• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyikapi Kecurangan Pemilu

Dalam dokumen 17686839 Isi Makalah dan id. doc (Halaman 33-38)

Pengamat Hukum Tata Negara Indonesia Legal Roundtable, Irmanputra sidin, mengatakan berbagai temuan yang ada dalam pemilu 2009 kemungkinan besar tidak signifikan dengan hasil pilpres. “Toh masyarakat sudah membuktikan secara rasional memilih capres-cawapres dan pemilu berjalan lancar, aman serta tertib. Kalaupun ada temuan kecurangan tidak signifikan,” katanya, Jum’at 17 Juli 2009 sebagaimana dilansir oleh Tvone.

Diakui Dosen Universitas Indonesia Esa Unggul ini, untuk membangun sebuah demokrasi yang utuh dan bulat, apalagi pemilu presiden 2009 secara langsung memang sangat tidak mungkin. “Di dunia manapun, memang tidak mungkin membangun demokrasi secara utuh tanpa kekurangan.” Tambahnya.

Yang jelas, lanjut Irman, kekurangan dan kelemahan pemilu presiden 2009 itu pasti ada. Hanya saja, katanya, selama kekurangan-kekurangan itu tidak signifikan dan tidak mempengaruhi kemenangan satu pasangan capres. Maka dianggap selesai dengan sendirinya. “Lho, kalau memang memiliki bukti-bukti adanya kecurangan, lebih baik disampaikan bukti-bukti itu ke Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.

Sebaiknya, terang Irman lagi, lawan politik yang kalah dalam pilpres tidak bermain dalam pembentukan opini di media massa. Tinggal diajukan saja ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Ajukan saja

kecurangan itu ke MK dan jangan bermain opini di media massa,” paparnya.

Lebih jauh Irman memberi contoh kejadian pemilu presiden 2004, dimana pasangan capres Wiranto-Sholahudin menggugat pasangan Mega-Hasyim ke Mahkamah Konstitusi. “MK memang menemukan adanya keurangan, namun kecurangan itu tidak signifikan, maka tidak berpengaruh,” jelasnya. Padahal saat itu selisih suara antara Megawati dan wiranto hanya sebesar 5 juta suara, itu saja tidak dikabulkan MK. Apalagi sekarang jeda suaranya sudah sangat jauh.

IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Akhirnya kita lampaui bersama beberapa tahapan pemilu, proses panjang dan sangat melelahkan. Kini tinggal menunggu sebentar lagi pengumuman resmi dari KPU setelah ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Dari data yang telah kita baca tadi terlihat betapa besar biaya yang kita keluarkan untuk menegakkan demokrasi. Biaya tersebut bukan hanya materi tapi juga biaya sosial. Anggaran yang begitu besar dengan masih tersisanya carut marut di sana-sini membuat masyarakat lapis bawah tercengang dan bergumam, apa untungnya bagi kita ?

Sebagaimana telah dipaparkan oleh beberapa pakar memang ada korelasi positif antara demokratisasi dan kesejahteraan, namun rasanya masih jauh panggang dari api. Biaya yang dikeluarkan partai politik dan pihak-pihak swasta yang mendanai, biaya yang dikeluarkan dari kocek pribadi para capres dan cawapres tentu mau tidak mau harus “menghasilkan” atau dalam istilah dagangnya cari untung. Itu semua wajar, hari gini berkorban sia-sia? Itu telah menjadi analisa umum dari rakyat kita. Kita telah gembar-gembor untuk menghindari money politic tapi realita di lapangan masih banyak berseliweran uang-uang panas, bahkan sampai ada istilah serangan fajar.

Memang sebagian dari negative list tersebut dapat dimeja hijaukan namun tidak sedikit yang menguap begitu saja dan kemudian menyeruak di tengah-tengah masyarakat menebarkan bau tidak sedap akan makna demokrasi itu sendiri. Demokrasi itu suara terbanyak dari rakyat, sedang suara rakyat itu bisa di beli dengan uang, dengan bantuan lansung, dengan pencitraan diri lewat media massa dan bahkan gerakan penanganan korupsi yang belum tuntas ini juga tak ubahnya sebuah sinetron yang turut mendongkrak nama kandidat. Akhirnya yang dipahami kalangan bawah adalah hanya mereka yang mampu secara finansial saja yang akan memenangkan pertarungan dalam pentas demokrasi dan itu berarti kaum kapitalis.

Seorang tokoh seperti Pitut Soeharto yang juga adalah veteran 45, mengkritik tajam diberlakukannya sistem banyak partai dengan konsep pemilihan langsung ini, menurut dia keadaan ini tak ubahnya apa yang terjadi pada tahun 1955 lalu. Dengan lantang dia menyerukan kepada kita untuk kembali kepada UUD 1945 yang asli dan menentang amandemen terhadapnya.

