(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh: MILA YULISA
A 14105572
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia
Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha mening- katkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengan- tisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.
Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani.
Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.
Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis.
air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampelpenelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya.
Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara.
Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.
DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. .
Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi.
EFEKTIVITAS PENETAPAN
HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI
(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh: MILA YULISA
A 14105572
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)
Nama : Mila Yulisa
NRP : A 14105572
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873
Mengetahui:
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (KASUS KECAMATAN BINONG, DAN KECAMATAN PUSAKANAGARA, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN.
Bogor, 22 Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984
sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd
dan ibu Hj. Imas Sulastri.
Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati
Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis
melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun
1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun
1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus
pada Tahun 2002.
Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di
Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan
pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis
lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima
pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan
Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat).
Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha
meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi
kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong
petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu
dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pemerintah selain menetapkan
kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi
Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani
padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi
serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan
pendapatan petani.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum
sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat
memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap
semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Bogor, 22 Januari 2008
Mila Yulisa
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan
kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik
berupa moril maupun materil, yaitu kepada :
1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak
henti-hentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan
semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis.
2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing
penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal
penelitian, terima kasih untuk semua masukannya.
4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan
koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.
5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang
telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih
baik.
6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang
yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta
informasi yang diperlukan.
7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan
Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah
membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara.
8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul
Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah
banyak memberikan bantuannya kepada penulis.
9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas
10.Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi
Manajemen Agribisnis.
11.Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh: MILA YULISA
A 14105572
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
MILA YULISA. Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat ditunjukkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar Seluruh luas lahan yang ada di Indonesia, digunakan untuk usaha pertanian, Salah satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi. Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang penting untuk penduduk Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan makanan pokok, dan mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian pangan di Indonesia
Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha mening- katkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi kenyataan kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilakukan untuk mengan- tisipasi kekurangan selama ini maka dilakukan kegiatan seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan hasil.
Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk menolong petani.
Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007 belum diketahui apakah banyak memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak, upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP tersebut yaitu dengan melihat tingkat pendapatan petani untuk setiap daerah. Kabupaten Subang merupakan kawasan yang dipilih dalam melaksanakan penelitian. Hal ini disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra padi yang ada di Jawa Barat. Subang merupakan penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan usaha petani padi, mengidentifikasi sejauh mana peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi. Selain itu juga mengidentifikasi sejauh mana peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan pendapatan petani.
Pemilihan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode penarikan contoh (purposive sampling) yaitu pengambilan contoh dilaksanakan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Hal ini dilakukan karena tidak ada data yang jelas mengenai jumlah petani padi yang terdapat di Kabupaten Subang. Mayoritas lahan sawah di Kabupaten Subang menggunakan pengairan irigasi teknis.
air untuk tanam lalu ke Golongan II, Golongan III, dan yang terakhir adalah petani padi di Golongan IV. Golongan air menjadi dasar pengambilan sampelpenelitian karena Golongan I memiliki waktu tanam lebih awal dibanding Golongan IV. Hal ini akan berakibat pada saat panen, dimana Golongan I kemungkinan memiliki harga jual yang tinggi pada saat panen dibandingkan Golongan IV yang sudah memasuki panen raya.
Berdasarkan penelitian, hasil analisa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani padi Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara dapat memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan karena nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih dari satu, hal ini dapat diartikan usahatani yang dilakukan layak untuk dikembangkan oleh petani baik di Kecamatan Binong maupun petani Kecamatan Pusakanagara.
Peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini ditunjukan dengan adanya hasil panen petani yang dibeli dengan harga rata-rata diatas HPP, bahkan petani responden tidak ada yang menjual hasil panen dibawah HPP. Pernyataan ini didukung dengan nilai rasio R/C diatas satu, dengan nilai Kecamatan Binong 1,99 dan Kecamatan Pusakanagara 1,93.
DPM LUEP sudah ada di Kabupaten Subang sejak tahun 2003. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Subang, Jumlah pinjaman setiap tahun nilainya meningkat. Hal ini disebabkan karena DPM LUEP di Kabupaten Subang dikembalikan tepat pada waktunya. Peranan DPM LUEP terhadap pendapatan petani dapat diketahui dari stabilnya harga padi di dua lokasi penelitian tersebut. Pendapatan yang diterima petani responden antara golongan satu dan golongan empat tidak jauh berbeda. Petani responden Kecamatan Binong mendapatkan Rp 12.280.252 dan petani responden Kecamatan Pusakanagara mendapatkan Rp 11.977.375. Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebijakan DPM LUEP di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara sudah efektif. Hal ini tercermin dari stabilnya harga padi dilokasi penelitian. .
Berdasarkan kesimpulan mengenai efektivitas penetapan HPP gabah yang diukur menggunakan ilmu usahatani diperoleh hasil keuntungan petani yang bernilai positif. Peran pemerintah dan instansi-instansi terkait, yang aktif dalam memberikan pengetahuan dan teknologi terbaru kepada petani tetap harus dipertahankan, sehingga keberadaan petani semakin baik dan tetap melakukan produksi usahatani padi.
EFEKTIVITAS PENETAPAN
HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI
(Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat)
Oleh: MILA YULISA
A 14105572
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat)
Nama : Mila Yulisa
NRP : A 14105572
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec NIP. 131 846 873
Mengetahui:
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (KASUS KECAMATAN BINONG, DAN KECAMATAN PUSAKANAGARA, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN.
Bogor, 22 Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Subang Jawa Barat, pada Tanggal 10 Juli 1984
sebagai anak pertama dari dua bersaudara keluarga bapak H. Dedi Sobandi S.pd
dan ibu Hj. Imas Sulastri.
Penulis mengawali jenjang pendidikan pada TK Anggrek Merpati
Blendung, Purwadadi tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1990. Kemudian, penulis
melanjutkan pendidikan pada SDN Blendung II Purwadadi lulus pada Tahun
1996. Melanjutkan pendidikan pada MTs Al-Muhajirin Purwakarta lulus Tahun
1999. Penulis melanjutkan pendidikan pada SMUN 1 Purwadadi, Subang lulus
pada Tahun 2002.
Penulis diterima menjadi mahasiswa Diploma Institut Pertanian Bogor di
Program Studi Teknologi Perlindungan Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan
pada Tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis
lulus Program Diploma pada Tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima
pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Khadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
skripsi yang berjudul Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
Gabah Terhadap Pendapatan Petani (Kasus Kecamatan Binong dan Kecamatan
Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat).
Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani, berusaha
meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan beras, tetapi
kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Pemerintah berusaha menolong
petani dengan membuat kebijakan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah adalah dengan menetapkan HPP nasional terhadap gabah yang dulu
dikenal dengan harga dasar gabah (HDG). Pemerintah selain menetapkan
kebijakan HPP juga memberikan Dana Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi
Pedesaan (DPM LUEP) untuk menolong petani.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pendapatan usaha petani
padi, mengidentifikasi peranan penetapan HPP terhadap pendapatan petani padi
serta mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan
pendapatan petani.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini belum
sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat
memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap
semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Bogor, 22 Januari 2008
Mila Yulisa
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga memberikan kekuatan dan
kemudahan dan kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya baik
berupa moril maupun materil, yaitu kepada :
1. Kedua orang tua tercinta dan adik penulis Isti Siti Hindun yang tak
henti-hentinya memberikan dukungan do’a, materi, kasih sayang, perhatian, dan
semangat yang terus mengalir untuk keberhasilan penulis.
2. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya membimbing
penulis sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
3. Ir. Netty Tinaprila, MM selaku dosen evaluator pada kolokium proposal
penelitian, terima kasih untuk semua masukannya.
4. Dr. Ir. Anna Farianti, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan
koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.
5. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang
telah memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penulisan yang lebih
baik.
6. Bapak Asep Ramli, SP dan semua staf Dinas Pertanian Kabupaten Subang
yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data serta
informasi yang diperlukan.
7. Bapak Sirodyudin SP, Ibu Ulfah dan Ibu Wati yang telah banyak memberikan
Informasi di Kecamatan Binong serta Ibu Surni, SP dan keluarga yang telah
membantu penulis selama penelitian di Kecamatan Pusakanagara.
8. Sahabatku Hartini Tresnadijaya Amd, Endah Sutiah, Mbak Mini, Imroatul
Mufida, Dara, Yessy Yolanda, Tina Susanti dan Iil Kholilah yang telah
banyak memberikan bantuannya kepada penulis.
9. Teman-teman satu pembimbing Jeffri Kurniawan dan Inggit Rahmiyanti atas
10.Kepada seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Sarjana Ekstensi
Manajemen Agribisnis.
11.Teman-teman mahasiswa Ekstensi MAB serta seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
1.4 Ruang Lingkup Penelitian... 9
II TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi ... 10
2.2 Kebijakan Insentif Pertanian ... 11
2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah... 12
2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi ... 18
2.5 Pengertian DPM-LUEP... 20
2.6 Tataniaga ... 22
2.7 Tinjauan Studi Terdahulu... 23
III KERANGKA PEMIKIRAN... 28
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 28
3.1.1 Konsep Usahatani ... 28
3.1.1.1 Lahan... 29
3.1.1.2 Tenaga Kerja ... 29
3.1.1.3 Modal ... 29
3.1.1.4 Pengelolaan... 30
3.1.2 Analisa Pendapatan Usahatani ... 30
3.1.3 Ukuran Pendapatan Usahatani ... 32
3.1.4 Analisis Tataniaga... 35
3.1.5 Efektivitas Penetapan HPP dan DPM LUEP ... 38
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 39
IV METODE PENELITIAN... 42
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 42
4.3 Metode Penarikan Contoh... 43
4.4 Metode Analisis Data ... 44
4.4.1 Analisis Usahatani... 45
4.4.2 Analisis Tataniaga... 46
4.4.3 Metode Analisis Efektivitas Penetapan HPP gabah... 46
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PROFIL
USAHATANI RESPONDEN... 48 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... . 48
5.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ... 49 5.3 Karakteristik Responden... 51 5.3.1 Umur Petani ... 51 5.3.2 Tingkat Pendidikan ... 52 5.3.3 Pengalaman Usahatani ... 53 5.3.4 Status Kepemilikan Lahan ... 54 5.3.5 Luas Lahan Garapan ... 55 5.3.6 Status Usahatani ... 56
VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI... 57 6.1Penggunaan Input... 57
6.1.1 Benih ... 57 6.1.2 Pupuk ... 57 6.1.3 Pestisida ... 59 6.2 Penggunaan Tenaga Kerja... 59 6.2.1 Pengolahan Lahan ... 59 6.2.2 Penanaman ... 60 6.2.3 Penyiangan ... 60 6.2.4 Pemupukan ... 61 6.2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit... 61 6.2.6 Panen ... 61 6.3 Analisis Cabang Pendapatan Usahatani Padi... 62 6.3.1 Analisis Penerimaan Cabang Usahatani Padi ... 63 6.3.2 Analisis Biaya Cabang Usahatani Padi ... 64 6.3.3 Analisis Pendapatan Cabang Usahatani Padi... 68 6.4 Analisis Tataniaga... 70
6.4.1 Analisis Saluran Tataniaga... 71 6.4.2 Analisis Alur Tataniaga... 73
VII EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN
PEMERINTAH (HPP) DAN DPM LUEP... 75 7.1Efektivitas Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) ... 75 7.2 Efektivitas Dana Penguat Modal Lembaga Umum
Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP)... 76
VIII KESIMPULAN DAN SARAN... 82 8.1 Kesimpulan ... 82 8.2 Saran... 83
DAFTAR ISTILAH... 85
DAFTAR PUSTAKA... 86
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 ... 1 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun
1996 – 2005 (Kilogram)... 2
3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun
2002 - 2006 (Rupiah) ... 7
4 Perbedaan Antara HPP dan HDG ... 16
5 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Ini dengan Penelitian
Terdahulu ... 27
6 Luas Sawah Potensi untuk Usahatani Berdasarkan Jenis Irigasinya ... 43
7 Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Padi... 45
8 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Binong Tahun 2006 ... 49
9 Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Pusakanagara
Tahun 2006 ... 49
10 Jumlah Penduduk Kecamatan Binong dan
Kecamatan Pusakanagara Menurut Pekerjaan Tahun 2006 ... 50
11 Jumlah dan Persentase petani Responden menurut Golongan Umur
di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007... 51
12 Sebaran Jumlah Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2007 ... 52
