• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik .1 Definisi dan anatomi konflik

2.1.3 Metoda pengelolaan konflik

Melling (1994) dalam FAO (1998) mendefinisikan conflict resolution

sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan pada semua pihak yang berkonflik untuk memperbesar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya akan mendapat bagian “kue” yang lebih besar. Definisi

ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak.

Conflict resolution atau resolusi konflik adalah jalan keluar dari

perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi, dimana pihak–pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dengan membahas isu-isu resolusi konflik tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan dari pihak luar yang bertikai. Tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain.

Singth dan Vlatas (1991) menyatakan bahwa ada lima pendekatan yang dapat digunakan oleh pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik, yaitu :

1) Forcing. Pendekatan yang bersifat win-lose solution, dimana satu pihak

merasa menang dan pihak lain merasa kalah. Pendekatan ini sering menimbulkan rasa marah dan rusaknya hubungan antara pihak yang berkonflik.

2) Withdrawal. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik keluar dari konflik

atau menghindari isu konflik. Pendekatan ini tidak efektif karena konfliknya sendiri tidak diselesaikan secara tuntas.

3) Smoothing. Pendekatan yang lebih mencari kesamaan pandangan daripada

perbedaan terhadap isu konflik. Sebagaimana withdrawal, pendekatan ini pada dasarnya tidak mampu menyelesaikan akar konflik, dengan demikian perbedaan pandangan yang menjurus pada timbulnya konflik susulan dapat terjadi.

4) Compromising. Pendekatan dimana masing-masing pihak yang berkonflik

saling menimbang dan mencari solusi. Kompromi dapat dicapai dan sering kali dengan melibatkan pihak ketiga, negoisasi dan bahkan voting. Resolusi konflik pada pendekatan ini dipengaruhi oleh kekuatan relatif dari masing-masing pihak.

5) Confrontation. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik menyelesaikan perbedaan diantara mereka dengan memfokuskan pada isu konflik, kemudian mencari alternatif resolusinya dan akhirnya memilih alternatif yang terbaik dalam menyelesaikan konflik.

Pendapat lain mengelompokkan resolusi konflik ke dalam suatu kontinum. Kontinum adalah suatu alur yang menghubungkan dua kondisi ekstrim yang bertolak belakang, mulai dari pelanggaran dan perusakan pada satu sisi hingga kondisi pembiaran konflik itu tetap terjadi (masa bodoh) pada sisi yang lain. Diantara ke dua ektrim tadi maka pendekatan resolusi konflik sebenarnya bekerja.

Mengacu pada formalitas legal, proses resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau resolusi konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR).

Melalui proses resolusi konflik secara litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis resolusi konflik alternatif (ADR) yang sering digunakan terdiri dari negoisasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase.

Berbagai pakar resolusi konflik sering menggunakan konsep piramid sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik. Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke

cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan

menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.

Pemilihan metode resolusi konflik sangat situasional. Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik

pendekatan ini merupakan pendekatan yang terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Dalam sistem hukum formal, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih superior di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya konflik dimana batasan hukumnya sudah jelas.

Dalam resolusi konflik, seorang dari luar atau satu orang yang penting dapat diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat

Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable

settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Substantive interests, yaitu: content need, dana, waktu, material dan

sumberdaya.

2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara

bagaimana sesuatu dapat diselesaikan.

3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada

perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.

Ketiga prasyarat di atas sering digambarkan dalam bentuk “satisfaction triangle” seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 . Segitiga kepuasan (Diadopsi dari Lincoln 1986)

Idealnya partisipasi masyarakat dan pengelolaan konflik berupaya mencapai titik A, yaitu kondisi optimal dimana prosedur, psikologi dan kepentingan substantif secara seimbang dapat dipenuhi. Tetapi sering kali yang tercapai adalah kondisi yang tidak optimal, misalnya pada titik B. Pada titik ini masalah substantive atau content aspect dapat terpenuhi tetapi pencapaian kedua aspek lainnya (psikologi dan prosedur) relatif rendah.

