• Tidak ada hasil yang ditemukan

FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL. doc"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL

(KAJIAN ATAS FIQH LINTAS AGAMA)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk saling mengerti dan memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan eksperimentasi demokrasi, umumnya kelompok-kelompok nonmuslim seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan yang sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai “warga kelas dua”, meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran mereka sepenuh hati. Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang seolah-olah taken for granted, yaitu bahwa orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.1

Keyakinan semacam ini merembes pada penafsiran hukum atas ayat-ayat al-Quran yang membicarakan status orang-orang nonmuslim.Para fuqaha’ hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa point hukum fiqih yang tidak dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti kasus nikah antaragama dan harta warisan bagi keluarga yang tak seagama. Dalam hal ini, nonmuslim tidak diperbolehkan berhubungan dengan umat muslim karena perbedaan agama tadi. Sementara itu, ada pula masa ’il fiqhiyyah di mana baik umat muslim maupun non-muslim diperlakukan sejajar dan mendapat

1 Muhammad Latif Fauzi, Rekonstruksi Fiqih Inklusif-Pluralis

(2)

perlakuan hukum yang sama, seperti persoalan zakat dan kewajiban menaati penguasa (uli al-amr).2

Para fuqaha’ tidak menyamakan status hukum semua orang nonmuslim.Mereka menetapkan kategori-kategori tertentu yang memilah antara kaum nonmuslim yang ahl al-kitab maupun nonmuslim yang sepenuhnya musyrik. Sayangnya, kategorisasi itu-untuk konteks sekarang-belum cukup memadai untuk mewadahi pluralitas dan menjamin hubungan yang efektif antara kaum muslim dan nonmuslim sendiri. Ada dua alasan mendasar yang melatari.Pertama, kategori apakah seorang nonmuslim musyrik atau bukan yang dibuat para fuqaha’ masih didominasi oleh asumsi teologi skolastik yang melihat keimanan atau akidah orang-orang nonmuslim, tak terkecuali kelompok ahl al-kitab, sebagai bentuk penyimpangan (deviasi) dari kebenaran Islam, dan karena itu perlu “diluruskan”. Kedua, kategorisasi semacam ini telah mengabaikan munculnya komunitas-komunitas keberagamaan yang lebih kompleks dan beragam daripada sekadar pembedaan antara ahl al-kitab (Yahudi-Nasrani) dan musyrik yang dibuat para fuqaha’ abad pertengahan.3

Selain itu, menurut al-Jabiri, fiqih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutupi masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi, melainkan juga tidak mengakomodasi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis.Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan madzhab tertentu.4

Dalam problem fiqih era sekarang, adalah ketika dihadapkan pada pembahasan yang melibatkan golongan diluar komunitasnya, yaitu non-Muslim, apapun itu agama dan aliran kepercayaannya.Dalam hal ini fiqih klasik akan kehilangan dimensi universalnya. Fiqih lebih dulu menebar rasa benci dan curiga terhadap kepercayaan lain.

2Ibid.

3Budi Setiawan, Warga Negara dalam Intervensi Agama dalam M. AS. Hikam, Fiqih Kewarganegaraan(Intervensi Agama-Agama terhadap Masyarakat Sipil), (Jakarta: PB PMII, 2000), hlm. 53.

(3)

Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fiqih klasik, yaitu “musyrik”, “murtad”, dan “kafir”. Bila khazanah fiqih berpapasan dalam komunitas tersebut, maka sudah barang tentu fiqih akan memberikan “kartu merah” sebagai peringatan keras dalam menghadapi kalangan tersebut. Lalu pertanyaannya, kenapa watak fiqih klasik bisa seperti itu?Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan, sebagaimana dituduh banyak orientalis? Jika tidak, apa yang mesti kita lakukan guna menggali oase keislaman yang lebih mengedepankan semangat toleransi dan kebersamaan?5

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita harus berkerja keras dalam membaca kembali fiqih klasik.Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih, maka fiqih seakan-akan terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh pembacanya, sehingga fiqih menjadi ilmu yang tak terjamah secara mendasar. Padahal dari segi pemahamannya saja, fiqih berarti “pemahaman”. Dan proses pemahaman mengharuskan adanya dialektika dinamis antara teks dan konteks. Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman, melainkan sebagai respon faqih (ahli fiqih) terhadap problem zamannya. Dalam perkembangannya saat ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika serius antara lain: mapannya paradigm klasik dan lambannya upaya pembaruan, sehingga dengan mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan.6

Menyikapi hal-hal tersebut, fiqih perlu melakukan tafsiran ulang atas sumber-sumber normatif dalam menyikapi orang-orang nonmuslim, sekaligus mengangkat pesan universal Islam yang rahmatan lil alamin.Upaya ini akan membutuhkan kepedulian fuqaha’ untuk mencari jalan alternatif agar fiqih juga berperan dalam membangun kerukunan antar umat beragama.

Dalam buku Fiqih Lintas Agama atau disingkat FLA, merupakan buah pemikiran dari tim penulis dalam berbagai diskusi. Buku FLA bukan kumpulan

5Tim penulis Paramadina, Mun’im A. Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 2.

(4)

tulisan dari berbagai penulis, tetapi ditulis sebagai rangkuman dari hasil diskusi yang melibatkan ahli dengan latar belakang yang berbeda.

Pada pembahasan buku Fiqih Lintas Agama diawali dengan tema Pijakan Keimanan bagi Fiqih Lintas Agama.Pada bagian kedua, membahas Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam.Bagian kedua ini terdapat enam sub bab yaitu mengucapkan salam kepada non-muslim, mengucapkan “selamat natal” dan selamat hari raya agama-agama lain, menghadiri perayaan hari-hari besar agama-agama lain, doa bersama (doa antar agama), dan mengizinkan non-muslim masuk masjid.Pada bagian ketiga, Fiqih “menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama.Bagian ketiga ini terdiri atas sembilan sub bab, yaitu fiqih teosentris dan jebakan otoritarianisme, beberapa dilemma fiqih hubungan antaragama, konsep ahl al-dzimmah, konsep jizyah, kawin beda agama, waris beda agama, menuju fiqih yang peka terhadap pluralisme, Islam sebagai agama kemanusiaan, dan budaya menerima agama lain.Pada bagian keempat, membahas Meretas Kerjasama Lintas Agama.Bagian keempat ini terdiri atas lima sub bab, yaitu dari toleransi ke dialog, belajar dari ketegangan Islam-Kristen, bentuk-bentuk dialog agama (dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis, dialog spiritual), dari dialog ke kerjasama, dan bentuk-bentuk kerjasama.

Nurcholis Madjid, Komarudin Hidayat, dan teman-temannya yang tergabung dalam tim penulis Paramadina, berusaha untuk membuka pemikiran pembaca secara universal, untuk mengkritisi fiqih klasik dalam menjawab persoalan kekinian.Hal tersebut semata-mata untuk membangun kerukunan dan persaudaraan umat Muslim dengan kaum non-Muslim, dari berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi tim penulis Fiqih Lintas Agama?

2. Bagaimana kajian Fiqih Lintas Agama atas Fatwa Hukum Islam Liberal?

(5)

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui biografi singkat tim penulis Fiqih Lintas Agama.