13 Jumlah Responden Menurut Pengalaman Usahatani Tahun 2007... 53
14 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Binong dan Kecamatan
Pusakanagara Tahun 2007 ... 54
15 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan di Kecamatan Binong Tahun 2007... 55
16 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan
di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 ... 55
17 Jumlah dan Persentase Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani di Kecamatan Binong dan Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007... 56
18 Rata-rata Penggunaan Pupuk yang Digunakan Oleh Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Petani Kecamatan
Pusakanagara (Golongan IV) Tahun 2007 (Kilogram)... 58
19 Rata-rata Hasil Panen Per Hektar Serta Harga Jual Padi di Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara
20 Rata-rata Biaya Usahatani Padi Golongan I dan Kecamatan Binong dan Golongan IV (Luas Lahan Satu Hektar) Kecamatan
Pusakanagara Tahun 2007 ... 65
21 Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Padi pada Petani Kecamatan Binong (Golongan I) dan Kecamatan Pusakanagara
(Golongan IV) Luasan Satu Hektar Tahun 2007 ... 69
22 Jumlah Pinjaman Dana Penguat Modal dan Jumlah Anggota
LUEP di Kabupaten Subang Tahun 2003-2007... 77
23 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Per Hektar Petani Padi Golongan I dan Golongan IV Dari Hasil Penelitian Pada
Tahun 1978 dan Tahun 2007 ... 81
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Penjelasan Konsep Harga Dasar ... 17 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah... 18
3 Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian
di Indonesia ... 36
4 Kerangka Pemikiran Operasional Efektivitas Penetapan
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah ... 41
5 Saluran Tataniaga Padi di Kecamatan Binong dan Kecamatan
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Petani Responden dan Tingkat Pendidikan... 89 2 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Binong Tahun 2007... 90
3 Penerimaan Usahatani Padi di Kecamatan Pusakanagara Tahun 2007 . 91
4 Pendapatan Petani LUEP dan Bukan LUEP Tahun 2007... 92
5 Peta Indikasi Potensi Air Tanah dan Daerah Irigasi Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat... 93
6 Surat Perjanjian Jual Beli Gabah atau Beras antara LUEP dengan
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris, hal ini ditunjukkan dengan besarnya
luas lahan yang digunakan untuk pertanian. Sebagian besar seluruh luas lahan
yang ada di Indonesia, 71,33 persen digunakan untuk usaha pertanian, salah
satunya yaitu pesawahan yang digunakan dalam memproduksi padi (Badan Pusat
Statistik, 2006). Data luas panen, produksi dan hasil per hektar padi tersaji pada
Tabel 1.
Tabel 1 Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Padi Tahun 2001 – 2005 Jenis
Tanaman
Satuan/
unit 2001 2002 2003 2004 2005
Padi
Luas Panen
(000 Ha) 11.500,0 11.521,2 11.488,0 11.923,0 11.818,9
Produksi (000 Ton) 50.460,8 51.489,7 52.137,6 54.088,5 54.056,3
Rata-rata (Kw/Ha) 43,9 44,7 45,4 45,4 45,7
Padi Sawah
Luas Panen
(000 Ha) 10.419,4 10.457,0 10.394,5 10.799,5 10.713,3
Produksi (000 Ton) 47.895,5 48.899,1 49.378,1 51.209,4 51.223,7
Rata-rata (Kw/Ha) 46,0 46,8 47,5 47,4 47,8
Padi Ladang
Luas Panen
(000 Ha) 1.080,6 1.064,2 1.093,5 1.123,5 1.105,6
Produksi (000 Ton) 2.565,3 2.590,6 2.795,5 2.879,0 2.832,6
Rata-rata (Kw/Ha) 23,7 24,3 25,2 25,6 25,6
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
Tabel 1 menggambarkan bahwa luas panen, produksi dan hasil per hektar
padi setiap tahun mengalami peningkatan. Luas panen padi Tahun 2003
mengalami peningkatan dari 11.488,0 ribu hektar menjadi 11.923,0 ribu hektar
menjadi 54.088,5 ribu ton pada Tahun 2004. Peningkatan terjadi pada setiap jenis
tanaman seperti padi sawah dan padi ladang, tetapi pada Tahun 2005 luas panen
padi berkurang dari 11.923,0 ribu hektar pada Tahun 2004 menjadi 11.818,9 ribu
hektar, produksi juga menurun. Hal tersebut diantaranya disebabkan karena
terjadinya kekeringan pada Bulan September - Desember 2004 yang
mengakibatkan pergeseran tanam, sehingga luas areal panen padi Bulan Januari -
April 2005 menurun. Berkurangnya luas panen berdampak pada penurunan
produksi padi.
Padi yang menghasilkan beras merupakan komoditas pertanian yang
penting untuk penduduk Indonesia. Beras merupakan bahan makanan pokok,
serta mempunyai peranan penting dalam sistem ekonomi pangan di Indonesia.
Beras untuk masyarakat Indonesia merupakan komoditas utama yang banyak
dikonsumsi. Konsumsi padi-padian dan umbi-umbian per kapita 1996 - 2005
(Kilogram) tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Konsumsi Padi-padian dan Umbi-umbian Per Kapita Tahun 1996 – 2005 (Kilogram)
Komoditi Tahun
Pertumbuhan Rata-rata (%)per tahun A. Padi 1996 1999 2002 2004 2005 2005 over 2004
1. Beras 111,49 103,74 100,46 99,42 96,67 -0,92
2. Jagung 3,74 3,74 4,06 3,90 4,00 0,89
3. Lainnya 2,55 0,78 1,25 1,20 1,46 7,25
B.Umbi-umbian
1. Ketela Pohon 7,96 10,50 9,36 9,67 9,10 -1,97
2. Ketela Rambat 2,96 2,81 2,70 5,30 3,80 -9,48
3. Kentang 1,77 0,99 0,36 1,82 1,77 -0,95
4. Lainnya 2,18 1,09 0,83 1,20 1,30 2,90
Tabel 2 menggambarkan bahwa konsumsi padi-padian dan umbi-umbian
didominasi oleh beras dan ketela pohon. Tahun 2005 untuk komoditi padi-padian
96,67 kilogram konsumsi beras, 4,00 kilogram konsumsi jagung dan 1,46
kilogram konsumsi lainnya seperti roti dan mie instan. Umbi-umbian 9,10
kilogram konsumsi ketela pohon, 3,80 kilogram ketela rambat, 1,77 kilogram
kentang dan 1,30 kilogram konsumsi lainnya seperti gadung dan talas.
Pertumbuhan rata-rata pada Tahun 2005 untuk konsumsi padi-padian mengalami
penurunan. Hal tersebut disebabkan karena adanya perubahan pola konsumsi
yang ditandai dengan peningkatan konsumsi terhadap jagung dengan
pertumbuhan rata-rata per tahun 0,89 persen, dan lainnya seperti roti dan mie
instan mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 7,25 persen.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia khususnya petani padi, berusaha
meningkatkan produksi beras nasional untuk memenuhi pasokan tersebut, tetapi
kenyataannya kekurangan masih sering terjadi. Upaya yang dilaksanakan untuk
mengantisipasi kekurangan selama ini adalah dengan diadakannya kegiatan
seperti pemeliharaan kapasitas sumber daya lahan dan perairan, peningkatan
intensitas tanam, peningkatan produktivitas tanaman serta penekanan kehilangan
hasil.
Pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) dan
pihak swasta juga berusaha meningkatkan minat masyarakat dalam
mengembangkan usaha pangan. Pemda dan pihak swasta melakukan kegiatan
seperti penyediaan sarana dan prasarana transportasi, komunikasi, perdagangan,
sederhana dan cepat, pelayanan keuangan atau permodalan yang cepat dan murah
(Lubis, 2005).
Petani merupakan salah satu pelaku terkait yang berperan dalam
meningkatkan produksi. Petani seharusnya mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Perkembangan sampai saat ini petani selalu menjadi pihak yang
dirugikan. Hal ini ditunjukan dengan biaya produksi yang tinggi, tetapi tidak
diimbangi dengan harga jual hasil panen yang tinggi. Pendapatan petani tidak
meningkat, bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain untuk biaya produksi selanjutnya petani juga perlu memikirkan
keberlangsungan hidupnya.
Pemerintah berusaha menolong petani dengan membuat kebijakan. Salah
satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah adalah kebijakan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) nasional terhadap gabah yang dulu dikenal dengan Harga Dasar
Gabah (HDG). Perubahan HDG menjadi HPP sangat mendasar karena dengan
kebijakan HPP, pemerintah tidak lagi berkewajiban dan tanggung jawab untuk
menjamin harga dasar gabah minimum pada tingkat harga tertentu, sebagaimana
lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Pemerintah dengan kewajiban HPP tidak
wajib membeli gabah dari petani. HPP berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat
petani.1
Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana
Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk
menolong petani. DPM LUEP merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Departemen Pertanian dalam rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat
1
panen raya. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan
kepada LUEP untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli gabah atau
beras petani, dengan harga yang mengacu pada HPP.2
Penetapan HPP Nasional yang berlaku untuk semua wilayah Indonesia
ditetapkan melalui Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 sebelum diganti Inpres terbaru
Nomor: 3 Tahun 2007. HPP Inpres Nomor 2: Tahun 2005 dimaksudkan sebagai
antisipasi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga waktu
pemberlakuannya pun praktis bersama dengan penetapan kenaikan harga BBM.
Kebijakan tersebut kurang memberikan motivasi dalam melakukan kegiatan
produksi bagi petani. Hal itu disebabkan karena biaya produksi masih tinggi,
sedangkan biaya produksi untuk setiap daerah berbeda-beda. Harga jual gabah
pada saat panen dianggap masih rendah dan informasi mengenai HPP tidak
sampai kepada petani, sehingga penetapan HPP nasional terkadang kurang
memberikan solusi yang berarti.
HPP terbaru yang ditetapkan melalui Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 tentang
kebijakan perberasan. Pertimbangan yang dilakukan dalam rangka peningkatan
pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan ekonomi
pedesaan, dan stabilitas ekonomi nasional dipandang perlu untuk menetapkan
kebijakan ini. Selain itu sebagai akibat dari perkembangan perekonomian
nasional, dipandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap kebijakan perberasan
sebelumnya.
Penetapan HPP tebaru yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2007
belum diketahui apakah memberikan solusi positif terhadap petani atau tidak.
2
Upaya untuk mengetahui keefektifan penetapan HPP dapat dilihat dari tingkat
pendapatan petani disetiap daerah. Tempat dilaksanakannya penelitian adalah
Kabupaten Subang. Kabupaten tersebut merupakan salah satu sentra padi yang
ada di Jawa Barat, yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga setelah
Karawang dan Indramayu. Kabupaten Subang sekaligus pula merupakan
penyumbang atau kontributor produksi padi ketiga di Jawa Barat, dengan luas
sawah pada Tahun 2005 seluas 84.167 hektar atau sekitar 41,71 persen dari total
wilayah Kabupaten Subang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2006).
1.2 Perumusan Masalah
Petani sebagai pelaku utama kegiatan produksi padi, tidak terlepas dari
masalah yang mengganggu kegiatan produksinya. Meningkatnya biaya produksi
seperti biaya pengolahan lahan dan tingginya harga pupuk merupakan masalah
yang merugikan petani. Peningkatan biaya tersebut biasanya tidak diimbangi
dengan peningkatan harga jual hasil pada musim panen, sehingga berdampak pada
pendapatan petani yang rendah. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa
sampai saat ini petani menjadi pihak yang dirugikan, padahal seharusnya
keberadaan petani padi dan keadaan produksi padi perlu mendapatkan perhatian.
Pemerintah dan masyarakat harus memberikan perhatian terhadap keberadaan
petani padi karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Petani pada umumnya menjual hasil panen padi dalam bentuk gabah,
dengan alasan seperti: 1) Ingin cepat memperoleh hasil panen (uang), 2) Tidak
mengeluarkan biaya tambahan seperti untuk pengolahan, penyimpanan, dan
biasanya sangat rendah, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menolong petani
yaitu dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.
Penetapan HPP ditujukan apabila harga gabah jatuh menjadi harga dasar
dalam pembelian hasil panen, sehingga tetap menguntungkan petani yang dapat
dibeli oleh Dolog dari mitra kerjanya. Apabila harga gabah di pasar bebas tinggi
yaitu di atas HPP maka petani tidak akan rugi. HPP untuk gabah mulai dari
Tahun 2002 - 2006 tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Nasional Tahun 2002 - 2006 (Rupiah)
Jenis 2002 2003 2004 2005 2006
Gabah Kering Panen 1.240 1.400 1.250 1.517 2.215
Gabah Kering Simpan 1.345 1.500 1.345 1.746 2.374
Gabah Kering Giling 1.467 1.645 1.450 1.710 2.594
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, 2007
Tabel 3 memberikan informasi mengenai harga gabah yang telah
ditetapkan oleh pemerintah untuk semua wilayah Indonesia. Harga gabah
ditetapkan sesuai jenisnya, setiap tahun harga gabah berbeda, ada yang mengalami
penurunan seperti untuk jenis gabah kering panen Tahun 2003 yang awalnya
Rp 1.400 menjadi Rp 1.250 di Tahun 2005, ataupun mengalami kenaikan seperti
Tahun 2005 yang awalnya Rp 1.517 menjadi Rp 2.215 pada Tahun 2006.