Pengelolaan konflik (conflict management) terdiri atas berbagai teknik yang digambarkan dalam suatu spektrum. Perbedaan teknik resolusi konflik tersebut disebabkan derajat formalitas/struktur, partisipasi pihak ketiga (seperti fasilitator atau mediator) dan derajat partisipasi langsung dari pihak yang berkonflik Spektrum tersebut dapat digambarkan dalam suatu kontinum seperti pada Gambar 3. A B Psikologi Prosedur Kepentingan substantif

Gambar 3. Kontinum teknik alternative dispute resolution (Diadopsi dari Priscoli 2003)

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik resolusi konflik berada dalam suatu kontinum dimana hot tub (A) dan war (B) berada pada masing-masing titik ekstrimnya. Semakin ke arah A maka formalitas hukumnya menjadi semakin rendah, sementara ke arah B, formalitas hukumnya semakin kuat. Disepanjang kontinum terdapat beragam teknik resolusi konflik yang dapat dikelompokkan kedalam tidak dibimbing (unassisted), dibimbing (assisted) dan keputusan dari pihak ke tiga (third party decision making). Titik C ke kanan memperlihatkan posisi dimana resolusi konflik diserahkan kepada pihak ke tiga, misalnya pengadilan atau hakim.

Pada daerah assisted, proses resolusi konflik dilakukan dengan melibatkan pihak ke tiga, tetapi peranannya hanya terbatas pada perancangan kesepakatan melalui diagnosis konflik secara bersama, membangun alternatif resolusi bersama serta penerapannya secara bersama pula. Pengalaman menunjukkan pihak yang berkonflik sering lebih memilih daerah kiri, karena pada daerah kanan kontinum sering memunculkan pihak yang menang (winner) dan pihak yang kalah (looser).

Gambar diatas juga memperlihatkan bahwa suatu konflik dapat saja diselesaikan tanpa bantuan pihak lain, yang dalam hal ini dilakukan melalui

A

Hot Tub

B

C

Perang Tidak

dibimbing Keputusan dari

pihak ke tiga Dibimbing

Tidak mengikat Mengikat

- Arbritasi - Arbitrasi - Summary jury - Panel sengketa Trial - Pengadilan - Judging

Relationship Building Procedural Assistance Assistance

- Counceling - Coaching - Conciliation consultation - Team building - Training - Informal sosial - Facilitation activities - Mediation

Substantive Assistance

- Mini-trial

- Technical advisory board - Dispute panels - Advisory mediation - Fact finding - Settlement conference Substantif - Konsiliasi - Saling tukar info - Kerjasama - Negosiasi

diskusi maupun negoisasi. Namun, jika unassisted conflict resolution ini sudah tidak efektif lagi, maka pihak yang berkonflik dapat mengundang pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan konfliknya.

Guna memilih alternatif resolusi konflik yang terbaik, Priscoli (2003) merancang beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk menilai situasi serta menilai apakah ADR tepat untuk digunakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya terkait dengan lima hal, yaitu: 1) keberadaan pihak yang memiliki otoritas yang mampu mewakili pihak yang berkonflik, 2) kemungkinan terjadinya konflik susulan sebagai akibat dari pemilihan teknik resolusi, 3) prasyarat dan prekondisi yang dibutuhkan, 4) apakah ada mekanisme yang menjamin pelaksanaan kesepakatan yang telah dibuat, dan 5) bahaya atau kerusakan yang mungkin muncul dari proses resolusi konflik.

Sementara untuk mengetahui teknik ADR yang paling sesuai, Priscoli (2003) mengajukan beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan, yaitu: 1) apakah kita akan menghindari konflik atau menyelesaikan konflik yang telah muncul, 2) apakah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat dipertemukan, 3) apakah sumberdaya teknik maupun hukumnya diantara pihak yang berkonflik sudah seimbang, 4) jumlah pihak yang terlibat dalam konflik, 5) apakah aktor kuncinya saling antagonis, 6) pertimbangan waktu, biaya dan 7) hasil yang diharapkan yang menjadi perhatian utama.

Guna menjelaskan penyebab terjadinya konflik, maka pengenalan terhadap tipologi konflik menjadi penting. Sedangkan dengan mengetahui tipologi konflik maka akan dapat dianalisis penyebab serta alternatif penanggulangannya. Tipologi tidak berupaya untuk menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi hanya berupaya menarik benang merah serta karakteristik khusus yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966). Dengan mereduksi karakteristik nyata (perceptual) ke dalam model konseptual, maka tipologi dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan perbandingan dan bahkan prediksi.

Proses merekonstruksi suatu tipologi membutuhkan beberapa kali interaksi dan iterasi, suatu model awal dari tipologi dibangun dan kemudian diuji. Dengan demikian dalam proses membangun sebuah tipologi dibutuhkan pemurnian.

Tipologi mempunyai dua fungsi, yaitu: bertindak sebagai filter dalam proses awal suatu penelitian dalam rangka menganalisis hipotesis dengan menggunakan data sekunder. Sedang fungsi tipologi yang kedua adalah sebagai suatu alat untuk merekontruksi berdasarkan data primer dan bukti-bukti yang ada.

Obserschall (1973) menyatakan telah banyak peneliti dibidang conflict

resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. Di

sektor perikanan, Charles (1992) telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi. Menurutnya, konflik yang terjadi dapat dikelompokkan ke dalam konflik jurisdiksi, masalah pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik inter sektoral. Selanjutnya, Warner and Jones (1998) mengelompokkan tipologi konflik ke dalam: micro conflicts, inter

micro-micro conflicts dan micro-macro conflicts serta menelaah pada level mana saja

konflik tersebut dapat muncul.

Sithole and Bradley (1995) mengelompokan konflik berdasarkan aktor atau pelakunya, yang dalam hal ini adalah konflik antara pemerintah dan institusi (yaitu mereka yang merasa berhak mengatur sumberdaya perikanan) atau konflik antara pengguna sumberdaya itu sendiri. Tipologi konflik yang lebih maju berhasil dikelompokkan oleh FAO (1996). Pengelompokan didasarkan pada level

mana konflik itu sendiri terjadi (mulai dari konflik rumah tangga hingga ke konflik internasional), penyebab terjadinya konflik (terkait dengan akses, kualitas sumberdaya, otoritas, nilai sumberdaya, informasi dan hukum) serta status penyebab konflik (immediate, intermediate, root). Tipologi konflik menurut FAO (1996) tersebut digambarkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tipologi konflik (Diadopsi dari FAO 1996)

Level konflik

Penyebab Konflik

AKSES KUSUM OTORI NISUM PEMIN ISKEB RUTAN * INKON * * INTKO * * * LOKAL * * * * NASIO * * * * * * INTER * * * * * * Keterangan :

RUTAN : Rumah tangga AKSES : Akses

INKOM : Intra komunitas KUSUM : Kualitas sumberdaya INTKO : Inter komunitas OTORI : Otoritas

LOKAL : Lokal NISUM : Nilai sumberdaya

Karena pada kenyataannya konflik yang melibatkan faktor sosial, ekonomi dan lingkungan ternyata sangat kompleks, maka proses analisis dapat dilakukan dengan membuat pemetaan atau diagram yang menggambarkan: pihak yang terlibat dalam konflik, peranan dan pengaruhnya, serta bentuk hubungan antar pihak yang terlibat

Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam menganalis konflik adalah analisis hubungan (relationship analysis). Pendekatan ini menganalisis hubungan

stakeholder (aktor) yang terlibat di dalam konflik. Karena peranan stakeholder

(baik itu secara politis, ekonomi maupun lingkungan) menentukan bentuk hubungan antara aktor dengan sumberdaya, maka analisis hubungan (relationship) cocok untuk digunakan (FAO 1996). Pengaruh variabel politik, ekonomi dan lingkungan terhadap terjadinya konflik sangat bergantung pada tingkatan masyarakat yang akan digunakan sebagai langkah awal dalam menganalisis konflik. Ketika menganalisis konflik dari perspektif aktor, terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah: tujuan aktor, peta kekuatan, dan informasi yang dibutuhkan serta digunakan. Jabri (1996), berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang lebih kuat kedudukannya dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, dimana jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya. Pendekatan relationship analysis dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan antar aktor dalam resolusi konflik (Diadopsi dari FAO 1996)

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karenanya, selain mengenai tipologi konfliknya maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting. Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Fisher (2000), mengelompokkan tahapan konflik menjadi lima bagian, yaitu: prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Tahap prakonflik dicirikan oleh adanya ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih. Pada tahap ini konflik masih tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih sudah mengetahui potensi terjadinya konfrontasi.

