• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyelusuri Jejak Islam di Barus

Dalam dokumen PROFIL JALAN TEBING TINGGI (Halaman 51-56)

Desa Lobu Tua berjarak 4 km ke arah barat dari ibu kota Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah. Keberadaannya tak ada yang istimewa, karena layaknya desa warg-anya hidup bersahaja dari hasil laut, sawah dan kebun yang ada. Tapi sebagian warga punya kebanggaan yang luar biasa atas tanah mereka. Generasi tua dan sebagian generasi mudanya, paham betul bahwa tanah Lobu Tua punya sejarah masa lalu yang gemilang. Lobu Tua pernah menjadi emporium (pelabuhan niaga samudera) yang didatangi berbagai bangsa untuk membeli hasil bumi mereka.

Banyak artefak (keramik, perak, batu bertulis, dsb) peninggalan masa lalu

terkandung di bumi desa itu. Berbagai pe-nelitian telah dilakukan kalangan arkeolog nasional maupun internasional. Tujuan-nya, mencoba mengungkap keberadaan Lobu Tua sebagai salah satu pelabuhan tua, tempat interaksi banyak peradaban maju masa lalu, dari penjuru dunia.

Jejak Peradaban Dunia

Sebagai pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu Tua) diperkirakan sudah ada sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Bahkan, ada yang memerkirakan lebih jauh dari itu sekira 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir’aun Mesir Kuno yang salah satu pengawetnya

mengguna-kan mengguna-kanper atau kapur Barus. Getah kayu itu yang paling baik kualitasnya, kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus. Seja-rawan era kemerdekaan Prof. Mr. Mhd. Yamin, SH memperkirakan perdagangan rempah-rempah di antaranya kanfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Lebih ke depan dari perkiraan itu, ber-dasarkan arsip-arsip tua yang berasal dari kitab suci. Misalnya di Injil Perjanjian Lama, menyeritakan Raja Sulaiman (Solo-mon) atau dalam keyakinan Islam dikenal dengan Nabi Sulaiman, memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Makam Mahligai : Komplek pemakaman para penyebar Islam pertama di Nusantara. Di lokasi itu ditemukana nisan

Ophir patut diduga sebagai Barus/Lobu Tua atau di sekitar wilayah itu. Salah satunya adalah keberadaan Gunung Ophir yang ada di Kab. Pasaman, Prov. Sumbar. Perkiraan itu punya jejak spiritual berben-tuk kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama asli etnis Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu Mulajadi Na Bolon.

Peradaban lain yang sempat menyentuh emporium Barus, adalah Yunani yang diperkirakan para pedagangnya mengun-jungi Barus di awal-awal Masehi. Seorang pengembara Yunani Claudius Ptolomeus mencatat perjalanannya hingga ke Barou-sai, sekira tahun 70 M. Pencatat sejarah Yunani itu menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab dan Tiongkok juga lalu lalang ke Ba-rus untuk mendapatkan rempah-rempah. Lalu pada arsip tua India “Kathasaritsa-gara” sekira tahun 600 M, mencatat per-jalanan seorang Brahmana yang mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah), menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa (Barus). Bangsa Tiongkok sejak lama mengenal Barus sebagai Po Law Che. Misalnya, dari catatan Hsuan Tsang dari era Dinasti Tang tahun 645 M dan pengembara I Tcing, tahun 685 M . Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantin-opel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus. Lalu di tahun itu juga, pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekira tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, ber-nama Syekh Ismail yang akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab (Is-lam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis

Sulaiman pada 851 M dalam bukunya “Silsilatus Tawarikh.”

Berikutnya Dinasti Syailendra dari Champa (Muang Thai) menaklukkan em-porium Barus sekira 850 M dan menama-kan koloni itu sebagai Kalasapura. Setelah penaklukan itu, di pelabuhan itu berdiri koloni terdiri dari berbagai bangsa yang terpisah dengan masyarakat asli. Tercatat, tahun 1088 ada perkumpulan dagang Tamil ( India ) di koloni itu. Namun sekali lagi, koloni Barus di bumi hanguskan sekira tahun 1127 M oleh Kerajaan Marina dari Madagaskar, Afrika.

