III(A) : Lesi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis
III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing lupus nefritis
III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar Kelas IV Difuse lupus nefritis
IV-S(A) : Lesi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis IV-G(A) : Lesi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis IV-S (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-G (A/C) : Lesi aktif dan kronis
IV-S (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar IV-G (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti dsDNA dan C3.
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk
28 Tatalaksana Lupus Nefritis12
a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif diperlukan.
b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.
c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja atau dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit yang baik.
d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan LES masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitors
29
e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3 bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan. g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameter berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid, karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal juga meningkat.
J. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita
30
pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.
31 BAB III
KESIMPULAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan saalah satu penyakit yang tidak mudah didiagnosa dikarenakan banyaknya variasi dari manifestasi klinis yang ditimbulkannya. Dalam melakukan penegakan diagnosa LES dibutuhkan adanya pengamatan klinis yang baik serta pemeriksaan Antibodi Antinuklear (ANA), yang keduanya harus menunjukan hasil yang positif.
Penatalaksanaan pada LES dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis diantaranya edukasi dan program rehabilitasi, sedangkan terapi farmakologis meliputi terapi konservatif dan terapi agresif
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari : http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf
3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318. 4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat alaksanaannya.pdf
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page. J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110
8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol; 282-288
9. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7]. Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf 10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Roth•ield NF, et al.
1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277
33
11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta