• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Metode Analisis Data

4.4.4 Metode Analisis Efektivitas DPM LUEP

Metode yang digunakan dalam menganalisa efektivitas DPM LUEP dengan menggunakan analisa deskriptif. Pendeskripsian data dapat menggunakan berbagai cara seperti menjelaskan keefektifan DPM LUEP bagi petani di lokasi penelitian. Ukuran efektivitas yang digunakan adalah sudah terdapat perusahaan penyosohan beras yang mendapatkan DPM LUEP atau belum pada lokasi penelitian.

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL USAHATANI RESPONDEN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Subang secara administratif dibagi menjadi 22 kecamatan yang terdiri dari 245 desa dan delapan kelurahan atau 253 desa atau kelurahan yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khusus, jika dilihat dari sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (Dinas Pertanian Kabupaten Subang, 2007). Penelitian dilaksanakan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Binong yang termasuk dalam Golongan I dalam pembagian air irigasi, dan Kecamatan Pusakanagara termasuk dalam Golongan IV dalam pembagian air irigasi.

Kecamatan Binong terletak disebelah utara dan berjarak ± 22 kilometer dari Ibukota Kabupaten Subang. Kecamatan Binong terbagi menjadi 18 Desa dengan luas wilayah seluruhnya 9.781,90 hektar. Daerahnya terdiri dari lahan sawah 8.466 hektar dan lahan darat 1.315,90 hektar. Kecamatan Binong berada pada ketinggian 16 - 20 meter diatas permukaan laut (mdpl), sedangkan topografi pada umumnya dataran. Batas administratif Kecamatan Binong disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Compreng, disebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikaum, disebelah Utara dengan Kecamatan Pamanukan dan disebelah Selatan dengan Kecamatan Pagaden.

Kecamatan Pusakanagara terbagi dalam 14 Desa dengan luas wilayah seluruhnya 9.569 hektar, terdiri dari lahan sawah 6.600 hektar dan lahan darat 2.969 hektar. Kecamatan Pusakanagara berada pada ketinggian 0 - 20 mdpl. Topografi pada umumnya dataran. Batas administratif Kecamatan Pusakanagara

disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, disebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pamanukan, disebelah utara berbatasan langsung dengan pantai utara dan disebelah selatan dengan Kecamatan Compreng.

5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian

Jumlah penduduk Kecamatan Binong Tahun 2006 sebanyak 84.931 jiwa, terdiri dari laki-laki 41.538 jiwa dan perempuan 43.393 jiwa. Jumlah penduduk menurut umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 No Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1 0-14 23.866 28,10

2 15-29 26.011 30,63

3 30-59 25.046 29,49

4 >60 10.008 11,78

Jumlah 84.931 100

Sumber: Monografi Kecamatan Binong, 2007 (diolah)

Berdasarkan Tabel 8 komposisi penduduk menurut golongan umur adalah sebagai berikut usia 15 sampai 59 tahun adalah termasuk usia produktif, pada usia tersebut jumlahnya paling banyak yaitu mencapai 51.057 jiwa, sedangkan usia yang lebih dari 60 tahun jumlahnya paling sedikit yaitu 10.008 jiwa. Jumlah penduduk menurut umur di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006 tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006

No Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1 0-14 23.824 30,47

2 15-29 23.319 29,82

3 30-59 22.595 28,90

4 >60 8.459 10,81

Jumlah 78.197 100

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Pusakanagara Tahun 2006 sebanyak 78.197 jiwa. Terdiri dari laki-laki 38.387 jiwa dan perempuan 39.810 jiwa. Golongan usia yang paling banyak adalah yang termasuk usia produktif 15 - 59 tahun sebanyak 45.914 atau sebanyak (58,72 persen) dan yang paling sedikit adalah penduduk yang berusia lebih dari 60 yaitu sebanyak 8.459 atau sebanyak (10,81 persen). Jumlah penduduk kedua Kecamatan berbeda Kecamatan Binong memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibanding Kecamatan Pusakanagara. Kedua Kecamatan memiliki persamaan dalam jumlah penduduk yang paling banyak yaitu penduduk pada usia produktif dan penduduk dengan usia lebih dari 60 yang paling sedikit.

