• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merawat Bahasa Daerah sebagai Identitas Bangsa

PERANG WAWANE(1633-1643) Oleh: Zein Wael

MERAWAT BAHASA SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA BANGSA

E. Merawat Bahasa Daerah sebagai Identitas Bangsa

E. Merawat Bahasa Daerah sebagai Identitas Bangsa

Relasi kuasa Kesultanan di Maluku Utara termasuk pula kesultanan Ternate terhadap masyarakat wilayah kekuasaannya disadari ikut melemahkan keberlangsungan bahasa daerah bersangkutan. Salah satunya adalah bahasa Ibo yang kini sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Ibo kini tidak akan eksis dimasa depan. Ini selain karena pewaris bahasanya sudah beralih bahasa Ternate. Kuat dugaannya karena banyaknya para pendatang ke daerah tersebut sejak dahulu menggunakan bahasa Ternate sebagai lingua franca antara etnik. Ini akhirnya menekan posisi minoritas orang Ibo sehingga mereka beralih kode ke bahasa Ternate yang pada masa Kesultanan menjadi bahasa Kolano/Raja. Selain itu, penutur yang masih mengusai bahasanya sudah sangat tua dan penerusnya menolak berbahasa Ibo.

Yang perlu dilakukan saat ini ialah menolong bahasa-bahasa yang sekerabat dengan bahasa Ibo, seperti bahasa Gamkonora (penuturnya berkisar 1500-2000 orang) di tengah tekanan bahasa Melayu Ternate dan bahasa Indonesia. Meskipun kebanyakan orang dewasa dan orang tua Gamkonora bangga dengan bahasanya, generasi mudanya saat ini cenderung menggunakan bahasa Melayu Ternate. Kebanggaan generasi tua mereka terhadap bahasa daerahnya beralih kebahasa Nasional di generasi muda.

Ini juga dipastikan ada hubungan dengan masa depan mereka. Baik itu dalam hal mendapatkan pendidikan yang lebih baik, maupun pekerjaan yang menjajikan. Keadaan yang melemahkan penutur Gamkonora ini akhirnya menambah alasan bahwa bahasa minoritas ini perlu dirawat. Bukankah kita tidak mau lagi kehilangan bahasa seperti bahasa Ibo?

Kepunahan/kematian bahasa daerah telah menjadi isu penting di Indonesia bahkan dunia. Kepunaan ini disinyalir sebagian besar akibat dari terjangan budaya global, termasuk bahasa Internasional yang menyebabkan frekuensi penggunaan bahasa

daerah menjadi semakin menurun dan disisi yang lain pula meluasnya relasi sosial ekonomi antara penutur yang memiliki latar bahasa dan budaya yang berbeda turut mengancam bahasa daerah itu sendiri. Dengan demikian maka, diperlukan berbagai strategi untuk merawat eksistensi bahasa daerah ditengah ancaman kepunahannya.

Di Maluku Utara, fenomena kepunahan bahasa daerah sudah mulai terasa. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya minat pemakaian bahasa daerah dalam setiap tindak tutur. Anak-anak di desa dan daerah perkotaan sebagian besar tidak lagi mengetahui dan menguasai bahasa daerahnya. Bahkan dalam proses pemerolehan bahasa (language acquestion), posisi bahasa daerah sering tidak menjadi bahasa pertama (first language) melainkan bahasa kedua (second language). Bahasa daerah semakin terjepit lagi ketika globalisasi mulai merambah masuk dalam ranah relasi sosial kita. Para penutur bahasa daerah mau tidak mau harus mempelajari sejumlah bahasa Internasional sebagai modal awal menghadapi kompetisi global yang semakin keras dan tajam. Kondisi ini menambah jarak antara para penutur dengan bahasa etniknya. Maka tidaklah mengherankan jika semangat penutur berusia 25 tahun mulai redup. Padahal mereka adalah pelakon, pewaris, dan pemeliharan bahasa daerah dikalangan remaja juga menjadi penanda kuat bahwa bahasa daerah kita mulai menderita penyakit kurang penutur jika kita tidak menyebut ditinggalkan penuturnya.

Summer Institute of Lingiustics (2008) sebagaimana dikutip dalam Ibrahim menjelaskan dalam dua belas varian yang diduga kuat mempengaruhi punahnya sebuah bahasa yaitu : 1). Kecilnya jumlah penutur; 2). Usia penutur: 3. Digunakan atau tidak digunakannya bahasa ibu: 4). Penggunaan bahasa lain secara regula: 5). Perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum; 6). Urbanisasi kaum muda; 7). Kebijakan pemerintah; 8). Penggunaan bahasa dalam pendidikan; 9). Intrusi dan eksploitasi ekonomi; 10). Keberaksaraan; 11). Kebersasteraan; 12). Kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra.

