• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha mening- katkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengan- tisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.

Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani.

Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis.

(3)

air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampelpenelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya.

Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara.

Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.

DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. .

Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi.

(4)

EFEKTIVITAS PENETAPAN

HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul : Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)

Nama : Mila Yulisa

NRP : A 14105572

Menyetujui:

Dosen Pembimbing

Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873

Mengetahui:

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (KASUS KECAMATAN BINONG, DAN KECAMATAN PUSAKANAGARA, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA

MANAPUN.

Bogor, 22 Januari 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984

sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd

dan ibu Hj. Imas Sulastri.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati

Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis

melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun

1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun

1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus

pada Tahun 2002.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di

Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan

pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis

lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima

pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan

skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)

Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan

Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat).

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha

meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi

kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong

petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu

dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pemerintah selain menetapkan

kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi

Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani

padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi

serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan

pendapatan petani.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum

sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat

memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap

semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, 22 Januari 2008

Mila Yulisa

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan

kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik

berupa moril maupun materil, yaitu kepada :

1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak

henti-hentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan

semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis.

2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing

penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal

penelitian, terima kasih untuk semua masukannya.

4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan

koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang

telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih

baik.

6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang

yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta

informasi yang diperlukan.

7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan

Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah

membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara.

8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul

Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah

banyak memberikan bantuannya kepada penulis.

9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas

(10)

10.Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi

Manajemen Agribisnis.

11.Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat

disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya

(11)

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

RINGKASAN

MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha mening- katkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengan- tisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.

Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani.

Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.

Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis.

(13)

air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampelpenelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya.

Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara.

Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.

DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. .

Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi.

(14)

EFEKTIVITAS PENETAPAN

HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI

(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)

Oleh: MILA YULISA

A 14105572

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul : Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)

Nama : Mila Yulisa

NRP : A 14105572

Menyetujui:

Dosen Pembimbing

Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873

Mengetahui:

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(16)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (KASUS KECAMATAN BINONG, DAN KECAMATAN PUSAKANAGARA, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA

MANAPUN.

Bogor, 22 Januari 2008

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984

sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd

dan ibu Hj. Imas Sulastri.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati

Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis

melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun

1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun

1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus

pada Tahun 2002.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di

Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan

pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis

lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima

pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,

(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan

skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)

Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan

Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat).

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha

meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi

kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong

petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu

dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pemerintah selain menetapkan

kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi

Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani

padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi

serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan

pendapatan petani.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum

sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat

memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap

semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, 22 Januari 2008

Mila Yulisa

(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan

kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik

berupa moril maupun materil, yaitu kepada :

1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak

henti-hentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan

semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis.

2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing

penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal

penelitian, terima kasih untuk semua masukannya.

4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan

koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang

telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih

baik.

6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang

yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta

informasi yang diperlukan.

7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan

Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah

membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara.

8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul

Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah

banyak memberikan bantuannya kepada penulis.

9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas

(20)

10.Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi

Manajemen Agribisnis.

11.Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat

disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.4 Ruang Lingkup Penelitian... 9

II TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi ... 10

2.2 Kebijakan Insentif Pertanian ... 11

2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah... 12

2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi ... 18

2.5 Pengertian DPM-LUEP... 20

2.6 Tataniaga ... 22

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu... 23

III KERANGKA PEMIKIRAN... 28

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 28

3.1.1 Konsep Usahatani ... 28

3.1.1.1 Lahan... 29

3.1.1.2 Tenaga Kerja ... 29

3.1.1.3 Modal ... 29

3.1.1.4 Pengelolaan... 30

3.1.2 Analisa Pendapatan Usahatani ... 30

3.1.3 Ukuran Pendapatan Usahatani ... 32

3.1.4 Analisis Tataniaga... 35

3.1.5 Efektivitas Penetapan HPP dan DPM LUEP ... 38

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 39

IV METODE PENELITIAN... 42

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 42

4.3 Metode Penarikan Contoh... 43

4.4 Metode Analisis Data ... 44

4.4.1 Analisis Usahatani... 45

4.4.2 Analisis Tataniaga... 46

4.4.3 Metode Analisis Efektivitas Penetapan HPP gabah... 46

(22)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL

USAHATANI RESPONDEN... 48 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... . 48

5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ... 49 5.3 Karakteristik Responden... 51 5.3.1 Umur Petani ... 51 5.3.2 Tingkat Pendidikan ... 52 5.3.3 Pengalaman Usahatani ... 53 5.3.4 Status Kepemilikan Lahan ... 54 5.3.5 Luas Lahan Garapan ... 55 5.3.6 Status Usahatani ... 56

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI... 57 6.1Penggunaan Input... 57

6.1.1 Benih ... 57 6.1.2 Pupuk ... 57 6.1.3 Pestisida ... 59 6.2 Penggunaan Tenaga Kerja... 59 6.2.1 Pengolahan Lahan ... 59 6.2.2 Penanaman ... 60 6.2.3 Penyiangan ... 60 6.2.4 Pemupukan ... 61 6.2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit... 61 6.2.6 Panen ... 61 6.3 Analisis Cabang Pendapatan Usahatani Padi... 62 6.3.1 Analisis Penerimaan Cabang Usahatani Padi ... 63 6.3.2 Analisis Biaya Cabang Usahatani Padi ... 64 6.3.3 Analisis Pendapatan Cabang Usahatani Padi... 68 6.4 Analisis Tataniaga... 70

6.4.1 Analisis Saluran Tataniaga... 71 6.4.2 Analisis Alur Tataniaga... 73

VII EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN

PEMERINTAH (HPP) DAN DPM LUEP... 75 7.1Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ... 75 7.2 Efektivitas Dana Penguat Modal Lembaga Umum

Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP)... 76

VIII KESIMPULAN DAN SARAN... 82 8.1 Kesimpulan ... 82 8.2 Saran... 83

DAFTAR ISTILAH... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 ... 1 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun

1996 – 2005 (Kilogram)... 2

3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun

2002 - 2006 (Rupiah) ... 7

4 Perbedaan Antara HPP dan HDG ... 16

5 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian

Terdahulu ... 27

6 Luas Sawah Potensi untuk Usahatani Berdasarkan Jenis Irigasinya ... 43

7 Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Padi... 45

8 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 ... 49

9 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Pusakanagara

Tahun 2006 ... 49

10 Jumlah Penduduk Kecamatan Binong dan

Kecamatan Pusakanagara Menurut Pekerjaan Tahun 2006 ... 50

11 Jumlah dan Persentase petani Responden menurut Golongan Umur

di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007... 51

12 Sebaran Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan

Tahun 2007 ... 52

13 Jumlah Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2007... 53

14 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan

Pusakanagara Tahun 2007 ... 54

15 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007... 55

16 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan

di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ... 55

17 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007... 56

18 Rata-rata Penggunaan Pupuk yang Digunakan Oleh Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Petani Kecamatan

Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 (Kilogram)... 58

19 Rata-rata Hasil Panen Per Hektar Serta Harga Jual Padi di Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara

(24)

20 Rata-rata Biaya Usahatani Padi Golongan I dan Kecamatan Binong dan Golongan IV (Luas Lahan Satu Hektar) Kecamatan

Pusakanagara Tahun 2007 ... 65

21 Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Padi pada Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara

(Golongan IV) Luasan Satu Hektar Tahun 2007 ... 69

22 Jumlah Pinjaman Dana Penguat Modal dan Jumlah Anggota

LUEP di Kabupaten Subang Tahun 2003-2007... 77

23 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Per Hektar Petani Padi Golongan I dan Golongan IV Dari Hasil Penelitian Pada

Tahun 1978 dan Tahun 2007 ... 81

(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Penjelasan Konsep Harga Dasar ... 17 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah... 18

3 Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian

di Indonesia ... 36

4 Kerangka Pemikiran Operasional Efektivitas Penetapan

Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah ... 41

5 Saluran Tataniaga Padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Petani Responden dan Tingkat Pendidikan... 89 2 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Binong Tahun 2007... 90

3 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 . 91

4 Pendapatan Petani LUEP dan Bukan LUEP Tahun 2007... 92

5 Peta Indikasi Potensi Air Tanah dan Daerah Irigasi Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat... 93

6 Surat Perjanjian Jual Beli Gabah atau Beras antara LUEP dengan

(27)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, hal ini ditunjukkan dengan besarnya

luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar seluruh luas lahan

yang ada di Indonesia, 71,33 persen digunakan untuk usaha pertanian, salah

satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi (Badan Pusat

Statistik, 2006). Data luas panen, produksi dan hasil per hektar padi tersaji pada

Tabel 1.

Tabel 1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 Jenis

Tanaman

Satuan/

unit 2001 2002 2003 2004 2005

Padi

Luas Panen

(000 Ha) 11.500,0 11.521,2 11.488,0 11.923,0 11.818,9

Produksi (000 Ton) 50.460,8 51.489,7 52.137,6 54.088,5 54.056,3

Rata-rata (Kw/Ha) 43,9 44,7 45,4 45,4 45,7

Padi Sawah

Luas Panen

(000 Ha) 10.419,4 10.457,0 10.394,5 10.799,5 10.713,3

Produksi (000 Ton) 47.895,5 48.899,1 49.378,1 51.209,4 51.223,7

Rata-rata (Kw/Ha) 46,0 46,8 47,5 47,4 47,8

Padi Ladang

Luas Panen

(000 Ha) 1.080,6 1.064,2 1.093,5 1.123,5 1.105,6

Produksi (000 Ton) 2.565,3 2.590,6 2.795,5 2.879,0 2.832,6

Rata-rata (Kw/Ha) 23,7 24,3 25,2 25,6 25,6

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006

Tabel 1 menggambarkan bahwa luas panen, produksi dan hasil per hektar

padi setiap tahun mengalami peningkatan. Luas panen padi Tahun 2003

mengalami peningkatan dari 11.488,0 ribu hektar menjadi 11.923,0 ribu hektar

(28)

menjadi 54.088,5 ribu ton pada Tahun 2004. Peningkatan terjadi pada setiap jenis

tanaman seperti padi sawah dan padi ladang, tetapi pada Tahun 2005 luas panen

padi berkurang dari 11.923,0 ribu hektar pada Tahun 2004 menjadi 11.818,9 ribu

hektar, produksi juga menurun. Hal tersebut diantaranya disebabkan karena

terjadinya kekeringan pada Bulan September - Desember 2004 yang

mengakibatkan pergeseran tanam, sehingga luas areal panen padi Bulan Januari -

April 2005 menurun. Berkurangnya luas panen berdampak pada penurunan

produksi padi.

Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang

penting untuk penduduk Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok,

serta mempunyai peranan penting dalam sistem ekonomi pangan di Indonesia.

Beras untuk masyarakat Indonesia merupakan komoditas utama yang banyak

dikonsumsi. Konsumsi padi-padian dan umbi-umbian per kapita 1996 - 2005

(Kilogram) tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun 1996 – 2005 (Kilogram)

Komoditi Tahun

Pertumbuhan Rata-rata (%)per tahun A. Padi 1996 1999 2002 2004 2005 2005 over 2004

1. Beras 111,49 103,74 100,46 99,42 96,67 -0,92

2. Jagung 3,74 3,74 4,06 3,90 4,00 0,89

3. Lainnya 2,55 0,78 1,25 1,20 1,46 7,25

B.Umbi-umbian

1. Ketela Pohon 7,96 10,50 9,36 9,67 9,10 -1,97

2. Ketela Rambat 2,96 2,81 2,70 5,30 3,80 -9,48

3. Kentang 1,77 0,99 0,36 1,82 1,77 -0,95

4. Lainnya 2,18 1,09 0,83 1,20 1,30 2,90

(29)

Tabel 2 menggambarkan bahwa konsumsi padi-padian dan umbi-umbian

didominasi oleh beras dan ketela pohon. Tahun 2005 untuk komoditi padi-padian

96,67 kilogram konsumsi beras, 4,00 kilogram konsumsi jagung dan 1,46

kilogram konsumsi lainnya seperti roti dan mie instan. Umbi-umbian 9,10

kilogram konsumsi ketela pohon, 3,80 kilogram ketela rambat, 1,77 kilogram

kentang dan 1,30 kilogram konsumsi lainnya seperti gadung dan talas.

