• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meretas Kerjasama Lintas Agama

Dalam dokumen FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL. doc (Halaman 34-48)

Tanggung jawab yang dipikulkan kepada agama untuk ikut memerangi terorisme dan kekerasan, membenarkan anggapan bahwa memang ada hubungan langsung antara agama dan perdamaian (atau ketidakdamaian).Tidak mengherankan jika seorang teolog dan aktivis dialog agama seperti Hans Kung, menyatakan dengan sangat yakin bahwa “tidak ada perdamaian dunia, jika tidak ada perdamaian agama”. Karenanya ia mengajak umat beragama – secara khusus menyebit Kristen dan Islam – untuk membangun cara pandang yang baru satu sama lain, dan melupakan sejarah masa silam keduanya yang dipenuhi konflik dan pertentangan.85 82 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 181.

83 QS. Al-Baqarah ayat 256.

84 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 186.

85 Hans Kung, Sebuah Model Dialog Kristen-Islam, dalam Paramadina, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. I Nomor 1, 1998, hlm. 10.

Sungguhpun kalangan umat beragama meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan tentang persaudaraan antara sesama manusia, tidaklah dengan sendirinya bisa dikatakan bahwa agama merupakan garansi bagi terciptanya perdamaian.Bahkan dalam perspektif tertentu, agama sering kali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua, ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan “bahan bakar” untuk membumihanguskan perdamaian manusia. Atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi, atas nama agama juga, manusia saling bermusuhan, bahkan saling membunuh satu sama lain. Karena itu, persoalan utama umat beragama adalah bagaimana mereka dapat hidup dalam satu payung peradaban yang dibangun bersama-sama tanpa ada lagi permusuhan dan kekerasan di antara mereka.86

a. Dari Toleransi ke Dialog

Banyak titik berangkat untuk memulai dialog dan kerjasama lintas agama.Berbagai upaya untuk memperat hubungan antar agama telah dilakukan baik oleh pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) maupun oleh individu-individu tokoh dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM).Perlu disebut nama Prof. Dr. Mukti Ali, ketika menjadi menteri agama periode 1971-1978, yang membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Kita juga mengenal istilah pluralisme dan inklusivisme yang lebih banyak disuarakan oleh kalangan “swasta” (tokoh agama dan LSM).87

Ide-ide pluralisme-inklusivisme diwacanakan oleh kalangan tokoh agama karena alasan doktrinal.Yakni, upaya untuk membangun persepsi bahwa agama (dalam hal ini Islam) memang mengandung ajaran-ajaran yang mendukung gagasan pluralisme.Bahwa, gagasan pluralisme itu akan mendukung integrasi nasional, merupakan alasan sekunder atau factor ikutan (by product). Tokoh-tokoh seperti Nurcholish

86 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 196-197. 87Ibid., hlm. 198.

Madjid dan Abdurrahman Wahid tercatat paling vocal menyuarakan ide pluralisme Islam.88

Kendati pemerintah merupakan pihak pemrakarsa, namun secara resmi sering dinyatakan bahwa esensi kerukunan merupakan tanggungjawab agama itu sendiri, bukan pemerintah.Karena itu, apabila terjadi perselisihan baik intern suatu agama maupun antar umat beragama, diselesaikan oleh umat beragama itu sendiri.Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penengah (arbitrer).89

Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Sebab, dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara masing-masing pihak yang berdialog.Dialog agama dinilai penting untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar agama.

b. Belajar dari Ketegangan Islam-Kristen

Di Indonesia, dialog Islam-Kristen tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjumpaan kedua agama tersebut. Umat Islam pada umumnya melihat agama Kristen sebagai agama yang disebarkan oleh kaum kolonial.Itulah sebabnya, penyebaran Kristen (Protestan) di wilayah Nusantara senantiasa mendapat tantangan dan perlawanan keras dari umat Islam.90

Ancaman bahaya Kristenisasi semakin disadari oleh umat Islam yang masuk Kristen dan keberpihakan pemerintah kolonial kepada gereja.Hal ini semakin memperburuk keadaan dan hubungan Islam-Kristen, karena perlawanan dari pihak Islam sendiri semakin nyata terutama sejak awal abad ke-20, ketika muncul gerakan kebangkitan Islam bersamaan dengan nasionalisme.91

Kita melihat bahwa hampir semua ketegangan yang muncul bermula dari kepentingan agama sendiri yang dicoba untuk diperjuangkan, tanpa mempedulikan kepentingan agama lain. Titik

88 Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 122.