Seabad setelah itu, Bangsa Eropah men-emukan koloni Barus yang baru. Penjelajah terkenal bangsa Italia Marcopolo menjejak-kan kakinya di bandar perniagaan itu pada 1292 M. Sedangkan sejarawan muslim ter-nama Ibnu Bathuthah mengunjungi Barus pada 1345 M. Berikutnya pelaut Portugis berdagang di Barus pada 1469 M. Sedang-kan pedagang dari berbagai belahan dunia lain yang menyinggahi Barus, tercatat dari Ceylon ( Sri Lanka ), Yaman , Persia , Ing-gris dan Spanyol.

Berdasarkan catatan dari berbagai arsip bangsa-bangsa dunia, emporium Barus bertahan hingga abad 17 M. Setelah itu, pusat perniagaan Barus secara perlahan kehilangan perannya, hingga kini. Berbagai jejak para pendatang dari penjuru dunia itu, sebagian ada yang sudah ditemukan melalui penggalian arkeologis oleh para arkeolog nasional dan internasional, mis-alnya temuan artefak, keramik, batu bertu-lis pada tahun 1872 atau pada penggalian tahun 1978 dan 1995 di situs Lobu Tua oleh arkeolog dari Perancis dan Indonesia. Temuan itu sudah banyak yang mengisi berbagai museum dalam dan luar negeri. Islam di Emporium Barus

Banyak sejarawan Islam dalam maupun luar negeri mengakui arti penting pantai Barat Pulau Sumatera (Andalas) sebagai salah satu daerah awal masuknya Islam ke Nusantara. Namun, belum ada kesepakatan di antara mereka, apakah Barus merupa-kan lokasi pertama masuknya Islam. Pan-dangan itu setidaknya mengemuka dalam

Seminar I “Masuknya Islam di Nusantara ,” yang diselenggarakan di Medan , 17-20 Maret 1963.

Dalam seminar itu, seorang sejarawan lokal, bernama Dada Meuraxa berkeyaki-nan bahwa Islam masuk ke Barus pada tahun 1 Hijriah, berdasarkan pada pen-emuan batu nisan Syekh Rukunuddin, di komplek pemakaman Mahligai. Batu nisan itu menginformasikan bahwa Syekh Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan dan 22 hari pada tahun “ha”-”mim” Hijratun nabi. Meuraxa, menerjemahkan “ha”-“mim” itu 8 - 40 yang kemudian di-jumlahkan menjadi 48 H. Perhitungan itu berdasarkan Ilmu Falak (Astronomi) dari Kitab Tajul Muluk.

Namun di seminar itu, pandangan Meu-raxa disangkal ulama terkenal Sumut saat itu, Ustadz HM Arsyad Thalib Lubis. Men-urut ulama pendiri Al Jam’iyatul Washliyah itu, bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan. Alasannya, dua huruf ‘Ha’ dan ‘mim’ yang menunjukkan tahun di batu ni-san itu bukan 48 H melainkan 408 Hijriah. Menurut ulama terkenal itu, untuk nama memang harus dijumlah, tapi untuk tahun harus dipadukan, sehingga menjadi 408 Hijriah. Akhirnya, seminar pertama itu memutuskan Islam pertama kali masuk ke Nusantara memang di Pantai Barat Sumat-era tanpa menentukan di mana pastinya lokasi masuknya agama Islam.

Perbedaan pandangan itu terus berlang-sung hingga belasan tahun kemudian. Baru pada tahun 1978, sejumlah arkeolog dipimpin Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus. Pada penelitian terhadap nisan Syekh Rukunuddin, arkeolog yang juga pengajar di Universitas Airlangga Surabaya dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, meyakini Islam sudah masuk sejak tahun 1 Hijriah. Hal itu berdasar-kan pada perhitungan yang menguatberdasar-kan pendapat pertama oleh sejarawan lokal Dada Meuraxa yang didukung sejumlah sejarawan lainnya.

Pengukuhan itu dikuatkan lagi dalam seminar yang sama pada 29-30 Maret 1983 di Medan yang menyimpulkan Barus merupakan daerah pertama masuknya Is-lam di Nusantara. Perhitungan masuknya Islam di Barus itu, didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus yang bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi.

Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu, menurut Ustadz Djamaluddin Batubara, hingga kini ada sebagian tulisannya yang tidak bisa dit-erjemahkan. Hal itu disebabkan tulisan-nya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan aksara Arab. Seorang arkeolog dan ahli kaligrafi kuno Arab dari Prancis Prof. Dr. Ludvig Kalus mengakui bahwa Syekh Mahmud yang berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. Sedangkan batu nisan yang menjadi pertanda makam itu banyak ditemukan di

India .

Tentang makam Syekh Mahmud itu, sejarawan Belanda Dr. Ph. S. Van Roen-kel menyatakan bahwa Syekh Mahmud merupakan penyebar Islam pertama sekira 1.000 tahun lalu yang berhasil mengislam-kan Raja I etnis Batak, yakni Raja Guru Marsakkot. Namun, karena hal itu tidak disukai kalangan kerabat Raja Batak itu, ulama itu kemudian dibunuh, sehingga terjadi huru hara besar di daerah itu. Akan halnya Ustadz Djamaluddin Batu-bara sendiri, memiliki teori lain tentang keberadaan makam Syekh Mahmud yang terpencil dan berada di ketinggian bukit Papan Tinggi. Menurut Djamaluddin, Syekh Mahmud yang berasal dari Had-ramaut, Yaman, diperkirakan datang lebih awal dari Syekh Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun pertama dakwah Rasulullah Muhammad SAW di Makkah. Masa ke-datangan ulama yang diduga kerabat dan

sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa Syari’at. “Itu sebabnya di makam itu belum ada penanggalan, mel-ainkan sabda Nabi yang bermakna tauhid,” tegas dia, saat berbincang.

Selain itu, ketinggian makam itu diband-ing 43 makam bersejarah lainnya, menjadi alasan terdahulunya kedatangan Syekh Mahmud ketimbang para penyebar Islam lainnya. “Dulu, Barus sekarang ini laut dan pantainya di perbukitan itu (menunjuk Bukit Papan Tinggi sekira 200 meter di atas permukaan laut). Atau paling tidak dulunya daratan ini masih rawa-rawa dalam. Seiring dengan perubahan ekolo-gis, laut atau rawa-rawa itu jadi daratan,” kata Djamaluddin. Bukti pendukung teori itu disebutkan banyaknya ditemukan batu karang di daratan Barus sekarang, jika penggalian dilakukan hanya semeter dari permukaan tanah.

Makam Syekh Mahmud : Nisan batu berasal dari India itu menginformasikan tentang ulama bernama Syekh Mahmud. Diyakini beliau merupakan kerabat dekat dan sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyebarkan Islam kepada nenek moyang etnis Batak. Sinergi/Abdul Khalik

Nisan Yang Hilang : Salah satu nisan yang jadi petun-juk tahun wafatnya Syekh Rukunuddin, sejak lama telah hilang. Nisan itu, tahun 1983 telah diambil oleh Badan Arkeologi Nasional. Namun hingga sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya. Sinergi/ Abdul Khalik

R A G A M / P L U R A L I S

Dengan demikian, Syekh Mahmud meru-pakan penyebar Islam pertama, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya, kata Ustadz Djamalud-din yang merupakan tamatan Pesantren Purba Baru. Ke 43 makam ulama pe-nyebar Islam itu di antaranya, makam Syekh Rukunuddin, Tuanku Batu Badan, komplek Bukit Hasang, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib Siddiq, dan makam Imam Mua’azhamsyah.

Selanjutnya makam Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah Chaniago, dan makam Tuan Digaung, serta beberapa makam lainnya. Kesemua makam dari 43 ulama itu berada di Barus dan sekitarnya. Selain itu, keberadaan Islam di Barus, ber-hubungan langsung dengan Islam di Aceh. Beberapa temuan arsip kuno menunjukkan adanya tiga ulama Islam yang terhubung-kan antara Barus dan Aceh. Misalnya, keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin as Sumat-rani yang paham keagamaan mereka ber-seberangan dengan Syekh Abdul Rauf as Sinkili. Diyakini banyak sejarawan Islam, kedua ulama terdahulu bermukim dan menyebarkan pahamnya di Barus, setelah paham Wujudiah mereka mendapat seran-gan dari Syekh Abdur Rauf as Sinkili dan tidak diakui di Kerajaan Islam Samudera Pasai Aceh.

