SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2017
PENGARUH PERBEDAAN INTENSITAS LATIHAN
TERHADAP NILAI VO2MAX, STATUS GIZI, DAN
KOMPOSISI TUBUH PADA REMAJA LAKI-LAKI OBES
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Perbedaan Intensitas Latihan terhadap Nilai VO2max, Status Gizi, dan Komposisi Tubuh pada
Remaja Laki-Laki Obes adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
RAMADHANA KOMALA. Pengaruh Perbedaan Intensitas Latihan terhadap Nilai VO2max, Status Gizi, dan Komposisi Tubuh pada Remaja Laki-Laki Obes.
Dibimbing oleh HADI RIYADI dan BUDI SETIAWAN.
Masa remaja merupakan periode kritis terhadap perkembangan obesitas. Efek obesitas pada remaja yang perlu menjadi perhatian adalah munculnya penyakit kardiovaskular di masa depan (Reilly 2006). Menurut data Riskesdas tahun 2013, prevalensi remaja gemuk dan obes usia 16-18 tahun di Indonesia sebesar 7.3%. Prevalensi ini meningkat 5.9% dibandingkan tahun 2010 (Kemenkes 2013). Aktivitas fisik memiliki peranan penting dalam mencegah peningkatan obesitas pada remaja (Stankov et al. 2012). Aktivitas fisik dalam hal ini latihan intensitas sedang dan berat diketahui dapat memperbaiki VO2max, status gizi, dan komposisi
tubuh (Tjonna et al. 2008; Araujo et al. 2012; Fisher et al. 2015).
Tujuan umum dari penelitian ini untuk menilai pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap perubahan nilai VO2max, status gizi, dan komposisi tubuh pada
remaja laki-laki obes. Tujuan khusus meliputi: 1) menganalisis pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap perubahan nilai VO2max, 2) menganalisis pengaruh
perbedaan intensitas latihan terhadap status gizi (indeks massa tubuh) dan komposisi tubuh (persen lemak tubuh), dan 3) Menganalisis pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap kenyamanan aktivitas fisik.
Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental. Sebanyak 30 remaja obes dipilih secara acak dan dimasukkan ke dalam 3 kelompok yaitu kontrol, moderate intensity training (MIT), dan high intensity interval training (HIIT). Kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan selama intervensi. Latihan pada subjek kelompok MIT dan HIIT dimulai dengan 5 menit pemanasan terlebih dahulu dengan cara berlari di treadmill pada 50-55% HRmax. Setelah pemanasan, kelompok MIT berlari selama 30 menit pada 65-70% HRmax. Sedangkan, subjek kelompok HIIT diharuskan berlari selama 2 menit pada 90-95% HRmax dengan 1 menit pemulihan aktif pada 55% HRmax antara setiap interval untuk total 30 menit. Latihan berakhir dengan 5 menit pendinginan pada 50-55% HRmax. Total lama latihan yaitu 40 menit. Latihan dilakukan 3x seminggu selama 6 minggu.
Penilaian status kebugaran menggunakan 20 metres shuttle run test. Data status gizi dan komposisi tubuh didapatkan melalui pengukuran langsung. Data asupan gizi menggunakan metode food recall 2x24 jam dan data kenyamanan aktivitas fisik menggunakan kuesioner physical activity enjoyment scale (PACES). Pengerahan tenaga yang dirasakan diukur menggunakan skala Borg. Pengolahan dan analisis data menggunakan Microsoft Excel 2013 dan SPSS versi 16.0. Data VO2max, status gizi, dan komposisi tubuh dianalisis menggunakan Analysis of
Covariate (Ancova) dengan confounding factor berupa asupan gizi. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No.803/UN2.F1/ETIK/2016.
97.60±5.80 cm, dan kelompok HIIT sebesar 91.85±6.06 cm yang termasuk berisiko komplikasi metabolik dan penyakit terkait obesitas karena memiliki LP>90 cm
(Grundy et al. 2005). Rataan persen lemak tubuh (PLT) ketiga kelompok perlakuan yaitu kontrol (27.35±3.40%), MIT (26.45±4.19%), dan HIIT (23.60±2.78%) yang termasuk dalam kategori tinggi (Gallagher et al. 2000). Rataan nilai VO2max pada
kelompok kontrol, MIT, dan HIIT secara berturut-turut 33.13±3.66 ml.kg-1.mnt-1, 32.05±2.73 ml.kg-1.mnt-1, dan 35.15±1.71 ml.kg-1.mnt-1 yang termasuk dalam kategori buruk (David dan Samuel 2015).
Rata-rata asupan energi pada kelompok kontrol, MIT, dan HIIT sebelum intervensi yaitu 2 385±302 kkal, 2 270±184 kkal, dan 2 348±228 kkal. Sedangkan asupan energi ketiga kelompok sesudah intervensi yaitu 2 428±244 kkal, 2 304±93 kkal, dan 2 309±235 kkal. Asupan lemak pada kelompok kontrol, MIT, dan HIIT masih tergolong tinggi karena >120% tingkat kecukupan gizi / TKG (Gibson 2005). Intensitas latihan paling berat dirasakan oleh kelompok HIIT pada minggu awal intervensi dan dirasakan menurun hingga sedang pada 2 minggu terakhir latihan. Hal yang berbeda terjadi pada kelompok MIT, intensitas latihan yang dirasakan pada minggu awal latihan agak berat dan semakin ringan pada 2 minggu terakhir latihan.
Intervensi intensitas latihan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan nilai VO2max. Selama masa intervensi terjadi peningkatan nilai VO2max yang
signifikan pada kelompok MIT dan HIIT sedangkan kelompok kontrol cenderung mengalami penurunan. Kelompok HIIT memiliki rata-rata peningkatan nilai VO2max terbesar (3.55±1.37 ml.kg-1.mnt-1). Hal ini berarti baik MIT dan HIIT
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan nilai VO2max.
Intervensi intensitas latihan berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap perbaikan status gizi yaitu berat badan (BB) dan indeks massa tubuh (IMT) tetapi tidak signifikan terhadap rasio lingkar pinggang-pinggul (RLPP). Kelompok MIT dan HIIT secara signifikan dapat menurunkan BB dan IMT dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok MIT mengalami penurunan BB (3.55±1.37 kg) dan IMT (1.30±0.80) terbesar selama masa intervensi.
Intervensi intensitas latihan juga berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap perbaikan komposisi tubuh. Hal ini ditandai dengan penurunan persen lemak tubuh (PLT) yang signifikan pada kelompok MIT dan HIIT sedangkan kelompok kontrol cenderung mengalami peningkatan. Kelompok MIT memiliki rata-rata penurunan persen lemak tubuh terbesar (2.81±1.72%). Hal ini berarti baik MIT dan HIIT memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan persen lemak tubuh.
Intervensi intensitas latihan berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap kenyamanan. Kelompok MIT dan HIIT secara signifikan mengalami peningkatan kenyamanan yang ditandai dengan peningkatan nilai physical activity enjoyment scale (PACES). Peningkatan nilai PACES lebih besar terjadi pada kelompok HIIT (7.90±1.97) dibandingkan kelompok MIT (4.30±0.95). Hal ini menunjukkan bahwa kenyamanan aktivitas fisik berhubungan dengan tingginya tingkat aktivitas fisik.
Kesimpulannya, latihan intensitas berat (HIIT) cenderung lebih efektif dalam meningkatkan kebugaran aerobik (VO2max) dan kenyamanan aktivitas fisik
SUMMARY
RAMADHANA KOMALA. Effects of Exercise Intensity Difference to VO2max,
Nutritional Status, and Body Composition in Obese Male Adolescents. Supervised by HADI RIYADI AND BUDI SETIAWAN.
Adolescence is a critical period for the development of obesity. The effect of obesity in adolescents that needs attention is the appearance of cardiovascular disease in the future (Reilly 2006). According to Riskesdas 2013, the prevalence of overweight and obese adolescents aged 16-18 years in Indonesia was 7.3%. This prevalence increased 5.9% than 2010 (Kemenkes 2013). Physical activity gives an important role in preventing obesity in adolescents (Stankov et al. 2012). Physical activity, in this case of moderate and high intensity exercise are known to improve aerobic fitness (VO2max), nutritional status, and body composition (Tjonna et al.
2008; Araujo et al. 2012; Fisher et al. 2015).
The general objective of this study was to analyze the effects of exercise intensity difference on VO2max, nutritional status, and body composition in obes
male adolescents. The specific objectives were: 1) to analyze the effect of exercise intensity difference on changes in VO2max, 2) to analyze the effect of exercise
intensity difference on nutritional status (body mass index) and body composition (percent of body fat), and 3) to analyze the effect of exercise intensity difference on the physical activity enjoyment.