Mata pencaharian penduduk dari dua kecamatan sebagian besar adalah bertani. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 27.066 jiwa untuk Kecamatan Binong dan 11.325 jiwa untuk Kecamatan Pusakanagara. Jumlah penduduk menurut pekerjaan Tahun 2006 tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah Penduduk Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Menurut Pekerjaan Tahun 2006

Uraian Jumlah (jiwa)

Kecamatan Binong Jumlah(jiwa) Kecamatan Pusakanagara Petani 27.066 15.325 Pedagang 1.965 1.937 Peternak 1.287 5.255 Perikanan 128 785 Buruh Tani 13.438 5.834 Pegawai 544 767 Buruh Jasa 1.105 3.323 Pengrajin 1.113 1.892 Pelajar 2.648 3.784 Lain-lain 1.763 7.012 Jumlah 51.057 45.914

Sumber: Unit Penyuluhan dan Pelatihan Pertanian Kecamatan Binong dan Pusakanagara, 2007 (diolah)

5.3 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden yang diuraikan meliputi: umur petani, tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, dan status usahatani. Adapun karakteristik yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:

5.3.1 Umur Petani

Berdasarkan hasil wawancara pada 40 petani, 20 petani yang terdapat di Kecamatan Binong dan 20 petani terdapat di Kecamatan Pusakanagara, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebaran umur responden di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dimulai dari umur 31 - 72 tahun. Berdasarkan sebaran tersebut diketahui bahwa jumlah petani paling banyak terdapat pada golongan umur 46-50 tahun yaitu sebanyak 22,50 persen. Jumlah dan persentase petani responden menurut golongan umur di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan Persentase petani Responden menurut Golongan Umur di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 Golongan Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

30-35 3 7,50 36-40 6 15,00 41-45 7 17,50 46-50 9 22,50 51-55 5 12,50 56-60 5 12,50 61-65 3 7,50 66-70 1 2,50 71-75 1 2,50 Jumlah 40 100

Tabel 11 memperlihatkan bahwa usahatani padi dikembangkan oleh sebagian besar petani tanpa memandang usia. Artinya petani yang mengusahakan padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara adalah petani yang

berusia 30 - 35 tahun sampai petani yang berusia 71 - 75 tahun. Usahatani padi biasanya dikembangkan oleh petani yang merupakan usaha turun-temurun dari orang tuanya karena sudah semenjak kecil petani tersebut dikenalkan dengan teknik bertani.

5.3.2 Tingkat Pendidikan

Latar belakang pendidikan yang ditempuh akan mempengaruhi bagaimana cara petani berpikir dan bertindak. Tingkat pendidikan yang diukur disini adalah tingkat pendidikan formal dan non formal. Hasil wawancara dengan petani responden menunjukan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar petani padi sudah mengikuti pendidikan formal, tetapi pada umumnya masih rendah hanya sebatas tamat Sekolah Dasar (SD) atau sederajat yaitu sebanyak 14 jiwa (35,00 persen). Petani responden yang lainnya sembilan jiwa (22,50 persen) tidak tamat SD, tujuh jiwa (17,50 persen) adalah tamat SLTP atau sederajat, sembilan jiwa (22,50 persen) tamat SLTA atau sederajat dan terdapat satu jiwa (2,50 persen) yang tamat Perguruan Tinggi atau Sarjana. Sebaran jumlah petani responden menurut tingkat pendidikan Tahun 2007 tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2007

Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Tidak Tamat SD 9 22,50

Tamat SD / Sederajat 14 35,00

Tamat SLTP / Sederajat 7 17,50

Tamat SLTA / Sederajat 9 22,50

Tamat Sarjana 1 2,50

Jumlah 40 100

Penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikan ini dilaksanakan untuk melihat sejauh mana hubungan antara tingkat pendidikan dengan usahatani

padi yang diusahakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa petani yang terjun atau menekuni usahatani padi tidak harus mempunyai pendidikan yang tinggi. Petani mengelola usahatani padi didasarkan pada kegiatan usaha yang turun-temurun dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan non formal untuk memperoleh pengetahuan usahatani padi ataupun yang lainnya dilakukan oleh petani, yaitu dengan mengikuti kegiatan pelatihan ataupun berdiskusi yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Daerah terkait.