89 Sanibi Naim, Kerukunan Antar Umat Beragama (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 54. 90Djohan Efendi, dkk.,Dialog Antar Umat Beragama, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid VI, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 211-233.

perbenturannya lebih banyak pada kepentingan dakwah atau misi. Baik Islam maupun Kristen sama-sama merupakan agama “misionaris” dalam arti bahwa setiap pemeluknya dibebani kewajiban untuk menyampaikan ajaran agama mereka kepada orang lain. Tapi persoalannya muncul ketika sasaran misi atau dakwah itu ternyata adalah orang yang sudah memeluk suatu agama. Karena baik Islam maupun Kristen mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar, maka ada kecenderungan kaum Muslim dan umat Kristiani untuk saling mengkonversikan, yang Muslim mengajak orang Kristen untuk masuk Islam, dan sebaliknya. Fenomena ini tentu saja menimbulkan masalah di dalam praktiknya.92

Dengan berpijak pada sikap dan pandangan inklusif dan pluralisme inilah upaya-upaya dialog antar agama dirintis dan dikembangkan. Dari dialog antar agama inilah kemudian diwacanakan kerjasama antar-agama, dengan tujuan-tujuan yang disesuaikan dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masing-masing peserta dialog. Misalnya, mewacanakan perdamaian dunia dan memerangi terorisme, maka dialog antar agama dilakukan untuk ikut memberikan kontribusi bagi tujuan-tujuan tersebut. Kerjasama juga bisa dilakukan dalam bidang-bidang lain seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, narkoba, bencana alam, penanganan konflik dan pasca konflik,dan seterusnya.93

c. Bentuk-Bentuk Dialog Agama 1) Dialog Kehidupan

Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat beragama. Para pemeluk agama yang berbeda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari.Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal.Biasanya, dalam kehidupan sehari-hari, agama tidak menjadi topikperbincangan mereka.Masing-masing umat beragama biasanya menganggap bahwa urusan agama merupakan urusan pribadi dan Tuhan.Orang lain tidak berhak ikut campur. Kerukunan dijunjung tinggi.Toleransi digalakkan.Sendi-sendi kehidupan social dihormati

92 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 206. 93Ibid., hlm. 208.

oleh semua pihak.Akan tetapi, problem-problem menyangkut kehidupan keagamaan antar umat diletakkan di luar agenda pergaulan sehari-hari.Karena itu, umat Kristiani, misalnya tidak mau tahu urusan umat Islam yang sedang kesulitan mencari dana untuk membangun atau memperbaiki masjid. Begitu juga umat Islam tidak akan membayarkan zakatnya kepada tetangganya yang non-Muslim kendatipun dia tahu tetangganya itu hidup dalam kemiskinan.94

Para penganut agama hanya bertemu dalam aktivitas “umum” yang relatif tidak terkait dengan agama seperti gotong royong membersihkan parit, menggalakkan system pengamanan lingkungan swadaya (siskamling), mengadakan acara Agustusan, dan yang sejenis itu. Inilah yang disebut Paul F. Knitter sebagai toleransi yang malas (lazy tolerance).95 Orang hanya menginginkan hidup bersama dalam perbedaan secara damai (ko-eksitensi), dan tidak berusaha lebih jauh bagaimana para pemeluk agama yang berbeda itu satu sama lain saling menghidupi dan memberdayakan (pro-eksistensi).96

Pengalaman dialog antar umat beragama dalam kehidupan sehari-hari tetaplah lebih baik, dibandingkan sikap-sikap fanatik dan eksklusif yang mengunci diri dengan umat agama lain. Pandangan eksklusif adalah kebalikan dari pandangan inklusif dan pluralis. 2) Dialog Kerja Sosial

Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan, dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akanpluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya (trust society). Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih dari sekedarpengakuan akankenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif di dalam kemajemukan itu. Jadi jelas bahwa perbedaan (agama) sama sekali bukan halangan untuk melakukan kerja sama, bahkan al-Qur’an menggunakan kata li

94Ibid., hlm. 211.

95 Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward The Worl Religion, (New York: Orbis Books, 1985), hlm. 9.

ta’arafu, supaya saling mengenal, yang kerap diberi konotasi sebagai “saling membantu”.97

Salah satu langkah penting Nabi Muhammad yang selalu menajdi rujukan bagi kerukunan dan kerjasama antar agama, yang juga dicatat para sejarahwan, adalah ketika beliau menetapkan apa yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Di dalam piagam itu dinyatakan tentang hak kewargaan dan partisipasi kaum non-Muslim di negeri Madinah yang dipimpin Nabi.Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku diangkat statusnya oleh Piagam Madinah menjadi warga negara yang sah.98

