TINJAUAN PUSTAKA
VO 2 max merupakan nilai maksimal oksigen yang dapat diambil, didistribusikan, dan dipakai oleh tubuh selama aktivitas fisik yang dinyatakan dalam ml
kg-1.mnt-1 yang didapat dari 20 metres shuttle run test
Status gizi merupakan keadaan tubuh yang diukur berdasarkan indikator indeks massa tubuh
Komposisi tubuh merupakan gambaran persentase lemak tubuh subjek secara keseluruhan.
Kenyamanan aktivitas fisik merupakan tingkat kenyamanan dalam beraktivitas fisik yang diukur menggunakan Physical Activity Enjoyment Scale (PACES).
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek meliputi usia, TB, BB, IMT, LP, LPi, RLPP, PLT, dan nilai VO2max pada Tabel 7. Subjek yang mengikuti penelitian ini sebanyak 30 orang dengan kisaran usia 18-19 tahun yang masuk dalam kategori remaja (WHO 1999). Subjek terbagi dalam 3 kelompok berdasarkan intervensi yang diberikan yaitu kelompok kontrol, Moderate Intensity Training (MIT), dan High Intensity Interval Training (HIIT). Rataan IMT pada kelompok kontrol, MIT, dan HIIT yaitu 29.43±2.97 kg.m-2, 29.77±2.52 kg.m-2, 27.21±1.25 kg.m-2. IMT ketiga kelompok tersebut menurut kategori WHO (2000) masuk ke dalam kategori obesitas tingkat 1. Sementara itu nilai LP kelompok kontrol sebesar 96.65±7.23 cm, kelompok MIT sebesar 97.60±5.80 cm, dan kelompok HIIT sebesar 91.85±6.06 cm. Ketiga kelompok berisiko komplikasi metabolik dan penyakit terkait obesitas karena memiliki LP>90 cm (Grundy et al. 2005).
Tabel 7 Karakteristik subjek menurut kelompok perlakuan Karakteristik Subjek Kelompok p Kontrol (n=10) MIT (n=10) HIIT (n=10) Usia (th) 18.3 ± 0.48 18.3 ± 0.48 18.4 ± 0.52 0.873 TB (cm) 170.02 ± 6.14 164.77 ± 2.86 170.11 ± 6.72 0.062 BB (kg) 85.15 ± 10.59 80.73 ± 5.94 79.04 ± 8.35 0.284 IMT (kg.m-2) 29.43 ± 2.97 29.77 ± 2.52 27.21 ± 1.25 0.057 LP (cm) 96.65 ± 7.23 97.60 ± 5.80 91.85 ± 6.06 0.159 LPi (cm) 107.1 ± 4.48 105.2 ± 5.98 102.9 ± 4.28 0.167 RLPP 0.90 0.04 0.93 ± 0.03 0.89 ± 0.01 0.065 PLT (%) 27.35 ± 3.40 26.45 ± 4.19 23.60 ± 2.78 0.050 VO2max (ml.kg-1.mnt-1) 33.13 ± 3.66 32.05 ± 2.73 35.15 ± 1.71 0.060
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan (Uji Anova, p≥0.05)
Rataan persen lemak tubuh (PLT) ketiga kelompok perlakuan yaitu kontrol (27.35±3.40%), MIT (26.45±4.19%), dan HIIT (23.60±2.78%). Menurut klasifikasi Gallagher et al. (2000), PLT ketiga kelompok perlakuan termasuk dalam kategori tinggi. Rataan nilai VO2max pada kelompok kontrol, MIT, dan HIIT secara berturut-turut 33.13±3.66 ml.kg-1.mnt-1, 32.05±2.73 ml.kg-1.mnt-1, dan 35.15±1.71 ml.kg-1.mnt-1. Nilai VO2max pada ketiga kelompok perlakuan termasuk dalam kategori buruk (David dan Samuel 2015).Hasil Anova sebelum intervensi dimulai menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p <0.05) pada usia, TB, BB, IMT, LP, LPi, RLPP, PLT, dan nilai VO2max menurut kelompok perlakuan. Hal ini berarti kondisi awal nilai VO2max, status gizi, dan komposisi tubuh pada subjek sama sehingga kondisi awal tidak menjadi faktor perancu dalam proses intervensi.