5.3.3 Pengalaman Usahatani

Selain umur dan tingkat pendidikan responden, pengalaman usahatani juga mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan usahatani padi ini. Pada umumnya semakin lama pengalaman usahatani yang dimiliki petani, maka kemampuan mengelola usahataninya akan semakin baik. Pengalaman rata-rata petani responden adalah mencapai 24,33 tahun. Jika dilihat dari rata-rata pengalaman usahatani tersebut, dapat diketahui bahwa petani responden telah mempunyai pengalaman yang cukup dalam berusahatani. Jumlah responden menurut pengalaman usahatani Tahun 2007 tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13 Jumlah Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2007 Pengalaman Responden (tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Di Bawah Rata-rata (≤24,33) 19 47,50 Di Atas Rata-rata (≥24,33) 21 52,50 Jumlah 40 100

Sebagian besar petani responden memiliki pengalaman diatas rata-rata. Sebanyak 21 orang responden (52,50 persen) memiliki pengalaman usahatani lebih dari 24,33 tahun, Sedangkan 19 orang petani responden (47,50 persen) memiliki pengalaman kurang dari 24,33 tahun. Data tersebut menunjukan bahwa

secara keseluruhan sebagian besar petani sudah mempunyai pengalaman yang cukup dalam usahatani padi.

Pengalaman usahatani yang sudah relatif lama ini sebagian besar diakibatkan karena petani responden sudah terjun dalam berusahatani sejak umurnya masih relatif muda. Matapencaharian sebagai petani sebagian besar dilaksanakan oleh responden yang awalnya membantu orang tua mereka bekerja sebagai seorang petani. Usahatani yang dilaksanakan oleh petani responden merupakan usahatani atau pekerjaan yang dilaksanakan secara turun-temurun.

5.3.4 Status Kepemilikan Lahan

Jumlah dan persentase petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007

Usahatani Padi Status Kepemilikan Lahan

Jumlah (Orang) Persentase (%)

Milik Sendiri 40 100

Sakap 0 0

Sewa 0 0

Jumlah 40 100

Tabel 14 menjelaskan seluruh petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara tidak ada yang menggarap lahan orang lain. Hal ini dapat diartikan bahwa seluruh petani yang mengembangkan usahatani padi memiliki lahan sendiri, sehingga petani memiliki kemudahan dalam memutuskan waktu melakukan penanaman tanpa harus mendiskusikannya dulu dengan orang lain.

5.3.5 Luas Lahan Garapan

Luas lahan yang dimiliki petani cukup beragam. Jumlah dan Persentase petani responden berdasarkan luas lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007 tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007

Usahatani Padi Luas Lahan Garapan (ha)

Jumlah (Orang) Persen (%)

>5 1 5

1-5 14 75

<1 5 25

Jumlah 20 100

Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa sebagian besar petani memiliki luas lahan garapan berkisar antara 1 - 5 hektar yaitu sebanyak 14 responden (75 persen). Petani yang lainnya memiliki luas lahan garapan dengan kisaran kurang dari satu hektar dan lebih dari lima hektar. Jumlah dan Persentase petani responden berdasarkan luas lahan di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 16.

Tabel 16 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007

Usahatani Padi Luas Lahan Garapan (ha)

Jumlah (Orang) Persen (%)

>5 4 20

1-5 11 55

<1 5 25

Jumlah 20 100

Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa sebagian besar petani Kecamatan Pusakanagara juga memiliki luas lahan garapan berkisar antara 1 - 5 hektar yaitu sebanyak 11 responden (55 persen). Petani yang lainnya memiliki

luas lahan garapan dengan kisaran kurang dari satu hektar dan lebih dari lima hektar.

5.3.6 Status Usahatani

Berdasarkan status usahataninya, pada Tabel 17 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengusahakan usahatani padi sebagai usaha pokok. Tingginya persentase jumlah petani yang mengusahakan padi sebagai usaha pokok karena sebagian besar petani tersebut tidak memiliki kegiatan lain selain berusahatani. Meskipun memiliki usaha sampingan tetapi pendapatan usahanya masih dibawah tingkat pendapatan usahatani padi. Petani yang mengusahakan usahatani sebagai usaha sampingan adalah petani yang memiliki kegiatan lain yaitu sebagai penjahit, karyawan dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah dan persentase petani responden berdasarkan status usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007

Usahatani Padi

Status Usahatani

Jumlah (Orang) Persentase (%)

Pokok 37 92,50

Sampingan 3 7,50

Jumlah 40 100

Persentase jumlah petani yang mengusahakan padi sebagai usahatani pokok adalah 92,50 persen atau sebanyak 37 dari 40 responden, sedangkan persentase jumlah petani yang mengusahakan usahatani padi sebagai sampingan ada sebanyak 7,50 persen atau tiga dari 40 responden.

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

6.1 Penggunaan Input 6.1.1 Benih

Pada pelaksanaan usahatani padi, benih yang digunakan oleh petani di Kecamatan Binong yang termasuk Golongan (I) satu dan di Kecamatan Pusakanagara termasuk Golongan (IV) empat dalam memperoleh air pada kegiatan penanamannya sebagian besar adalah padi varietas ciherang. Adapun alasan petani menggunakan varietas tersebut karena varietas ini memiliki keunggulan tahan terhadap serangan hama penyakit. Selain itu umur panen relatif pendek dan benihnya mudah diperoleh dengan harga relatif terjangkau, selain itu juga ada petani yang menggunakan benih varietas ketan dan IR-42.

Benih yang digunakan untuk usahatani padi sebanyak 15 - 30 kilogram per hektar, relatif sama dengan benih yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu sebanyak 25 kilogram per hektar. Hal ini terjadi karena petani dalam penanamannya sudah menggunakan jarak tanam seperti disarankan oleh penyuluh pertanian daerah tersebut.

6.1.2 Pupuk

Petani padi Golongan I dan Golongan IV umumnya membudidayakan tanaman padi dengan menggunakan pupuk kimia (Urea, TSP, NPK). Pupuk yang digunakan oleh petani rata-rata untuk per hektarnya adalah 503,94 kilogram untuk total penggunaan pupuk Urea, TSP dan KCL. Apabila dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan oleh pemerintah, yaitu 200 kilogram, 100 kilorgram TSP, dan

100 kilogram NPK (total = 400 kilogram per hektar) maka jumlah pupuk yang digunakan oleh petani masih lebih besar dari dosis yang dianjurkan pemerintah.

Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani Kecamatan Binong lebih sedikit dibandingkan petani Kecamatan Pusakanagara. Hal ini disebabkan karena setiap petani memiliki takaran masing-masing yang biasa dilakukan dalam kegiatan usahataninya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata penggunaan pupuk yang digunakan oleh petani Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 18.

Tabel 18 Rata-rata Penggunaan Pupuk yang Digunakan Oleh Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Petani Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 (Kilogram)

Jenis Pupuk Golongan I Golongan IV

Urea 225 290,50

TSP 136,67 142,50

NPK 121,54 91,67

Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa jumlah pupuk yang digunakan oleh petani Golongan IV lebih banyak dibandingkan petani Golongan I. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan pupuk Urea oleh petani Golongan I adalah 225 kilogram per hektar sedangkan petani Golongan IV 290,50 kilogram per hektar. Hal ini menyebabkan biaya pengeluaran untuk membeli pupuk oleh petani Golongan IV lebih besar yaitu Rp 1.561.000 sedangkan petani Golongan I yaitu rata-rata Rp 1.559.150 per hektar. Harga pupuk per kilogramnya adalah sama dengan Rp 1.250 untuk Urea, Rp 1.800 untuk TSP, dan Rp 2.000 untuk NPK, dalam mendapatkan pupuk ini petani dapat memperolehnya di toko-toko pertanian yang terdapat di sekitar daerah penanaman atau pemukiman.

6.1.3 Pestisida

Usahatani padi juga tidak terlepas dari pengganggu seperti hama dan penyakit. Pengendali hama dan penyakit padi oleh petani biasanya dengan menggunakan pestisida. Pestisida yang digunakan adalah pestisida dalam bentuk semprot, untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit tersebut petani menyemprotkan pestisida yang biasa digunakan dalam kegiatan uasahataninya. Selain itu juga menggunakan bahan bakar jenis solar yang digunakan sebagai obat hama wereng. Jenis pestisida yang digunakan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara ada yang menggunakan merek dagang yang sama dan ada pula yang berbeda, hal tersebut disebabkan banyaknya jenis merek dagang yang beredar di pasar, sehingga dalam penggunaan obat tergantung kepercayaan petani terhadap merek dagang tertentu.