This study used experimental design. Thirty obese adolescents were randomly assigned to 3 groups: control, moderate intensity training (MIT), and high intensity interval training (HIIT). The control group did not get treatment during intervention. Exercise on the subject of MIT and HIIT groups began with a 5 minute warm up by running on treadmill at 50-55% HRmax. After warming up, the MIT group ran for 30 minutes at 65-70% HRmax. Meanwhile, HIIT group should run for 2 minutes at 90-95% HRmax with 1 minute active recovery at 55% HRmax between each interval for a total of 30 minutes. Exercise ended with 5 minutes of cooling down at 50-55% HRmax. Total time of exercise was 40 minutes. Exercise was performed 3 times a week for 6 weeks.
Aerobic fitness was measured by 20 meters shuttle run test. Nutritional status and body composition were obtained by direct measurement. Nutrient intake data taken using food recall 2x24 hours and physical activity enjoyment using a questionnaire of physical activity enjoyment scale (PACES) were taken before and after the intervention. Rate of percieved exertion (RPE) was measured using the Borg scale. Processing and analyzing data used Microsoft Excel 2013 and SPSS version 16.0. VO2max, nutritional status, and body composition were analyzed
using Analysis of covariate (Ancova) to see the effect before and after intervention by confounding factor such as nutrient intake. This research was approved by Health Research Ethics Committee of the Faculty of Medicine, University of Indonesia No.803/UN2.F/ETHICS/2016.
The age of subjects who follow this study were 18-19 year old. It was classified into adolescent category (WHO 1999). The average of body mass index (BMI) in control, MIT, and HIIT groups were 29.43±2.97 kg.m-2, 29.77±2.52 kg.m
-2, dan 27.21±1.25 kg.m-2. It was classified into obese 1 (WHO 2000). The average
97.60±5.80 cm, and 91.85±6.06 cm. It was included risk of metabolic complications and obesity-related diseases because it had WC>90 cm (Grundy et al. 2005). The average of % body fat (BF) in control, MIT, and HIIT groups were 27.35±3.40%, 26.45±4.19%, and HIIT 23.60±2.78%. It was included in the high category of body fat (Gallagher et al. 2000). The average of VO2max values in the control group,
MIT, and HIIT were 33.13±3.66 ml.kg-1.mnt-1, 32.05±2.73 ml.kg-1.mnt-1, dan 35.15±1.71 ml.kg-1.mnt-1 respectively. It was included in the category of bad physical fitness (David and Samuel 2015).
The average of energy intake in control, MIT, and HIIT groups before the intervention were 2385±302 kcal, 2270±184 kcal, and 2348±228 kcal. Meanwhile, energy intake in three groups after intervention were 2428±244 kcal, 2304±93 kcal, and 2309±235 kcal. Fat intake in the control, MIT, and HIIT groups were relatively high because higher than 120% of nutritional adequacy (Gibson 2005).
The HIIT group felt the highest exercise intensity at the early weeks intervention and it declined to moderate in the last 2 weeks of exercise. Different thing happened at the MIT group. The MIT group felt rather hard exercise intensity at the early weeks intervention and it declined to light in the last 2 weeks of exercise.
Intervention of exercise intensity significantly affect (p<0.05) the increase on VO2max. During the intervention period, there was a significant increase of
VO2max at MIT and HIIT groups while the control group tend to decrease. HIIT
group has the largest increase of VO2max (3.55±1.37 ml.kg-1.mnt-1). This means
both MIT and HIIT has a significant effect on the increase of VO2max.
The interventions significantly affect (p<0.05) the improvement of nutritional status i.e. body weight (BW) and body mass index (BMI), but there was no significant effect on waist to hip ratio (WHR). MIT and HIIT significantly can decrease body weight and BMI compared with control group that tends to increase. There was the largest reduction of BW (3.55±137 kg) and BMI (1.30±0.80) in MIT group during intervention.
Intervention of exercise intensity also significantly affect (p<0.05) the improvement in body composition. It was characterized by a significant reduction of body fat (BF) at MIT and HIIT groups while the control group tends to increase. MIT group has the largest reduction of BF (2.81±1.72%). It means both MIT and HIIT have a significant effect on the reduction of % body fat.
Intervention of exercise intensity significantly affect (p<0.05) the physical activity enjoyment. MIT and HIIT groups have a significant improvement of enjoyment that characterized by the increase of physical activity enjoyment scale (PACES) score. The increase of PACES score was higher in HIIT group (7.90±1.97) than MIT group (4.30±0.95). It means that physical activity enjoyment was associated with high levels of physical activity.
In conclusion, high intensity interval training (HIIT) tend to be more effective in improving aerobic fitness (VO2max) and the physical activity enjoyment than
moderate intensity exercise (MIT). MIT tend to be more effective in improving the nutritional status (BMI) and body composition (% BF) than HIIT.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi
PENGARUH PERBEDAAN INTENSITAS LATIHAN
TERHADAP NILAI VO
2MAX, STATUS GIZI, DAN
KOMPOSISI TUBUH PADA REMAJA LAKI-LAKI OBES
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2017
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga penulisan dan penyusunan karya ilmiah dengan judul “Pengaruh Perbedaan Intensitas Latihan terhadap Nilai VO2max, Status Gizi, dan Komposisi Tubuh pada Remaja Laki-Laki
Obes” berhasil diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan Dr Ir Hadi Riyadi, MS dan Dr Ir Budi Setiawan, MS selaku komisi pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Drs Rimbawan selaku dosen penguji atas saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini serta berbagai pihak yang telah membantu proses penyelesaian penulisan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Bapak Ibrahim dan Ibu Farida, kakak Safitri Agustina, dan kekasih Wiwi Febriani serta rekan-rekan yang selalu memberikan doa dan dukungan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
Masalah Obesitas pada Remaja 4
Kebugaran Aerobik 5
VO2max 5
Pengukuran VO2max 5 Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kebugaran Aerobik 7
Usia 7
Jenis Kelamin 7 Status Gizi dan Komposisi Tubuh 8 Asupan Gizi 8 Aktivitas Fisik 9 Manfaat Intensitas Latihan bagi Kesehatan 9 Moderate Intensity Training (MIT) 12 High Intensity Interval Training (HIIT) 13 Kenyamanan Aktivitas Fisik 14 Kerangka Pemikiran 15 METODE 16 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 16 Populasi dan Subjek Penelitian 16 Peralatan Penelitian 17 Pelaksanaan Intervensi 18 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 Pengolahan dan Analisis Data 19 Definisi Operasional 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 Karakteristik Subjek 23 Kebiasaan Olahraga 24
Tingkat Kecukupan Gizi 24
Pengaruh Intervensi Latihan terhadap Nilai VO2max 26
Pengaruh Intervensi Latihan terhadap Status Gizi dan Komposisi Tubuh 27 Pengaruh Intervensi Latihan terhadap Kenyamanan Aktivitas Fisik 29
Pengerahan Tenaga yang Dirasakan 30
SIMPULAN DAN SARAN 31
LAMPIRAN 36
Kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Kategori tingkat kebugaran remaja berdasarkan nilai VO2max
Kategori status gizi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) Kategori komposisi tubuh berdasarkan persen lemak tubuh (PLT) Karakteristik subjek menurut kelompok perlakuan
Kebiasaan olahraga menururt kelompok perlakuan
Asupan dan tingkat kecukupan gizi menurut kelompok perlakuan Perubahan nilai VO2max sebelum dan sesudah intervensi
Perubahan status gizi antropometri dan komposisi tubuh sebelum dan sesudah intervensi
Perubahan nilai PACES sebelum dan sesudah intervensi
10
Diagram pengelompokan subjek berdasarkan kelompok intervensi Pengerahan tenaga yang dirasakan selama masa intervensi
12
Kuesioner rate of percieved exertion / RPE (skala Borg) Kuesioner physical activity enjoyment scale (PACES)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obesitas pada remaja merupakan masalah kesehatan yang sangat serius. International Obesity Task Force (IOTF) melaporkan bahwa sekurang-kurangnya 10% anak dan remaja usia 5-17 tahun mengalami kegemukan dan obesitas. Pada tahun 2010, sebanyak 43 juta anak dan remaja (35 juta di negara berkembang) termasuk dalam kategori gemuk dan obesitas. Pada tahun 2020 diprediksi jumlah anak dan remaja gemuk dan obesitas mengalami peningkatan sebesar 9.1% (Onis et al. 2010). Menurut data Riskesdas tahun 2013, prevalensi remaja gemuk dan obes usia 16-18 tahun di Indonesia sebesar 7.3%. Prevalensi ini meningkat dibandingkan data Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 1.4% (Kemenkes 2013).
Masa remaja merupakan periode kritis terhadap perkembangan obesitas. Obesitas pada masa remaja menjadi perhatian khusus karena konsekuensinya terkait kesehatan dan pengaruhnya terhadap perkembangan psikososial remaja. Efek obesitas pada remaja yang perlu menjadi perhatian adalah munculnya penyakit kardiovaskular di masa depan (Reilly 2006). Remaja yang telah mengalami obesitas akan sulit untuk memperbaiki kondisinya sehingga menjadi tantangan besar bagi mereka untuk menjaga berat badan normal. Remaja obes berpotensi lebih besar untuk menjadi obesitas ketika dewasa. Sekitar setengah dari remaja gemuk dan obes tetap mengalami obesitas ketika dewasa. Hal ini menyebabkan pencegahan obesitas pada remaja telah menjadi prioritas dalam kesehatan masyarakat untuk memerangi obesitas (Wang dan Lobstein 2006).
Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan obesitas pada kalangan remaja. Masa remaja merupakan masa yang sangat rentan terhadap perkembangan kegemukan dan obesitas yang diakibatkan oleh penurunan aktivitas fisik dan perlambatan laju pertumbuhan. Aktivitas fisik yang cukup memberikan peranan penting dalam mencegah kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja dan mencegah perkembangannya (Stankov et al. 2012). Kondisi masyarakat Indonesia masih tergolong kurang aktif yang ditunjukkan oleh hasil Riskesdas tahun 2013 yang menunjukkan 26.1 % masuk dalam kategori kurang aktif (Kemenkes 2013). Hasil penelitian di Bogor, Indonesia oleh Gifari (2015) pada remaja overweight menunjukkan sebesar 83.3% subjek tergolong beraktivitas fisik ringan.
Aktivitas fisik dalam hal ini latihan intensitas sedang dan berat dapat memengaruhi kebugaran aerobik (VO2max), status gizi, dan komposisi tubuh
(Tjonna et al. 2008; Araujo et al. 2012; Fisher et al. 2015). Perbedaan intensitas latihan dapat memengaruhi nilai VO2max. Hasil studi pada remaja di Portugal
menunjukkan bahwa hanya aktivitas dengan intensitas berat dan sangat berat yang berhubungan dengan nilai VO2max (Aires et al. 2010). Penelitian lainnya
menggunakan intervensi latihan dengan intensitas berat menunjukkan peningkatan kapasitas aerobik (VO2max) pada remaja obes (Starkoff et al. 2014). Latihan
2
Alfian (2012) pada remaja laki-laki di Indonesia menunjukkan bahwa pemberian intervensi aktivitas fisik dapat meningkatkan VO2max. Hasil penelitian lainnya
oleh Pradana (2014) pada remaja gemuk di Bogor, Indonesia menunjukkan bahwa intervensi latihan dengan intensitas berat yang diselingi recovery dapat meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max menunjukkan kerja sistem
kardiorespiratori yang lebih efisien sehingga dapat melakukan aktivitas fisik yang lebih lama (ACSM 2009).
Latihan intensitas sedang dan berat diketahui dapat memperbaiki status gizi. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator yang sering digunakan dalam penentuan status gizi (Gibson 2005). Penelitian mengenai intervensi latihan intensitas sedang dan berat pada remaja obes dilakukan oleh Araujo et al. (2012) menunjukkan bahwa terjadi penurunan IMT yang signifikan pada kedua kelompok tersebut. Hasil penelitian lainnya pada remaja oleh Buchan et al. (2011) juga menunjukkan adanya penurunan nilai IMT yang signifikan setelah melakukan latihan intensitas sedang dan berat.
Latihan intensitas sedang dan berat juga dapat memperbaiki komposisi tubuh ditandai dengan penurunan persen lemak tubuh (PLT). Hasil penelitian Fisher et al. (2015) pada laki-laki gemuk dan obes menunjukkan bahwa terjadi penurunan PLT yang signifikan pada subjek yang diberikan latihan intensitas sedang dan berat. Hasil penelitian lainnya oleh Buchan et al. (2011) juga menunjukkan penurunan PLT pada remaja setelah melakukan latihan intensitas sedang. Penelitian lainnya dengan menggunakan intervensi latihan intensitas berat menunjukkan penurunan persen lemak tubuh yang signifikan (Boutcher 2011; Heydari et al. 2012).
Latihan intensitas sedang dan berat bermanfaat dalam hal perbaikan kebugaran aerobik (VO2max), status gizi, dan persen lemak tubuh serta mengurangi
faktor risiko penyakit kardiovaskular. Latihan juga bertujuan untuk meningkatkan aktivitas fisik untuk meningkatkan fungsi vaskular (Hopkins et al. 2009). Hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik di Indonesia masih rendah. Penelitian yang membandingkan intensitas latihan terhadap kebugaran aerobik, status gizi, dan persen lemak tubuh juga masih kurang. Oleh karena itu, diperlukan studi yang menganalisis pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap nilai VO2max, status gizi, dan persen lemak tubuh pada remaja
laki-laki obes.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1) Apakah perbedaan intensitas latihan memengaruhi perubahan nilai VO2max
pada remaja laki-laki obes?
2) Apakah perbedaan intensitas latihan memengaruhi perubahan status gizi dan komposisi tubuh (berat badan, indeks massa tubuh, persen lemak tubuh, lingkar pinggang, dan lingkar pinggul) pada remaja laki-laki obes?
3 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap perubahan nilai VO2max, status gizi, dan komposisi tubuh pada remaja
laki-laki obes. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Menganalisis pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap perubahan nilai VO2max pada remaja laki-laki obes.
2) Menganalisis pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap status gizi (IMT dan RLPP) dan komposisi tubuh (persen lemak tubuh) pada remaja laki-laki obes.
3) Menganalisis pengaruh perbedaan intensitas latihan terhadap kenyamanan aktivitas fisik pada remaja laki-laki obes.
Hipotesis Penelitian
1) Perbedaan intensitas latihan meningkatkan nilai VO2max pada remaja
laki-laki obes.
2) Perbedaan intensitas latihan memperbaiki status gizi (IMT dan RLPP) dan komposisi tubuh (persen lemak tubuh) pada remaja laki-laki obes.
3) Perbedaan intensitas latihan memperbaiki kenyamanan aktivitas fisik pada remaja laki-laki obes.
Manfaat Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Obesitas pada Remaja
Obesitas dapat terjadi pada semua kelompok usia, tidak terkecuali anak dan remaja. International Obesity Task Force (IOTF) melaporkan bahwa sekurang-kurangnya 10% anak dan remaja usia 5-17 tahun mengalami kegemukan dan obesitas. Di beberapa negara, hal itu telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius. Pada tahun 2010, sebanyak 35 juta anak dan remaja di negara berkembang termasuk dalam kategori gemuk dan obesitas. Pada tahun 2020 diprediksi jumlah anak-anak yang gemuk dan obesitas mengalami peningkatan sebesar 9.1% dibandingkan tahun 1990 (Onis et al. 2010). Di Amerika Serikat, obesitas merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah kedua setelah merokok (Wang dan Lobstein 2006). Menurut data Riskesdas (Kemenkes 2013), prevalensi remaja gemuk dan obes usia 16-18 tahun di Indonesia sebesar 7.3%. Prevalensi ini meningkat dibandingkan dengan data Riskesdas 2010 dimana prevalensinya hanya 1.4% remaja gemuk dan obes.
Masa anak dan remaja telah diusulkan sebagai periode kritis bagi perkembangan hal ini. Obesitas pada awal kehidupan menjadi perhatian khusus karena konsekuensinya terkait kesehatan dan pengaruhnya terhadap perkembangan psikososial anak dan remaja. Apabila telah mengalami obesitas, sulit dan mahal untuk memperbaikinya dan terdapat tantangan besar bagi pasien untuk menjaga berat badan normal. Anak dan remaja yang mengalami kegemukan dan obesitas lebih mungkin untuk menjadi gemuk dan obesitas ketika dewasa. Sekitar setengah dari remaja gemuk dan sepertiga anak-anak gemuk tetap mengalami obesitas ketika dewasa. Anak dengan obesitas juga mengalami efek jangka panjang yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, pencegahan obesitas pada anak dan remaja telah menjadi prioritas dalam kesehatan masyarakat untuk memerangi epidemi obesitas (Wang dan Lobstein 2006).
Hasil penelitian Pedersen et al. (2012) menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian obesitas antara lain produksi pangan, konsumsi pangan, biologi, aktivitas fisik, dan gaya hidup. Faktor-faktor lainnya yang berkontribusi terhadap kejadian obesitas antara lain: 1) faktor lingkungan, misalnya peningkatan konsumsi makanan tinggi kalori, gaya hidup sedentari, kurang tidur, dan meningkatnya stres, 2) faktor genetik, contohnya mutasi gen tunggal yang langka seperti defisiensi leptin, 3) kondisi medis, misalnya hyphothiroidism, 4) iatrogenic, misalnya konsumsi obat-obatan tertentu yang berefek pada peningkatan berat badan, 5) faktor psikososial seperti depresi.