2. Untuk mengetahui kajian Fiqih Lintas Agama atas Fatwa Hukum Islam Liberal.

BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Tim Penulis Paramadina 1. Nurcholish Madjid

Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, dan Guru Besar Bidang Pemikiran Islam. Nurcholish Madjid, atau yang lebih akrab disapa Cak Nur, merupakan alumni KMI Pesantren Modern Gontor, Ponorogo (1960) dan alumni IAIN Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan (1968). Meraih gelar doktor dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1984, dengan disertasi Ibn Taymiyya on Kalam dan Falsafa.Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina ini telah menerbitkan puluhan buku dalam beragam tema.7

2. Zainun Kamal

Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.Meraih gelar doktor di IAIN Jakarta pada tahun 1995, dengan judul disertasi Kritik Ibnu Taimia terhadap Logika Aristotels.Master (MA) dalam bidang filsafat, Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo, Mesir pada tahun 1985.Penulis di beberapa buku dan majalah. Sekarang dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta, FISIP Universitas Indonesia, UIJ, IIQ, PTIQ, STF Driyarkara, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Perguruan Tinggi Madina Ilmi Jakarta.8

3. Kautsar Azhari Noer

Guru Besar di UIN Jakarta, dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Paramadina.Beliau menulis banyak artikel ilmiah tentang perbandingan agama, filsafat, dan tasawuf di berbagai jurnal. Salah satu buku karyanya

(6)

adalah Ibn al-‘Arabi: Wahdat dalam Perdebatan yang diterbitkan oleh Paramadina, Jakarta pada tahun 1995.9

4. Budhy Munawar-Rachman

Direktur Pusat Studi Islam Yayasan Paramadina, juga pengajar filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina. Sebelumnya pernah bekerja sebagai Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan editor jurnal Ulumul Qur’an. Beliau merupakan alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan telah menyunting dan menulis beberapa buku diantaranya Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Islam Pluralis dan sekitar 15 artikel ilmiah dalam buku-buku mengenai pemikiran Islam, gender, dan pluralisme.10 5. Masdar F. Mas’udi

Wakil Katib ‘Am Syuriah PBNU, Anggota Komisi Ombudsman Nasional dan Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Beliau menamatkan S1 di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 1979. Pasca Sarjana Filsafat UI, Jakarta tahun 1997. Menulis sejumlah buku antara lain Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta tahun 1993,Islam dan Hak-hak Resproduksi Perempuan, Mizan tahun 1997 dan menulis artikel di media massa nasional: Kompas, Republika, Suara Pembaruan.

6. Zuhairi Misrawi

Intelektual muda NU, komnis dan peneliti pemikiran keislaman kontemporer. Lahir di Sumenep Madura, 5 Pebruari 1997. Beliau alumni Pondok Pesantren TMI al-Amien, Prenduan, Sumenep, Madura (1995).Menamatkan S1 di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 2000.Selama menjadi mahasiswa di Kairo pernah menjadi redaktur bulletin mahasiswa Terobosan, pemimpin redaksi Informatika dan Jurnal Oase.Pernah kuliah S2 di Program Studi Ilmu Politik, Universitas Indonesia.Aktivitas sehari-hari sebagai Koordinator Program Islam Emansipatoris, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).Pernah menjadi coordinator Program Kajian dan

9Ibid.

(7)

Penelitian Lakpesdam NU, dan kini menjadi redaktur Jurnal Tashwirul Afkar, Lakpesdam NU. Menulis di sejumlah Koran nasional, antara lain Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Republika, dan menjadi kontributor sejumlah buku, antara lainIslam Pribumi, Mendialogkan Agama dan Membaca Realitas yang diterbitkan oleh Airlangga tahun 2003, Begawan Jadi Capres (KPP, Paramadina, 2003), Syariat Islam Yes, Syariat Islam No yang diterbitkan oleh Paramadina tahun 2003. Selain itu, menulis artikel ilmiah di sejumlah jurnal, antara lain Jurnal Tashwirul Afkar, Jurnal Millah, Jurnal Postra, dan Jurnal Oase.11

7. Komaruddin Hidayat

Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta, meraih gelar doktor dalam bidang filsafat dari Middle East University, Ankara, Turki, Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Madania, Anggota Dewan Pembina Yayasan Paramadina, kini ketua Pawaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Pusat. Buku-buku yang sudah ditulisnya adalah Memahami Bahasa Agama yang diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 1996, Tragedi Raja Midas dengan penerbit yang sama di tahun 1999. Di samping menulis sejumlah buku, beliau juga produktif menulis artikel di berbagai media massa seperti Kompas, Republika, Koran Tempo, Majalah Tempo, Gatra, dan lain-lain.

8. Ahmad Gaus AF

Ketua Sidang Redaksi Penerbit Paramadina, Dewan Redaksi Mingguan PESAN, Program Officer untuk penelitian tentang Etnik dan Civil Society (INCIS-OTI-LP3ES) pada tahun 1998, terlibat dalam penelitian Fiqih Siyasah (P3M) pada tahun 1999, tim kreatif dan sekaligus sutradara tayangan “Kamera Demokrasi” di SCTV menjelang pemilu tahun 1999. Selain meredaksi puluhan buku, ia juga telah menulis ratusan artikel dan kolom menyangkut isu-isu politik kemahasiswaan, sastra budaya, politik nasional, sosial keagamaan, dan naskah untuk radio. Tulisannya sejak sekolah menengah, mahasiswa, hingga sekarang tersebar di berbagai media massa nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Karya,

(8)

Jayakarta, Terbit, Swadesi, Tabloid Salam, Tabloid Penta, Sinar pagi Minggu, Majalah Gatra, Panjimas, dan lain-lain.12

B. Fatwa Hukum Islam Liberal dalam Kajian Fiqih Lintas Agama

1. Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam

Sekalipun semua ajaran agama pada intinya sama dan satu, manifestasi sosio-kultural setiap agama secara historis berbeda-beda. Al-Qur’an menghendaki agar fenomena lahiriah tersebut tidak menghalangi usaha menuju titik temu antara semuanya. Jika pun rumusan linguistik dan verbal berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan dimensi sosial kemanusiaannya sama, karena semuanya menyangkut kerja nyata. Maka al-islam sendiri, menurut Nabi, paling tidak dinyatakan dalam aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum miskin atau mengusahakan perdamaian kepada semua orang tanpa kecuali.13

Kata Islam yang terdapat dalam al-Qur’an tidak dianggap sebagai nama bagi suatu agama tertentu, tapi sebagai kata kerja, yang mempunyai arti tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan arti general ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa semua agama pada dasarnya adalah agama Islam tanpa perlu memandang berbagai perbedaan yang ada. Allah berfirman,

  





“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab14 kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara

12Ibid.

13Ibid. hlm. 63

(9)

mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (QS. Ali Imran: 19)





“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).

Dalam perspektif buku Fiqih Lintas Agama, kedua ayat tersebut berarti perintah untuk memeluk “agama kepasrahan kepada Tuhan”, yakni agama yang meyakini adanya Tuhan dan memerintahkan para penganutnya untuk tunduk dan pasrah kepada-Nya. Ayat tersebut juga melarang atheisme dan penyembahan berhala.Seluruh agama yang telah mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan dapat masuk ke dalam kriteria Islam dalam ayat tersebut tanpa mempedulikan nama Tuhan dan “syari’ah” atau “minhaj” masing-masing agama itu.

Pada saat kehidupan manusia semakin plural, terasa semakin mustahil untuk menerima suatu kebenaran ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran kehanifan yang lapang warisan Ibrahim, bapak para Nabi.Inti ajaran tersebut adalah pencarian dan pemihakan kepada kebenaran, ketulusan dan kebaikan secara alami, dengan titik pusat pada paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid dan sikap pasrah kepada-Nya atau islam. Inilah yang mendasari berbagai seruan dalam al-Qur’an baik langsung maupun tidak langsung, kepada Nabi Muhammad saw untuk menangkap millat Ibrahim millat Ibrahim yang hanifdan muslim itu, seperti pada bagian buku yang pertama.15

Selain mengartikan Islam dengan arti agama ketundukan dan kepasrahan, buku Fiqih Lintas Agama juga memberikan arti baru bagi ajaran hanīfiyah Nabi Ibrahim yang dalam beberapa tempat disebut dengan istilah “agama kehanifan”.Istilah hanīfiyah berasal dari kata hanīfā yang disebut sepuluh kali dalam al-Qur’an.16 Salah satunya adalah ayat berikut:

15Tim penulis Paramadina, op. cit, hlm. 63.

