• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metafora Digunakan Sebagai Suatu Bentuk

BAB II DESKRIPSI PROYEK

III.2. Tinjauan Umum

III.2.1. Pengertian Arsitektur Metafora

II.2.1.4. Metafora Digunakan Sebagai Suatu Bentuk

desain yang menunjukkan penggunaan metafora didalamnya yaitu :

a. Antoniades yang mengkategorikan desain berdasarkan prosesnya menujukkan bahwa kategori “strategi adopsi” merupakan strategi desain yang mengggunakan metafora dalam prosesnya.

b. Broadbent yang mengaktegorikan desain berdasarkan aktivitas atau cara, menunjukkan bahwa kategori “Analogi Desain” menggunakan metafora dalam cara mendesainnya.

Persamaan kedua pendapat tersebut terletak pada aspek proses atau aktivitas dalam desain yang menggunakan metode pengalihan (adopsi dan analogi) konsep dari suatu objek kepada objek lain.

Ririn Ariska | 080406015

56

Dilihat dari sudut Arsitektur sebagai produk, terdapat tipe desain dan konsep desain yang menunjukkan penggunaan metafora didalamnya, yaitu :

Pierce yang mengkategorikan desain sebagai system tanda, menunjukkan bahwa kategori ‘Simbol’ lebih memperlihatkan penggunaan metafora dalam karya fisiknya.

Kategori symbol memerlukan pemahaman yang cukup kompleks, karena melibatkan aspek yang lebih bersifat abstrak daripada literal.

White dengan konsep metafora yang melihat hubungan antar hal secara abstrak (looking at abstraction) jelas menunjukkan metafora dalam konsep arsitektur.

Konsep adalah gagasan-gagasan yang memadukan berbagai elemen dalam satu keutuhan. Suatu konsep mensyaratkan bagaimana tuntutan programatik, konteks dan filosofi perancang serta klien dapat disatukan. Jika diurutkan menjadi semakin kompleks, makin realistis dan semakin dipikirkan secara mendalam, maka dapat diperoleh urutan :

Angan-angan Ide Konsep Skenario.

Pada dasarnya arsitektur dapat dikatakan sebagai sebuah alat komunikasi bagi sang arsitek yang ingin memvisualisasikan idealisme pribadinya dalam proses kreatif kepada siapapun yang menikmati dan mengapresiasi hasil karyanya. Proses komunikasinya sendiri penuh dengan interpretasi. Disini kesenjangan latar pengetahuan dan budaya dapat menjadi sebuah dinding penghalang bertemunya sebuah idealism kreatif dengan opini individual bahkan masyarakat selaku apresiator, terlebih jika bahasa yang digunakan bersifat literal.

Penggunaan bahasa metaforik yang “bersayap” dan kaya akan interpretasi makna, memerlukan penghayatan dan penelusuran dalam mengapresiasinya. Seperti pisau yang bermata dua, pada satu sisi metafora dapat digunakan sebagai alat untuk mengakselerasi imajinasi kreatif dalam proses desain, sedang disisi lain dapat digunakan untuk mengupas dan mengkritik desain itu sendiri.

Jika mengikuti kategori metafora menurut Antoniades dan Broadbent, maka kualitas penggunaan metafora dapat dinilai berdasarkan aspek yang dijadikan acuan (referensi) dan penampakannya dalam suatu hasil desain. Aspek yang lebih bersifat substansial dianggap lebih baik daripada yang hanya bersifat visual literal

Ririn Ariska | 080406015

57

dan keberadaan metafora yang memerlukan identifikasi mendalam dianggap lebih baik daripada penampakan metafora secara langsung.

III.2.1.5. Metode Apresiatif Penggunaan Metafora Dalam Karya Arsitektur

Pada tataran teknis pembahasan tentang metafora karya arsitektur dapat dilakukan secara deskriptif-kualitatif. Karena produk arsitektur bersifat fisik yang melibatkan unsure bentuk, warna, dan komposisi, maka bahasa grafis menjadi penting, sehingga analisa terhadap muatan metafora dari aspek arsitektur sebagai proses maupun produk yang lebih menekankan pada analisa grafis, untuk kemudian dideskripsikan interpretasi kualitas penggunaan metaforanya.