24
Kebiasaan Olahraga
Kebiasaan olahraga dinilai berdasarkan jenis, frekuensi, dan durasi olahraga (Maclaren dan Morton 2012). Kebiasaan olahraga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi tubuh sehingga meningkatkan kebugaran. ACSM (2014) menganjurkan untuk melakukan olahraga sebanyak tiga kali per minggu minimal 30 menit agar tubuh tetap bugar. Kebiasaan olahraga subjek disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kebiasaan olahraga menurut kelompok perlakuan
No Kebiasaan olahraga Kategori Kelompok Total
Kontrol MIT HIIT
n % n % n % n % 1 Kebiasaan Ya 3 30.0 5 50.0 5 50.0 13 43.3 Tidak 7 70.0 5 50.0 5 50.0 17 56.7 2 Jenis Bulu tangkis/sepeda 0 0.0 0 0.0 2 20.0 2 6.7 Basket/futsal 3 30.0 4 40.0 3 30.0 10 33.3 Jogging 0 0.0 1 10.0 0 0.0 1 3.3 3 Frekuensi 1 kali 3 30.0 4 40.0 3 30.0 10 33.3 2-3 kali 0 0.0 1 10.0 2 20.0 3 10.0 setiap hari 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 4 Durasi <1 jam 0 0.0 1 10.0 2 20.0 3 10.0 1-2 jam 3 30.0 4 40.0 3 30.0 10 33.3 Berdasarkan Tabel 8 diketahui sebesar 56.7% subjek tidak memiliki kebiasaan olahraga dan 43.3% memiliki kebiasaan olahraga. Sebagian besar subjek pada ketiga kelompok menyukai olahraga futsal dibandingkan dengan jenis olahraga lainnya. Subjek yang memiliki kebiasaan olahraga rata-rata melakukan olahraga sebanyak 1 kali dalam seminggu selama 1-2 jam. Hal ini sejalan dengan penelitian Gifari (2015) yang menunjukkan bahwa sebagian besar remaja masih belum terbiasa olahraga teratur. Sebagian besar subjek dalam penelitian ini beralasan bahwa jadwal yang terlalu padat selama kuliah yang membuat mereka jarang berolahraga. Padahal latihan yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes, hipertensi, kelebihan berat badan dan persen lemak tubuh serta meningkatkan produktivitas kerja (WHO 2008).
Tingkat Kecukupan Gizi
Banyak teori yang menyatakan bahwa energi berperan penting terhadap aktivitas fisik. Kebutuhan energi meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas fisik. Jumlah energi yang dibutuhkan disesuaikan dengan jenis, intensitas, dan durasi aktivitas fisik yang dilakukan. Latihan Moderate Intensity Training (MIT) dan High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan jenis aktivitas fisik yang memerlukan energi yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan selama latihan. Data konsumsi pangan dinilai sebelum dan sesudah intervensi melalui food recall
25 2x24 jam. Data yang dianalisis adalah energi dan zat gizi makro. Asupan energi dan zat gizi menurut kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Asupan dan tingkat kecukupan gizi menurut kelompok perlakuan
Zat Gizi Kelompok p
Kontrol MIT HIIT
Sebelum Asupan Energi (kkal) 2 385 ± 302 2 270 ± 184 2 348 ± 228 0.566 Protein (g) 65.82 ± 11.03 62.34 ± 16.66 53.26 ± 10.35 0.102 Lemak (g) 121.14 ± 32.40 112.18 ± 18.65 119.81 ± 26.76 0.721 Karbohidrat (g) 263.43 ± 59.38 26.45 ± 4.19 267.78 ± 39.18 0.786 Tingkat Kecukupan Gizi
