survey. Ocean and Coastal Management 51: 854-861 TNC (2012). Laporan Kegiatan 2012. Proyek Pengembangan TNP Laut Sawu. TNC

_Savu Sea MPA Development Project. TNC Savu Sea (2011). Unpublished report.

Wiratno (2013). Strategi Kelola Kawasan Konservasi Balai Besar Konservasi

Sumberdaya Alam Provinsi Nusa Tenggara Timur [2012-2013]. Balai Besar BBKSDA NTT. Disampaikan pada workshop pembentukan jejaring

(42)

Lampiran

Daftar Pemangku Kepentingan yang diwawancara

No Nama Instansi

1 DR Yesaya Mau BKKPN Kupang 2 Maria Goreti BKKPN Kupang 3 Jotham Ninef Dewan Konservasi 4 Izaak Angwarmasse DKP Propinsi NTT 5 Joni Rohi Pariwisata 6 Gaspar Enga Bappeda NTT 7 Beatrix Rehatta UnKris

8 Rusydi Konsorsium Universitas 9 Ferdi Kapitan Biro Ekonomi

10 Wilhelmus Dere Yayasan Iehari 11 Efferhad Ludoni Polda NTT

12 Maxi Ndun HNSI

13 Ana Salean Eks Ka DKP Propinsi 14 Isai Yusidartha BKSDA NTT

15 Rofi Al Hanif BKKPN Kupang 16 Raimundus Nggajo BKKPN Kupang

17 Rynal TNC

18 Yusuf TNC

Gambar

Figure 1: Peta zonasi Laut Sawu
Figure 2  Peta hasil diskusi bersama masyarakat di Desa Kuanheum    Sumber: Perdes
Figure 3: Foto pemasangan tanda batas Lilifuk di Kabupaten Kupang

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan genotipe yang memberikan indikasi beradaptasi spesifik terhadap lingkungan sawah irigasi teknis dengan hasil gabah di atas nilai reratanya adalah G17(P15).. Faktor

4. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan mampu menggali lebih dalam mengenai sistem keamanan yang sudah diterapkan oleh perpustakaan kota Yogyakarta, sehingga

Target Pengabdian masyarakat adalah peningkatan kompetensi SDM petugas Puskesmas yang telah bekerja sebagai petugas laboratorium satelit mikroskopis TB sejumlah total 11

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan Keterampilan

Bertitik tolak dari pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa masalah supervisi kepala sekolah dan motivasi kerja dalam pe- ningkatan kinerja guru pada proses

1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai

Perspektif merupakan suatu kondisi keterbatasan kemampuan mata manusia melihat suatu objek, dimana benda yang dekat dengan mata akan terlihat lebih besar