(10)

  

 

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS Ali Imran: 67)

Lurus dalam hal ini berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Menurut buku Fiqih Lintas Agama, jika dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Ibrahim bukanlah Yahudi atau Kristen, maka maksudnya ialah bahwa dia tidaklah termasuk mereka yang pandangan keagamaannya sektarian dan komunal, dengan klaim-klaim eksklusif sebagai pemegang satu-satunya kebenaran. Lebih lanjut ditulis bahwa gaya keagamaan kaum Yahudi dan Kristen pada masa nabi itu dijadikan sebagai model sektarianisme dan komunalisme, suatu hal yang sesungguhnya dapat juga berlaku pada sebagian pemeluk agama-agama lain, termasuk kaum Muslim sendiri. Kaum Yahudi dan Kristen dijadikan model sektarianisme dan komunalisme dalam al-Qur’an karena kecenderungan sikap mereka pada zaman Nabi Muhammad yang menunjukkan hal itu. Mereka terbukti menolak Nabi dan sebagian dari mereka menilai Nabi dan para pengikut beliau sebagai golongan yang bakal celaka (tidak akan masuk surga).17

Pada bagian kedua dalam buku Fiqih Lintas Agama, tema yang diangkat adalah “Fiqh yang peka keragaman ritual meneguhkan inklusifisme Islam.”Sebagai kesinambungan bagian pertama, maka pada bagian kedua dijelaskan bahwa teologi pluralis membutuhkan fiqh pluralis.Fiqh hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqh pluralis.Fiqh ekslusivis hanya sesuai dengan teologi eksklusivis.Itulah sebabnya mengapa fiqh eksklusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis

(11)

anggotanya semakin meningkat. Fiqh yang sesuai dengan situasi ini adalah fiqh pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu.18

Adapun masalah-masalah yang dibicarakan pada bagian kedua adalah berbagai masalah keagamaan dalam hubungan antaragama dalam bidang ibadah dan muamalat, seperti mengucapkan salam kepada non-muslim, doa bersama (antaragama), mengucapkan selamat Natal dan selamat hari-hari raya agama-agama lain, mengizinkan orang non-muslim masuk masjid, mengizinkan orang non-muslim masuk kota Makkah dan Madinah, dan melaksanakan ibadah di tempat-tempat ibadah agama-agama lain.

a. Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim

Apa hukum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim? Pada awalnya para ulama berpendapat bahwa hukum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim adalah haram. Para ulama tersebut merujuk pada hadis Nabi, yang salah satunya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang menceritakan bahwa ada sekelompok orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mendatangi Nabi sambil mengucapkan “Assamu’alaikum” (“Kematian bagimu”, “Celaka bagimu”, “Kehinaan bagimu”). Kemudian Rasulullah menjawab, “Wa’alaikum” (“Bagimu (kematian)”).19

Alasan hadis-hadis yang meriwayatkan bahwa mengucap salam kepada orang non-Muslim adalah haram karena, pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan. Kedua, yang memulai mengucapkan salam penghinaan adalah orang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi terhadap Nabi adalah sikap kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan.20

Tetapi sikap Nabi akan terbalik jika sikap daripada orang non-Muslim tersebut akan mencerminkan sikap persaudaraan dan perdamaian bagi kaum Muslim. Seperti yang diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim, Nabi mengatakan bahwa, “Apabila Ahli Kitab mengucapkan

18 Tim penulis Paramadina, Mun’im A. Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 65.

(12)

salam, maka jawablah: Wa’alaykum.” Meskipun dalam hadis ini yang disebut adalah Ahli Kitab, tentu saja yang wajib dijawab oleh orang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga salam orang-orang non-Muslim lain.21

Merujuk pada peristiwa-peristiwa yang dijabarkan dalam buku FLA dan beberapa hadis, hukum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim adalah boleh. Mengucapkan salam kepada orang non-non-Muslim adalah untuk kemaslahatan, yaitu persaudaraan dan persahabatan. Orang non-Muslim dalam konteks ini adalah mereka yang mempunyai hubungan baik dan bersahabat dengan orang-orang Muslim.

b. Mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-Agama Lain

Apa hukum mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya agama-agama lain?

Banyak ulama berpendapat bahwa mengucapkan “Selamat Natal” dilarang oleh ajaran Islam.Di antara alasan larangan ini adalah bahwa mengucapkan “Selamat Natal” berarti membenarkan ajaran Kristen. Alasan lain adalah bid’ah. Alasan lain adalah menyerupai orang-orang kafir.22

Quraish Shihab menjelaskan, walaupun berkaitan dengan Isa al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat kristen yang pandangannya terhadap al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktifitas apapun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal.23

21Ibid., hlm. 72.

22Tim penulis Paramadina, op. cit., hlm. 80.

(13)

Seperti terlihat, larangan itu muncul dalam rangka upaya memelihara akidah.Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an.24

Apakah orang-orang Muslim yang mengucapkan ucapan “Selamat Natal” memahami dan menghayati ucapan itu?Apabila tidak, mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidak dilarang. Apakah ucapan “Selamat Natal” bagi orang-orang Muslim tidak lebih dari sekedar ucapan selamat untuk pergaulan dan persaudaraan seperti “Selamat Pagi”, “Selamat Siang”, “Selamat Sore”, dan “Selamat Ulang Tahun”, tanpa dihayati? Apabila ya, mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidal dilarang.Apakah ucapan “Selamat Natal” membuat orang-orang Muslim yang mengucapkannya percaya pada ajaran Kristen tentang Isa al-Masih? Apabila tidak, mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidak dilarang.Apakah ucapan “Selamat Natal” mendorong orang-orang Muslim yang mengucapkannya percaya bahwa Isa adalah Tuhan?Apabila tidak, mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidak dilarang.25

Tujuan mengucapkan “Selamat Natal” adalah yang terpenting hanya untuk persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan.Pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan adalah kemaslahatan.Dengan tujuan kemaslahatan tersebut tentu tanpa mengorbankan akidah.

Mengucapkan “Selamat Natal” untuk orang-orang Kristen diperbolehkan, dengan tujuan kemaslahatan tanpa mengorbankan akidah.

24Ibid.

(14)

Maka mengucapkan selamat hari raya kepada agama-agama lain juga diperbolehkan dengan tujuan yang sama pula.

c. Menghadiri Perayaan Hari-Hari Besar Agama-Agama Lain

Apakah ajaran Islam membolehkan atau melarang para penganutnya menghadiri perayaan hari-hari besar agama-agama lain?

Kembali kepada hukum mengucapkan “selamat” kepada orang non-Muslim pada hari-hari besar agama mereka, maka mengahadiri perayaan hari-hari besar agama lain juga diperbolehkan. Tentu saja tanpa mengorbankan dan mengubah akidah umat Muslim. Berkaca pada beberapa contoh pada buku ini antara lain, Presiden Palestina Yasser Arafat bersama istrinya Suha, menghadiri misa tengah malam di Gereja Saint Chatherine di Bethlehem, dan menghadiri Perayaan Malam Natal di Gereja Kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan mengikuti acara tarawih di masjid dekat gereja itu. Di gereja itu, Arafat berdoa untuk perdamaian.26

Ketua MPR RI Amien Rais menghadiri perayaan natal di Gereja Sentrum Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada Selasa, 19 Desember 2000.27KH Abdurrahman Wahid dan Ketua MUI

pernah menghadiri perayaan Waisak pada tanggal 26 Mei 2002 di Jakarta Convention Center (JCC).28 Menteri Agama Said Agil Husin

Al-Munawar termasuk contoh orang Muslim yang menghadiri perayaan Waisak Nasional 2547 di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada kamis, 15 Mei 2003, bahkan dia diminta untuk memberikan sambutan pada pertemuan itu.29

Dalam hal ini tujuan menghadiri perayaan hari besar agama lain bukanlah untuk membenarkan apa yang mereka yakini, tetapi lebih kepada ingin memperkokoh persaudaraan atau persatuan tanpa mengorbankan akidah. Dalam sambutannya, Menteri Agama Saud Agil Husin Al-Munawar menyampaikan bahwa persatuan antar agama

26 Kompas, 26 Desember 1999. 27 Kompas, 23 Desember 2000.

(15)

diperlukan untuk turut mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia, dalam hal ini tujuannya adalah untuk kemaslahatan.

d. Doa Bersama (Doa Antaragama)

Dalam menghadiri perayaan hari besar agama lain, tentu tidak terlepas dari doa bersama yang dilakukan. Di Indonesia, doa bersama sering dilakukan pada peringatan Hari Kemerdekaan (17 Agustus), Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 November).