Energi (%) 89.18 ± 11.30 84.89 ± 6.90 87.77 ± 8.54 0.568 Protein (%) 99.7 ± 16.75 94.42 ± 25.26 80.69 ± 15.68 0.103 Lemak (%) 136.09 ± 36.40 126.02 ± 20.95 134.59 ± 30.08 0.720 Karbohidrat (%) 71.57 ± 16.13 68.90 ± 10.80 72.75 ± 10.64 0.790 Sesudah Asupan Energi (kkal) 2 428 ± 244 2 304 ± 93 2 309 ± 235 0.319 Protein (g) 58.21 ± 8.91 61.54 ± 9.73 63.39 ± 15.67 0.616 Lemak (g) 126.07 ± 30.45 116.67 ± 16.28 115.79 ± 21.65 0.563 Karbohidrat (g) 268.37 ± 27.31 253.49 ± 39.74 255.40 ± 49.83 0.615 Tingkat Kecukupan Gizi
Energi (%) 90.78 ± 9.15 86.13 ± 3.49 86.33 ± 8.80 0.318 Protein (%) 88.18 ± 13.49 93.22 ± 14.74 96.00 ± 23.74 0.618 Lemak (%) 141.64 ± 34.20 131.05 ± 18.27 130.07 ± 24.35 0.562 Karbohidrat (%) 72.92 ± 7.42 68.25 ± 10.94 69.41 ± 13.54 0.615
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan (Uji Anova, p≥0.05)
Berdasarkan hasil Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan (p>0.05) asupan energi dan zat gizi sebelum dan sesudah intervensi menurut kelompok perlakuan. Asupan energi pada ketiga kelompok sebelum intervensi yaitu 2 385±302 kkal, 2 270±184 kkal, dan 2 348±228 kkal. Sedangkan asupan energi sesudah intervensi kelompok kontrol, MIT, dan HIIT yaitu 2 428±244 kkal, 2 304±93 kkal, dan 2 309±235 kkal. Asupan lemak pada ketiga kelompok perlakuan tergolong tinggi karena >120%. Selama intervensi khususnya kelompok MIT dan HIIT tidak terdapat perubahan pola makan atau kecenderungan untuk menurunkan asupan yang dapat membuat bias hasil penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan energi defisit ringan namun tingkat kecukupan lemak masih berlebih sehingga perlu upaya lebih untuk menurunkan konsumsi makanan sumber lemak. Hal ini dikarenakan sebagian besar subjek suka mengonsumsi makan tinggi kandungan lemak seperti gorengan dan fast food. Kelebihan asupan lemak yang berlebih akan berisiko terhadap berbagai penyakit degeneratif sehingga diperlukan strategi dalam pengaturan pola makan dan aktivitas fisik yang teratur. Latihan akan meningkatkan aktivitas fisik dan penggunaan lemak sebagai energi. Selama latihan
26
berkepanjangan, penggunaan karbohidrat sangat tinggi pada awal latihan. Kemudian apabila latihan diteruskan, lemak lebih banyak mensuplai adenosine triphospate (ATP) agar otot dapat terus bekerja. Seseorang yang melakukan latihan aerobik dapat menggunakan lemak sebagai energi dalam melakukan latihan, simpanan lemak mensuplai 50-60% kebutuhan energi.
Pengaruh Intervensi Latihan terhadap Nilai VO2max
Latihan merupakan jenis aktivitas fisik yang dapat meningkatkan kebugaran aerobik (VO2max). Latihan dengan intensitas sedang sampai berat diketahui memiliki banyak manfaat kesehatan. Peningkatan nilai VO2max dengan melakukan latihan bermanfaat dalam hal perbaikan status gizi, komposisi tubuh, dan meningkatkan fungsi vaskular (Hopkins et al. 2009). Perubahan nilai VO2max menurut kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Perubahan nilai VO2max sebelum dan sesudah intervensi
VO2max Kelompok P
Kontrol MIT HIIT
Sebelum 33.13 ± 3.66a 32.05 ± 2.73a 35.15 ± 1.71a 0.058 Sesudah 32.93 ± 3.67a 35.47 ± 2.93a 38.71 ± 1.98b 0.002*
VO2max -0.20 ± 0.39 a 3.42 ± 1.35 b 3.55 ± 1.37 b 0.001*
*Hasil telah di adjusted dengan kovariat asupan energi. Huruf yang berbeda pada perlakuan yang lain menunjukkan perbedaan yang nyata. Berbeda nyata (p<0.05).
Hasil Ancova menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan (p<0.05) intervensi latihan terhadap nilai VO2max. Terjadi peningkatan nilai VO2max pada kelompok MIT dan HIIT sedangkan kelompok kontrol mengalami penurunan. Kelompok HIIT memiliki rata-rata peningkatan nilai VO2max terbesar (3.55±1.37 ml.kg-1.mnt-1). Hal ini berarti baik MIT dan HIIT memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan nilai VO2max. Jika diurutkan nilai VO2max dari terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah kelompok HIIT (38.71±1.98 ml.kg-1 mnt-1), MIT (35.47±2.93 ml.kg-1 mnt-1), dan kontrol (32.93±3.67 ml.kg-1 mnt-1). Tingkat kebugaran kelompok HIIT meningkat dari buruk menjadi biasa.
Hasil ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menggunakan intervensi latihan dengan intensitas berat menunjukkan terjadi peningkatan kebugaran aerobik (VO2max) pada remaja obes (Gutin et al. 2002; Heydari et al. 2012; Starkoff et al. 2014). Latihan intensitas tinggi dapat berkontribusi lebih besar pada kemampuan untuk memompa jantung sehingga dapat meningkatkan curah jantung dan selanjutnya meningkatkan VO2max (Aires et al. 2010; Ciolac et al. 2010; Tjonna et al. 2008). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa HIIT terbukti efektif untuk meningkatkan kebugaran aerobik (VO2max) sebesar 6-8% (Helgerud et al. 2007). Hasil penelitian pada remaja di Indonesia juga menunjukkan bahwa pemberian intervensi latihan dapat meningkatkan VO2max (Alfian 2012; Pradana 2014).
Penelitian Tjonna et al. (2008) menunjukkan bahwa intensitas latihan merupakan faktor penting untuk meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max menunjukkan kerja sistem kardiorespiratori yang lebih efisien sehingga dapat
27 melakukan aktivitas fisik yang lebih lama (ACSM 2009). Hasil systematic review beberapa penelitian merekomendasikan bahwa seharusnya anak remaja mengakumulasikan 60 menit/hari untuk melakukan latihan (Janssen dan LeBlanc 2010). Literatur lain menyebutkan bahwa latihan intensitas berat dilakukan setidaknya 3x/minggu dengan durasi berkisar 20-60 menit/hari (Nieman 2011).
Pengaruh Intervensi Latihan terhadap Status Gizi dan Komposisi Tubuh Latihan diketahui dapat memperbaiki status gizi dan komposisi tubuh. Status gizi dan komposisi tubuh subjek dalam penelitian ini diukur secara antropometri. Antropometri merupakan pengukuran berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh pada tingkat usia dan status gizi yang berbeda. Pengukuran status gizi melalui pengukuran antropometri digunakan secara luas pada tingkat individu maupun populasi (Gibson 2005). Perubahan status gizi dan komposisi tubuh menurut kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Perubahan status gizi antropometri dan komposisi tubuh sebelum dan sesudah intervensi
Status Gizi Kelompok p
Kontrol MIT HIIT
Antropometri BB (kg) Sebelum 85.15 ± 10.59 a 80.73 ± 5.94 a 79.04 ± 8.35 a 0.284 Sesudah 86.51 ± 11.01 a 77.18 ± 5.86 b 75.67 ± 8.53 b 0.019* BB 1.36 ± 1.11 a -3.55 ± 2.27 b -3.37 ± 1.58 b 0.001* IMT (kg.m-2) Sebelum 29.43 ± 2.97 a 29.77 ± 2.52 a 27.21 ± 1.25 a 0.057 Sesudah 29.87 ± 3.08 a 28.47 ± 2.71 b 26.07 ± 1.45 b 0.014* IMT 0.44 ± 0.38 a -1.30 ± 0.80 b -1.14 ± 0.51 b 0.001* RLPP Sebelum 0.90 ± 0.04 a 0.93 ± 0.03 a 0.89 ± 0.01 a 0.065 Sesudah 0.91 ± 0.04 a 0.92 ± 0.03 a 0.88 ± 0.01 a 0.105 RLPP 0.01 ± 0.00 a -0.01 ± 0.00 a -0.01 ± 0.04 a 0.075 Komposisi Tubuh PLT (%) Sebelum 27.35 ± 3.40 a 26.45 ± 4.19 a 23.60 ± 2.78 a 0.050 Sesudah 28.21 ± 3.17 a 23.64 ± 3.67 b 21.16 ± 2.59 b 0.001* PLT 0.86 ± 0.60 a -2.81 ± 1.72 b -2.44 ± 1.45 b 0.001*
*Hasil telah di adjusted dengan kovariat asupan energi. Huruf yang berbeda pada perlakuan yang lain menunjukkan perbedaan yang nyata. *berbeda nyata (p<0.05)
Berdasarkan Tabel 11, hasil Ancova sesudah latihan menunjukkan bahwa penurunan BB pada kelompok MIT dan HIIT berbeda signifikan dengan kelompok kontrol (p<0.05). Penurunan BB pada kelompok MIT (3.55±2.27 kg) cenderung lebih besar dibandingkan kelompok HIIT (3.37±1.58 kg). Namun, tidak terdapat
28
perbedaan yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Tjonna et al. (2008) dan Araujo et al. (2012) yang menunjukkan penurunan BB yang signifikan pada kelompok latihan intensitas sedang dan berat. Perhitungan BB saja tidak dapat digunakan sebagai indikator status gizi, sehingga diperlukan perhitungan IMT untuk menentukan status gizi seseorang.