Gabah yang dijual petani biasanya berada pada kisaran Rp 2.300 hingga
Rp 2.400 per kilogram. Penetapan HPP terkadang tidak berlaku. Dilapangan
masih dijumpai gabah petani yang ditawar Rp 2.000 per kilogram oleh tengkulak
(orang yang biasa membeli hasil panen petani untuk dijual lagi ke pembeli
selanjutnya).3 Masalah tersebut terjadi karena kurangnya informasi mengenai
3
kebijakan HPP yang diperoleh petani. Adapun petani yang mengetahui informasi
terebut terkadang masih mengeluh, karena harga beli pemerintah dirasakan kurang
sesuai. Hal ini berdampak pada pendapatan petani menjadi kecil.
Pemerintah selain menetapkan kebijakan HPP juga memberikan Dana
Penguat Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) untuk
menolong petani. DPM LUEP adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
dana talangan tanpa bunga kepada LUEP untuk membeli gabah atau beras secara
langsung dari petani, terutama pada saat panen raya dengan harga minimal sesuai
dengan HPP untuk beras dan harga referensi daerah untuk jagung dan kedelai.4
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Sejauh mana efektivitas penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah
terhadap pendapatan petani?
2. Sejauh mana efektivitas peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan
pendapatan petani?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang dihadapi, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1) Menganalisis pendapatan usaha petani padi.
2) Mengidentifikasi peranan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
gabah terhadap pendapatan petani.
4
3) Mengidentifikasi peranan DPM LUEP dalam upaya meningkatkan
pendapatan petani.
Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani, Dinas Pertanian dan
Pemerintah Daerah setempat dalam mengevaluasi kegiatan pertanian.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Analisis penelitian ini dibatasi pada wilayah Kabupaten Subang dan hanya
pada petani padi yang termasuk dalam Golongan I (satu) dan Golongan IV
(empat) dalam memperoleh air dalam melakukan kegiatan usahatani. Hal ini
disebabkan Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah sentra padi yang
menggunakan air irigasi. Ketidakstabilan harga jual gabah biasanya dipengaruhi
oleh air yang diterima petani dalam menanam padi. Selain itu lokasi yang
berbeda menimbulkan perbedaan biaya produksi dan dampaknya pada harga jual
yang berbeda pula. Ukuran efektivitas menggunakan satu indikator yaitu harga
jual pada saat panen diatas HPP atau tidak. Ukuran efektivitas yang digunakan
pada DPM LUEP adalah sudah terdapat perusahaan penyosohan beras yang
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Komoditas Padi
Tanaman padi (Oryza sativa, L) tersebar diseluruh pelosok dunia, tetapi
kebanyakan tanaman padi ini dibudidayakan di Asia. Diperkirakan pertanaman
padi pertama kali diusahakan manusia di Negara India sekitar Tahun 2500 - 3000
sebelum masehi, kemudian tersebar ke Cina dan lebih jauh lagi sampai ke negara
sebelah bahkan sampai ke Mesir, Eropa, Afrika, dan bagian bumi sebelah barat.
Tanaman ini diperkenalkan ke Indonesia sewaktu ras Suku Deutero Melayu
berimigrasi ke beberapa daerah di Kepulauan Nusantara sekitar Tahun 1500
sebelum masehi, terdapat bermacam-macam jenis tanaman berdasarkan distribusi
geografis dan bentuk morfologi tanamannya (Masyhudi, 1992).
Padi (Oriza sativa, L) merupakan tanaman pangan yang dihasilkan dalam
jumlah terbanyak di dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika.
Pada umumnya tanaman padi merupakan tanaman semusim yang sangat rentan
terhadap kekeringan, tanaman padi memerlukan jumlah curah hujan lebih dari 200
milimeter dalam satu bulan (Irianto et. al, 2004). Tanaman padi memiliki empat
fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif cepat, vegetatif lambat, reproduktif dan
pemasakan. Secara garis besar, tanaman padi terbagi kedalam dua bagian yaitu
bagian vegetatif dan bagian generatif, dimana bagian vegetatif terdiri dari akar,
batang, daun dan bagian generatif terdiri dari malai dari bulir-bulir, daun dan
Pertumbuhan tanaman padi memerlukan unsur hara, air dan energi. Unsur
hara merupakan unsur pelengkap dari komposisi asam nukleit, hormon dan enzim
yang berfungsi sebagai katalis yang merombak fotosintat atau respirasi menjadi
senyawa yang lebih sederhana. Tanaman padi memperoleh air dari dalam tanah,
sedangkan energi diperoleh padi dari hasil fotosintesis dengan bantuan cahaya
matahari (Irianto et. al, 2004).
Budaya konsumsi beras cukup sulit untuk dihilangkan dari masyarakat
Indonesia. Alasan yang sangat mendasar adalah karena telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Partisipasi
konsumsi beras mencapai sekitar 95 persen, artinya 95 persen rumah tangga di
Indonesia mengkonsumsi beras, angka partisipasi ini tentunya bervariasi antara
satu daerah dengan daerah lainnya (Amang dan Sawit, 1999).
Beras bukan hanya berfungsi sebagai komoditas pangan dan ekonomis,
tetapi juga merupakan komoditas politik dan keamanan. Negara besar seperti
Amerika Serikat, pangan (termasuk beras didalamnya) merangkap komoditas
politik dan strategis yakni bila diperlukan, pangan dapat dipakai sebagai senjata
ampuh untuk menekan suatu negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya
(Amang dan Sawit, 1999).
2.2 Kebijakan Insentif Pertanian
Pada awal Orde Baru, pemerintah berupaya mendorong peningkatan
produksi padi dengan memberikan berbagai insentif, diantaranya berupa
dukungan dan jaminan harga jual produk dengan menetapkan harga dasar dan
kebijakan harga sarana produksi. Pemberian insentif ini sebagai upaya
bahwa kebijakan subsidi input pertanian seperti benih, pupuk, dan bahan kimia
pemberantas hama atau penyakit tanaman, ditetapkan pemerintah dengan harapan
agar petani menerapkan teknologi sesuai dengan rekomendasi dalam kegiatan
usahataninya. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi diharapkan akan
meningkatkan produksi padi atau beras.
2.3 Kebijakan Harga Dasar Gabah
Pada era Orde Baru, stabilitas harga gabah atau beras merupakan faktor
utama penjamin stabilitas ekonomi dan politik nasional. Amang dan Sawit (1999)
menyatakan bahwa ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang
berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu perbedaan harga
antara musim panen dengan musim paceklik, (ii) ketidakstabilan antar tahun
karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau banjir, fluktuasi harga beras di
pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan. Stabilitas harga melewati
batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan untuk menstabilkannya.
Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya yang
berlangsung pada Bulan Februari - Mei yang mencapai 60 - 65 persen dari total
produksi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara Bulan
Oktober - Januari. Apabila harga padi atau beras dilepas sepenuhnya kepada
mekanisme pasar, maka harga padi atau beras akan turun pada musim panen raya,
dan sebaliknya akan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober - Januari).
Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim
panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik, disamping akan
Kebijakan harga merupakan instrumen pokok dalam pengadaan bahan
pangan. Sasarannya pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar
yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari
kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim paceklik. Ketiga,
mengendalikan inflasi melalui stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar pertama
kali diterapkan pada Tahun 1970. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan
harga dasar pada waktu itu adalah dengan menggunakan Rumus Tani, namun cara
penetapan harga dasar terus berkembang, setelah Rumus Tani kemudian diganti
dengan pendekatan B/C ratio.
Penetapan harga dasar dievaluasi setiap tahun. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan dampaknya terhadap pendapatan petani, produksi padi, inflasi
dan harga penjualan beras (Bulog) serta besarnya beban yang harus dipikul oleh
pemerintah. Penetapan harga batas tertinggi selalu mempertimbangkan
bagaimana laju inflasi dan pengaruhnya terhadap perdagangan antar tempat dan
antar waktu. Harga batas tertinggi ditetapkan berdasarkan harga dasar ditambah
dengan biaya-biaya pemasaran seperti biaya pengolahan, penyimpanan, bunga
bank dan angkutan serta ditambah dengan keuntungan yang wajar bagi pedagang
sesuai dengan jasa yang diberikannya (Amang dan Sawit, 1999).
Penetapan harga dasar diberlakukan sama untuk semua daerah.
Sedangkan harga batas tertinggi ditetapkan berbeda antar daerah surplus, daerah
swasembada dan daerah defisit. Perbedaan ini dimaksudkan untuk merangsang
aktivitas perdagangan beras antar daerah oleh swasta. Disamping itu, untuk
kondisi dan daerah tertentu dapat diterapkan kebijakan harga khusus guna
adanya bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan ancaman
gunung meletus.
Guna meningkatkan produktivitas dan insentif berproduksi bagi petani,
pemerintah era reformasi menetapkan Kebijakan Harga Dasar Pembelian
Pemerintah (HDPP) sebagai pengganti Harga Dasar Gabah (HDG) yang tertuang
dalam Inpres Nomor: 9 Tahun 2002. Kebijakan ini, pemerintah melakukan
pembelian (khususnya panen raya) dengan jumlah yang telah ditentukan (sebesar
kebutuhan untuk program jaring pengaman sosial) pada tingkat harga pasar.
Suryana dan Mardianto (2001) menyatakan bahwa kebijakan ini dinilai
tidak distortif karena sifatnya hanya menambah permintaan. Dari sisi kebutuhan
dana, kebijakan HDPP ini juga lebih kecil jika dibandingkan dengan kebijakan
HDG, karena volume pembelian sudah tertentu sesuai dengan outlet yang ada.
Sementara itu, HDG akan membutuhkan dana yang lebih besar, khususnya jika
harga pasar jatuh jauh dibawah harga dasar, harga beras dunia sangat murah dan
nilai tukar rupiah menguat.
Argumentasi penghapusan HDG dikemukakan bahwa HDG merupakan
instrumen kebijakan perberasan tertua di Indonesia yang kental dengan kandungan
politik, sehingga upaya untuk menggantikannya akan menghadapi resistensi yang
tinggi dari masyarakat. Tujuan utama kebijakan HDG ialah menjamin harga
gabah minimum di tingkat petani, yang berarti menjamin pendapatan minimum,
sehingga mencegah penurunan pendapatan petani. Penjaminan harga minimum
berarti pula penurunan harga di bawah harga dasar dapat dicegah sehingga
meningkatkan harga gabah yang diterima petani (yang berarti meningkatkan
pendapatan petani), dan (ii) meningkatkan stabilitas harga gabah di tingkat petani.
Sebagai perwujudan keberpihakan kepada petani, pemerintah mengganti
Inpres Nomor: 9 Tahun 2002 dengan Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 yang
mengubah konsep Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dengan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP). Inpres Nomor: 2 Tahun 2005 ini menyertakan
persyaratan kualitas beras dalam pembelian pemerintah. Inpres Nomor: 2 Tahun
2005 sekarang sudah diganti dengan Inpres Nomor: 3 Tahun 2007 dengan
menambahkan tujuan untuk mendorong peningkatan kualitas gabah petani,
khususnya yang terkait dengan Kadar Air (KA) dan Kadar Hampa (KH) atau
kotoran yang diberikan insentif harga seperti berikut:
a. Gabah petani dengan KA antara 19 - 25 persen dan KH antara 3 - 10 persen
harga GKP adalah Rp 2.035 per kilogram.
b. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 4 - 6 persen
harga GKP adalah Rp 2.350 per kilogram.
c. Gabah petani dengan KA antara 14 - 18 persen dan KH antara 7 - 10 persen
harga GKP adalah Rp 2.310 per kilogram.
HDG dan HPP mempunyai perbedaan dalam jumlah yang dibeli, harga,
implementasi, orientasi pasar, kebutuhan dana, serta reaksi positif. Kebijakan
HPP diantaranya mempunyai keunggulan dalam reaksi positif yaitu pro-produsen
dan konsumen. Maksud pernyataan pro-produsen karena HPP ditetapkan sebagai
harga dasar dalam pembelian hasil panen yang berupa gabah, dinyatakan
melebihi batas daya beli konsumen khususnya pada musim paceklik. Perbedaan
[image:42.595.113.514.158.435.2]antara HPP dan HDG tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbedaan Antara HPP dan HDG
No Aspek Kebijakan HPP Kebijakan HDG
1 Jumlah yang dibeli Tertentu, sebesar outlet Tak terbatas, tergantung kepada perbedaan harga pasar dengan HDG
2 Harga Harga pasar Harga Dasar saat ini
3 Implementasi Relatif mudah, volume pengadaan sudah pasti
Relatif sulit, volume pengadaan variabel, sesuai dinamika pasar 4 Orientasi pasar Market Friendly Distortif
5 Kebutuhan Dana Tergantung pada volume yang akan dibeli oleh outlet yang ada
• Harga pasar jauh dibawah harga dasar
• Harga beras dunia murah
• Nilai tukar rupiah menguat
6 Reaksi positif Kelompok pro-konsumen dan produsen
Kelompok pro-produsen Sumber: Suryana A dan Mardianto S, 2001
Selain pertimbangan moral hazard dan keramahan pasar (market friendly),
keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah membuat kebijakan HDG sulit
diamankan. Memaksakan kebijakan HDG hanya akan menurunkan kredibilitas
pemerintah, karena perubahan secara drastis akan membuat gejolak maka
diperlukan kebijakan transisi dalam bentuk kebijakan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Kebijakan HPP dilaksanakan dengan memanfaatkan program
Jaring Pengaman Sosial (JPS). Melalui kebijakan tersebut pemerintah melakukan
pembelian (sebaiknya dilakukan pada saat panen raya) dengan jumlah yang telah
ditentukan (sebesar kebutuhan JPS) pada tingkat harga pasar (Suryana dan
Lipsey et. al (1995), mengemukakan bahwa harga dasar ditetapkan
memiliki tujuan bila harga dasar lebih tinggi daripada harga ekuilibrium, maka
jumlah yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Titik ekuilibrium
dalam pasar bebas terletak pada E, dengan harga p2 dan kuantitas qo. Jika
pemerintah menetapkan harga dasar yang efektif sampai sebesar p1, jumlah yang
ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta sebanyak q1q2.