Pertumbuhan rata-rata pada Tahun 2005 untuk konsumsi padi-padian mengalami

penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perubahan pola konsumsi

yang ditandai dengan peningkatan konsumsi terhadap jagung dengan

pertumbuhan rata-rata per tahun 0,89 persen, dan lainnya seperti roti dan mie

instan mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 7,25 persen.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani padi, berusaha

meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi

kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilaksanakan untuk

mengantisipasi kekurangan selama ini adalah dengan diadakannya kegiatan

seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan

intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan

hasil.

Pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) dan

pihak swasta juga berusaha meningkatkan minat masyarakat dalam

mengembangkan usaha pangan. Pemda dan pihak swasta melakukan kegiatan

seperti penyediaan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, perdagangan,

(30)

sederhana dan cepat, pelayanan keuangan atau permodalan yang cepat dan murah

(Lubis, 2005).

Petani merupakan salah satu pelaku terkait yang berperan dalam

meningkatkan produksi. Petani seharusnya mendapatkan perhatian dari

pemerintah. Perkembangan sampai saat ini petani selalu menjadi pihak yang

dirugikan. Hal ini ditunjukan dengan biaya produksi yang tinggi, tetapi tidak

diimbangi dengan harga jual hasil panen yang tinggi. Pendapatan petani tidak

meningkat, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain untuk biaya produksi selanjutnya petani juga perlu memikirkan

keberlangsungan hidupnya.

Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah

satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah adalah kebijakan Harga Pembelian

Pemerintah (HPP) nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan Harga Dasar

Gabah (HDG). Perubahan HDG menjadi HPP sangat mendasar karena dengan

kebijakan HPP, pemerintah tidak lagi berkewajiban dan tanggung jawab untuk

menjamin harga dasar gabah minimum pada tingkat harga tertentu, sebagaimana

lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Pemerintah dengan kewajiban HPP tidak

wajib membeli gabah dari petani. HPP berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat

petani.1

Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana

Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk

menolong petani. DPM LUEP merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

Departemen Pertanian dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat

1

(31)

panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan

kepada LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau

beras petani, dengan harga yang mengacu pada HPP.2

Penetapan HPP Nasional yang berlaku untuk semua wilayah Indonesia

ditetapkan melalui Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sebelum diganti Inpres terbaru

Nomor: 3 Tahun 2007. HPP Inpres Nomor 2: Tahun 2005 dimaksudkan sebagai

antisipasi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga waktu

pemberlakuannya pun praktis bersama dengan penetapan kenaikan harga BBM.

Kebijakan tersebut kurang memberikan motivasi dalam melakukan kegiatan

produksi bagi petani. Hal itu disebabkan karena biaya produksi masih tinggi,

sedangkan biaya produksi untuk setiap daerah berbeda-beda. Harga jual gabah

pada saat panen dianggap masih rendah dan informasi mengenai HPP tidak

sampai kepada petani, sehingga penetapan HPP nasional terkadang kurang

memberikan solusi yang berarti.

HPP terbaru yang ditetapkan melalui Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 tentang

kebijakan perberasan. Pertimbangan yang dilakukan dalam rangka peningkatan

pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan ekonomi

pedesaan, dan stabilitas ekonomi nasional dipandang perlu untuk menetapkan

kebijakan ini. Selain itu sebagai akibat dari perkembangan perekonomian

nasional, dipandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan perberasan

sebelumnya.

Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007

belum diketahui apakah memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak.

2

(32)

Upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP dapat dilihat dari tingkat

pendapatan petani disetiap daerah. Tempat dilaksanakannya penelitian adalah

Kabupaten Subang. Kabupaten tersebut merupakan salah satu sentra padi yang

ada di Jawa Barat, yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga setelah

Karawang dan Indramayu. Kabupaten Subang sekaligus pula merupakan

penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat, dengan luas

sawah pada Tahun 2005 seluas 84.167 hektar atau sekitar 41,71 persen dari total

wilayah Kabupaten Subang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2006).

1.2 Perumusan Masalah

Petani sebagai pelaku utama kegiatan produksi padi, tidak terlepas dari

masalah yang mengganggu kegiatan produksinya. Meningkatnya biaya produksi

seperti biaya pengolahan lahan dan tingginya harga pupuk merupakan masalah

yang merugikan petani. Peningkatan biaya tersebut biasanya tidak diimbangi

dengan peningkatan harga jual hasil pada musim panen, sehingga berdampak pada

pendapatan petani yang rendah. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa

sampai saat ini petani menjadi pihak yang dirugikan, padahal seharusnya

keberadaan petani padi dan keadaan produksi padi perlu mendapatkan perhatian.

Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian terhadap keberadaan

petani padi karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.

Petani pada umumnya menjual hasil panen padi dalam bentuk gabah,

dengan alasan seperti: 1) Ingin cepat memperoleh hasil panen (uang), 2) Tidak

mengeluarkan biaya tambahan seperti untuk pengolahan, penyimpanan, dan

(33)

biasanya sangat rendah, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menolong petani

yaitu dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.