IMT mengindikasikan berat tubuh terhadap tinggi tubuh seseorang. IMT digunakan sebagai suatu ukuran untuk menentukan status kegemukan dan obesitas. Kelebihan pengukuran IMT adalah mudah, cepat, dan tidak bersifat invasif (Gibson 2005). Hasil Ancova sesudah latihan menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap IMT. Penurunan IMT pada kelompok MIT dan HIIT berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Penurunan IMT pada kelompok MIT lebih besar (1.30±0.80) dibandingkan kelompok HIIT (1.14±0.51), sedangkan kelompok kontrol mengalami peningkatan BB (0.44±0.38). Penelitian mengenai intervensi latihan intensitas sedang dan berat pada remaja obes menunjukkan penurunan IMT yang signifikan pada kedua kelompok tersebut (Araujo et al. 2012). Hasil penelitian lainnya pada remaja oleh Buchan et al. (2011) juga menunjukkan penurunan nilai IMT yang signifikan setelah melakukan latihan intensitas sedang dan berat.
Hasil penelitian Slentz et al. (2004) pada subjek obes menunjukkan bahwa latihan dapat mencegah kenaikan berat badan tanpa perubahan dalam diet dan cenderung menurunkan berat badan. Fakta menunjukkan bahwa IMT pada kelompok kontrol cenderung naik, sedangkan 2 kelompok lainnya (MIT dan HIIT) mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan kelompok kontrol mengalami keseimbangan energi positif yang berkelanjutan dan latihan dapat membalikkan kondisi ini. Keseimbangan energi negatif yang berkelanjutan terjadi pada kelompok MIT dan HIIT. Temuan ini sesuai dengan teori kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan pada kelompok kontrol diduga karena ketidakseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi.
RLPP merupakan metode sederhana untuk membedakan penumpukan jaringan lemak pada tubuh bagian atas (pinggang dan abdominal) dan jaringan lemak pada bagian bawah (pinggul dan pantat). RLPP yang tinggi berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit terkait obesitas dan sindrom metabolik, terutama pada penumpukan jaringan lemak viseral (Gibson 2005). Kelompok kontrol dan MIT berisiko mengalami komplikasi metabolik karena memiliki RLPP ≥0.90. Hasil Ancova menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan RLPP. Namun, terdapat kecenderungan penurunan RLPP pada kelompok MIT (0.01±0.00) dan HIIT (0.01±0.04) dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini sejalan dengan penelitian Tjonna et al. (2008) yang menunjukkan perubahan RLPP yang tidak signifikan pada kelompok perlakuan. Hal ini diduga karena latihan yang digunakan dalam penelitian ini bukan merupakan latihan yang spesifik untuk mengurangi lemak di daerah pinggang dan pinggul.