Kelebihan penawaran akan berada pada pihak swasta jika pemerintah tidak
melakukan apa-apa, mungkin terbuang percuma atau sekedar menggunung
digudang-gudang. Jika pemerintah membeli kelebihan penawaran tersebut maka
q2 akan terjual, dengan kata lain q1 akan dibeli oleh pembeli biasa dan sejumlah
q1q2 akan dibeli oleh pemerintah untuk disimpan atau dibuang maupun untuk
keperluan lain Penjelasan ini tersaji pada Gambar 1.
Price Penawaran S
p1 berlebih Harga dasar
p2 E
D
q1 qo q2
[image:43.595.169.437.443.620.2]Quantity
Price
So
S1
Po
HPP
P1
D1 D2
[image:44.595.140.450.117.325.2]Qo Q1 Q3 Quantity
Gambar 2 Penjelasan Konsep Harga Pembelian Pemerintah
Konsep HPP berdasarkan Gambar 2, sebelum panen raya tiba Supply (So)
berada pada keadaan harga Po dan kuantitas Qo. Pada saat panen raya tiba
keseimbangan berubah, kuantitas menjadi Q1 dan harga turun menjadi P1, Supply
berubah menjadi (S1) bahkan berada dibawah HPP. Pemerintah dalam kebijakan
HPP ini tidak mempunyai kewajiban untuk membeli gabah petani jika terjadi
excess supply, sehingga gabah dibeli oleh banyak pihak bukan oleh pemerintah.
Kekhawatiran dari konsumen timbul karena takut tidak memperoleh gabah,
sehingga permintaan terhadap gabah akan tinggi lagi dan Demand bergeser
menjadi D2 sampai ke HPP dan harga dapat tinggi kembali jika permintaan
berubah menjadi D2.
2.4 Kebijakan Harga Sarana Produksi
Kebijakan harga sarana produksi bertujuan untuk merangsang peningkatan
dan antar daerah tidak jauh berbeda. Harga sarana produksi yang mendapat subsidi antara lain benih, pupuk, dan pestisida. Namun subsidi harga pestisida
dihentikan sejak Tahun 1986, sejalan dengan diterapkan konsep Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) dalam sistem produksi tanaman pangan.
Salah satu subsidi harga sarana produksi yang terpenting adalah subsidi
harga pupuk. Pola perhitungan subsidi harga pupuk selalu dikaitkan dengan harga
dasar gabah. Perkembangannya, pemerintah menggunakan indikator B/C ratio
sebesar 2,0. Penetapan angka ini didasarkan atas pemikiran bahwa petani akan
bersedia melakukan intensifikasi apabila pertambahan hasil yang diperoleh
meningkat dua kali lipat dibanding dengan pertambahan biaya yang harus
dikeluarkan.
Selama kurun waktu 20 tahun, yaitu periode 1969 sampai 1989, harga
pupuk telah delapan kali dinaikkan, dengan perincian empat kali pada Pelita I
hingga Pelita III, tiga kali pada Pelita IV dan satu kali pada Pelita V.
Kenaikan-kenaikan tersebut tetap dapat diusahakan agar rasio harga dasar gabah terhadap
urea cukup besar sehingga mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi.
Sampai akhir Pelita II, rasio kedua harga tersebut tidak lebih besar dari 1,14,
namun setelah itu, Pelita III dan IV serta pada awal Pelita V rasio harga dasar
gabah terhadap harga pupuk diatas 1,50 kecuali untuk Tahun 1979 hanya sebesar
1,93. Rasio harga yang tertinggi yang pernah dicapai adalah sebesar 1,93 pada
Tahun 1982 dan 1,83 yang terjadi pada Tahun 1984 (Amang dan Sawit, 1999).
Upaya mempertahankan rasio harga dasar gabah terhadap urea yang cukup
besar tidak terlepas dari peran subsidi pupuk. Meski demikian, subsidi pupuk
Amang dan Sawit (1999) menyatakan bahwa subsidi harga pupuk telah
mendorong peningkatan penggunaan pupuk dan berpengaruh terhadap
peningkatan produksi beras, sukses ini juga membawa konsekuensi
membengkaknya dana subsidi. Berdasarkan hal tersebut, pada Tahun 1999
subsidi harga pupuk sempat dihapuskan. Meski demikian, sejak Tahun 2002
pemerintah kembali memberi subsidi harga pupuk terutama pupuk N, P, K.
Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya produksi usahatani padi
yang terus meningkat.
2.5 Pengertian DMP LUEP
Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP)
Merupakan kegiatan yang dilakukan Departemen Pertanian (Deptan) dalam
rangka stabilisasi harga gabah terutama pada saat panen raya. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan kepada Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan (LUEP) untuk meningkatkan kemampuannya dalam membeli
gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada HPP.
Dana talangan ini merupakan pinjaman tanpa bunga (bukan sistim kredit)
sehingga harus dimanfaatkan sesuai dengan pedoman umum yang telah
ditentukan, yaitu untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga yang
mengacu pada HPP. Kegiatan DPM LUEP ini diharapkan dapat membantu dan
menolong petani dari himpitan rendahnya harga yang diperoleh oleh petani
selama ini.