Pada tingkat Internasional, doa bersama pernah dijumpai di Mesir yang mayoritas penduduknya adalah Muslim dalam acara Persaudaraan Keagamaan (al-Ikha’ al-Dini) bersama orang-orang Kristen. Pada akhir setiap pertemuan, semua peserta secara bersama membaca teks sebuah doa yang disusun oleh almarhum Syaikh Ahmad Hasan al-Baquri, yang semasa hidupnya pernah menjadi Menteri Wakaf Mesir dan Rektor Universitas al-Azhar.30 Contoh lain adalah doa bersama yang dilakukan

PBB pada perayaan ulang tahunnya yang ke 50 di Markas Besar di New York. Doa bersama itu diikuti oleh negara-negara anggota PBB, diantaranya adalah negara-negara yang pada umumnya mayoritas penduduknya adalah Muslim. Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan memimpin para hadirin dalam doa bersama itu.31

Doa bersama dalam pertemuan lintas agama itu dilakukan dengan dua cara. Pertama, setiap wakil dari masing-masing kelompok keagamaan, kepercayaan, dan spiritual membaca doa dengan caranya sendiri. Kedua, semua hadirin secara bersama membaca sebuah teks doa.32

Dalam hal ini, apa itu doa bersama? Bagaimana doa bersama itu dilakukan? Apa tipe-tipe doa bersama yang pernah dilakukan?

30 Christian van Nispen, Called to be Together in Front of God: The Spiritual Link Between Muslims and Christians, makalah disampaikan pada “Kursus Penataran Dosen Studi Agama-Agama tentang Hubungan Islam-Kristen,” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama-Agama-Agama-Agama (PSAA) Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, di Kaliurang, Yogyakarta, pada 21-25 Juli 1998, hlm. 6-7.

31Nicolas Jonathan Woly, Meeting at the Precincts of Faith: A Study on Twentieth Century Christian and Muslim Views on Interreligious Relationships and Its Impact on Missiology

(Kampen: Drukkerij van den Berg, 1998), hlm. 2-3.

(16)

Doa (Arab: du’a) dalam Islam adalah seruan, permintaan, dan permohonan, pertolongan, dan ibadah kepada Allah SWT supaya terhindar dari bahaya dan mendapat manfaat.33

Dalam konteks ini, doa bersama yang dilakukan adalah doa yang bertujuan untuk kemaslahatan seperti kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas, maka diperbolehkan. Baik yang memimpin doa tersebut adalah seorang Muslim maupun seorang non-Muslim selama doa yang dibaca tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Persoalan akan berbeda jika tujuan dari doa itu berbeda. Salah satu contohnya adalah orang-orang Muslin berdoa untuk orang-orang non-Muslim untuk memintakan ampun.Hal tersebut dilarang.Ibn Taimiyah mendukung pendapat ini.Ia mengatakan bahwa ciptaan yang paling utama adalah Muhammad, kemudian Ibrahim. Nabi Muhammad berhenti memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib, setelah datang teguran dari Allah,



  

  

   

“kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At Taubah: 80)

Firman Allah yang lain,

 

 

“dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At Taubah: 84)

(17)



    

“sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Munafiqun: 6)

           

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.” (QS. At Taubah: 113-114)

Pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, dipahami dalam konteks larangan berdoa untuk orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, khususnya yang telah meninggal.Dan perlu segera ditambahkan, bahwa tidak semua orang non-Muslim itu munafik dan musyrik.Di antara non-Muslim terdapat orang-orang yang yang bertauhid dan mempunyai hubungan baik dan bersahabat dengan Nabi dan orang-orang Muslim.Larangan berdoa untuk orang-orang-orang-orang non-Muslim yang bukan munafik dan bukan pula musyrik tidak dapat diterapkan.34

Nabi pernah berdoa ketika beliau tengah merasakan betapa beratnya beban dakwah Islam yang dipikulnya, beliau memohon agar salah satu di antara dua orang (Abu al-Hakam ibn Hisyam dan Umar ibn

(18)

al-Khtattab), untuk masuk Islam. Dan doa Nabi dikabulkan Allah, Umar, salah seorang dari mereka masuk Islam.35

Berhubungan dengan hal tersebut, boleh atau tidaknya berdoa untuk orang-orang non-Muslim adalah untuk tujuan kemaslahatan.Kemaslahatan selalu berkaitan dengan konteks kultural dan sosial. Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang munafik dan musyrik, khususnya yang telah meninggal, tidak berguna karena nasib mereka di akhirat tidak akan berubah dan mereka akan tetap masuk neraka. Berdoa untuk mereka adalah “mubazir”.Maka muncullah larangan berdoa untuk mereka.Bolehnya berdoa untuk orang-orang non-Muslim adalah untuk kemaslahatan.Seperti Nabi yang mendoakan Abu al-Hakam ibn Hisyam dan Umar ibn al-Khtattab, agar salah satunya masuk Islam adalah untuk membantunya berdakwah, dengan tujuan kemaslahatan.Berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang buka musyrik dan bukan munafik dibolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan.36 e. Mengizinkan Non-Muslim Masuk Masjid

Persoalan terakhir dalam bagian kedua buku Fiqih Lintas Agama adalah tentang mengizinkan non-Muslim masuk masjid.Dulu, sewaktu almarhum Buya Hamka masih hidup, banyak turis asing non-Muslim berkunjung ke Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan Nurcholish Madjid yang waktu itu masih menjadi mahasiswa (S1) di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selalu dimintai tolong oleh Buya membimbing turis-turis masuk ke masjid itu. Berbeda dengan pengalaman pada akhir 1960-an dan awal 1970-an yang diceritakan oleh Nurcholish Madjid itu, sekarang ini semakin banyak masjid yang tidak boleh dimasuki oleh orang-orang non-Muslim.37

Contoh lain masjid yang boleh dimasuki oleh orang-orang non-Muslim adalah Masjid al-Fajr, di Indianapolis, Indiana, Amerika Serikat.

38contoh paling menarik dan langka memperkenankan non-Muslim

35Ibid.

36Ibid., hlm. 102-103.