Pengukuran PLT digunakan untuk membedakan antara massa lemak tubuh dan massa bukan lemak tubuh. Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, bentuk tubuh dapat memengaruhi persentase lemak tubuh. Penurunan PLT pada kelompok MIT dan HIIT berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Namun, jika penurunan PLT pada kelompok MIT dibandingkan dengan HIIT maka tidak terdapat perbedaan yang nyata meskipun ada kecenderungan penurunan PLT yang lebih besar pada kelompok MIT. Penurunan PLT pada kelompok MIT lebih besar (2.81±1.72 %) dibandingkan kelompok HIIT (2.44±1.45 %). Penelitian Heydari et
29 al. (2012) menunjukkan bahwa HIIT yang dilakukan selama 12 minggu terbukti signifikan menurunkan persen lemak tubuh. Perubahan PLT yang baik biasanya diikuti dengan penurunan IMT. Hasil penelitian lainnya oleh Buchan et al. (2011) juga menunjukkan penurunan PLT pada remaja setelah melakukan latihan intensitas sedang selama 7 minggu. Penelitian lain oleh Irving et al. (2008) juga menunjukkan HIIT selama 3 bulan dapat menurunkan total massa lemak sebesar 2 kg, lemak viseral sebesar 17%. Hasil penelitian pada laki-laki gemuk dan obesitas menunjukkan bahwa terjadi penurunan PLT yang signifikan pada subjek yang diberikan latihan intensitas sedang dan berat (Fisher et al. 2015).
Sumber energi utama saat latihan tergantung pada intensitas dan durasi. Energi yang digunakan saat latihan terdiri dari PCr (phosphocreatine), karbohidrat, dan lemak. PCr digunakan oleh tubuh pada durasi latihan yang relatif singkat yaitu 1-10 detik. Peningkatan durasi latihan akan menjadikan lemak menjadi sumber energi utama. Hal ini terjadi karena perubahan hormonal yang mengakibatkan perubahan penggunaan karbohidrat menjadi lemak sebagai sumber energi selama latihan. Perubahan ini terjadi pada durasi latihan yang dilakukan lebih dari 20 menit. Pemecahan lemak sebagai sumber energi selama latihan lebih efektif pada olahraga aerobik (MacLaren dan Morton 2012).
Pengaruh Intervensi Latihan terhadap Kenyamanan Aktivitas Fisik Rendahnya aktivitas fisik merupakan masalah yang terjadi pada kalangan remaja. Tingginya prevalensi remaja yang kurang beraktivitas fisik mengakibatkan perlunya identifikasi hubungan aktivitas fisik saat remaja dan kemudian merancang intervensi untuk meningkatkan aktivitas fisik. Salah satu komponen yang dikaitkan dengan aktivitas fisik adalah kenyamanan. Kenyamanan dapat digambarkan sebagai keadaan positif yang merefleksikan perasaan seperti kegembiraan, keinginan, dan menyenangkan. Kenyamanan aktivitas fisik dinilai dengan menggunakan Physical Activity Enjoyment Scale (PACES) (Motl et al. 2001). Perubahan nilai PACES menurut kelompok perlakuan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Perubahan nilai PACES sebelum dan sesudah intervensi
PACES Kelompok p
MIT HIIT
Sebelum 50.60 ± 6.62 50.40 ± 3.89 0.935 Sesudah 54.90 ± 6.47 58.30 ± 1.45 0.174
PACES 4.30 ± 0.95 7.90 ± 1.97 0.001*
*Paired sample t-test, p<0.05
Berdasarkan Tabel 12, hasil paired sample t-test menunjukkan bahwa terdapat terdapat perbedaan selisih nilai PACES yang signifikan (p<0.05) antar perlakuan. Perlakuan berpengaruh signifikan terhadap kenyamanan aktivitas fisik. Peningkatan nilai PACES lebih besar terjadi pada kelompok HIIT (7.90±1.97) dibandingkan kelompok MIT (4.30±0.95). Hasil ini sejalan dengan penelitian penelitian Salmon et al. (2003) yang menunjukkan bahwa kenyamanan aktivitas fisik berkorelasi dengan tingginya tingkat aktivitas fisik. Penelitian Sorensen
30
(2005) menunjukkan bahwa kenyamanan aktivitas merupakan faktor paling kuat terhadap tingkat aktivitas fisik dan kebugaran. Hasil penelitian lainnya oleh Merril et al. (2004) juga menunjukkan bahwa kenyamanan aktivitas fisik dipengaruhi oleh tingkat aktivitas fisik seseorang. Kenyamanan pada seseorang yang beraktivitas fisik tinggi disebabkan oleh perasaan senang dan menikmati kegiatan tersebut. Sedangkan, kenyamanan beraktivitas pada seseorang yang kurang aktif disebabkan oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kenyamanan aktivitas fisik menjadi salah satu faktor penting dalam melakukan latihan. Hal ini karena kenyamanan aktivitas fisik dapat meningkatkan efektifitas dalam periode latihan jangka panjang. Oleh karena itu, promosi kesehatan dengan melakukan aktivitas fisik (latihan) merupakan tugas penting bagi penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia (Hagberg et al. 2008). Telah terbukti bahwa metode yang berbeda untuk mempromosikan aktivitas fisik memiliki efek pada tingkat aktivitas fisik (The Swedish Council of Technology Assessment in Health Care 2007). Membuat latihan lebih menyenangkan dapat berkontribusi untuk menciptakan kepatuhan jangka panjang dalam aktivitas fisik.