Penetapan HPP ditujukan apabila harga gabah jatuh menjadi harga dasar

dalam pembelian hasil panen, sehingga tetap menguntungkan petani yang dapat

dibeli oleh Dolog dari mitra kerjanya. Apabila harga gabah di pasar bebas tinggi

yaitu di atas HPP maka petani tidak akan rugi. HPP untuk gabah mulai dari

Tahun 2002 - 2006 tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun 2002 - 2006 (Rupiah)

Jenis 2002 2003 2004 2005 2006

Gabah Kering Panen 1.240 1.400 1.250 1.517 2.215

Gabah Kering Simpan 1.345 1.500 1.345 1.746 2.374

Gabah Kering Giling 1.467 1.645 1.450 1.710 2.594

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, 2007

Tabel 3 memberikan informasi mengenai harga gabah yang telah

ditetapkan oleh pemerintah untuk semua wilayah Indonesia. Harga gabah

ditetapkan sesuai jenisnya, setiap tahun harga gabah berbeda, ada yang mengalami

penurunan seperti untuk jenis gabah kering panen Tahun 2003 yang awalnya

Rp 1.400 menjadi Rp 1.250 di Tahun 2005, ataupun mengalami kenaikan seperti

Tahun 2005 yang awalnya Rp 1.517 menjadi Rp 2.215 pada Tahun 2006.

Gabah yang dijual petani biasanya berada pada kisaran Rp 2.300 hingga

Rp 2.400 per kilogram. Penetapan HPP terkadang tidak berlaku. Dilapangan

masih dijumpai gabah petani yang ditawar Rp 2.000 per kilogram oleh tengkulak

(orang yang biasa membeli hasil panen petani untuk dijual lagi ke pembeli

selanjutnya).3 Masalah tersebut terjadi karena kurangnya informasi mengenai

3

(34)

kebijakan HPP yang diperoleh petani. Adapun petani yang mengetahui informasi

terebut terkadang masih mengeluh, karena harga beli pemerintah dirasakan kurang

sesuai. Hal ini berdampak pada pendapatan petani menjadi kecil.

Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana

Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk

menolong petani. DPM LUEP adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan

dana talangan tanpa bunga kepada LUEP untuk membeli gabah atau beras secara

langsung dari petani, terutama pada saat panen raya dengan harga minimal sesuai

dengan HPP untuk beras dan harga referensi daerah untuk jagung dan kedelai.4

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Sejauh mana efektivitas penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah

terhadap pendapatan petani?

2. Sejauh mana efektivitas peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan

pendapatan petani?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dihadapi, maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1) Menganalisis pendapatan usaha petani padi.

2) Mengidentifikasi peranan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)

gabah terhadap pendapatan petani.

4

(35)

3) Mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan

pendapatan petani.

Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani, Dinas Pertanian dan

Pemerintah Daerah setempat dalam mengevaluasi kegiatan pertanian.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Analisis penelitian ini dibatasi pada wilayah Kabupaten Subang dan hanya

pada petani padi yang termasuk dalam Golongan I (satu) dan Golongan IV

(empat) dalam memperoleh air dalam melakukan kegiatan usahatani. Hal ini

disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah sentra padi yang

menggunakan air irigasi. Ketidakstabilan harga jual gabah biasanya dipengaruhi

oleh air yang diterima petani dalam menanam padi. Selain itu lokasi yang

berbeda menimbulkan perbedaan biaya produksi dan dampaknya pada harga jual

yang berbeda pula. Ukuran efektivitas menggunakan satu indikator yaitu harga

jual pada saat panen diatas HPP atau tidak. Ukuran efektivitas yang digunakan

pada DPM LUEP adalah sudah terdapat perusahaan penyosohan beras yang

(36)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi

Tanaman padi (Oryza sativa, L) tersebar diseluruh pelosok dunia, tetapi

kebanyakan tanaman padi ini dibudidayakan di Asia. Diperkirakan pertanaman

padi pertama kali diusahakan manusia di Negara India sekitar Tahun 2500 - 3000

sebelum masehi, kemudian tersebar ke Cina dan lebih jauh lagi sampai ke negara

sebelah bahkan sampai ke Mesir, Eropa, Afrika, dan bagian bumi sebelah barat.

Tanaman ini diperkenalkan ke Indonesia sewaktu ras Suku Deutero Melayu

berimigrasi ke beberapa daerah di Kepulauan Nusantara sekitar Tahun 1500

sebelum masehi, terdapat bermacam-macam jenis tanaman berdasarkan distribusi

geografis dan bentuk morfologi tanamannya (Masyhudi, 1992).

Padi (Oriza sativa, L) merupakan tanaman pangan yang dihasilkan dalam

jumlah terbanyak di dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika.

Pada umumnya tanaman padi merupakan tanaman semusim yang sangat rentan

terhadap kekeringan, tanaman padi memerlukan jumlah curah hujan lebih dari 200

milimeter dalam satu bulan (Irianto et. al, 2004). Tanaman padi memiliki empat

fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif cepat, vegetatif lambat, reproduktif dan

pemasakan. Secara garis besar, tanaman padi terbagi kedalam dua bagian yaitu

bagian vegetatif dan bagian generatif, dimana bagian vegetatif terdiri dari akar,

batang, daun dan bagian generatif terdiri dari malai dari bulir-bulir, daun dan

(37)

Pertumbuhan tanaman padi memerlukan unsur hara, air dan energi. Unsur

hara merupakan unsur pelengkap dari komposisi asam nukleit, hormon dan enzim

yang berfungsi sebagai katalis yang merombak fotosintat atau respirasi menjadi

senyawa yang lebih sederhana. Tanaman padi memperoleh air dari dalam tanah,

sedangkan energi diperoleh padi dari hasil fotosintesis dengan bantuan cahaya

matahari (Irianto et. al, 2004).

Budaya konsumsi beras cukup sulit untuk dihilangkan dari masyarakat

Indonesia. Alasan yang sangat mendasar adalah karena telah menjadi kebiasaan

masyarakat. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Partisipasi

konsumsi beras mencapai sekitar 95 persen, artinya 95 persen rumah tangga di

Indonesia mengkonsumsi beras, angka partisipasi ini tentunya bervariasi antara

satu daerah dengan daerah lainnya (Amang dan Sawit, 1999).