5 Kebugaran Aerobik
Kebugaran aerobik dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari paru-paru, jantung, dan pembuluh darah untuk mengalirkan oksigen dalam jumlah yang cukup ke sel-sel sehingga memenuhi kebutuhan untuk memperpanjang aktivitas fisik. Kebugaran aerobik juga didefinisikan sebagai kemampuan sistem sirkulasi dan respirasi untuk mensuplai oksigen selama aktivitas fisik (Nieman 2011). Kebugaran aerobik yang rendah secara konsisten berkaitan dengan risiko kematian prematur terutama penyakit jantung (ACSM 2009).
Kebugaran aerobik berhubungan dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular (Eisenmann et al. 2005). Kebugaran aerobik menunjukkan kapasitas maksimal untuk menghirup, menyalurkan, dan menggunakan oksigen dan diukur sebagai kapasitas maksimum pengambilan oksigen (VO2max). Dikarenakan
seluruh jaringan dan organ tubuh membutuhkan oksigen untuk melakukan fungsinya, maka semakin maksimal dalam pengonsumsian oksigen mengindikasikan kerja sistem kardiorespiratori yang lebih efisien. Beberapa aktivitas fisik yang dapat dilakukan untuk menjaga kebugaran aerobik yaitu berlari, jogging, bersepeda, dan berenang (Sharkey 2011).
VO2max
Kebugaran aerobik ditentukan oleh kapasitas pengambilan maksimal oksigen / VO2max (Hoeger dan Hoeger 2012). VO2max juga dapat diartikan sebagai nilai
maksimal oksigen yang dapat diambil, distribusikan, dan dipakai oleh tubuh selama aktivitas fisik (Nieman 2011). VO2max biasa dinyatakan dalam ml.kg-1.mnt-1 yaitu
milliliter (ml) oksigen yang dikonsumsi per kilogram (kg) berat badan per menit (mnt). Dikarenakan seluruh jaringan dan organ tubuh membutuhkan oksigen untuk melakukan fungsinya, maka semakin maksimal dalam pengonsumsian oksigen mengindikasikan kerja sistem kardiorespiratori yang lebih efisien.
VO2max dapat didefinisikan juga sebagai kapasitas maksimum pengambilan
oksigen oleh tubuh selama proses penggunaan tenaga secara maksimal, disebut juga sebagai kekuatan aerobik, asupan oksigen maksimal, dan kapasitas daya tahan kardiorespiratori. Tingginya nilai VO2max sangat tergantung oleh tiga fungsi
sistem di dalam tubuh, yaitu sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, dan sistem muskuloskeletal. Sistem pernapasan yaitu yang menentukan jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru-paru dan ditransportasikan melalui darah. Sistem kardiovaskular berperan dalam memompakan dan mendistribusikan oksigen yang ada dalam darah ke seluruh tubuh. Sistem muskuloskeletal bertugas untuk mengonversi karbohidrat dan lemak menjadi ATP untuk kontraksi otot dan produksi panas (Nieman 2011).
Pengukuran VO2max
VO2max dapat diukur menggunakan dua cara yaitu pengukuran secara
6
di laboratorium menggunakan metode graded exercise test. Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat kelelahan yang dimonitor dengan electrocardiogram (ECG) lewat pengukuran menggunakan ergometer cycle atau treadmill (Nieman 2011). Pengukuran VO2max secara langsung merupakan cara yang paling tepat dan
akurat untuk mengukur kapasitas maksimum pengambilan oksigen perorangan, tetapi pengukuran secara langsung membutuhkan biaya yang mahal, membutuhkan waktu yang banyak, membutukan motivasi yang tinggi dari responden, dan tidak cocok untuk mengukur subjek dalam jumlah yang besar.
VO2max juga dapat diukur secara tidak langsung yaitu dengan metode
estimasi atau prediksi. Metode ini dapat dilakukan dengan cara memberi beban latihan fisik pada subjek hingga mencapai kapasitas aerobik maksimal. Pengukuran secara tidak langsung ini telah dikembangkan ke berbagai bentuk tes seperti tes kebugaran lapangan, tes turun naik tangga, uji laboratorium subsmaksimal (Nieman 2011). Tes kebugaran lapangan merupakan pengukuran kebugaran secara tidak langsung yang dilakukan di lapangan serta membutuhkan usaha dari responden untuk mendapatkan nilai kebugaran aerobik yang tinggi. Jenis dari tes kebugaran lapangan ini antara lain berjalan, berjalan-berlari, bersepeda, berenang, dan sebagainya (ACSM 2009). Metode pengukuran VO2max tidak langsung jenis tes
lapangan antara lain one mile walk test, cooper test (tes lari 12 menit), dan 20 metres shutle run test (bleep test). Pada one mile walk test, responden berjalan sejauh 1 mil secepat mungkin sesuai kemampuan dan tidak diperbolehkan berhenti. Sedangkan pada cooper test, responden diharapkan berlari secepat mungkin selama 12 menit, kemudian responden mencatat jarak yang dicapai.
Tes lain untuk mengukur VO2max secara tidak langsung yaitu dengan 20
metres shuttle run test (20m SRT). Twenty metre shuttle run test merupakan tes lari bolak balik sejauh 20 meter yang memiliki intensitas bertahap. Kecepatan yang dibutuhkan saat memulai 20 metres shuttle run test adalah 8 km/jam dan selanjutnya kecepatan bertambah 0.5 km/jam di setiap level. Audio diperlukan dalam tes ini untuk mengeluarkan suara beep yang merupakan tanda untuk mulai berlari. Ada dua jenis suara beep yaitu single beep dan triple beep. Bunyi single beep berbunyi di akhir waktu pada setiap lap dan bunyi triple beep terdengar setiap menit. Responden harus meningkatkan kecepatan lari setelah mendengar bunyi triple beep yang telah diatur setiap menitnya. Responden dapat berhenti bila merasakan kelelahan dan telah melewatkan dua kali bunyi single beep.
Twenty metres shuttle run test digunakan untuk memprediksi nilai VO2max
pada remaja. Beberapa peneliti telah membuat persamaan yang dapat memprediksi nilai VO2max dengan menggunakan 20 metres shuttle run test. Penelitian yang
menggunakan 20 metres shuttle run test bertujuan membandingkan nilai VO2max
hasil prediksi dari persamaan untuk mengestimasi nilai VO2max dengan nilai
VO2max absolut yang diukur menggunakan portable gas analyser. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persamaan Matsuzaka et al. (2004) mendekati nilai absolut VO2max (Melo et al. 2011).
Metode pengukuran VO2max yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
7 mengatur kecepatan langkah, harus ada penyesuaian kecepatan rekaman tes, perlu keterampilan petugas pemandu tes, dan memerlukan lintasan lari yang cukup luas.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kebugaran Aerobik
Kebugaran berhubungan dengan beberapa faktor yaitu faktor usia, jenis kelamin, status gizi, asupan gizi, dan aktivitas fisik yang akan diuraikan berikut ini. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebugaran aerobik seseorang. Seseorang akan mencapai puncak tingkat kebugaran pada usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, diketahui bahwa kebugaran berubah secara substansial pada usia 6-19 tahun (Tremblay et al. 2010). Setelah melewati usia 20 tahun, terjadi penurunan kebugaran secara bertahap sejalan dengan peningkatan usia. Hasil penelitian Ortega et al. (2008) menunjukkan bahwa tingkat kebugaran lebih tinggi pada usia yang lebih muda, baik pada laki-laki maupun perempuan. Selain itu, penelitian tersebut berkesimpulan bahwa selain usia kronologis, usia biologis juga memengaruhi tingkat kebugaran.
Proses penuaan berperan dalam penurunan kebugaran aerobik (Astrand 1992). Penuaan dapat menurunkan hingga 10% pada latihan kapasitas VO2max yang
disebabkan oleh penurunan secara progresif dari kapasitas fungsional sistem di dalam tubuh (Fatmah dan Ruhayati 2011). Sumber lain menyebutkan bahwa pada usia 65 tahun, tingkat kebugaran hanya 70% dibandingkan saat usia 25 tahun. Hal ini disebabkan oleh penurunan denyut jantung maksimal sehingga mengurangi curah jantung dan memengaruhi transpotasi oksigen (Astrand 1992).
Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang berpengaruh pada perbedaan tingkat kebugaran antara laki-laki dan perempuan. Hal ini berkaitan dengan kekuatan maksimal otot yang berkaitan dengan luas permukaan tubuh, komposisi tubuh, kekuatan otot, jumlah hemoglobin, hormon, kapasitas paru-paru, dan sebagainya. Kebugaran anak laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama hingga masa pubertas. Tetapi setelah pubertas, nilai kebugaran anak perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan anak laki-laki (Fatmah dan Ruhayati 2011). Hal ini dikarenakan perbedaan hemoglobin yang merupakan komponen pembawa oksigen dalam sel darah merah. Total hemoglobin merupakan faktor penentu tingkat kebugaran (Sharkey 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai kebugaran pada anak laki-laki dan perempuan. Penelitian di Portugal pada anak dan remaja menunjukkan bahwa anak dan remaja laki-laki lebih bugar dibandingkan dengan perempuan (Guerra et al. 2002). Penelitian di Amerika Serikat pada remaja usia 12-19 tahun menunjukkan bahwa nilai VO2max pada kelompok laki-laki lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok perempuan (Pate et al. 2006). Penelitian di Liverpool, Inggris pada anak dan remaja yang menggunakan pengukuran VO2max secara
8
menunjukkan bahwa kebugaran remaja laki-laki cenderung lebih tinggi dibanding perempuan. Beberapa penelitian serupa yang menghubungkan antara VO2max dengan jenis kelamin menunjukkan bahwa VO2max laki-laki secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan perempuan (Melo 2011; Ostojic et al. 2011). Status Gizi dan Komposisi Tubuh
Status gizi dan komposisi tubuh merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan status kebugaran. Status gizi yaitu keadaan tubuh individu yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Pengukuran status gizi individu dapat diukur melalui perhitungan indeks massa tubuh dan komposisi tubuh (Gibson 2005). Komposisi tubuh (persen lemak tubuh) digunakan untuk mengklasifikasikan kandungan lemak tubuh, termasuk di dalamnya semua lemak di jaringan adiposa dan jaringan-jaringan lain. Terdapat berbagai macam alat untuk mengukur persen lemak tubuh misalnya BIA (Bioelectrical Impedance Analysis). Hasil penelitian Flegal et al. (2009) menunjukkan bahwa nilai IMT, lingkar pinggang, dan RLPP merupakan indikator yang baik dalam penentuan persen lemak tubuh. Variabel-variabel ini dapat menjadi ukuran yang akurat dari persen lemak tubuh tiap individu namun harus disesuaikan dengan kategori jenis kelamin dan usia.
Hasil penelitian di Taiwan pada anak dan remaja usia 6-18 tahun menunjukkan bahwa anak dan remaja overweight atau obes cenderung memiliki kebugaran aerobik yang rendah dibandingkan anak dengan status gizi normal (Chen et al. 2006). Hasil survei yang dilakukan oleh The National Health and Nutrition Examination Survey pada remaja Amerika Serikat usia 12-19 tahun dari tahun 1999-2000 menunjukkan bahwa kebugaran aerobik rendah pada kelompok overweight dibandingkan dengan kelompok normal (Pate et al. 2006).
Hal ini diperkuat dengan penelitian Aires et al. (2010) yang menunjukkan bahwa indeks massa tubuh memiliki korelasi negatif dengan kebugaran. Penelitian pada anak dan remaja di Serbia menunjukkan besar persen lemak tubuh memiliki hubungan negatif yang kuat dengan tingkat kebugaran (Ostojic et al. 2011). Penelitian lainnya di India menunjukkan tingkat kebugaran menurun dengan meningkatnya kategori indeks massa tubuh. Remaja dengan indeks massa tubuh yang lebih rendah memiliki nilai VO2max yang lebih baik (David dan Samuel 2015).
Asupan gizi
Asupan gizi juga merupakan faktor yang menentukan tingkat kebugaran sesorang. Zat gizi yang berperan dalam kebugaran yaitu zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan energi remaja laki-laki berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2013 yaitu sebesar 2675 kkal (Depkes 2013). Zat gizi makro mencakup energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Nilai energi 1 gram karbohidrat dan protein adalah 4 kkal dan nilai energi lemak 1 gram lemak adalah 9 kkal (Almatsier 2009).
Kebutuhan energi meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas fisik. Jumlah energi yang dibutuhkan disesuaikan dengan jenis, intensitas, dan durasi aktivitas fisik yang dilakukan. Moderate Intensity Training (MIT) dan High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan jenis aktivitas fisik yang memerlukan energi cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan selama latihan.
9 bentuk karbohidrat yang beredar di dalam tubuh dan di dalam sel dan merupakan sumber energi (Almatsier 2009).
Asupan makanan dapat diukur menggunakan beberapa metode antara lain metode recall 24 jam, metode food records (estimated food records and food weighing), metode dietary history, dan metode frekuensi makanan (food frequency questionnaire). Penelitian ini menggunakan metode food recall 2x24 jam untuk melakukan pengukuran konsumsi pangan subjek. Alasan menggunakan metode food recall 2x24 jam yaitu karena metode ini mudah untuk melaksanakannya serta cepat sehingga cocok untuk populasi besar. Selain itu, metode food recall 2x24 jam merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengetahui karakter asupan rata-rata pada sebuah populasi. Metode food recall 2x24 jam ini, subjek diminta untuk mengingat dan menceritakan semua makanan dan minuman yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (jenis makanan dan jumlah/porsi). Food recall 2x24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut maka dikembangkan metode ‘any-day-of-the-week’ yaitu metode dimana subjek dapat memilih salah satu hari dalam seminggu untuk diceritakan (Gibson 2005).
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka yang menghasilkan peningkatan pengeluaran energi (ACSM 2009). Hal tersebut dapat memberikan manfaat kesehatan yang progresif. Seluruh aktivitas fisik menghasilkan pengeluaran energi yang berkisar dari tingkat rendah / sedentari seperti duduk dalam waktu yang lama, aktivitas sedang sampai dengan tingkat yang ekstrim seperti latihan intensitas tinggi (misalnya pada atlet).
Latihan merupakan jenis aktivitas fisik yang memerlukan perencanaan, terstruktur, dan pergerakan tubuh yang berulang untuk meningkatkan dan mempertahankan kebugaran fisik. Pada remaja dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik selama 1 jam atau lebih per hari. Sebagian dari aktivitas fisik tersebut, remaja harus melakukan aktivitas dengan intensitas berat setidaknya 3 hari per minggu (Hoeger dan Hoeger 2012). Aktivitas fisik yang cukup pada saat anak dan remaja dapat meningkatkan kesehatan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa anak dan remaja yang aktif memiliki profil kardiovaskular yang lebih sehat serta mencapai peak bone mass yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dan remaja yang kurang aktif (Boreham dan Riddoch 2001).
Seluruh kegiatan fisik mengakibatkan pengeluaran energi mulai dari rendahnya tingkat aktivitas seperti duduk (1 MET = 3.5 ml/kg-1.min-1) ke tingkat yang lebih ekstrim seperti latihan intensitas tinggi (9-20 METs). Metabolik equivalent (MET) adalah satuan standar yang digunakan untuk memperkirakan jumlah oksigen yang digunakan tubuh selama beraktivitas. MET sering digunakan untuk mengukur aktivitas fisik dan menetapkan batasan, misalnya untuk individu yang menjalani rehabilitasi. Semakin berat aktivitas yang dilakukan, semakin banyak oksigen yang dihirup dan semakin tinggi tingkat MET (Norton et al. 2010).
Manfaat Intensitas Latihan bagi Kesehatan
10
dianggap “seberapa keras seseorang bekerja untuk melakukan aktivitas”. Pada dasarnya, terdapat rangkaian dari tingkat pengeluaran energi di seluruh bentuk aktivitas fisik. Untuk kenyamanan, analisis dan preskripsi latihan dikelompokkan ke dalam kategori intensitas, meskipun istilah dan cut-off point dari berbagai literatur sangat bervariasi. Oleh karena itu, intensitas latihan dapat dinyatakan sebagai pengukuran yang absolut, misalnya denyut jantung maksimal (% HRmax yang biasanya dihitung menggunakan rumus: 220-usia). Variasi ini dapat menyebabkan masalah pada saat pengukuran, membandingkan pola aktivitas, dan pelacakan dari waktu ke waktu. Ketidak konsistenan dapat membuat bingung ahli kesehatan dan kebugaran yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian sehingga berpotensi membuat latihan menjadi tidak aman (Norton et al. 2010). Pernyataan posisi ini menganjurkan penggunaan 5 kategori untuk menggambarkan kelompok aktivitas yang menempatkan stres fisiologis relatif pada individu yang melakukan latihan dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori intensitas latihan Kategori
-Aktivitas yang biasanya meliputi duduk, berbaring, dan sedikit bergerak serta membutuhkan kebutuhan energi yang rendah
Light 1.6 - 3 METs
40 - 55% HRmax 20 - 40% HRR 20 - 40% VO2max
-Aktivitas aerobik yang tidak mengakibatkan perubahan dalam rata-rata pernafasan
-Intensitas yang berkelanjutan paling sedikit 60 menit
Moderate 3 - 6 METs 55 - 70% HRmax 40 - 60% HRR 40 - 60%VO2max
-Aktivitas aerobik yang dapat dilakukan sekaligus menjaga percakapan tetap berlangsung
-Intensitasnya berlangsung antara 30 dan 60 menit
Vigorous 6 - 9 METs 70 - 90% HRmax 60 - 85% HRR 60 - 85% VO2max
-Aktivitas aerobik yang mana percakapan secara umum dapat terganggu
11 relatif besar dalam kebutuhan metabolisme dan fisiologis tubuh. Peningkatan respon stres menunjukkan peningkatan yang sama dalam intensitas latihan meliputi kadar asam laktat, sistem pernafasan, hormon stres seperti adrenalin dan noradrenalin, redistribusi aliran darah pada beberapa jaringan yang non-aktif, dan peningkatan aktivitas neuromuskular.
Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan obesitas pada kalangan remaja. Aktivitas fisik yang cukup memberikan peranan penting dalam mencegah kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja dan mencegah perkembangannya (Stankov et al. 2012). Kondisi masyarakat Indonesia masih tergolong kurang aktif yang ditunjukkan oleh hasil Riskesdas tahun 2013 yang menunjukkan 26.1 % masuk dalam kategori kurang aktif (Kemenkes 2013).
Aktivitas fisik dalam hal ini latihan intensitas sedang dan berat dapat memengaruhi kebugaran aerobik (VO2max), status gizi, dan komposisi tubuh
(Tjonna et al. 2008; Araujo et al. 2012; Fisher et al. 2015). Perbedaan intensitas latihan dapat memengaruhi nilai VO2max. Hasil studi pada remaja di Portugal
menunjukkan bahwa hanya aktivitas dengan intensitas berat dan sangat berat yang berhubungan dengan nilai VO2max (Aires et al. 2010). Penelitian lainnya
menggunakan intervensi latihan dengan intensitas berat menunjukkan peningkatan kapasitas aerobik (VO2max) pada remaja obes (Starkoff et al. 2014). Latihan
intensitas tinggi dengan recovery yang singkat dapat berkontribusi lebih besar pada kemampuan untuk memompa jantung sehingga dapat meningkatkan curah jantung dan selanjutnya meningkatkan VO2max (Ciolac et al. 2010). Peningkatan VO2max
menunjukkan kerja sistem kardiorespiratori yang lebih efisien sehingga dapat melakukan aktivitas fisik yang lebih lama (ACSM 2009).
Latihan dengan intensitas tertentu diketahui dapat memperbaiki status gizi dan komposisi tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator yang sering digunakan dalam penentuan status gizi. Penelitian mengenai intervensi latihan intensitas sedang dan berat pada remaja obes dilakukan oleh Araujo et al. (2012) menunjukkan bahwa terjadi penurunan IMT yang signifikan pada kedua kelompok tersebut. Hasil penelitian lainnya pada remaja oleh Buchan et al. (2011) juga menunjukkan adanya penurunan nilai IMT yang signifikan setelah melakukan latihan intensitas sedang dan berat.
Latihan intensitas sedang dan berat juga dapat memperbaiki komposisi tubuh ditandai dengan penurunan persen lemak tubuh (PLT). Hasil penelitian Fisher et al. (2015) pada laki-laki gemuk dan obes menunjukkan bahwa terjadi penurunan PLT yang signifikan pada subjek yang diberikan latihan intensitas sedang dan berat. Hasil penelitian lainnya oleh Buchan et al. (2011) juga menunjukkan penurunan PLT pada remaja setelah melakukan latihan intensitas sedang. Penelitian lainnya dengan menggunakan intervensi latihan intensitas berat menunjukkan penurunan persen lemak tubuh yang signifikan (Boutcher 2011; Heydari et al. 2012).
Kesimpulan review beberapa penelitian merekomendasikan bahwa seharusnya anak dan remaja usia 5-17 tahun mengakumulasikan rata-rata 60 menit per hari untuk melakukan aktvitas fisik intensitas sedang. Beberapa manfaat kesehatan dapat dicapai jika telah beraktivitas fisik lebih dari 30 menit. Aktivitas fisik intensitas berat lebih baik jika dapat dilakukan, termasuk kegiatan yang memperkuat otot dan tulang. Aktivitas aerobik seharusnya menjadi mayoritas dalam aktivitas fisik (Janssen dan LeBlanc 2010).
12
Kondisi ini membuat tubuh mencari sumber energi untuk digunakan. Sumber energi yang dapat digunakan, seperti ATP, PCr, glikogenolisis, dan glukoneogenesis (Maclaren dan Morton 2012). Sumber energi utama selama latihan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Sumber energi utama selama latihan Moderate Intensity Training (MIT)
Aktivitas fisik bervariasi pada masing-masing individu. Intensitas fisik bergantung pada pengalaman latihan dan tingkat kebugaran tiap individu. MIT (Moderate Intensity Training) yaitu aktivitas fisik yang mengeluarkan energi sebesar 3.5-7 kkal per menit. Latihan MIT membakar 3-6 METs atau intensitas sebesar <70% HRmax. Contoh aktivitas moderat antara lain berjalan lebih dari 10 menit atau aktivitas lainnya seperti berenang, bersepeda dengan kecepatan 5-9 mil per jam, bermain tenis (ganda), yoga, golf, menari, berkebun, dan sebagainya (Norton et al. 2010).
ACSM (2014) merekomendasikan untuk melakukan latihan MIT sebanyak 5 kali per minggu. Pada umumnya, semua orang dapat memulai latihan MIT tanpa evaluasi medis kecuali individu dengan penyakit tertentu. Izin medis diperlukan sebelum memulai program latihan MIT jika individu mengidap penyakit serius atau ragu dengan kondisi kesehatannya. Latihan MIT biasanya dikombinasikan dengan latihan intensitas berat (HIIT) untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Biasanya durasi latihan MIT berkisar 30-60 menit per hari untuk mencapai total 150 menit per minggu sesuai yang direkomendasikan. Jika ingin mengurangi berat badan, lemak tubuh, dan mengurangi faktor risiko penyakit disarankan melakukan latihan selama 60-90 menit per hari sehingga mencapai 180-300 menit per minggu. Latihan MIT mungkin kurang efektif dalam menurunkan berat badan selama perlakuan, namun memiliki manfaat untuk meningkatkan kesehatan. Manfaat latihan MIT untuk individu obesitas antara lain meningkatkan kebugaran aerobik (VO2max); memperbaiki profil lipid terutama menurunkan trigliserida dan
13 kelompok sosial sehingga menjadi pemacu untuk menurunkan berat badan dalam jangka waktu yang lama; menurunkan risiko penyakit yang terkait dengan obesitas seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, dan hipertensi; membantu dalam proses penurunan berat badan dan mencegah peningkatan berat badan di masa yang akan datang (Nieman 2011).
High Intensity Interval Training (HIIT)
HIIT (High Intensity Interval Training) merupakan latihan dengan intensitas berat dengan waktu yang lebih efisien. Jenis latihan ini biasanya melibatkan gerakan berulang dengan intensitas tinggi diikuti dengan waktu recovery (pemulihan) yang bervariasi. Manfaat dari HIIT antara lain memperbaiki kebugaran aerobik dan anaerobik, tekanan darah, kesehatan kardiovaskular, sensitifitas insulin, profil kolesterol, berat badan dan lemak abdominal serta meningkatkan massa otot. Latihan HIIT dapat dengan mudah dimodifikasi untuk semua orang sesuai dengan tingkat kebugaran dan kondisi tertentu, misalnya overweight dan diabetes. Latihan HIIT dapat dilakukan pada berbagai jenis olahraga termasuk bersepeda, berjalan, berenang, dan lainnya. Latihan intensitas berat dilakukan setidaknya lebih 3 kali per minggu dengan durasi berkisar 20-60 menit per hari (Nieman 2011).
Latihan HIIT memberikan manfaat kebugaran secara terus menerus seperti olahraga aerobik tetapi dalam waktu yang singkat. Hal ini dikarenakan latihan HIIT cenderung membakar lebih banyak kalori daripada latihan yang biasa, terutama setelah latihan. Periode pasca latihan sering disebut EPOC (Excess Post-Exercise Oxygen Consumption). Pada umumnya hal ini terjadi 2 jam setelah latihan dengan intensitas berat dimana tubuh memulihkan dirinya sendiri seperti saat sebelum latihan sehingga membutuhkan energi yang lebih besar. Latihan HIIT cenderung berat sehingga EPOC yang dihasilkan jauh lebih besar yang mengakibatkan penambahan sekitar 6-15% kalori untuk pengeluaran energi secara keseluruhan.
Program latihan HIIT harus mempertimbangkan durasi, intensitas, dan interval frekuensi latihan dan panjang interval recovery. Intensitas selama latihan harus berkisar ≥80% dari estimasi denyut jantung maksimum. Sebagai indikator subjektif yang baik, latihan interval seharusnya membuat individu merasa melakukan latihan “berat” sampai “sangat berat”. Untuk mengetahui tingkat latihan responden dapat digunakan tes percakapan. Intensitas pada interval recovery seharusnya berkisar pada 40-50% dari estimasi denyut jantung maksimal. Hal ini akan membuat aktivitas fisik menjadi lebih nyaman dan membantu dalam persiapan latihan interval selanjutnya.