Hal sama terjadi juga terhadap keberadaan Islam di Minangkabau (Sumatera Barat). Misalnya keberadaan seorang penguasa Islam asal Minangkabau bernama Sultan Muhammadsyah Chaniago yang disebut-sebut berasal dari Indrapuri yang merupa-kan pusat Kerajaan Pagaruyung, Minang-kabau.

Namun, diakui, Islam sendiri tidak me-nyebar ke pedalaman Tano Batak, karena adanya penolakan keras dari masyarakat setempat yang kental memegang adat istia-dat. Menurut Ustadz Djamaluddin Batu-bara, etnis Batak dikenal sangat memegang teguh adat istiadat melebihi apapun.

Se-diperkuat dengan ajaran lokal Parmalim. Patut dicatat, awal masuknya Islam (di masa Syekh Mahmud dan 43 ulama lain-nya, diperkirakan tidak ada penolakan, malah terjadi sinkretisisme simbolik. Namun, pada periode kedua masuknya Is-lam (sekira abad 17 M), ajaran itu ditolak, karena berlawanan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. “Jelasnya, ketika Islam Tauhid/Sufistik datang, tak ada pe-nolakan. Baru ketika Islam Syari’at datang, masyarakat menolak,” tegas Djamaluddin. Kultur Islam dan Ugamo Parmalim Ugamo Parmalim yang menjadi keper-cayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanu-lang ada desa bernama Kampung Mudik yang sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah yang disebut Parsaktian.

Kepercayaan asli etnis Batak itu, menurut Ustadz Djamaluddin Batubara sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan simbol-simbol agama Samawi, khususnya Islam. Menurut dia, Parmalim itu bisa jadi meru-pakan ajaran yang usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Dikatakan, saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan.

Dari 360 dukun itu, separuh di antara-nya (180 orang) menggunakan bacaan pembuka dan penutup mantra (tabas) dengan ucapan mirip bacaan Islam dan Yahudi (Hebrew). Pembukaan mantra itu kira-kira; “Binsumillah dirakoman dirakomin” dan penutupnya “Yasa Yasu Yausa” Sedangkan separuh di antaranya menggunakan pembuka dan penutup tabas dengan bahasa mirip ucapan Islam. Untuk pembukaan: “Bismillahirrahmanirrahiem” dan penutupnya; “Borkat Kobul Lailaha Il-lallah” atau “Borkat Kobul Baginda Saidina Ali.”

Berdasarkan fakta itu, Ustadz Djamaluddin

gan antara Parmalim dengan agama-agama Samawi. Menurut dia, Al Qur’an ada menyebutkan kepercayaan monotheisme Ibrahim yang dikenal dengan “millah (ta) Ibrahim.” Lalu, jika dihubungkan cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-rempah pen-gawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja (Nabi) Sulaiman yang membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus), diperkirakan kala itulah keyakinan monotheisme terserap dan ke-mudian mengakar dalam keyakinan etnis Batak.

Selain itu, dalam sejarah Asal Keturunan Raja Barus, disebutkan pula bahwa raja I etnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I sekira tahun 1550 M sudah memeluk aga-ma Islam dan mengembangkannya hingga ke Aceh dan Minangkabau. Sisingamanga-raja I sendiri merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta meru-pakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus. Dalam sejarahnya kemudian Sisingaman-garaja I itu mendirikan kerajaan baru berpusat di Bakkara. Kata ‘Bakkara’ sendiri diambil dari salah satu surah di Al Qur’an, yakni Surah Al Baqarah (Lembu Betina). Hal itu dikarenakan daerah yang jadi pusat kerajaan Sisingamangaraja I merupakan dataran yang banyak lembunya. Dic-eritakan pula, antara Barus dan Bakkara terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan yang menghubungkan kedua kerajaan itu. Sisingamangaraja I dalam memerintah rakyatnya, berpedoman pada sejumlah pegangan spiritual bernuansa monothe-istis. Misalnya, menyucikan diri, tidak memakan darah dan daging yang tidak disembelih (mate garam). Tidak meneng-gak minuman yang memabukkan. Mendi-rikan rumah ibadah tempat berdoa kepada Tuhan YME. Menghapuskan perbudakan, mencintai kebersihan, kesehatan dan men-ganjurkan penduduk membuat sumber air (sumur) untuk kelompok warga. Men-gutamakan musyawarah (syura) dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, umum sudah diketahui penang-galan Raja Batak sejak awal telah meng-gunakan penanggalan Islam, yakni Hijriah. Itu terlihat dari cap kerajaan para penguasa Batak, misalnya cap Sisingamangaraja XII bertuliskan Arab/Melayu dengan penang-galan tahun 1304 Hijratun Nabi. Demiki-an pula dengDemiki-an simbol-simbol dDemiki-an pakaiDemiki-an kebesaran kerajaan Batak, cenderung mendekati simbol-simbol Keislaman. Mis-alnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan.