Pada tahap konfrontasi, konflik menjadi semakin terbuka dan dicirikan oleh adanya pertikaian atau aksi demonstratif atau perilaku konfrontatif lainnya. Masing-masing pihak yang berkonflik mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di

antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-masing pihak.

Tahapan selanjutnya adalah tahap krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal antara pihak yang berkonflik kemungkinan terputus, sementara pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

Pada tahapan akibat, suatu pihak mungkin menaklukan pihak yang lain atau mungkin melakukan gencatan senjata. Sementara pihak lainnya mungkin menyerah atau menyerah atas desakan orang lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegoisasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Tingkat ketegangan pada tahap ini sudah menunjukkan penurunan dibandingkan pada tahap konfrontasi atau krisis, sehingga dimungkinkan adanya upaya resolusi.

Tahap pascakonflik merupakan tahap akhir dari konflik dimana semua ketegangan dan konfrontasi diakhiri. Ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke kondisi normal. Namun demikian jika isu-isu atau masalah-masalah yang timbul karena sasaran yang dipertentangkan tidak diatasi dengan baik, maka tahap ini sering kembali menjadi pemicu munculnya kondisi pra konflik yang baru.

Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik adalah human judgement theory (Al-Tabbai 1991). Pendekatan ini melihat bahwa perbedaan kognitif diantara individu merupakan penyebab dasar terjadinya konflik. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu:

1) Human judgement is a covert process. Adalah hal yang sulit bagi seseorang

untuk secara akurat mendeskripsikan proses penilaiannya.

2) Inaccurate reporting. Individu kadangkala tidak mampu secara akurat

mendeskripsikan prinsipnya dalam mengumpulkan informasi untuk memberikan penilaian (judgement).

3) Inconsistency. Hal ini disebabkan karena human judgement merupakan proses

yang sulit untuk dianalisis dan dikontrol secara penuh.

Secara sederhana, proses resolusi konflik dengan menggunakan cognitive

analysis approach, dimulai dari individu membuat kesimpulan atau membuat

depth variable. Uncertain event ini sulit dilihat secara langsung, oleh karenanya kesimpulan penilaian dibuat berdasarkan data atau petunjuk yang tampak (X1, X2, …Xn). Petunjuk ini dikenal pula sebagai surface variable. Selanjutnya surface

variable digunakan untuk melakukan penilaian.

Karena individu tidak memiliki akses kepada uncertain event dan hanya memiliki informasi mengenai surface variable sebagai dasar untuk melakukan penilaian, maka perbedaan atau kesenjangan dapat terjadi antara depth variable

dengan surface variable. Perbedaan tersebut oleh Al-Tabbai (1991), disebut sebagai perbedaan kognitif diantara individu. Perbedaan kognitif tersebut pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya, resolusi konflik yang ditawarkan pada pendekatan ini pada dasarnya adalah menutup kesenjangan kognitif diantara pihak yang berkonflik. Secara skematis resolusi konflik menurut pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Tahap 1: Identifikasi isu konflik Tahap 2: Menentukan tipologi konflik Tahap 3: Penilaian

Tahap 4: Parameter penilaian

Tahap 5: Mengkomunikasikan umpan balik kognitif Tahap 6: Negosiasi antar pihak yang berkonflik

Gambar 5. Prosedur resolusi konflik berdasarkan pendekatan kognitif(Al-Tabbai

et al 1991)

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap konflik dan upaya mencari pemecahan dapat dibagi ke dalam dua tahapan. Losa et al. (2002), menyatakan kedua tahapan tersebut sebagai

descriptive step dan prescriptive step. Pada descriptive step terdapat tiga

karekteristik yang harus diperhatikan, yaitu: posisi aktor pihak yang berkonflik, Kompromi?

Tidak Ya

Selesai

posisi alternatif resolusi konflik, serta posisi alternatif resolusi konflik terhadap aktor.

Dokumen terkait