Hubungan antara latihan dan interval recovery sangat penting. Banyak penelitian menggunakan rasio tertentu untuk meningkatkan sistem energi tubuh yang berbeda. Misalnya rasio 1:1, mungkin 3 menit latihan berat (intensitas tinggi) diikuti dengan 3 menit interval recovery. Latihan interval yang sering digunakan sekitar 3, 4, dan 5 menit diikuti dengan interval recovery yang sama. Protokol latihan HIIT lainnya sering disebut “spring interval training method”. Metode ini responden melakukan 30 detik sprint atau mendekati usaha maksimal yang diikuti dengan 4-4.5 menit recovery. Kombinasi latihan ini dapat diulang 3-5 kali. Latihan dengan intensitas yang lebih tinggi biasanya memerlukan waktu yang lebih cepat (30 detik dengan latihan interval sprint).
14
intensitas berat. Riwayat keluarga, merokok, hipertensi, diabetes, kadar kolesterol abnormal, dan obesitas akan meningkatkan risiko ini. Izin medis dari dokter merupakan ukuran keamanan yang sesuai untuk individu dengan kondisi ini sebelum melakukan HIIT. Sebelum memulai latihan HIIT, seseorang harus mengetahui tingkat kebugaran dasar (base fitness level). Base fitness level merupakan latihan aerobik yang konsisten (3-5 kali per minggu selama 20-60 menit per sesi dengan intensitas lebih berat) selama beberapa minggu yang menghasilkan adaptasi otot sehingga meningkatkan transportasi oksigen ke otot. Menentukan latihan yang tepat sebelum melakukan HIIT akan mengurangi risiko cedera.
Latihan HIIT lebih melelahkan dibandingkan latihan aerobik. Oleh karena itu memerlukan waktu recovery yang lebih lama. Latihan interval telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program latihan atletik selama bertahun-tahun dikarenakan berbagai macam bidang olahraga memerlukan gerakan singkat dengan intensitas berat. Latihan interval menjadi metode yang makin diakui dan disukai dalam pelaksanaan latihan. Penggabungan latihan interval ke dalam program latihan umum akan mengoptimalkan perkembangan kebugaran aerobik dan banyak manfaat kesehatan lainnya (ACSM 2014).
Kenyamanan Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik merupakan masalah yang terjadi pada kalangan remaja. Tingginya prevalensi remaja yang kurang beraktivitas fisik mengakibatkan perlunya identifikasi hubungan aktivitas fisik saat remaja dan kemudian merancang intervensi untuk meningkatkan aktivitas fisik. Teori expectancy-value telah digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi aktivitas fisik saat remaja. Salah satu komponen yang dikaitkan dengan aktivitas fisik adalah kenyamanan. Kenyamanan dapat digambarkan sebagai keadaan postif yang merefleksikan perasaan seperti kegembiraan, keinginan, dan menyenangkan. Penelitian deskriptif dan korelasional telah menunjukkan bahwa kenyamanan mungkin terkait dengan aktivitas pada saat remaja (Motl et al. 2001).
Studi telah meneliti hubungan antara kenyamanan dan aktivitas fisik namun tidak menggunakan langkah-langkah yang telah cukup divalidasi secara memadai. Kenyamanan telah diukur menggunakan item tunggal yang telah terbukti validitas dan reliabilitasnya. The Physical Activity Enjoyment Scale (PACES) merupakan pilihan yang menjanjikan untuk mengukur kenyamanan. Hal ini telah dibedakan antara pengalaman dalam latihan dibandingkan kondisi yang tidak menyenangkan serta antara metode aktivitas fisik yang dipilih oleh responden dibandingkan dengan metode yang dipilih oleh peneliti (Kendzierski dan DeCarlo 1991).
Kenyamanan aktivitas fisik berkorelasi dengan tingginya tingkat aktivitas fisik (Salmon et al. 2003). Hasil penelitian lainnya oleh Merril et al. (2004) dan Sorensen (2005) juga menunjukkan bahwa kenyamanan aktivitas fisik dipengaruhi oleh tingkat aktivitas fisik seseorang. Kenyamanan aktivitas fisik menjadi salah satu faktor penting dalam melakukan latihan. Hal ini karena kenyamanan aktivitas fisik dapat meningkatkan efektifitas dalam periode latihan jangka panjang.
15 Kerangka Pemikiran
Tingkat kebugaran yang rendah pada remaja obes akan meningkatkan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Kebugaran aerobik pada remaja obes dipengaruhi salah satunya oleh aktivitas fisik. Latihan merupakan jenis aktivitas fisik yang memerlukan perencanaan, terstruktur, dan pergerakan tubuh yang berulang untuk meningkatkan kebugaran aerobik (Hoeger dan Hoeger 2012). Intensitas latihan mengacu pada besarnya upaya yang diperlukan untuk melakukan latihan (Norton et al. 2010). Penelitian Tjonna et al. (2008) dan Ciolac et al. (2010) menunjukkan bahwa intensitas latihan merupakan faktor penting untuk meningkatkan nilai VO2max. Hasil penelitian pada remaja obes oleh Araujo et al. (2012) dan Buchan
et al. (2011) juga menunjukkan penurunan nilai indeks massa tubuh (IMT) yang signifikan setelah melakukan latihan intensitas sedang dan berat. Hasil penelitian lainnya oleh Fisher et al. (2015) dan Heydari et al. (2012) pada laki-laki gemuk dan obes menunjukkan bahwa terjadi penurunan persen lemak tubuh (PLT) yang signifikan pada subjek yang diberikan latihan intensitas sedang dan berat.
Obesitas dipengaruhi oleh diet dan aktivitas fisik. Dalam penelitian ini, diet merupakan variabel yang digunakan sebagai kovariat dan lebih memfokuskan pada aktivitas fisik yaitu intensitas latihan. Intensitas latihan efektif dalam mencegah peningkatan obesitas melalui perbaikan status gizi dan komposisi tubuh serta peningkatan kebugaran aerobik (VO2max). Intensitas latihan yang diteliti dalam
penelitian ini yaitu Moderate Intensity Training (MIT) dan High Intensity Interval Training (HIIT). Sehingga, diharapkan penelitian ini dapat memperbaiki status gizi dan komposisi tubuh yang lebih baik serta peningkatan kebugaran aerobik. Status gizi diukur berdasarkan indikator indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang-pinggul (RLPP). Komposisi tubuh diukur berdasarkan indikator persen lemak tubuh (PLT). Kebugaran aerobik diukur berdasarkan estimasi nilai VO2max
serta kenyamanan aktivitas fisik berdasarkan skala kenyamanan aktivitas fisik. Kerangka pemikiran intervensi penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
Keterangan
: Variabel yang diteliti, : Variabel yang tidak diteliti Gambar 2 Kerangka pemikiran intervensi
16
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental yaitu metode penelitian yang melakukan intervensi pada subjek penelitian. Penelitian dilakukan di beberapa tempat di Institut Pertanian Bogor (IPB). Screening awal dilakukan di Common Class Room (CCR) IPB. Pengukuran antropometri, komposisi tubuh, wawancara kuesioner, intervensi latihan, dan tes kebugaran dilakukan di Agrifitness IPB. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga September 2016.
Populasi dan Subjek Penelitian
Target populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa IPB tahun 2016. Populasi studi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa laki-laki Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU) IPB yang berstatus sebagai mahasiswa aktif pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Setelah itu, subjek yang sesuai dengan kebutuhan penelitian (eligible subject) ditentukan berdasarkan dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah remaja laki-laki obes yaitu mahasiswa laki-laki-laki-laki dengan usia ≤19 tahun (WHO 1999) yang memiliki IMT ≥25 kg/m2 (WHO 2000). Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki yang berusia >19 tahun, mahasiswa laki-laki dengan IMT<25 kg/m2, dan mahasiswa laki-laki yang berpartisipasi ≥ 30 menit dari olahraga berat lebih dari 2 hari per minggu serta mahasiswa yang melaporkan adanya penyakit radang akut atau demam, trauma atau cedera, asma yang memerlukan penggunaan steroid atau dirawat di rumah sakit 3 bulan sebelumnya, inflamasi/gangguan imun, penyakit ginjal, jantung, hati, dan lainnya. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No. 803/UN2.F1/ETIK/2016 (Lampiran 1).
Jumlah sampel minimal ditentukan berdasarkan rumus menurut Lemeshow et al. (1997) sebagai berikut.