Pengerahan Tenaga yang Dirasakan
Pengerahan tenaga yang dirasakan (Rate of Percieved Exertion / RPE) yang dirasakan subjek selama intervensi disajikan pada Gambar 4. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada aktivitas latihan, kesulitan bernafas, dan kelelahan umum menurut kelompok perlakuan (p<0.05). RPE paling tinggi dialami oleh kelompok HIIT pada minggu awal intervensi (H0) dan dirasakan menurun hingga sedang pada 2 minggu terakhir latihan (H6). Hal yang berbeda terjadi pada kelompok MIT, RPE pada minggu awal latihan (M0) agak tinggi dan semakin rendah pada 2 minggu terakhir latihan (M6). Hasil penelitian Nair et al. (2012) menunjukkan bahwa semakin tinggi RPE mengakibatkan semakin tinggi heart rate (HR) ketika melakukan latihan yang berarti semakin tinggi intensitas latihan. Oleh karena itu kemampuan dalam menilai intensitas latihan sangat penting dalam memonitor aktivitas fisik. Namun RPE berbanding terbalik dengan VO2max. Semakin tinggi RPE maka semakin rendah VO2max. Pada penelitian ini, RPE yang dialami kelompok HIIT lebih tinggi dibandingkan kelompok MIT. Hal ini menunjukkan bahwa RPE subjek sesuai dengan tingkat intensitas latihan yang diintervensi.
Ketika seseorang melakukan latihan intensitas sedang dan berat akan meningkatkan VO2max. VO2max merupakan nilai maksimal oksigen yang dapat diambil, distribusikan, dan dipakai oleh tubuh selama aktivitas fisik (Nieman 2011). Hal ini berarti ketika melakukan latihan, tubuh menjadi lebih efisien dalam memanfaatkan oksigen. Semakin tinggi VO2max, maka RPE semakin rendah (Nair et al. 2012). Hal ini berkaitan dengan proses respirasi yang terjadi secara aerobik. Pemanfaatan oksigen oleh tubuh erat kaitannya dengan tingkat kelelahan saat latihan. Kelelahan umumnya terjadi karena tubuh kekurangan oksigen, sehingga respirasi diarahkan ke reaksi anaerobik yang menghasilkan laktat. Penumpukan laktat di dalam tubuh akan menyebabkan kelelahan (Maclaren dan Morton 2012).
RPE yang dialami subjek pada penelitian ini semakin berkurang, sedangkan tingkat kenyamanan aktivitas fisik meningkat. Hal ini diduga disebabkan oleh
31 peningkatan VO2max yang terjadi selama masa latihan. Subjek yang diberikan MIT dan HIIT secara signifikan mengalami peningkatan VO2max. Semakin tinggi VO2max, maka tubuh akan lebih efisien menggunakan oksigen yang berefek pada peningkatan kenyamanan aktivitas fisik dan penurunan RPE.
. Keterangan: M: kelompok MIT, H: kelompok HIIT. Angka 0-6: periode latihan (minggu ke-)
Gambar 4 Pengerahan tenaga yang dirasakan selama masa intervensi