Beras bukan hanya berfungsi sebagai komoditas pangan dan ekonomis,

tetapi juga merupakan komoditas politik dan keamanan. Negara besar seperti

Amerika Serikat, pangan (termasuk beras didalamnya) merangkap komoditas

politik dan strategis yakni bila diperlukan, pangan dapat dipakai sebagai senjata

ampuh untuk menekan suatu negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya

(Amang dan Sawit, 1999).

2.2 Kebijakan Insentif Pertanian

Pada awal Orde Baru, pemerintah berupaya mendorong peningkatan

produksi padi dengan memberikan berbagai insentif, diantaranya berupa

dukungan dan jaminan harga jual produk dengan menetapkan harga dasar dan

kebijakan harga sarana produksi. Pemberian insentif ini sebagai upaya

(38)

bahwa kebijakan subsidi input pertanian seperti benih, pupuk, dan bahan kimia

pemberantas hama atau penyakit tanaman, ditetapkan pemerintah dengan harapan

agar petani menerapkan teknologi sesuai dengan rekomendasi dalam kegiatan

usahataninya. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi diharapkan akan

meningkatkan produksi padi atau beras.

2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah

Pada era Orde Baru, stabilitas harga gabah atau beras merupakan faktor

utama penjamin stabilitas ekonomi dan politik nasional. Amang dan Sawit (1999)

menyatakan bahwa ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang

berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu perbedaan harga

antara musim panen dengan musim paceklik, (ii) ketidakstabilan antar tahun

karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau banjir, fluktuasi harga beras di

pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan. Stabilitas harga melewati

batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan untuk menstabilkannya.

Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya yang

berlangsung pada Bulan Februari - Mei yang mencapai 60 - 65 persen dari total

produksi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara Bulan

Oktober - Januari. Apabila harga padi atau beras dilepas sepenuhnya kepada

mekanisme pasar, maka harga padi atau beras akan turun pada musim panen raya,

dan sebaliknya akan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober - Januari).

Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim

panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik, disamping akan

(39)

Kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan bahan

pangan. Sasarannya pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar

yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari

kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga,

mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar pertama

kali diterapkan pada Tahun 1970. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan

harga dasar pada waktu itu adalah dengan menggunakan Rumus Tani, namun cara

penetapan harga dasar terus berkembang, setelah Rumus Tani kemudian diganti

dengan pendekatan B/C ratio.

Penetapan harga dasar dievaluasi setiap tahun. Hal ini dilakukan dengan

mempertimbangkan dampaknya terhadap pendapatan petani, produksi padi, inflasi

dan harga penjualan beras (Bulog) serta besarnya beban yang harus dipikul oleh

pemerintah. Penetapan harga batas tertinggi selalu mempertimbangkan

bagaimana laju inflasi dan pengaruhnya terhadap perdagangan antar tempat dan

antar waktu. Harga batas tertinggi ditetapkan berdasarkan harga dasar ditambah

dengan biaya-biaya pemasaran seperti biaya pengolahan, penyimpanan, bunga

bank dan angkutan serta ditambah dengan keuntungan yang wajar bagi pedagang

sesuai dengan jasa yang diberikannya (Amang dan Sawit, 1999).

Penetapan harga dasar diberlakukan sama untuk semua daerah.

Sedangkan harga batas tertinggi ditetapkan berbeda antar daerah surplus, daerah

swasembada dan daerah defisit. Perbedaan ini dimaksudkan untuk merangsang

aktivitas perdagangan beras antar daerah oleh swasta. Disamping itu, untuk

kondisi dan daerah tertentu dapat diterapkan kebijakan harga khusus guna

(40)

adanya bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan ancaman

gunung meletus.

Guna meningkatkan produktivitas dan insentif berproduksi bagi petani,

pemerintah era reformasi menetapkan Kebijakan Harga Dasar Pembelian

Pemerintah (HDPP) sebagai pengganti Harga Dasar Gabah (HDG) yang tertuang

dalam Inpres Nomor: 9 Tahun 2002. Kebijakan ini, pemerintah melakukan

pembelian (khususnya panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar

kebutuhan untuk program jaring pengaman sosial) pada tingkat harga pasar.

Suryana dan Mardianto (2001) menyatakan bahwa kebijakan ini dinilai

tidak distortif karena sifatnya hanya menambah permintaan. Dari sisi kebutuhan

dana, kebijakan HDPP ini juga lebih kecil jika dibandingkan dengan kebijakan

HDG, karena volume pembelian sudah tertentu sesuai dengan outlet yang ada.

Sementara itu, HDG akan membutuhkan dana yang lebih besar, khususnya jika

harga pasar jatuh jauh dibawah harga dasar, harga beras dunia sangat murah dan

nilai tukar rupiah menguat.

Argumentasi penghapusan HDG dikemukakan bahwa HDG merupakan

instrumen kebijakan perberasan tertua di Indonesia yang kental dengan kandungan

politik, sehingga upaya untuk menggantikannya akan menghadapi resistensi yang

tinggi dari masyarakat. Tujuan utama kebijakan HDG ialah menjamin harga

gabah minimum di tingkat petani, yang berarti menjamin pendapatan minimum,

sehingga mencegah penurunan pendapatan petani. Penjaminan harga minimum

berarti pula penurunan harga di bawah harga dasar dapat dicegah sehingga

(41)

meningkatkan harga gabah yang diterima petani (yang berarti meningkatkan

pendapatan petani), dan (ii) meningkatkan stabilitas harga gabah di tingkat petani.

Sebagai perwujudan keberpihakan kepada petani, pemerintah mengganti

Inpres Nomor: 9 Tahun 2002 dengan Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 yang

mengubah konsep Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dengan Harga

Pembelian Pemerintah (HPP). Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 ini menyertakan

persyaratan kualitas beras dalam pembelian pemerintah. Inpres Nomor: 2 Tahun

2005 sekarang sudah diganti dengan Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 dengan

menambahkan tujuan untuk mendorong peningkatan kualitas gabah petani,

khususnya yang terkait dengan Kadar Air (KA) dan Kadar Hampa (KH) atau

kotoran yang diberikan insentif harga seperti berikut:

a. Gabah petani dengan KA antara 19 - 25 persen dan KH antara 3 - 10 persen

harga GKP adalah Rp 2.035 per kilogram.

b. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 4 - 6 persen

harga GKP adalah Rp 2.350 per kilogram.

c. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 7 - 10 persen

harga GKP adalah Rp 2.310 per kilogram.