Kegiatan Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani Golngan I lebih sedikit dibandingkan petani Golongan IV. Hal ini dapat dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat pestisida Golongan I adalah Rp 2.234.200, sedangkan petani Golongan IV adalah Rp 2.604.800 karena petani Kecamatan Pusakanagara lebih teliti dalam mengantisipasi serangan hama dan penyakit.

6.2 Penggunaan Tenaga Kerja 6.2.1 Pengolahan Lahan

Proses pengolahan lahan yang dilakukan pada usahatani padi di Kecamatan Binong dan Pusakanagara adalah dengan menggunakan alat bajak berupa traktor. Traktor tersebut disewa beserta tenaga kerja yang mengope- rasikannya. Harga sewa traktor untuk petani Golongan I dan petani Golongan IV

memiliki perbedaan, harga sewa di Golongan IV lebih murah yaitu Rp 420.000 per hektar sedangkan di Golongan I mulai dari Rp 500.000 per hektar sampai dengan Rp 700.000 per hektar. Hal ini disebabkan petani Golongan IV sudah banyak yang memiliki traktor sendiri, sehingga harga sewa traktor lebih murah dibanding petani Golongan I. Lahan yang akan digunakan untuk penanaman padi dibajak menggunakan traktor. Setelah dibajak kemudian lahan tersebut dilakukan perlakuan lain yaitu kegiatan mopok dan nampingan menggunakan tenaga kerja dari anggota dan luar anggota keluarga, dengan upah rata-rata Rp 30.625 per hari per tenaga kerja.

Pada kegiatan pengolahan ini, jumlah tenaga kerja luar keluarga yang digunakan (10 HOK per hektar), dan tenaga kerja dalam keluarga (4 HOK per hektar). Adapun proses penghitungan jam kerjanya petani menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja) dengan jumlah jam kerja per harinya adalah 07.00 – 13.00 WIB.

6.2.2 Penanaman

Tenaga kerja yang digunakan pada kegiatan penanaman di kedua lokasi penelitian adalah wanita. Alasan menggunakan tenaga kerja wanita pada kegiatan ini adalah karena pekerjaan wanita lebih rapi dan hati-hati dibanding pria. Upah yang dibayarkan sudah menjadi kebiasaan dengan sistem borongan dengan upah per hektarnya mulai dari Rp 420.000 – Rp 500.000, tenaga kerja ini berasal dari luar anggota keluarga.

6.2.3 Penyiangan

Kegiatan penyiangan ini biasanya dilaksanakan dalam satu musim sebanyak dua kali. Penyiangan pertama dilaksanakan ketika tanaman berusia 15 -

20 hari setelah tanam. Kegiatan yang dilakukan adalah pencabutan gulma dan tanaman lain yang mengganggu pertumbuhan padi. Jumlah tenaga kerja yang digunakan rata-rata adalah 5 HOK per hektar.

6.2.4 Pemupukan

Kegiatan pemupukan menggunakan tenaga kerja yang bersumber dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga dengan upah rata-rata sama yaitu Rp 30.625 per hari per tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada kegiatan pemupukan ini adalah sebesar 5 HOK per hektar.

6.2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit

Kegiatan pengendalian hama dan penyakit ini rutin dilaksanakan setiap minggu. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari anggota keluarga maupun dari luar anggota keluarga. Jumlah tenaga kerja luar anggota keluarga yang digunakan sebanyak 6 HOK per hektar dan tenaga kerja dalam anggota keluarga yang digunakan adalah 8 HOK per hektar. Hal ini disebabkan seringnya dilakukan penyemprotan dalam kegiatan pengendalian hama dan penyakit.

6.2.6 Panen

Kegiatan panen biasanya menggunakan tenaga kerja luar anggota keluarga. Sistem upahnya menggunakan sistem bawon (sistem borongan) dan sistem pengupahan langsung. Sistem pengupahan dengan cara bawon adalah sistem pengupahan dengan menggunakan gabah sebagai alat pembayaran, yang perbandingannya bisa berbeda setiap daerah (tergantung kesepakatan dan faktor kebiasaan), mulai daari 1:6, 1:7 dan 1:8 artinya bahwa setiap enam kilogram gabah yang dihasilkan maka pemanen akan mendapatkan satu kilogram gabah. Sistem pengupahan langsung yaitu langsung dibayar tunai dengan upah yang

diberikan Rp 25.000 per 100 kilogram dari hasil panen yang diperoleh, tetapi sistem pembayaran ini jarang digunakan yang biasa digunakan adalah sistem bawon.