Menurut Ade Ismail (2012), ada tiga faktor dominan yang menjadi pemicu utama kepunahan bahasa, yakni perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, kebijakan pemerintah, dan kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra. Hal lain adalah penggunaan bahasa etnik dipandang sebagai komunitas inferior dalam relasi sosial ekonomi .titik-titik pemicu kepunahan ini harus dicegah secara cepat dan efektif agar kekayaan bahasa yang kita miliki ini tidak “punah” ditangan kita sebagai penutur asli (native speaker). Dengan demikian, terdapat enam cara perawatan yang perlu kita lakukan secara serius terutama terhadap bahasa-bahasa yang sudah berada dalam level “kritis”. Hal ini dimaksudkan untuk menmbah daya tahan bahasa daerah kita agar tetap terjaga dengan baik (selalu segar bugar) ditengah badai modernisasi dan globalisasi ataupun pengaruh "kuasa" bidang politik ekonomi global yang kini merangsak masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita, yaitu:

Pertama, perawatan bahasa dapat dimulai dengan melakukan penelitian pemetaan potensi pengguna bahasa daerah di Maluku Utara. Hasil penelitian ini akan mengungkap bahasa-bahasa apa saja yang memiliki daya tahan kuat, setengah

kuat, dan bahasa yang sudah betul-betul tidak mampu ditolong lagi alias menunggu kepunahan.

Kedua, ajarkanlah bahasa daerah terhadap anak-anak yang baru memulai proses pemerolehan bahasa. Dengan mengajarkannya sejak dini, maka kita akan mengubah pola pemerolehan bahasa yaitu dimulai dari bahasa daerah (native language) sebagai bahasa pertama kebahasa Melayu Ternate, kemudian merangkak ke bahasa Indonesia, lalu ke bahasa asing. Memang agak sulit, apalagi bagi orang tua yang memiliki perkawinan silang budaya, sebab akan menyulitkan anak-anaknya untuk mempelajari dua bahasa daerah sekaligus.

Ketiga, melalui penulisan cerita rakyat. Buku-buku cerita rakyat ini dapat dipakai sebagai bahan ajar lainnya dan dengan demikian kita telah melakukan tiga hal penting, yaitu mendokumentasikan cerita rakyat, melestarikan bahasa daerah, dan mengajarkanya kepada anak-anak sebagai pembelajar dan pemakai bahasa.

Keempat, mendirikan pusat-pusat pengkajian bahasa daerah. Pusat kajian bahasa daerah ini dapat didirikan bersamaan dengan pusat kajian budaya daerah, anak-anak atau pembelajar termasuk warga Negara lain yang ingin mempelajari budaya dan bahasa daerah dapat belajar di pusat kajian bahasa dan budaya daerah sebagaimana pusat-pusat pembelajaran bahasa dan budaya asing.

Kelima, ajarkan bahasa daerah dijenjang pendidikan dasar (kalau boleh sampai menengah) melalui mata pelajaran muatan lokal. Pemerintah dan para pemerhati bahasa termasuk perguruan tinggi yang memiliki relevansi ilmu, diajak untuk duduk bersama merumuskan kurukulum pembelajaran bahasa daerah, mulai dari standar kompetensi, kompetensi dasar sampai pada penentuan ini indikator-indikator pencapaiannya. Dapat dipastikan, bahwa dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah akan memicu suburnya bahasa-bahasa etnik kita yang menjadi sumber kekayaan budaya.

Keenam, perguruan tinggi yang ada di daerah Maluku Utara sudah saatnya memikirkan kehadiran jurusan bahasa dan budaya daerah. Gagasan ini terkesan masih mentah tetapi sangat dibutuhkan jika kita ingin merawat eksistensi bahasa daerah Maluku utara. Lulusan dari jurusan ini diberi tanggung jawab mengajarkan bahasa daerah, baik disekolah formal maupun pada lembaga kajian bahasa dan budaya daerah sebaagaimana disebutkan diatas.

Enam cara perawatan ini diharapkan mampu mengatasi masalah kepunahan bahasa serta mempertahankan keberadaan bahasa-bahasa daerah Maluku Utara agar tetap hidup ditengah arus persaingan global sebagai simbol kekayaan budaya yang harus dijaga dan dipertahankan. Sebab, salah satu cara tepat untuk merawat kebudayaan adalah melalui perawatan eksistensi bahasa daerah.

Daftar Pustaka

Ade Ismail (2012). Merawat Eksistensi Bahasa Daerah. Malut Post edisi Kamis, 26 April 2012.

Imelda, (2011). Bahasa Ibo Siapa yang Punya. Malut Post edisi Senin 4 Juli 2012. Mikhiro Moriama & Manneke Budiman (2010). (editor). Geliat Bahasa Selaras

Zaman (Perubahan bahasa-bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru). KPG - Jakarta.

Martin Ramstedt & Fadjar Ibnu Trufail, (2002). (editor). Kegalauan Identitas (Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca Orde Baru). LIPI & Grasindo. Jakarta.

Tonny D. Widiastono, 2004. (editor). Pendidikan Manusia Indonesia. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Tokoh Inspiratif:

NYA BONONG LALO RAMUKAQ

Dokumen terkait