37 Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar”, dalam Komaruddin Hidayatdan Ahmad Gaus AF (ed),

Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerja sama denganYayasan Wakaf Paramadina, 1998), hlm. Xl

(19)

masuk masjid adalah kunjungan Paus Yohanes Paulus II dan rombongannya ke Masjid Ummayah, Damaskus, Syria. Ketika situasi hubungan politik antara Israel dan Syria tengah memanas, Paus Yohanes Paulus II melakukan kunjungan ke Damaskus.Sebuah fenomena yang menarik dan mempunyai makna yang mendalam dari kunjungan itu adalah bahwa untuk pertama kali dalam sejarah seorang pemimpin tertinggi umat Katolik Roma, yaitu Paus Yohanes Paulus II, masuk dan berdoa dalam Masjid Umayyah, pada hari Minggu, 6 Mei 2001.39

Peristiwa mengizinkan orang-orang Kristen masuk masjid dan melaksanakan kebaktian (salat) di dalamnya telah terjadi pada zaman Nabi Muhammad.Ketika Nabi telah menetap di Madinah, beliau dikunjungi oleh orang-orang Kristen dari Najran, sebuah negeri di wilayah selatan Jazirah Arab, yang berjumlah enam puluh orang.Ketika sampai di Madinah, mereka menuju masjid Nabi.Nabi dan para sahabat hendak melaksanakan salat Ashar.Mereka mengenakan pakaiana jubbah dan mantel Yaman.Ketika waktu kebaktian mereka tiba, mereka melakukan kebaktian di masjid Nabi.Dikatakan bahwa mereka memang diperkenankan oleh Nabi melaksanakan kebaktian di masjid itu.Mereka melaksanakan kebaktian dengan menghadap ke timur.Berdasarkan peristiwa itu, Ibn Qayyim al-Jauziyah membuat kesimpulan bahwa Ahli Kitab diperbolehkan masuk masjid dan bahkan boleh melaksanakan kebaktian di masjid asalakan tidak dijadikan kebiasaan rutin.40

Pada tahun pertama Nabi Muhammad tinggal di Madinah, jaminan kebebasan inilah yang pertama beliau berikan kepada semua umat beragama.Hal ini sesuai dengan Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Artinya, walaupun tidak bisa kompromi dalam objek dan cara penyembahan, tapi silakan saja secara bebas melakukan penyembahan dengan cara yang ada dalam keyakinan masing-masing.41

39Sabda, Edisi No. 05/Tahun IV/15 Mei-15 Juni 2001.

40 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma’ad (t.tp: Dar Iya al-Turats al-‘Arabi, t.th, edisi III), hlm. 49.

(20)

Pada tahun ke-9 hijrah, Allah menurunkan kepada Nabi Muhammad larangan terhadap kafir musyrik Quraisy memasuki Masjid al-Haram, dalam firmannya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor), sebab itu sesudah tahun ini (sembilan hijrah), janganlah mereka memasuki Masjid al-Haram ” (QS. At Taubah: 28). Ayat tersebut merupakan larangan yang tegas terhadapa kaum musyrikin Quraisy memasuki bahkan mendekato Masjid al-Haram.Larangan ini disebabkan sikap mereka yang selalu memusuhi bahkan memerangi Islam secara kejam dan zalim.Mereka disebut najis dan kotor karena mempercayai yang palsu, dongeng, dan kufarat, mempersekutukan Tuhan dengan benda-benda, patung-patung yang tidak mendatangkan manfaat dan menolak mudarat.Mereka memakan bangkai dan darah, serta bersenang-senang dengan judi dan zina.Mereka melakukan tawaf keliling Ka’bah dan Sai antara Safa dan Marwah tanpa busana, membaca talbiyah kepada tuhan-tuhan selain Allah.Karena itu mereka dilarang mendekati Masjid al-Haram, apalagi memasukinya.42

Mempertimbangkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, ataupun ijtihad para ulama dan penguasa, berdasarkan paham teologis, dan lainnya social politik, atas pertimbangan keamanan dan ketenangan tempat ibadah itu. Artinya, jika ada di antara non-Muslim yang akan memasuki rumah ibadah atau masjid dengan tujuan menodai dan merusak tempat suci itu mengancam ketenangan dan keselamatan umat Islam, maka dalam kondisi seperti itu larangan tidak boleh memasuki tempat suci adalah tepat diperlakukan kepada mereka.43

2. Fiqih “Menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama

Beberapa tawaran fiqih inklusif yang didiskusikan dalam bagian kedua, sejatinya menyadarkan kita betapa otentiknya ajaran-ajaran kedamaian dalam Islam.Nabi Muhammad saw sendiri sebagaimana dikemukakan terdahulu, telah memberikan banyak contoh perilaku hidup

42 Syekh Muhammad Abduh, Tafs Fathir al-Manar (Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.th, vol. 10), hlm. 275.

(21)

yang mengedepankan kerukunan dan toleransi demi menggapai keharmonisan otentik. Dalam sejarah Islam periode awal – yang sebagaimana dipertahankan oleh segelintir orang hingga sekarang –kita mendapatkan banyak suguhan narasi-narasi historis kelapangan Islam terhadap agama-agama lain, sehingga menginspirasi seorang sarjana Muslim untuk menulis buku berjudul Shuwar min Samahat al-Islam, yang berarti “Beberapa Potret dari Kelapangan Islam.”44

Dari sekian produk pemikiran klasik, fiqih menjadi ilmu keagamaan yang belum terjamah secara adil. Fiqih klasik merupakan satu-satunya bidang keilmuan yang bias bertahan untuk kurun waktu yang cukup lama, dan fiqih menjadi kebutuhan primer umat Islam. Kenyataan ini ditunjukkan oleh ketergantungan yang cukup besar terhadap fiqih.Namun hal yang menjadi refleksi keberagaman mutakhir, bahwa fiqih klasik yang dianggap “otoritatif” telah menghilangkan fungsi agama sebagai elan pembebasan dan pencerahan.Bahkan, kemunculan fiqih bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab disakralkannya doktrin keagamaan, dan lebih parah lagi, agama tidak bisa disentuh dengan pendekatan-pendekatan sosiologis dan antropologis.45

Cara pandang masyarakat Muslim terhadap fiqih, pertama, fiqih bagi banyak kalangan dianggap sebagai “ilmu inti” yang tak tersentuh.Kedua, fiqih menjadi “identitas keagamaan”.Penguasaan terhadap fiqih seringkali menentukan posisi seorang agamawan antara yang satu dengan yang lainnya.Ketiga, fiqih diimani sebagai penentu “keselamatan”, “kemenangan”, dan “kebahagiaan”.Klaim keselamatan (claim of salvation) seringkali ditentukan oleh sejauh mana keabsahan fiqih yang dipersepsikan mazhab tertentu.Dengan demikian, fiqih menjadi salah satu ilmu yang berpengaruh dan mempunyai gravitasi yang begitu kuat.Bukan hanya itu, fiqih telah membentuk masyarakat. Di sini kita dapat mengerti, bahwa fiqih bukan hanya sebagai ilmu yang mempunyai kekuatan kultural yang menggurita ke akar rumput, melainkan juga memuat kekuatan yang bersifat

44 Abdul Aziz Abdurrahman Ibn Ali Al-Rabi’ah, Shuwar min Samahah al-Islam, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1998)

(22)

structural, karena fiqih bisa menyedot massa yang begitu besar.Kebesaran intitusi keagamaan, seperti Al-Azhar dan NU bisa dikatakan sebagai berkah dan jasa besar fiqih.46

Hal-hal seperti itu melahirkan cara pandang bahwa seseorang yang ritual keagamaannya sempurna, maka keberislamannya sudah sempurna. Sebaliknya, mereka yang ritual keagamaannya biasa-biasa saja, maka keberislamannya selalu dipertanyakan.