Sebagai suatu strategi dalam memicu imajinasi kreatif seorang arsitek, metafora pada dasarnya sangat tergantung pada background knowledge arsitek sebagai individu. Kekuatan metafora tersebut kemudian ditentukan dari interpretasi orang lain sebagai apresiator. Pada bagian ini, kesetaraan intelektual antara sang arsitek dengan apresiator menjadi penentu kesamaan bahasa dalam memaknai metafora dari karya yang sedang diapresiasi. Untuk meminimalisir kesenjangan bahasa dalam analisa, maka apresiator perlu melihat latar belakang dan pandangan-pandangan arsitek, disamping konsep dan karya fisiknya.

Pada bagian karya arsitek, analisa penggunaan metafora dilakukan dalam tiga aspek yaitu aspek ide/konsep, aspek strategi transformasi, dan aspek fisik produk desainnya.

• Pada aspek ide/konsep perlu ditelusuri pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan awal yang menjadi latar belakang disain yang sangat memungkinkan berasal dari idealisme, pandangan hidup maupun keyakinan sang arsitek.

• Aspek transformasi perlu di klarifikasi konsep-konsep dengan rancangan desain baik yang berupa gambar, sketsa maupun naratifnya.

• Aspek produk perlu dicermati dan dihayati baik secara visual maupun spasial (rasa ruang), dari susunan elemen-elemen pembentuk bangunan kemudian diapresiasi berdasarkan konsepnya.

Ririn Ariska | 080406015

58

Penggunaan metafora dalam aspek ini bersifat substansial/abstrak yang lebih menekankan pada penelusuran yang bersifat kontemplatif. Pada bagian referensi nila kualitas metafora dinilai lebih tinggi apabila pengalihan konsep dilakukan pada aspek yang lebih bersifat subtansial (intangible) yaitu nyata daripada aspek yang hanya bersifat citra visual / literal. Penilaian kualitas makna metafora semakin tinggi dari urutan objek, ikon, index, dan symbol.

Pada bagian pendeteksian, identifikasi penggunaan metafora akan bernilai lebih tinggi jika petunjuk tentang adanya metaforandapat dideteksi oleh apresiator. Dalam hal ini, kualitas metafora bergantung pada kualitas paparan dan sikap sang arsitek dalam memilih objek dalam menjelaskan ide, strategi, dan transformasi desainnya daripada lebih memilih untuk merahasiakannya. Pada akhirnya secara akumulatif dapat dibuat batasan-batasan penilaian pada kualitas penggunaan metafora secara keseluruhan.

III.2.2. Perkembangan Aliran Arsitektur Metafora

Menurut Sumalyo Yulianto, penulis buku Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX,1997,. Menyatakan bahwa post-modern adalah istilah untuk menyebut suatu massa atau zaman dipakai untuk menguraikan bentuk budaya dari suatu titik pandang yang berlawanan atau pengganti istilah modernisme. Menurut Charles Jencks arsitektur post-modern dapat dibagi bagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

Sintaksis : dalam semiologi, ‘sintaksis’ berarti cara atau teknik penyusunan kata-kata hingga membentuk sebuah kalimat yang bermakna. Dalam arsitektur, penyusunan kalimat dalam ilmu bahasa tersebut analog dengan penyusunan komponen-komponen bangunan (pintu, jendela, tangga, atap, kolom, dinding dan sebagainya) secara tepat sehingga mampu menghasilkan penampilan visual bangunan yang bermakna.

Semantik : unsur ini menentukan gambaran yang tercipta dalam ingatan seseorang manakala mendengar serangkaian kata atau kalima yang diucapkan oleh orang lain. Dalam hal ini Charles Jencks berpendapat bahwa sejak dulu sebetulnya masyarakat sudah memiliki prototype-prototype bangunan yang berkaitan dengan penggunaannnya, sehingga hal ini sangat membantu terhadap pemahaman tentang apa yang akan dikomunikasikan bangunan terhadap lingkungan sekitarnya.

Ririn Ariska | 080406015

59

Metafora : yang dimaksud dengan metafora disini adalah hadirnya suatu arti kiasan dari ‘kalimat’ yang dihasilkan setelah kata-kata dirangkaikan.

Metafora dapat dilakukan bilamana :

o Berusaha untuk memindah rujukkan dari satu subyek ke subyek yang lain.

o Berusaha untuk ‘melihat’ sebuah subyek sebagaimana jika subyek itu berupa subyek yang lain.

o Memindahkan pusat perhatian kita dari satu hal ke hal lain (area of

concentration or one inquiry) dengan suatu harapan bahwa dengan jalan

memperbandingkan / memikirkan lebih jauh kita dapat menemukan cara lain.

Dokumen terkait