Shaleh Khalid, mantan Ketua PB HMI yang juga mantan anggota DPR periode 1992-1999 juga mengajak kita untuk membangun negara kesatuan bangsa dengan semangat proklamasi, kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Pernyataan ini juga diamini oleh Gus Dur dan juga Mantan KSAL Slamet

Soebijanto serta seorang mantan anggota dewan periode 1992-2004 lainnya, Amin Aryoso.

Bagi sebagian kalangan Ummat Islam, terutama mereka yang masih teguh perpendirian untuk menegakkan khilafah, demokrasi tentu bukanlah nilai akhir. Sebab walaupun demokrasi memang pada tataran tertentu telah sanggup mewakili sebagian dari apa yang diamanatkan konsep khilafah, tapi masih adanya kapitalisme yang membonceng demokrasi itu tetap mencederai semua warga negara.

Dengan tetap berharap esok akan lebih baik lagi dengan mengambil pelajaran dari kesalahan pada hari ini, kita harus yakin pada pilihan kita untuk menegakkan konsep-konsep demokrasi itu sebenar-benarnya. Demokrasi yang egaliter, adil tidak kapitalis, jujur dan mampu menghasilkan output yang solutif terhadap permasalahan bangsa, bukan demokrasi yang malah menjerumuskan bangsa ini kedalam jurang kesengsaraan yang makin dalam.

B. SARAN

Pada saat debat calon presiden terakhir yang digelar KPU dan disiarkan langsung oleh hampir semua Televisi swasta tanah air, Pratikno, Dekan FISIP UGM, selaku moderator bertanya kepada masing-masing calon tentang apa yang akan mereka lakukan jika tidak terpilih menjadi presiden. Pernyataan Megawati jelas akan terus berjuang untuk rakyat, tanpa memberikan perincian lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan berjuang tersebut. Sedang SBY menyatakan dengan berbesar hati akan memberikan ucapan selamat kepada pemenang dan mengajak para pendukungnya untuk memberikan dukungannya kepada pemerintah yang sah tersebut. Yang terakhir dan yang paling menarik menurut hemat penulis adalah ungkapan JK, calon presiden dengan nomor urut 3 ini dengan segala kepercayaan dirinya bilang bahwa pemenangnya tentu adalah yang terbaik diantara mereka, dan untuk itu ada kemungkinan dirinyalah yang terbaik itu. Namun, andaikan keadaan berkata lain, maka Jusuf Kalla akan pulang ke kampung halamannya, meneruskan bisnis, menghidupkan masjid serta membangun lembaga-lembaga pendidikan.

Yang penting kita cermati adalah, realita bahwa dalam lubuk hati kita yang paling dalam ternyata masih susah untuk menerima kekalahan. Kita tidak harus belajar untuk kelah memang, kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa ada yang lebih baik, lebih hebat, dan lebih unggul dari kita. Sekali lagi kita tidak kalah, tapi hanya pesaing kita rupanya lebih unggul dari kita, itu saja. Kesadaran semacam itu tidak akan muncul begitu saja dalam kancah perlombaan apapun. Tapi kebesaran jiwa itu harus dibangun dengan keras, kita meski mampu menahan kobaran jiwa yang sangat membakar, tapi semua itu harus kita lampaui

sebagai upaya menyehatkan psikis, rohani kita. Seberat apapun harus kita lakukan, dikarenakan jika tidak kita berlatih maka kekecewaan itu akan terus membayangi selama hidup kita dan akan menggerogoti semua karunia Tuhan, hingga kenikmatan yang berlimpahpun rasanya hambar dan takkan tersyukuri.

Menjadi presiden, wakil presiden dan anggota dewan tujuan sebenarnya adalah berjuang untuk rakyat, kalau ada tujuan-tujuan lain sebaiknya tidak kita bahas di sini, amanat rakyat itu tidak ringan. Allah SWT pernah menyindir bahwa kita ini Dloluuman Jahuula, sangat aniaya dan teramat bodoh, sebab amanat yang tujuh langit dan bumi serta makhluk Tuhan yang lebih hebat dari kita saja enggan dan tidak mampu membawanya, kita malah berebut memiliki, betapa memang bodoh kita ini. Amanat tidak hanya harus kita pertanggung jawabkan kepada yang memberikan mandat, tapi lebih dari itu amanat akan dipertanggung jawabkan di hadapan Sang Kholik, belum lagi mengemban amanat berarti harus merelakan hampir semua waktunya untuk menjalankan mandat itu sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Hilang sudah waktu yang mestinya dapat kita manfaatkan untuk membenahi diri, memperkaya hati dan menajamkan pisau pengetahuan serta mengasah kepekaan rasa. Sirna pula saat yang begitu berharga untuk berasyik mesra dengan Sang Kekasih, memuji dan mengingat nama-Nya, kita terlampau berat memikul amanat.

Kembali kepada apa yang kita sebut perjuangan, membela kepentingan rakyat. Tidak harus seseorang itu menjadi pemimpin, public figure baru sebuah perjuangan dapat dilakukan, tidak. Darimanapun sebenarnya kita dapat membela kepentingan rakyat. Tidak harus dari jalur birokrasi pemerintahan. Janji-janji manis semasa kampanye dulu, kontrak-kontrak politik dengan kaum jelata bisa diwujudkan walau memang tidak segampang ketika kita berkuasa. Sebut saja salah satunya dengan memberikan modal kepada anak-anak muda yang putus sekolah, lepas dari sekolah menengah atas, alumni pondok pesantren dan mereka yang masih pengangguran untuk kemudian dapat dimanfaatkan berwirausaha. Ide ini cukup cemerlang dan tidak butuh sentuhan birokratik, tinggal kemauan untuk menjalankannya dengan baik, kalau perlu menggandeng pihak lain yang juga punya kepedulian yang sama.

Kita bisa lihat apa yang telah dilakukan oleh Mohammad Yunus dari Banglades dengan Bank Gramen nya, yang menjadikan dia peraih nobel. Terbukti bahwa memberi bantuan itu tidak lantas membuat sang pemberi menjadi berkurang dan bertambah miskin. Namun sebaliknya, dari dana yang digulirankan itu justru memperkaya lingkungan, perekonomian berjalan, perputaran uang berlangsung sampai pada tataran bawah dan pendapatan meningkat. Konsep social enterpreunership ternyata ampuh mengentaskan kemiskinan dengan signifikan. Dan itu dilakukan M. Yunus diluar jalur birokrasi.

Selain itu sebagaian dari para capres dan cawapres yang adalah pengusaha juga bisa memanfaatkan jalur usahanya ini untuk meningkatkan kepedulian mereka terhadap sesama. Corporate Social Responsibility (CSR) bisa mereka tingkatkan dengan menekan biaya pencitraan produk lewat iklan media yang glamour, namun bisa dialihkan dengan memberikan santunan, memberikan jaminan pendidikan dan kalau perlu memberikan suntikan modal dan pelatihan-pelatihan usaha mandiri.

Banyak acara relity show di televisi yang bertujuan membangun kepedulian terhadap sesama, ini fakta yang baik untuk kita tingkatkan. Dan sebagai seorang muslim, kita tentu tahu bahwa pada kadar tertentu ada hak orang miskin dalam harta kita, tapi sampai saat ini kita sulit untuk memberikan zakatnya, kita terlampau pelit untuk bersodakoh apalagi infak. Kita lebih enjoy kalau harta kita berlebih mending naik haji saja, walaupun sudah lebih dari satu kali melakukannya. Entahlah apa yang sebenarnya kita yakini dari amal yang tidak dianjurkan Nabi ini.

Atau mungkin karena dengan predikat haji itu kemudian kita punya tempat yang lebih tinggi dalam strata sosial masyarakat kita? kalau benar begitu tentu kita telah jauh menyelewengkan ajaran Islam, sebab dalam Agama Allah ini tidak ada derajat yang lebih tinggi dari yang lain kecuali hanya taqwanya kepada Tuhan, sementara taqwa itu sendiri yang berhak menilai adalah hanya Dia SWT. Tidak ada kasta dalam Islam, semuanya sama dihadapan Allah dan manusia, Islam menganjurkan sikap egaliter.

Tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan apa yang kita sebut dengan konsep demokrasi, sama dengan tata cara berbangsa dan bernegara yang lain, demokrasi adalah hasil kreasi manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup dalam bermasyarakat. Tak ayal, kemudian demokrasi itu sendiri harus siap untuk menerima kritik, harus tahan terhadap gempuran ideologi lain yang boleh jadi suatu saat nanti lebih menjanjikan, sebab kita juga tidak pernah tahu bahwa konsep negara bangsa dan juga demokrasi itu akan menjadi nilai akhir yang dianut bangsa manusia untuk mempertahankan peradaban mereka di muka bumi.

Dalam dokumen 17686839 Isi Makalah dan id. doc (Halaman 33-38)

Dokumen terkait