HDG dan HPP mempunyai perbedaan dalam jumlah yang dibeli, harga,

implementasi, orientasi pasar, kebutuhan dana, serta reaksi positif. Kebijakan

HPP diantaranya mempunyai keunggulan dalam reaksi positif yaitu pro-produsen

dan konsumen. Maksud pernyataan pro-produsen karena HPP ditetapkan sebagai

harga dasar dalam pembelian hasil panen yang berupa gabah, dinyatakan

(42)

melebihi batas daya beli konsumen khususnya pada musim paceklik. Perbedaan

[image:42.595.113.514.158.435.2]

antara HPP dan HDG tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG

No Aspek Kebijakan HPP Kebijakan HDG

1 Jumlah yang dibeli Tertentu, sebesar outlet Tak terbatas, tergantung kepada perbedaan harga pasar dengan HDG

2 Harga Harga pasar Harga Dasar saat ini

3 Implementasi Relatif mudah, volume pengadaan sudah pasti

Relatif sulit, volume pengadaan variabel, sesuai dinamika pasar 4 Orientasi pasar Market Friendly Distortif

5 Kebutuhan Dana Tergantung pada volume yang akan dibeli oleh outlet yang ada

• Harga pasar jauh dibawah harga dasar

• Harga beras dunia murah

• Nilai tukar rupiah menguat

6 Reaksi positif Kelompok pro-konsumen dan produsen

Kelompok pro-produsen Sumber: Suryana A dan Mardianto S, 2001

Selain pertimbangan moral hazard dan keramahan pasar (market friendly),

keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah membuat kebijakan HDG sulit

diamankan. Memaksakan kebijakan HDG hanya akan menurunkan kredibilitas

pemerintah, karena perubahan secara drastis akan membuat gejolak maka

diperlukan kebijakan transisi dalam bentuk kebijakan Harga Pembelian

Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP dilaksanakan dengan memanfaatkan program

Jaring Pengaman Sosial (JPS). Melalui kebijakan tersebut pemerintah melakukan

pembelian (sebaiknya dilakukan pada saat panen raya) dengan jumlah yang telah

ditentukan (sebesar kebutuhan JPS) pada tingkat harga pasar (Suryana dan

(43)

Lipsey et. al (1995), mengemukakan bahwa harga dasar ditetapkan

memiliki tujuan bila harga dasar lebih tinggi daripada harga ekuilibrium, maka

jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Titik ekuilibrium

dalam pasar bebas terletak pada E, dengan harga p2 dan kuantitas qo. Jika

pemerintah menetapkan harga dasar yang efektif sampai sebesar p1, jumlah yang

ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta sebanyak q1q2.

Kelebihan penawaran akan berada pada pihak swasta jika pemerintah tidak

melakukan apa-apa, mungkin terbuang percuma atau sekedar menggunung

digudang-gudang. Jika pemerintah membeli kelebihan penawaran tersebut maka

q2 akan terjual, dengan kata lain q1 akan dibeli oleh pembeli biasa dan sejumlah

q1q2 akan dibeli oleh pemerintah untuk disimpan atau dibuang maupun untuk

keperluan lain Penjelasan ini tersaji pada Gambar 1.

Price Penawaran S

p1 berlebih Harga dasar

p2 E

D

q1 qo q2

[image:43.595.169.437.443.620.2]

Quantity

(44)

Price

So

S1

Po

HPP

P1

D1 D2

[image:44.595.140.450.117.325.2]

Qo Q1 Q3 Quantity

Gambar 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah

Konsep HPP berdasarkan Gambar 2, sebelum panen raya tiba Supply (So)

berada pada keadaan harga Po dan kuantitas Qo. Pada saat panen raya tiba

keseimbangan berubah, kuantitas menjadi Q1 dan harga turun menjadi P1, Supply

berubah menjadi (S1) bahkan berada dibawah HPP. Pemerintah dalam kebijakan

HPP ini tidak mempunyai kewajiban untuk membeli gabah petani jika terjadi

excess supply, sehingga gabah dibeli oleh banyak pihak bukan oleh pemerintah.

Kekhawatiran dari konsumen timbul karena takut tidak memperoleh gabah,

sehingga permintaan terhadap gabah akan tinggi lagi dan Demand bergeser

menjadi D2 sampai ke HPP dan harga dapat tinggi kembali jika permintaan

berubah menjadi D2.

2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi

Kebijakan harga sarana produksi bertujuan untuk merangsang peningkatan

(45)

dan antar daerah tidak jauh berbeda. Harga sarana produksi yang mendapat subsidi antara lain benih, pupuk, dan pestisida. Namun subsidi harga pestisida

dihentikan sejak Tahun 1986, sejalan dengan diterapkan konsep Pengendalian

Hama Terpadu (PHT) dalam sistem produksi tanaman pangan.

Salah satu subsidi harga sarana produksi yang terpenting adalah subsidi

harga pupuk. Pola perhitungan subsidi harga pupuk selalu dikaitkan dengan harga

dasar gabah. Perkembangannya, pemerintah menggunakan indikator B/C ratio

sebesar 2,0. Penetapan angka ini didasarkan atas pemikiran bahwa petani akan

bersedia melakukan intensifikasi apabila pertambahan hasil yang diperoleh

meningkat dua kali lipat dibanding dengan pertambahan biaya yang harus

dikeluarkan.

Selama kurun waktu 20 tahun, yaitu periode 1969 sampai 1989, harga

pupuk telah delapan kali dinaikkan, dengan perincian empat kali pada Pelita I

hingga Pelita III, tiga kali pada Pelita IV dan satu kali pada Pelita V.