6.3 Analisis Cabang Pendapatan Usahatani Padi

Petani pemilik adalah petani yang dalam usahataninya menggunakan lahan milik sendiri sebagai media pertanamannya. Analisa yang dilaksanakan pada usahatani ini hanya dilakukan pada petani pemilik lahan. Hal ini terjadi karena dari 40 responden yang terbagi pada dua kecamatan yang diambil datanya semuanya adalah petani pemilik. Penelitian ini melakukan analisis terhadap usahatani yang dilaksanakan pada satu luasan lahan yaitu satu hektar, adapun yang membedakan adalah golongan air yang diperoleh pada saat pertanaman dilakukan.

Golongan air yang terbagi kedalam empat golongan, mempunyai perbedaan waktu awal tanam 15 sampai 30 hari tiap golongannya, oleh karena itu peneliti melakukan analisis usahatani padi yang termasuk Golongan I (satu) di Kecamatan Binong dan Golongan IV (empat) di Kecamatan Pusakanagara, untuk melihat apakah ada perbedaan dalam harga jual yang berpengaruh terhadap pendapatan usahatani atau tidak. Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara merupakan sentra padi di Kabupaten Subang, bahkan Kecamatan Pusakanagara merupakan daerah yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena hasil produksinya selalu bagus atau tinggi.

Analisis yang dilakukan mengacu kepada konsep pendapatan atas biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk tunai, seperti biaya sarana produksi padi, tenaga kerja

luar anggota keluarga dan pajak. Biaya total adalah biaya tunai yang dikeluarkan ditambah dengan biaya yang diperhitungkan. Biaya diperhitungkan adalah biaya yang pengeluarannya tidak dalam bentuk tunai, contohnya adalah penggunaan benih dari pertanaman sebelumnya, penyusutan alat, dan penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga.

6.3.1 Analisis Penerimaan Cabang Usahatani Padi

Hasil panen yang dijual oleh petani baik di Golongan I dan Golongan IV adalah dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP). Hasil yang diperoleh berdasarkan informasi dari petani dapat diketahui bahwa, petani padi Golongan I pada musim pertama adalah rata-rata sama dengan 5.135 kilogram per hektar dan musim tanam kedua adalah 4.843 kilogram per hektar. Rata-rata harga jual GKP yang diterima oleh petani pada musim pertama Rp 2.430 per kilogram dan musim kedua adalah Rp 2.516 per kilogram. Apabila hasil panen tersebut dikalikan dengan harga jualnya maka akan diperoleh penerimaan usahataninya.

Jumlah hasil panen yang diperoleh petani Golongan IV pada musim tanam pertama adalah 5.062 kilogram per hektar dan musim tanam kedua adalah 5.711 kilogram per hektar. Harga jual hasil panen Golongan IV pada musim pertama yaitu Rp 2.379 per kilogram dan Rp 2.471 per kilogram pada saat musim tanam kedua, jika dikalikan dengan jumlah hasil panen maka penerimaan yang diperoleh petani Golongan IV lebih besar. Hal tersebut disebabkan karena hasil panen yang diperoleh petani Golongan IV lebih banyak. Rata-rata hasil panen per hektar serta harga jual padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 tersaji pada Tabel 19.

Tabel 19 Rata-rata Hasil Panen Per Hektar Serta Harga Jual Padi di Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007

Keterangan Hasil Panen (kilogram per hektar per GKP)

Harga Jual (Rupiah per kilogram per GKP)

Golongan I MT I 5.135 2.430

MT II 4.843 2.516

Golongan IV MT I 5.062 2.379

MT II 5.711 2.471

Berdasarkan hasil perkalian antara harga jual dengan jumlah hasil panennya, maka diketahui penerimaan total usahatani yang diperoleh petani selama satu tahun. Penerimaan tersebut diperoleh petani berdasarkan hasil tanam padi yang dilakukan dua kali musim tanam selama satu tahun. Petani padi Golongan I penerimaan total usahataninya adalah Rp 24.725.870 per hektar.

Dokumen terkait