Keterangan:
n = jumlah subjek minimal
σ = standar deviasi (3.43) kebugaran menurut nilai VO2max pada
laki-laki obes (Fisher et al. 2015)
Z1-α = tingkat kepercayaan, dimana Z = 1.96 dengan tingkat kepercayaan
95%
Z1-β = kekuatan uji, dimana Z = 0.842 dengan power penelitian 80%
µ1-µ2 = perkiraan peningkatan nilai VO2max dari perlakuan sebesar 4.6
ml.kg-1.mnt-1 (Ciolac et al. 2010)
n = 2σ2 (Z1-α/2+Z1-β)2 ; n = 10 subjek
17 Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel masing-masing perlakuan sebesar 10 orang. Jumlah perlakuan pada penelitian ini dibutuhkan 3 kelompok, sehingga jumlah keseluruhan subjek yang dibutuhkan sebesar 30 orang. Gambar 3 menunjukkan diagram pengambilan subjek berdasarkan kelompok intervensi.
Gambar 3 Diagram pengelompokan subjek berdasarkan kelompok intervensi Tiga puluh subjek yang terlibat dalam penelitian ini telah melalui proses screening dari populasi yaitu remaja laki-laki usia ≤19 tahun dengan IMT ≥ 25 kg.m-2. Selanjutnya, subjek menandatangani informed consent sebagai tanda persetujuan. Subjek dibagi dalam 3 kelompok yaitu kontrol, MIT dan HIIT. Penarikan subjek dilakukan dengan metode simple random sampling menggunakan Microsoft Excel 2013. Hal ini berarti setiap subjek memiliki kesempatan yang sama untuk dimasukkan dalam 3 kelompok yang berbeda. Setiap 2 minggu dilakukan pengukuran BB, TB, LP, LPi, dan PLT. Pengukuran VO2max dan kenyamanan
aktivitas fisik dilakukan di awal dan akhir intervensi
Peralatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa macam peralatan. Intervensi latihan menggunakan treadmill merek Kettler. Denyut jantung diukur dengan menggunakan heart rate monitor merek Beurer. Pengukuran antropometri terdiri dari pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar pinggang (LP), lingkar pinggul (LPi), dan komposisi tubuh. BB diukur menggunakan timbangan digital merk Omron dan TB diukur menggunakan stadiometer. LP dan LPi diukur menggunakan meteran serta persen lemak tubuh (PLT) diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) merek Omron. Peralatan yang digunakan untuk tes kebugaran aerobik antara lain pluit, speaker, laptop dengan rekaman 20 metres shuttle run test.
Kontrol n = 10
Diukur BB, TB, LP, LPi, persen lemak tubuh (setiap 2 minggu), nilai VO2max dan kenyamanan aktivitas fisik (awal dan akhir)
Populasi
Subjek obes (IMT ≥25 kg.m-2)
Total subjek n = 30
MIT n = 10
18
Pelaksanaan Intervensi
Subjek secara acak masuk dalam 3 kelompok yaitu kontrol, MIT, dan HIIT. Pada kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan sama sekali, hanya melakukan 20 metres shuttle run test sebanyak dua kali yaitu sebelum dan setelah masa intervensi. Untuk kedua kelompok intervensi baik MIT maupun HIIT, sesi kegiatan latihan dilakukan pada treadmill dan diselesaikan pada 3 hari tidak berturut-turut per minggu selama 6 minggu. Sebelum kegiatan intervensi dilakukan, para responden diharuskan untuk mencoba latihan baik MIT dan HIIT. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kisaran denyut jantung responden yang kemudian akan disesuaikan dengan kecepatan treadmill masing-masing responden.
Setiap subjek memulai intervensi dengan melakukan peregangan terlebih dahulu yang dimulai dari kepala hingga kaki sesuai dengan instruksi peneliti. Kemudian melakukan latihan yang dimulai dengan 5 menit pemanasan terlebih dahulu dengan cara berlari di treadmill pada 50-55% HRmax dari denyut jantung maksimal yang diprediksi menurut usia sebagaimana ditentukan oleh persamaan berikut: HRmax = 220-U(usia). Pengukuran denyut jantung maksimal dengan menggunakan heart rate monitor dengan alat pendeteksi denyut jantung yang dipasang pada dada responden yang terhubung dengan monitor denyut jantung. Monitor denyut jantung berupa jam digital dipegang oleh peneliti untuk mengawasi responden agar tetap melakukan latihan sesuai dengan range denyut jantung tiap responden. Subjek diingatkan rentang denyut jantung personal dan diperintahkan untuk tetap berada dalam kisaran tersebut selama latihan.
Subjek dalam kelompok MIT diizinkan untuk berlari pada kecepatan dan beban kerja (workload) yang bebas selama mereka masih berada dalam kisaran denyut jantung mereka. Setelah pemanasan, kelompok MIT berlari terus-menerus selama 30 menit pada 65-70% HRmax. Kelompok HIIT dilakukan kegiatan berlari selama 2 menit pada 90-95% HRmax dengan satu menit pemulihan aktif pada 55% dari % HRmax antara setiap interval sebanyak 10 set untuk total selama 30 menit. Subjek dalam kelompok HIIT diperintahkan untuk berlari dengan kecepatan maksimal dengan beban kerja yang disesuaikan oleh instruksi peneliti.
Latihan MIT dan HIIT berakhir dengan 5 menit pendinginan pada 50-55% dari HRmax. Total latihan yang dilakukan oleh subjek pada kelompok MIT dan HIIT yaitu 40 menit. Setelah latihan, responden diharuskan melakukan peregangan sesuai dengan instruksi peneliti. Sebelum dan sesudah latihan, subjek diharuskan melakukan peregangan sesuai instruksi peneliti untuk menghindari cedera dan diwajibkan mengonsumsi air putih sebanyak 250 ml yang bertujuan untuk menjaga status hidrasi subjek tetap baik agar performa tetap optimal.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
19 Tabel 2 Variabel, data, metode, dan waktu
No Variabel Data Metode Waktu
Pengolahan dan analisis data menggunakan Nutrisurvey 2005, Microsoft Excel 2013, dan SPSS versi 16.0. Pengolahan data yang dilakukan meliputi entry, coding, editing, dan cleaning setelah mendapatkan data. Analisis data dilakukan secara bertahap dari data kuesioner sampai data siap untuk dianalisis. Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik.
Data karakteristik subjek dikumpulkan melalui pengisian kuesioner meliputi usia, asupan dan tingkat kecukupan gizi, kebiasaan olahraga, kenyamanan aktivitas fisik, dan pengerahan tenaga yang dirasakan. Kemudian, pengukuran langsung meliputi status gizi dengan indeks massa tubuh, lingkar pinggang dan lingkar pinggul, komposisi tubuh dengan persen lemak tubuh, denyut jantung, dan tingkat kebugaran aerobik (VO2max).
20
kemudian dikonversi ke dalam zat gizi. Kemudian, tingkat kecukupan gizi (TKG) meliputi energi, protein, lemak, dan karbohidrat subjek dihitung dengan kebutuhan masing-masing subjek. Data food recall 2x24 jam diambil sebelum dan setelah masa intervensi. Selanjutnya akan dilihat tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan kategori yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Kategori Persentase AKG (%)
Defisit ringan 80 – 89
Normal 90 – 119
Kelebihan ≥120
Sumber: Gibson (2005)
Pengerahan tenaga yang dirasakan (Rate Percieved of Exertion / RPE) merupakan pengukuran persepsi subjektif terhadap pengerahan tenaga yang dirasakan ketika latihan. RPE ditentukan dengan skala Borg (Borg 1982). Subjek diminta memberi penilaian terhadap aktivitas fisik yang dilakukan, kesulitan bernafas, dan kelelahan umum yang dirasakannya setelah mengikuti latihan. Rentang nilai skala Borg antara 0 (tidak terasa sama sekali) sampai 10 (maksimal atau terlalu berat).
Pengukuran kebugaran aerobik yang digunakan di dalam penelitian ini adalah 20 metres shuttle run test. Tes ini dianggap sesuai untuk mengukur kebugaran aerobik pada anak dan remaja (Melo et al. 2011). Penilaian tingkat kebugaran menggunakan rumus Matsuzaka et al. (2004) untuk memprediksi nilai VO2max
yaitu:
Kategori kebugaran berdasarkan nilai VO2max disajikan pada Tabel 3.
Keterangan:
VO2max = asupan oksigen maksimum (ml.kg-1.mnt-1)
JK = jenis kelamin (0 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan) U = usia (tahun)
IMT = indeks massa tubuh (kg.m-2) TL = total lap
Hasil nilai VO2max yang didapat selanjutnya disesuaikan ke dalam 6 kategori
kebugaran pada remaja (David dan Samuel 2015). Kategori kebugaran remaja usia 13-19 tahun berdasarkan nilai VO2max disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Kategori tingkat kebugaran remaja berdasarkan nilai VO2max
Kategori Nilai VO2max (ml.kg-1.mnt-1)
Sangat Buruk <35.0
Buruk 35.0 - 38.3
Biasa 38.4 - 45.1
Sumber: David dan Samuel (2015)