Kenaikan-kenaikan tersebut tetap dapat diusahakan agar rasio harga dasar gabah terhadap

urea cukup besar sehingga mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi.

Sampai akhir Pelita II, rasio kedua harga tersebut tidak lebih besar dari 1,14,

namun setelah itu, Pelita III dan IV serta pada awal Pelita V rasio harga dasar

gabah terhadap harga pupuk diatas 1,50 kecuali untuk Tahun 1979 hanya sebesar

1,93. Rasio harga yang tertinggi yang pernah dicapai adalah sebesar 1,93 pada

Tahun 1982 dan 1,83 yang terjadi pada Tahun 1984 (Amang dan Sawit, 1999).

Upaya mempertahankan rasio harga dasar gabah terhadap urea yang cukup

besar tidak terlepas dari peran subsidi pupuk. Meski demikian, subsidi pupuk

(46)

Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa subsidi harga pupuk telah

mendorong peningkatan penggunaan pupuk dan berpengaruh terhadap

peningkatan produksi beras, sukses ini juga membawa konsekuensi

membengkaknya dana subsidi. Berdasarkan hal tersebut, pada Tahun 1999

subsidi harga pupuk sempat dihapuskan. Meski demikian, sejak Tahun 2002

pemerintah kembali memberi subsidi harga pupuk terutama pupuk N, P, K.

Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya produksi usahatani padi

yang terus meningkat.

2.5 Pengertian DMP LUEP

Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP)

Merupakan kegiatan yang dilakukan Departemen Pertanian (Deptan) dalam

rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya. Kegiatan ini

dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada Lembaga Usaha

Ekonomi Pedesaan (LUEP) untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli

gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP.

Dana talangan ini merupakan pinjaman tanpa bunga (bukan sistim kredit)

sehingga harus dimanfaatkan sesuai dengan pedoman umum yang telah

ditentukan, yaitu untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga yang

mengacu pada HPP. Kegiatan DPM LUEP ini diharapkan dapat membantu dan

menolong petani dari himpitan rendahnya harga yang diperoleh oleh petani

selama ini.

Stabilisasi harga gabah hasil panen petani pada saat panen raya merupakan

aspek yang sangat penting dan menentukan pendapatan dan ketahanan pangan

(47)

wilayah tertentu, maka dapat menggerakkan agribisnis perberasan secara

keseluruhan. Kepala Badan, Dinas, Instansi yang menangani ketahanan pangan,

berdasarkan hasil verifikasi tim teknis Propinsi menetapkan LUEP sebagai

pelaksana kegiatan, dan menetapkan jumlah dana penguatan modal bagi LUEP

untuk pembelian gabah atau beras. Manfaat dari diterimanya DPM LUEP tidak

boleh berhenti sampai pada penguatan modal, tetapi harus diteruskan kepada

petani berupa pembelian gabah pada waktu yang tepat dan harga yang lebih baik.

LUEP yang memperoleh DPM, dapat berbentuk koperasi, Koperasi Tani

(Koptan), Koperasi Unit Desa (KUD), lumbung pangan, dan pengusaha

penggilingan padi yang bergerak dalam pengolahan, penyimpanan, maupun

pemasaran gabah. Sebagai penerima DPM LUEP mempunyai kewajiban dalam

kaitannya dengan DPM yang telah diterima, yaitu:

1) Membeli gabah petani sesuai dengan harga yang telah disepakati dalam

kontrak.

2) Membuat pembukuan tersendiri terhadap transaksi yang telah dilakukan

dengan baik dan benar.

3) Melaporkan hasil transaksi yang telah dilakukan secara periodik kepada

Kabupaten atau Kota, Propinsi, dan pusat yang telah disepakati

sebelumnya.

4) Mengembalikan dana talangan tepat pada waktunya yaitu tanggal 15

Desember.

Kegiatan pelaksanaan DPM LUEP ini bertujuan:

a. Mengupayakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani.

(48)

c. Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan yang

dapat mendorong pertumbuhan dan menggerakkan perekonomian di

pedesaan.

d. Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang

berakumulasi pada ketahanan pangan nasional.5

2.6 Tataniaga

Kohls dan Uhls dalam Sakinah (2006), menyatakan bahwa tataniaga

merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan

jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Terdapat dua kelompok

yang berbeda kepentingan dalam mememandang tataniaga, konsumen yang ingin

mendapatkan harga yang rendah dan produsen yang ingin memperoleh

penerimaan besar atas penjualan produk.

Limbong dan Sitorus (1987), menyebutkan bahwa tataniaga adalah

serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan

hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha

pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Proses distribusi dapat terjadi

kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk

untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah penyalurannya,

meningkatkan nilai dan meningkatkan kepuasan konsumen.

5

(49)

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian mengenai Efektivitas Penetapan HPP Gabah Terhadap

Pendapatan Petani belum pernah dilakukan. Beberapa hasil penelitian mengenai

padi atau gabah dikemukakan berikut ini. Penelitian yang dilakukan Lubis (2005)

dengan judul Efektivitas Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Analisa

Pendapatan Petani Pengguna Kredit (Studi Kasus: Petani Tebu Anggota Koperasi

Madusari, Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, Solo). Penelitian dilakukan

dengan penggalian data dan informasi secara insentif diwilayah kerja Bank yang

bersangkutan dengan pabrik gula sebagai fasilitator serta anggota KUD tersebut

sebagai nasabah. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode analisis

efektivitas yang meliputi analisis secara kualitatif yang diuraikan secara deskriptif

dan analisis yang menentukan skor menggunakan skala likert.