Tidak ada agama yang membolehkan pemeluknya berbuat jahat seperti membunuh.Tidak ada agama yang membenarkan perbuatan mencuri, mabuk-mabukan, berzina, menghasut, dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya yang merusak tatanan masyarakat.Semua agama menyeru kepada kebaikan.Dialog antar agama pada tingkat social harus berangkat dari kesadaran mengenal kebaikan yang terdapat pada semua agama.99

3) Dialog Teologis

Dialog teologis tidak dapat diabaikan apabila kita ingin membangun hubungan antar agama yang sejati, yang melahirkan persahabatan yang juga sejati. Sebab, mengambil contoh hubungan Islam-Kristen, selama hampir 500 tahun kedua agama samawi itu berhubungan dan bersahabat usai Perang Salib, namun pertemuan keduanya malah melahirkan banyak sekali problem teologis.100

Di kalangan Islam, dialog agama dimulai dengan pengembangan teologi inklusif-pluralis.Sumber teologis pertama adalah doktrin Islam itu sendiri yang inheren bersifat terbuka.Islam mengakui nabi-nabi terdahulu, dan membenarkan kitab-kitab suci yang dibawa oleh mereka.Apa yang secara popular disebut “Rukun

97 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, cet. V, 1999), hlm. 334.

98 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 216. 99Ibid., hlm. 224.

100 Seyyed Hossein Nasr, Dialog Kristen-Islam: Suatu Tanggapan terhadapa Hans Kung, (dalam PARAMADINA, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 1 no. 1, 1998), hlm. 34.

Iman” yang enam diantaranya adalah mengimani kitab-kitab suci agama lain yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu semisal Nabi Isa dan Nabi Musa.101

Dalam dialog teologis, yang penting sebenarnya adalah berbagi pengalaman keagamaan, bukannya berdebat apalagi berbantah-bantahan, yang justru dilarang oleh al-Qur’an. Perlu dicatat bahwa setiap pendialog tidak dibenarkan mengintervensi kebenaran teologis yang diyakini oleh umat agama lain, baik yang merupakan system keimanan maupun yang menjelma dalam berbagai ritus ibadahnya. Dalam setiap dialog, hendaknya jangan dibandingkan wawasan ideal kita dengan realitas praktis orang lain. Dalam dialog hendaknya kenyataan riil diperhadapkan dengan yang riil, dan prinsip ideal keagamaan dengan prinsip ideal keagamaan yang lain.102

Untuk itulah dialog agama tampaknya memang masih harus mengakomodasi batas-batas sesuai dengan keterbatasan jangkauan wilayah teologi itu sendiri, yang bersifat eksoteris (yang tampak). Kenyataan ini mempersiapkan wacana bagi lahirnya pendekatan lain yang lebih esoteris, yaitu dialog spiritual.103

4) Dialog Spiritual

Dialog spiritual bergerak dalam wilayah esoteris, yaitu “sisi dalam” agama-agama. Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama memiliki aspek lahir (eksoteris) dan aspek batin (esoteris).Sistem teologi dan ritus agama-agama merupakan sisi eksoteris. Sementara itu, pengalaman iman atau pengalaman akan Tuhan yang bersifat individual merupakan sisi esoteris dari agama.Dalam studi agama-agama, aspek esoterisme ini biasanya disebut dengan istilah mistik (mysticism). Dalam Islam, dimensi mistik ini diperkenalkan di dalam tradisi tasawuf.104

101 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 225.

102Leonard Swidler, Theoria Praxis: How Jews, Christians, and Muslims can Together Move from Theory to Practice, (Leuven: Peeters, 1998), hlm. 24-29.

103 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 230. 104Ibid., hlm. 230.

Pada dasarnya, pengalaman mistik atau sufistik ini adalah pengalaman “berjumpa” dengan Tuhan yang oleh kalangan Sufi disebut sebagai Sang Kekasih. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang paling manis di dalam hidup, yang bersifat sangat pribadi, dan tidak bisa diterangkan dengan kata-kata.105 Kendati demikian, menurut Nurcholish Madjid dan teman-temannya, Penulis Paramadina, pengalaman ini bisa dibagi (shared) dengan orang lain yang mengalami hal yang sama. Inilah yang menjadi titik masuk bagi dilakukannya dialog spiritual.