Dalam bagian ketiga buku Fiqih Lintas Agama, yang akan dibahas berkaitan dengan kerja sama agama-agama adalah Fiqih Teosentris dan Jebakan Otoritarianisme, Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antaragama, Konsep Ahl al-Dzimmah, Konsep Jizyah, Kawin Beda Agama, Waris Beda Agama, Menuju Fiqih yang Peka terhadapa Pluralisme, Islam sebagai Agama Kemanusiaan, dan Budaya Menerima yang Lain.

a. Fiqih Teosentris dan Jebakan Otoritarinisme

Bahasan pertama pada bagian ketiga buku FLA, membicarakan bagaimana fiqih yang hanya terpusat pada Tuhan dan membuat umat Muslim yang terjebak dalam pengetahuan yang dijamin oleh satu sumber. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, keduanya digunakan sebagai Ushul Fiqih yang mengukuhkan Tuhan.Doktrin tersebut menjadi ‘korpus tertutup” yang tidak bisa diotak-atik, dan seluruh yang bertentangan dengan doktrin tersebut dianggap bid’ah, tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.Al-Qur’an dianggap sebagai satu-satunya jembatan untuk mengarungi samudra kebenaran.Seluruh penafsiran berkisar sekitar dua model, yaitu tekstualis dan ideologis.47

Lalu kita masuk dalam jebakan otoritarianisme.Fiqih dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berpikir.Kenyataan ini bisa dilihat dari munculnya sejumlah fatwa keagamaan yang secara eksplisit menolak pembaruan pemikiran.Fiqih yang bersifat teosentris, fatalistik, dan konservatif itu tidak hanya untuk menunjukkan kepatuhannya pada

(23)

Tuhan, akan tetapi di sisi lain digunakan sebagai batu loncatan untuk membentuk kekuasaan baru yang berpusat pada otoritas tunggal.48

Karena itu, kita mesti beranjak dari fiqih teosentris menuju fiqih antroposentris, yaitu fiqih yang menghindari perdebatan-perdebatan konyol, sebagaimana terlihat dalam perdebatan fiqih ala mazhab-mazhab besar. Fiqih antroposentris akan menghidupkan hakikat fiqih secara komprehensif, sebagaimana disuarakan kalangan Mu’tazilah dalam konsep al-‘adl wa al-tawhid, bahwa yang harus diutamakan adalah dimensi keadilan dan ketauhidan.49

Karena itu, studi atas kesejarahan fiqih merupakan keniscayaan yang harus dilalui guna menyingkap entitas fiqih. Tanpa proses tersebut sulit rasanya untuk melakukan diskoneksitas epistemologis sebagai metode untuk memperbarui fiqih. Memaknai fiqih dari teks-teks an sich hanya akan membentuk pemahaman yang fundamentalistik dan menggiring pada pemusatan fiqih sebagai entitas yang mesti diunggulkan dan diprioritaskan. Satu hal yang tidak bisa dibantah, bahwa fiqih sebagai teks merupakan produk budaya.Fiqih tidak bisa dipisahkan dari struktur dan sosio-kultur yang membentuk kognisi dan psikologi historis.Tiga abad pertama Islam (abad VII hingga IX M) adalah periode pembentukan fiqih.Konstruk fiqih sangat terkait dengan watak territorial, geografis, dan konteks sosial politik umat Islam.50

Fiqih merupakan sebuah proses, bukan hasil yang mesti disakralkan. Fiqih merupakan produk yang tidak bisa lepas dari sejarah.Dalam periode Mekkah dan Madinah terdapat dua corak yang berbeda dari karakter penggunaan symbol.Dan ini yang mesti dipahami secara mendalam, sehingga fiqih tidak terjebak dalam penjara masa lalu.51

b. Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antaragama

Pada bahasan kedua bab ketiga, Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antaragama. Diantara konsep yang dipedomani dan

(24)

dipertahankan para ulama fiqih dan belum mendapat perhatian serius untuk dicermati secara seksama, yaitu mengenai isu pluralism, terutama yang berkaitan dengan masalah hubungan mayoritas dengan minoritas, hubungan umat Muslim dengan non-Muslim.Dalam banyak kasus, fiqih masih terkesan menomorduakan non-Muslim. Bahkan bila ditanya, persoalan apa dalam tradisi fiqih yang mendapatkan penyelesaian secara adil? Tentu saja, jawabannya adalah fiqih hubungan antar agama.52

Persoalan ini memang cukup mendasar.Pertama, dikarenakan fiqih sengaja ditulis dalam masa yang mana hubungan antara Muslim dan non-Muslim tidak begitu kondusif. Nasr Hamid Abu Zaid menyebutkan, bahwa kitab-kitab klasik, baik ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu fiqih ditulis dalam sebuah zaman yang mana umat Islam sedang dalam menghadapi perang salib, sehingga diperlukan upaya strategis untuk mempertahankan identitas dan mengembalikan epistemology dalam kerangka “teks”.53

Kedua, fiqih ditulis dalam situasi internal umat Islam yang tidak begitu solid, sehingga amat dimungkinkan para penguasa mengguakan fiqih sebagai salah satu alat untuk mengambil hati masyarakat sehingga para ulamanya mendesain fiqih yang seolah-olah memberikan perhatian kepada umat Islam dan menolak kehadiran non-Muslim.54

Ketiga, adanya symbol-simbol keagamaan yang secara implisit menganjurkan sikap keras terhadap agama lain. Dalam banyak ayat, terutama bila dibaca secara harfiah, maka akan disimpulkan secara kaku dan rigid. Misalnya, ayat 120 surah al-Baqarah yang berbunyi, “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan membiarkanmu, sehingga kamu mengikuti agama mereka”. Jika ayat ini dipahami secara harfiah, maka sudah barang tentu akan menimbulkan kesan buruk terhadap agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen, dikarenakan seolah-olah kedua agama tersebut senantiasa datang untuk memaksa umat Islam agar memeluk kedua agama tersebut. Padahal ayat tersebut turun dalam hal perubahan arah kiblat dari Masjid Aqsa, Yerusalem ke Masjid

al-52Ibid., hlm. 143.

53 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’i, cetakan III, 1996), hlm. 11.

(25)

Haram, Makkah.Agama Yahudi dan Nasrani memilih utnuk mempertahankan tempat suci mereka.55

Fiqih hubungan antar agama merupakan problem serius yang dihadapi masyarakat modern.Klaim historis dan klaim tekstual bisa dijadikan alasan oleh sebagian ulama fiqih untuk menolak eksistensi non-Muslim dalam komunitas non-Muslim.Karenanya, kerumitan tidak hanya pada tataran tekstual, melainkan latar belakang historis dan kondisi objektif umat Islam yang seringkali memandang “kelompok lain” sebagai ancaman. Ada anggapan bahwa kemunduran umat Islam saat itu, tidak hanya disebabkan persoalan-persoalan internal umat Islam sendiri, akan tetapi juga masalah-masalah yang dikontruksi dari luar. Abid al-Jabiri menguatkan pandangan ini, bahwa tatkala Islam berada di masa kejayaannya, maka Barat merasakan betul dampak positifnya.Bahkan pencerahan Islam telah mengantarkan Barat ke pintu pencerahan.Tetapi sebaliknya, ketika Barat berada di uncak keemasannya, yang terkesan adalah bahwa Barat cenderung menghegemoni dunia Islam.56

Problem-problem tersebut telah mengakibatkan hubungan yang tidak baik antara Muslim dan non-Muslim, dan pada tahap selanjutnya fiqih pun terbawa arus besar cara pandang masyarakat Muslim.

c. Konsep Ahl al-Dzimmah

Salah satu dilema fiqih hubungan antar agama adalah Ahl al-Dzimmah.Konsep ahl al-dzimmah merupakan cikal bakal munculnya penomorduaan terhadap non-muslim.Dalam kitab-kitab fiqih, sebagaimana disinyalir Dr. Abdul Karim Zaidan57, ahl al-dzimmah adalah

komunitas non-Muslim yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah tanggung jawab dan jaminan kaum Muslim.Mereka mendapat perlindungan dan keamanan.Mereka juga mendapatkan hak hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas Muslim.58

55Ibid., hlm. 144.

56Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyasi al-‘Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, cetakan III, 1995), hlm. 19

(26)

Namun dalam kapasitasnya sebagai non-Muslim, ahl al-dzimmah tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana komunitas Muslim.Mereka tidak bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.Mereka tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota Majelis Permusyawaratan.Mereka tidak mempunyai hak suara, bahkan mereka diwajibkan membayar jizyah.Dalam kitab-kitab fiqih, ahl al-dzimmah merupakan kalangan yang dituntut dengan sejumlah kewajiban, tetapi tidak mendapatkan hak yang sejajar dan setara, sebagaimana komunitas Muslim.Atas dasar ini, ahl al-dzimmah sering disebut sebagai kelompok kelas dua (al-muwahin bi al-darajah al-tsaniyah).59

Pandangan para ulama fiqih terhadap ahl al-dzimmah telah mewarnai sikap kebanyakan umat Islam terhadap agama laim.Ahl al-dzimmah dianggap sebagai kelompok minoritas, dan karenanya harus tunduk kepada mayoritas.60

Secara politis, sikap kooperatif dan simpatik terhadap ahl al-dzimmah sebenarnya telah mendapatkan legalitas dalam Piagam Madinah, yaitu tatkala Rasulullah saw menyebut orang-orang non-Muslim (Yahudi dan Kristiani) sebagai ummatun wahidah, umat yang satu. Dan mereka berhak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya warga Muslim lainnya.61

Perlakuan diskriminasi terhadap ahl al-dzimmahsama sekali tidak dibenarkan. Apalagi dalam sebuah negara yang menganut system demokrasi, yang mana setiap warga negara mempunyai hak yang sama. Pluralisme dan multikulturalisme merupakan fenomena terkini yang tidak bisa dihindarkan, dan fiqih sejatinya dapat membawa pesan-pesan moralnya guna mengukuhkan semangat keberagaman tersebut.62

d. Konsep Jizyah

Dilema kedua yang dihadapi adalah konsep jizyah.Jizyahadalah pajak yang diberikan non-Muslim (ahli kitab) sebagai imbalan atas

58 Fahmi Huwaydi, Muwathinun la Dzimmiyyun, (Kairo: Dar el-Shorouq, cetakan III, 1999), hlm. 112.

59 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 146. 60Ibid.

61 Fahmi Huwaydi,op. cit., hlm. 25.

(27)

pembebasan mereka dari kewajiban untuk mempertahankan negara atau imbalan atas jaminan keamanan dan perlindungan mereka serta berbagai hak sipil sebagai warga negara yang sejajar dengan kaum Muslimin. Pandangan ini memiliki landasan normatif dalam al-Qur’an63, yang

berbunyi:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, orang-orang yang tidak mengharamkan hal-hal yang telah diharamkan Allah dan rasul-Nya, orang-orang yang tidak beragama dengan benar, yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sehingga mereka membayar jizyah dengan patuh, dan mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. Al-Ankabut: 29)

Ayat tersebut mempunyai latar belakang historis tertentu, yaitu perang.Dan karenannya, tidak bisa diberlakukan dalam situasi normal.Konsep jizyah merupakan konsep politik yang digunakan penguasa sebagai denda bagi mereka yang memerangi. Konsep jizyah merupakan salah satu cara yang digunakan al-Qur’an dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak.64

e. Kawin Beda Agama

Hal lain yang tak kalah rumit adalah hukum kawin beda agama. Dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar terhadap kawin beda agama. Para ulama terdahulu biasa melarang praktek kawin beda agama atau pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang menganut agama yang berbeda. Dalam kasus Islam berarti seorang Muslim dilarang menikah dengan non-Muslim. Larangan ini didasarkan pada firman Allah,

“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

63 Muhammad Galib, Ahli Kitab: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 180.

(28)

dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)

Menurut buku Fiqih Lintas Agama, pandangan ini tidak serta merta bisa dijadikan pandangan karena dalam ayat lain ditemukan paradigma lain tentang musyrik. Al-Qur’an secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan ahli kitab.65 Dalam

surat al-Baqarah ayat 205, Allah berfirman,

“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang kafir musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu…”

Dalam surat al-Bayyinah ayat 1, Allah juga menyebutkan,

“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Qur’an memakai kata penghubung “dan” (waw) antara kata kafir ahli kitab dan kafir musyrik.Ini berarti bahwa kedua kata ahli kitab dan musyrik itu mempunyai arti dan makna yang berbeda.66

Siap sebenarnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai orang musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh orang-orang Islam.Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah, tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli, disamping seorang nabi pun yang mereka percayai.Adapun ahli kitab adalah seorang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan.Sedangkan yang disebut orang-orang mukmin adalah orang-orang yang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari ahli kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.67

(29)

Dalam buku Fiqih Lintas Agama, alasan yang cukup mendasar tentang dibolehkannya orang Muslim menikah dengan wanita non-Muslim, yaitu ayat yang berbunyi,

“Hari ini telah dihalalkan kepada kalian segala hal yang baik, makanan ahli kitab dan makanan kalian juga halal bagi ahli kitab.Begitu pula wanita-wanita janda mukmin dan ahli kitab sebelum kalian.” (QS. Al-Maidah: 5)

Tentang dibolehkannya pernikahan dengan non-Muslim, terdapat beberapa sahabat Nabi yang menikahi perempuan Kristen dan Yahudi, antara lain Hudzayfah dan Thalhah.Khalifah Umar sempat berang dan marah tatkala mendengar kabar pernikahan tersebut.Sikap umar yang seperti itu sebenarnya bukan untuk mengharamkan pernikahan mereka, melainkan hanya khawatir.68Barangkali Umar khawatir bila

sewaktu-waktu para sahabat membelok dan masuk komunitas non-Muslim.Karena kedua tokoh tersebut (Hudzayfah dan Thalhah) merupakan yang menonjol pada zamannya.

Masalah sebaliknya adalah bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim diperbolehkan, bagaimana dengan sebaliknya?

Tidak ada teks dari al-Qur’an dan hadis yang memperbolehkan pernikahan itu. Umar ibn Khattab pernah mengungkapkan kekhawatirannya bila wanita-wanita Muslim dinikahi laki-laki non-Muslim, maka mereka akan pindah agama. Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihad dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu.Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan agama merupakan sesuatu yang dilarang.69

f. Waris Beda Agama

67Abu al-A’la al-Maududi, al-Islam fi Mawajahah al-Tahaddiyahal-Mu’assharah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1983), hlm. 112.

68Imam Muhammad al-Razi Fakhr al-Din ibn al-‘Allamah Dhiyah’u al-Din Umar, Tafsir al-Fakhr al-Razi al-Musytaharbi al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Gayb, (Beirut: Dar al-Fikir, 1995), hlm. 63.

(30)

Persoalan lain yang kalah rumitnya yaitu waris beda agama. System pemikiran fiqih yang sejak awal tidak memberikan celah pemikiran bagi non-Muslim sudah dipastikan, bila berhubungan dengan agama lain maka kesimpulan hukum yang diambil cenderung kaku dan keras. Ini dikarenakan cara pandang fiqih klasik terhadap non-Muslim sebagai kafir. Dan kafir, menurut ulama fiqih merupakan salah satu kelompok yang diharamkan untuk menerima dan memberi warisan (mawani’ al-irtsi). Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalah ayat yang berbunyi,70

“Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menundukkan (memusnahkan) orang-orang mukmin” (QS. An-Nisa’: 141).

Ibn Rusyd mengakui bahwa sebagian besar ulama melarang atau mengharamkan waris beda agama, terutama berdasarkan ayat diatas.71

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang Muslim mewarisi non-Muslim.Para ulama terbelah menjadi dua pendapat. Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang Muslim mewarisi seorang kafir, dan sebaliknya. Berdasarkan dalil di atas, Mazhab Syafi’i termasuk kelompok ini.Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang Muslim mewarisi seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang Muslim dengan wanita non-Muslim (Ahli Kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat AL-Maidah ayat 5. Yang termasuk dalam kelompok kedua antara lain Mu’adz ibn Jabal, Mu’awiyah, Sa’id ibn al-Musayyah dan Masruq.72

Sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab), dan menantu (shakhr), apapun agamanya.Yang menjadi tujuan utama adalah mempererat hubungan keluarga.73

70Ibid., hlm. 165.

71 Al-Imam Qadhi Abu Walid Muhammad Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rushd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat ak-Muqtashid (Dar el-Fikr, Jilid II, t.th), hlm. 264.