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil analisa efektivitas dari sisi bank

memperlihatkan hasil yang efektif, terlihat dari hasil wawancara dan data-data

sekunder yang telah diperoleh. Hasil yang cukup efektif ini disebabkan beberapa

hal. Salah satunya adalah masalah pelayanan dan pembinaan petugas bank

dimana jarak merupakan salah satu penyebabnya sehingga banyak petani yang

tidak mengenal bank yang bersangkutan. Uji korelasi yang dilakukan pada

variabel efektivitas dengan tingkat pendidikan, luas lahan dan tingkat pendapatan

menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antar variabel kredit ketahanan

pangan yang diperoleh petani.

Penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan harga gabah terhadap

produksi padi di Pulau Jawa dilakukan oleh Femina (2006), digunakan model

(50)

padi di Pulau Jawa. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi

padi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa harga dasar gabah, harga pupuk urea dan

luas areal panen padi sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal panen

padi. Respon luas areal panen padi di Pulau Jawa dalam jangka pendek inelastis

terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan dalam jangka

panjang, luas areal panen padi terhadap perubahan harga dasar gabah, harga

pupuk urea dan luas areal panen padi tahun sebelumnya.

Beberapa rumusan alternatif kebijakan harga gabah guna peningkatan

produksi padi di Pulau Jawa, antara lain: (1) mengingat harga dasar gabah

berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi di Pulau Jawa yang dicerminkan

oleh pengaruh nyata harga gabah terhadap luas areal panen dan produktivitas padi,

maka sebaiknya kebijakan harga dasar gabah tetap dipertahankan. (2) Guna

mengefektifkan harga dasar gabah untuk menjamin harga gabah ditingkat petani

dan meningkatkan produksi padi, maka penetapan harga dasar gabah sebaiknya

diperhatikan tingkat perkembangan harga pupuk urea dan harga beras impor. (3)

Keefektifan kebijakan harga dan perdagangan (impor) tidak terlepas dari

keefektifan peran dan fungsi lembaga pemerintah yang berwenang, yaitu Bulog

berdasarkan pendugaan parameter dummy kebijakan monopoli impor beras,

ternyata dapat meningkatkan harga gabah ditingkat petani.

Hutauruk (1996) melakukan studi mengenai dampak kebijakan harga dasar

padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia.

Dalam menganalisis data, dilakukan disegrasi wilayah Indonesia menjadi dua

(51)

dianalisis dengan pendekatan ekonometrika dalam suatu model persamaan

simultan dan diduga dengan metode 3 SLS.

Berdasarkan hasil analisis, luas areal panen di Jawa tidak responsif

terhadap perubahan harga padi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Selain

itu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, produktivitas padi di Jawa

dan luar Jawa tidak responsif terhadap perubahan harga gabah, trend teknologi,

jumlah pemakaian pupuk, curah hujan, luas areal sawah irigasi dan kredit

usahatani. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan harga dasar gabah, baik secara

individu maupun serentak dengan harga pupuk akan berdampak pada peningkatan

produksi beras total, penurunan permintaan beras domestik, penurunan impor, dan

peningkatan stok yang dilepas. Sedangkan kebijakan peningkatan harga pupuk

akan mengurangi produksi tanpa mempengaruhi permintaan beras domestik

Riyanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan

Cabang Usahatani dan Pemasaran Padi (Kasus: Tujuh Desa, Kecamatan Salem,

Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Berdasarkan hasil dan pembahasan

bahwa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani di Tujuh Desa, pada

Kecamatan Salem memberikan keuntungan karena nilai pendapatan atas biaya

tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas

biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih besar dari satu.

Terdapat dua pola saluran pemasaran untuk padi di Kecamatan Salem,

tetapi dari kedua saluran pemasaran tersebut yang paling banyak dipakai oleh

petani adalah pola pemasaran II, yaitu sebesar 63,33 persen dari total petani.

(52)

nilai yang lebih besar dari pola pemasaran II. Hal ini berarti bahwa pola

pemasaran I paling efisien bila dibandingkan dengan pola pemasaran II.

Penelitian mengenai padi dilaksanakan di Kabupaten Subang salah satunya

dilaksanakan oleh Disti (2006), dengan judul Analisa Pendapatan dan Efisiensi

Produksi Usahatani Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu

(PTT). Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dan analisa

kuantitatif berdasarkan evaluasi program PTT, teknologi yang masih digunakan

oleh petani adalah penggunaan organik padat dan efisiensi penggunaan Urea,

SP36 dan Phonska berdasarkan pupuk berimbang. Berdasarkan perbandingan

tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih

bisa ditingkatkan, hal ini ditunjukan dengan R/C rasio pada biaya tunai lebih be

Gambar

Tabel 1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005
Tabel 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun 1996 – 2005 (Kilogram)
Tabel 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG
Gambar 1 Penjelasan Konsep Harga Dasar             Sumber: Lipsey et. al, 1995
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses menjadi Melayu dan mengubah identitas dari Batak menjadi Melayu sendiri terjadi secara perlahan, baik sesuai dengan kondisi ekonomi, politik, maupun budaya itu sendiri. Akan

Perusahaan atau bank penyedia kredit dalam memasarkan kredit perbankan sudah seharusnya melakukan komunikasi pemasaran yang bertujuan untuk memperkenalkan dan

Sensor elektrik ini digunakan untuk perekaman data sistem penginderaan jauh non fotografik, karena proses perekaman onjek permukaan bumi tidak didasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 525/Kpts-II/91 yang menyebutkan bahwa dokumen yang menyatakan sahnya hasil hutan adalah Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) untuk kayu

Karena banyaknya jumlah cakra tersebut maka kita hanya akan membahas cakra utama yang berjumlah tujuh karena pembersihan pada cakra utama itu akan membersihkan

Peristiwa tutur tersebut terjadi ketika customer service ingin melihat kartu identitas nasabah berupa KTP , yang disampaikan customer service dengan menggunakan

Pada tipe ini, guru menjadi fasilitator, nara- sumber dan pembimbing (guide) selama proses pembelajaran berlang- sung, dalam hal ini guru memberi arahan tentang

Scene ini menampilkan pesan non verbal bentuk birrul walidain mengikuti dan mentaati saran orang tua yang di tampilkan Shila dengan mengikuti saran kedua orang