Dialog spiritual melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalism agama. Sebab sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sementara kaum sufi menyakini bahwa Tuhan hanya bisa dijumpai di tempat dimana tidak ada perpecahan. Perpecahan itu, kata Muhammad R.B. Muhayyadin, menjauhkan kita dari sifat-sifat Tuhan, dari keagungan-Nya, dari kekayaan-Nya, dari keadilan-Nya, dari ilmu pengetahuan-Nya, dari kebenaran-Nya, dan kedamaian-Nya. Orang-orang yang memiliki rasa perbedaan itu dalam dirinya, kata Muhayyadin lebih lanjut, tidak akan pernah menemukan kedamaian.106

Muhayyudin berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah satu, karena semuanya merupakan keturunan Adam. Lebih lanjut, semua kitab suci – Injil, Purana Hindu, Zend Avesta, Taurat, dan al-Qur’an – berisikan firman agung yang diwahyukan kepada para nabi-Nya. Jika kita memandang kitab-kitab suci itu dari luar, kata Muhayyadin, maka kita hanya melihat sebuah buku, tak lebih dari itu.Jika kita melihat dari dalam sampulnya, maka kita akan melihat halaman-halaman, huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat, dan cerita-cerita. Tetapi jika kita melihat sisi (isi) ke dalam batinnya, maka kita akan menemukan Allah, firman-firman Allah, tugas-tugas para nabi, perintah-perintah, kekuatan dan cahaya.

105Komaruddin Hidayat, Dialog Antar Iman, dalam Tragedi Raha Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1998)., hlm. 191.

106M.R. Bawa Muhayyadin, Tasawuf Mendamaikan Dunia, terj. dariIslam Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 56.

Para sufi menghayati dua macam cinta. Pertama, cinta yang bersifat lahir (‘isyq majazl), yaitu cinta kepada sesama manusia, hewan, flora, dan linkungan hidup pada umumnya yang tidak lain adalah makhluk Tuhan juga. Kedua, cinta yang bersifat batini atau hakiki (‘isyq haqiqi), yaitu cinta kepada Tuhan.Cinta kepada sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya merupakan “tangga” untuk sampai kepada cinta Tuhan.Dengan kata lain, manusia tidak bisa mencapai cinta Tuhan sebelum ia mampu mencintai sesama manusia dan makhluk Allah lainnya. Cinta semacam ini mengesampingkan batas-batas suku, ras, gender, dan agama.107

Beberapa contoh dialog dan pengembaraan spiritual yang dilakukan kalangan mistikus dikemukakan di sini sebagai gambaran bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan. Di dalam dunia Hindu, Sri Ramakrishnadan muridnya Swami Vivekananda adalah tokoh yang terkenal karena dialog dan pengembaraan spiritual mereka. Ramakrishna (1834-1886) adalah seorang mistikus Hindu yang sangat berani melakukan pengembaraan spiritual. Selain mempelajari dan mempraktekkan berbagai aliran dalam agamanya sendiri, ia mempelajari dan mempraktekkan pula agama-agama Budhisme, Kristen, dan Islam (Sufisme). Namun demikian, Ramakrishna tetap seorang Hindu.108

d. Dari Dialog ke Kerjasama

Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang sambung menyambung. Yang satu mengandalkan yang lain. Tidak ada kerjasama tanpa didahului oleh suatu dialog.Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama merupakan dialog setengah hati, bukan verbalisme (dalam arti mengatakan sesuatu merasa telah melakukannya).109

Di Indonesia, rintisan yang dilakukan berbagai lembaga dialog mulai pula mengarah pada aksi-aksi kolaboratif yang melibatkan berbagai kalangan agama. Mereka tidak berhenti hanya duduk-duduk

107Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 232. 108Ibid., hlm. 233-234

berdiskusi.Dalam konteks ini, terdapat sejumlah nama-nama lembaga yang menaungi kerjasama antar umat beragama, seperti Institute for Inter Faith Dialogue in Indonesia atau Dialog antar Iman di Yogyakarta dan Dialog Antar Agama atau MADIA di Jakarta. Kedua lembaga itu lahir untuk meresponi kebutuhan umat beragama akan dialog-dialog yang mungkin dilakukan di antara mereka.110

e. Bentuk-Bentuk Kerjasama

Ada banyak bentuk-bentuk dialog dan kerjasama, atau gabungan antar dialog dan kerjasama yang bisa dilakukan oleh kalangan lintas agama. Banawiratma menyebut bentuk dialog aksi bersama (dialogue in action), dimana aksi umat antar iman dan agama bersama-sama mentransformasikan masyarakat agar menjadi lebih adil, lebih merdeka, dan manusiawi, agar keutuhan ciptaan hidup dilestarikan.111

Contoh-contoh lain yang bisa dielaborasi ke dalam bentuk-bentuk kerjasama yang lain, yang belakangan ini juga mulai dirintis oleh beberapa kalangan Islam baik organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun secara individual melalui pertukaran gagasan. Wadah kerjasama itu sendiri bisa bermacam-macam.Diantaranya yang paling mudah dibentuk adalah aliansi antar agama untuk tujuan-tujuan spesifik sperti penangkalan narkoba, pemberantasan pornografi, memerangi minuman keras, penyantunan sosial, dan lain-lain.112

Berbagai macam tanggapan dan pendapat dari para ahli mengenai persolan-persoalan dalam Fiqih Lintas Agama.Namun, sangat jelas bahwa penekanan dan pengambilan istimbath hukum yang mereka kembangkan sangat memperhatikan konsep kemaslahatan dan maksud yang terkandung bagi penetapan suatu hukum.