(31)

g. Menuju Fiqih yang Peka Terhadap Pluralisme

Melihat paradigma di atas, tentu saja terlihat secara kasat mata, bahwa terdapat problem yang sangat mendasar, kesenjangan antara fiqih dengan realitas kemanusiaan.Fiqih klasik, sepertinya tak mampu menjawab tantangan zaman. Dalam fiqih hubungan antar agama, sangat terlihat adanya kegagapan dalam melihat agama lain. Kritik yang sangat menonjol terutama mesti ditujukan kepada fiqih Mazhab Syafi’i. Karena kuatnya paradigma teosentris yang dipedomani Imam al-Syafi’i, terutama dalam konsep ahl al-dzimmah, maka terlihat sangat mendiskriminasikan agama lain.74

Islam lalu menjadi agama yang hanya menebarkan tali kasih saying bagi umatnya sendiri, sedangkan bagi agama lain senantiasa memunculkan kebencian dan kecurigaan. Pada titik ini, Islam akan menjadi agama yang shahih untuk dirinya sendiri (shalihun li nafsihy), akan tetapi tidak shalih untuk orang lain (ghayr shalihin li ghayrihy). Dan ini merupakan dampak negatif dan pemaknaan yang keliru terhadap konsep Islam sebagai relevan untuk seluruh ruang dan waktu (al-islam shalihun li kulli zamanin wa makanin).75

Benarkah Islam sebagai agama yang berasal dari sumber Yang Maha Pengasih, dan Maha Penyayang telah membawa pesan-pesan eksklusif, rigid, sarat dengan kekerasan dan menebarkan kebencian terhadap agama lain?

Langkah untuk menjawab permasalahan tersebut sebenanrnya telah diusung oleh sejumlah ulama, antara lain Imam al-Syathibi dalam mognum opusnya al-Muwafaqat, yaitu tatkala memulai upaya menangkap komitmen wahyu dan melakukan ijtihad baru sebagai upaya rekonstruksi atas orisinaltas (ta’shiil al-ushul), yang didasarkan pada nila-nilai universal dan tujuan umum fiqih dari pada hanya sekedar memahami fiqih dari lafadz partikultural atau menyimpulkan sebuah hukum dari lafadz yang problematis atau hanya anaologi sebuh peristiwa

(32)

atas peristiwa lain.76 Ibn Rusyd, filsuf Muslim asal Andalusis, juga

melakukan hal yang sama yaitu meletakkan rasionalitas (filsafat) sejajar dengan fiqih (agama).77Kesemuanya ini menjadi landasan paradigmatik

yang menjadi pijakan dalam pembaruan fiqih dan transformasi sosial. Fiqih telah berubah jenis kelamin, dari wataknya yang teosentris menjadi antroposentris dan progresif. Fiqih yang dipolitisasi hanya akan memantapkan kekuasaan. Sebaliknya, fiqih yang mendorong demokrasi, pluralisme, dan egalitarianism akan mendorong terbentuknya masyarakat yang adil dan berkeadaban. Mahmud Muhammad Thaha dalam The Second Message of Islam, mengutarakan pentingnya fiqih yang dapat membangun masyarakat, menciptakan kesetaraan politik melalui mekanisme demokrasi, mewujudkan kesetaraan ekonomi melalui sosialisme dan keteraan social dan menghapus diskriminasi dan kelas.78

h. Islam sebagai Agama Kemanusiaan

Secara generik, Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan dan keselamatan.Islam hadir di muka bumi dalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi social.Islam sebagai sumber moral dikarenakan karakter Islam yang metafisik dan humanis.Islam tidak hanya membawa ajaran yang bercorak vertical, namun juga membawa ajaran yang menekankan aspek horizontal.Muhammad Imarah menyebut Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan (Islam ilahiy al-mashdar wa insaniyyat al-maudlu).79Atas dasar ini, Islam tidak hanya

menjadi agama yang membawa wahyu ketuhanan, melainkan juga sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

76Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyas al-Araby (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-“Arabiyah, cetakan III, 1995), hlm. 56.

77 Ibn Rusyd, Fash al-Mawal fi ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ahmin al-Ittishal (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, cetakan III, 1999), hlm. 125.

78 Mahmud Muhammad Thaha, The Second Message of Islam. Terj. Nur Rachman, (Surabaya: eLSAD, 1996). Hlm. 223-236.

(33)

Secara kebahasaan, Islam sebenarnya mempunyia concern yang sangat mendasar terhadap perdamaian, keadilan, dan kemaslahatan.Pertama, perdamaian yang bercorak pasif.Artinya, bahwa setiap Muslim sejatinya menginternalisasikan kemaslahatan dalam jiwanya.Adanya keselamatan dalam setiap individu menjadi modal untuk menghayati dimensi kemanusiaan. Biasanya, keselamatan dalam jiwa tumbuh melalui proses ritualisme dan praktek-praktek peribadatan yang akan memperkukuh komitmen dan visi, bahwa manusia di hadapan Tuhan adalah sama, setara, dan sejajar.80

Kedua, perdamaian yang bercorak aktif.Artinya, bahwa setiap Muslim sejatinya dapat menebarkan kedamaian dalam kehidupan social yang pluralistic kemaslahatan tidak hanya milik personal, tetapi juga milik social yang bersifat impersonal dan transpersonal.Kehadiran Islam semestinya bisa mendamaikan di antara dua persengkataan, percekcokan, dan pertikaian.Islam juga memberikan resep dalam melakukan upaya keselematan semesti mendomani keadilan sebagai ukuran utamanya. Hakikat keimanan seseorang ditentukan sejauhmana ia bisa melakukan aksi-aksi keselamatan, sehingga apapun persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat bisa diselesaikan dengan jalan damai. 81

i. Budaya Menerima yang Lain

Secara normative, setiap Muslim dianjurkan mengucapkan salam perdamaian (al-salam ‘alaykum). Para ulama berpendapat, bahwa hukum menjawab salam adalah fardlu kifayah. Ini artinya, bahwa Islam mesti diinternalisasikan ke dalam jiwa setiap Muslim, sehingga perdamaian, keselamatan, dan kemaslahatan menjadi prinsip dan pijakan keberagaman setiap umatnya.Komitmen untuk membawa misi suci tersebut mendapatkan momentumnya tatkala Tuhan sendiri dalam ayat-ayat-Nya mempunyai sejumlah nama-nama indah (asma’ al-husna)

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya Prijono (1999) menjelaskan bahwa ada empat gangguan terhadap larva untuk membentuk pupa (kepompong) setelah memakan senyawa beracun yaitu, 1) larva

Jenis Cymodocea rotundata merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan di kedua Stasiun (Gambar 6), memperlihatkan nilai biomassa bawah untuk Stasiun 1 (Terbuka) 6,045 gbk/m 2

Peningkatan Pemahaman Pemeliharaan Kesehatan Tubuh Manusia Dalam Pembelajaran IPA Melalui Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (Penelitian Tindakan

Dalam perencanaan kampanye Tim Media dan Komunikasi Publik Partai Nasional Demokrat (Nasdem) membahas sosialisasi figur caleg, media yang digunakan dalam proses

Abdullah Saad, guna membahs keperluan dakwah yang ada di Surakarta, proses penambahan kader dakwah, kajian keilmuan, menjadi fokus komunitas ini, tempat berkumpul orang-orang

Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, setiap 3 bulan, kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya

Simulointi suoritettiin 1000 kasvukauden ajan ja paikkakohtaisilla maan ominaisuuksilla havaittiin olevan vaikutusta lohkon sisäiseen sadon vaihteluun.. Simuloinnissa käytettyjen

Dalam bidang pendidikan, walaupun pendidik seorang individu yang mempunyai kuasa autonomi tetapi dengan bantuan komputer proses P&P dapat ditingkatkan seperti membantu