Berbagai peraturan yang dibuat Sisinga-mangaraja I menjadi pedoman kehidupan bagi etnis Batak di kemudian hari juga ber-nuansa monotheistis. Sayangnya, pedoman itu kemudian tidak berlanjut, karena keti-adaan penganjur Islam (pendakwah) yang dekat dengan kerajaan Batak sepeninggal Raja Uti. Islam Tauhid (monotheis) itulah di kemudian hari dikenal sebagai keper-cayaan Parmalim, tutur Ustadz Djamalud-din Batubara.

Perebutan Eksistensi

Sayangnya kepercayaan asli etnis Batak itu, belakangan kian menyusut dan kehilangan eksistensinya. Pasca menyebarnya Protes-tantisme yang dibawa Dr. I.L Nomensen ke Tano Batak, Parmalim menghadapi te-kanan keras. Watak ekspansionisme Prot-estan, ternyata tidak memberikan peluang

kepada kepercayaan asli itu untuk tetap hidup dalam keberagaman keyakinan. Aki-batnya, Parmalim menjadi keyakinan yang terasing di tanah kelahirannya sendiri. Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian mer-edup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak beragama Kristen Protestan/Katholik yang meyakini konsep Trinitas.

Kedua, sinkretisme simbol-simbol Parmalim-Islam mengganggu missi untuk menjadikan Tano Batak sebagai wilayah Judea di Andalas. Artinya, klaim bahwa etnis Batak sama dengan orang Kristen masih bisa dianulir. Berbeda dengan orang Minang, Aceh dan Melayu yang bisa mengklaim dirinya sama dengan orang Islam.

Ketiga, kebijakan pemerintah dan agama-agama dominatif yang mengabaikan, bahkan berniat melenyapkan eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.

Sebagai sebuah warisan spiritual masa lalu di negeri ini, Ugamo Parmalim seharusnya tidak bisa dipandang sama dengan

aliran-aliran kepercayaan yang ada belakangan sebagai sempalan agama-agama dominatif (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu). Hal itu dikarenakan Parmalim memang dilahirkan dari rahim keyakinan masa lalu nenek moyang bangsa, yang ke-beradaannya jauh lebih terdahulu diband-ing agama-agama resmi yang ada. Akan bijaksana jika political will pemer-intah, khususnya Pemprov Sumatera Utara memberikan perlindungan atas keberadaan Ugamo Parmalim itu. Seminar tentang Perjuangan Sisingamangaraja XII yang berlangsung Akhir Mei 2007 lalu di Medan, setidaknya bisa menjadi langkah awal yang baik untuk memberikan ruang lebih terbuka kepada Parmalim menun-jukkan eksistensinya di tengah pergaulan antar agama.

Sebaliknya, kasus penolakan masyarakat sekitar terhadap pendirian Parsaktian di Jalan Air Bersih, Medan , beberapa waktu lalu, patut dipandang sebagai upaya yang tidak memberikan ruang toleransi kepada kepercayaan asli etnis Batak itu. Semes-tinya toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul pra-sangka bahwa toleransi beragama cuma lip servis yang digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan sempit agama-agama tertentu. Abdul Khalik

Ustadz Djalaluddin Batubara yakin Islam datang ke Barus periode pertama dakwah Rasulullah Muhammad SAW ketika berada di Makkah. Sinergi/AbdulKhalik

Menyusui Eksklusif

Dalam dokumen PROFIL JALAN TEBING TINGGI (Halaman 51-56)

Dokumen terkait