Ada dua perkara yang mendasari faham inklusif-pluralis.Dua perkara tersebut sekaligus menjadi kritik atas fiqih tradisional (selain kritik yang telah

110Ibid., hlm. 238-239.

111B.J. Banawiratma, S.J., Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain, dalam Dialog: Kiritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), glm. 26-27.

disebutkan diatas), sehingga digagaslah Fiqih Lintas Agama.Pertama, premis doktrin sejagat (universal) Islam atau sering disebut misi rahmatan li al-‘alamin.Sebagaimana karya liberal sebelumnya, Alwi Shihab misalnya dalam bukunya Islam Inklusifmenjadikan tujuan meredam konflik antara umat beragama sebagai alasan agar penafsiran ulang dan dekonstruksi Syari’ah dapat dilakukan. Dengan meletakkan maqasid (tujuan) di atas maka kaum liberal beranggapan segala cara perlu dilakukan agar tujuan tersebut tercapai. Atas dasar ini langkah-langkah yang diambil adalah mengembalikan Syari’ah kepada maqasid, fiqh kepada usul al-fiqh.

Ibnul Qayyim Jauziyyah, dalam bukunya yang terkenal I’lam al-Muwaqqi’inmenyebutkan bahwadasar dan asas syari’at adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, baik di dunia ini, atau di akhirat nanti.Isi syariat itu adalah keadilan, kasih sayang, kemaslahatan dan kebijaksanaan.113 Oleh karena itu kerusakan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan bukan merupakan bagian dari syari’at, karena syari’at ditetapkan pasti untuk kemaslahatan.

Dalam khazanah Islam, pandangan tersebut sebenarnya sudah dijelaskan oleh konsep al-kulliyat al-khamsah, atau lima prinsip yang mendasari keseluruhan hukum dan ketentuan-ketentuan dalam Islam. Imam al-Syatibi menyebutnya sebagai al-dharuriyyat yaitu sejumlah nilai yang menjadi sebuah keharusan untuk tegaknya kemaslahatan.114Yaitu memelihara agama (hifzh al-din), memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara keturunan (hifzh al-nasab), memelihara akal (hifzhal-‘aql) dan memelihara harta (hifzh al-mal).

Ijtihad-ijtihad yang berkembang saat ini dan timbulnya kesadaran sebagian umat Islam untuk memikirkan kembali permasalahan fiqh agar dapat bertahan dengan kondisi yang selalu mengalami perubahan merupakan sisi positif bagi perkembangan hukum Islam.Namun yang harus selalu diperhatikan adalah sikap kehati-hatian dalam berijtihad dalam mengambil keputusan hukum agar tidak mengalami kesalahan dan penyimpangan.

Lalu pertanyaannya, apakah ada jalan keselamatan lain selain agama Islam, setelah agama Islam diturunkan?

113 Zuhairi Misrawi, Doktrin Islam Progresif, (Jakarta: LSIP, 2005) hlm. xi-xii

114Abu Ishak al-Syathibi, Al-muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth, Jilid 2), hlm. 62

Inti agama (din) dari seluruh rasul adalah sama, hal ini sesuai dengan Qur’an surat Asy Syura ayat 13, yang artinya,

“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama115 dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”

Dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang tunggal (hal ini sesuai dengan QS.Al-Anbiya’ ayat 92 dan QS.Al-Mukminun ayat 52).Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari, Rasulullah bersabda,“Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan di akhirat.Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.”116

Sementara din atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah yakni jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba dalam menuju kepada berbagai kebaikan.Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat kebenaran antara manusia itu (QS. Al-Maidah ayat 48).117

Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara keagamaan atau mansak (jamak manasik) mereka yang harus mereka laksanakan (QS. Al-Hajj ayat 35 dan 68).Berkaitan dengan hal ini adalah keterangan dalam Al-Qur’an bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik ‘orientasi’, tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Mekkah dengan Masjidil Haram dan

Dalam dokumen FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL. doc (Halaman 34-48)

Dokumen terkait