Stabilisasi harga gabah hasil panen petani pada saat panen raya merupakan
aspek yang sangat penting dan menentukan pendapatan dan ketahanan pangan
wilayah tertentu, maka dapat menggerakkan agribisnis perberasan secara
keseluruhan. Kepala Badan, Dinas, Instansi yang menangani ketahanan pangan,
berdasarkan hasil verifikasi tim teknis Propinsi menetapkan LUEP sebagai
pelaksana kegiatan, dan menetapkan jumlah dana penguatan modal bagi LUEP
untuk pembelian gabah atau beras. Manfaat dari diterimanya DPM LUEP tidak
boleh berhenti sampai pada penguatan modal, tetapi harus diteruskan kepada
petani berupa pembelian gabah pada waktu yang tepat dan harga yang lebih baik.
LUEP yang memperoleh DPM, dapat berbentuk koperasi, Koperasi Tani
(Koptan), Koperasi Unit Desa (KUD), lumbung pangan, dan pengusaha
penggilingan padi yang bergerak dalam pengolahan, penyimpanan, maupun
pemasaran gabah. Sebagai penerima DPM LUEP mempunyai kewajiban dalam
kaitannya dengan DPM yang telah diterima, yaitu:
1) Membeli gabah petani sesuai dengan harga yang telah disepakati dalam
kontrak.
2) Membuat pembukuan tersendiri terhadap transaksi yang telah dilakukan
dengan baik dan benar.
3) Melaporkan hasil transaksi yang telah dilakukan secara periodik kepada
Kabupaten atau Kota, Propinsi, dan pusat yang telah disepakati
sebelumnya.
4) Mengembalikan dana talangan tepat pada waktunya yaitu tanggal 15
Desember.
Kegiatan pelaksanaan DPM LUEP ini bertujuan:
a. Mengupayakan stabilisasi harga gabah di tingkat petani.
c. Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan yang
dapat mendorong pertumbuhan dan menggerakkan perekonomian di
pedesaan.
d. Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang
berakumulasi pada ketahanan pangan nasional.5
2.6 Tataniaga
Kohls dan Uhls dalam Sakinah (2006), menyatakan bahwa tataniaga
merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan
jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Terdapat dua kelompok
yang berbeda kepentingan dalam mememandang tataniaga, konsumen yang ingin
mendapatkan harga yang rendah dan produsen yang ingin memperoleh
penerimaan besar atas penjualan produk.
Limbong dan Sitorus (1987), menyebutkan bahwa tataniaga adalah
serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan
hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha
pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Proses distribusi dapat terjadi
kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk
untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah penyalurannya,
meningkatkan nilai dan meningkatkan kepuasan konsumen.
5
2.7 Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian mengenai Efektivitas Penetapan HPP Gabah Terhadap
Pendapatan Petani belum pernah dilakukan. Beberapa hasil penelitian mengenai
padi atau gabah dikemukakan berikut ini. Penelitian yang dilakukan Lubis (2005)
dengan judul Efektivitas Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan dan Analisa
Pendapatan Petani Pengguna Kredit (Studi Kasus: Petani Tebu Anggota Koperasi
Madusari, Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar, Solo). Penelitian dilakukan
dengan penggalian data dan informasi secara insentif diwilayah kerja Bank yang
bersangkutan dengan pabrik gula sebagai fasilitator serta anggota KUD tersebut
sebagai nasabah. Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode analisis
efektivitas yang meliputi analisis secara kualitatif yang diuraikan secara deskriptif
dan analisis yang menentukan skor menggunakan skala likert.
Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil analisa efektivitas dari sisi bank
memperlihatkan hasil yang efektif, terlihat dari hasil wawancara dan data-data
sekunder yang telah diperoleh. Hasil yang cukup efektif ini disebabkan beberapa
hal. Salah satunya adalah masalah pelayanan dan pembinaan petugas bank
dimana jarak merupakan salah satu penyebabnya sehingga banyak petani yang
tidak mengenal bank yang bersangkutan. Uji korelasi yang dilakukan pada
variabel efektivitas dengan tingkat pendidikan, luas lahan dan tingkat pendapatan
menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antar variabel kredit ketahanan
pangan yang diperoleh petani.
Penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan harga gabah terhadap
produksi padi di Pulau Jawa dilakukan oleh Femina (2006), digunakan model
padi di Pulau Jawa. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
padi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa harga dasar gabah, harga pupuk urea dan
luas areal panen padi sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal panen
padi. Respon luas areal panen padi di Pulau Jawa dalam jangka pendek inelastis
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedangkan dalam jangka
panjang, luas areal panen padi terhadap perubahan harga dasar gabah, harga
pupuk urea dan luas areal panen padi tahun sebelumnya.
Beberapa rumusan alternatif kebijakan harga gabah guna peningkatan
produksi padi di Pulau Jawa, antara lain: (1) mengingat harga dasar gabah
berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi di Pulau Jawa yang dicerminkan
oleh pengaruh nyata harga gabah terhadap luas areal panen dan produktivitas padi,
maka sebaiknya kebijakan harga dasar gabah tetap dipertahankan. (2) Guna
mengefektifkan harga dasar gabah untuk menjamin harga gabah ditingkat petani
dan meningkatkan produksi padi, maka penetapan harga dasar gabah sebaiknya
diperhatikan tingkat perkembangan harga pupuk urea dan harga beras impor. (3)
Keefektifan kebijakan harga dan perdagangan (impor) tidak terlepas dari
keefektifan peran dan fungsi lembaga pemerintah yang berwenang, yaitu Bulog
berdasarkan pendugaan parameter dummy kebijakan monopoli impor beras,
ternyata dapat meningkatkan harga gabah ditingkat petani.
Hutauruk (1996) melakukan studi mengenai dampak kebijakan harga dasar
padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia.
Dalam menganalisis data, dilakukan disegrasi wilayah Indonesia menjadi dua
dianalisis dengan pendekatan ekonometrika dalam suatu model persamaan
simultan dan diduga dengan metode 3 SLS.
Berdasarkan hasil analisis, luas areal panen di Jawa tidak responsif
terhadap perubahan harga padi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Selain
itu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, produktivitas padi di Jawa
dan luar Jawa tidak responsif terhadap perubahan harga gabah, trend teknologi,
jumlah pemakaian pupuk, curah hujan, luas areal sawah irigasi dan kredit
usahatani. Berdasarkan hasil simulasi, peningkatan harga dasar gabah, baik secara
individu maupun serentak dengan harga pupuk akan berdampak pada peningkatan
produksi beras total, penurunan permintaan beras domestik, penurunan impor, dan
peningkatan stok yang dilepas. Sedangkan kebijakan peningkatan harga pupuk
akan mengurangi produksi tanpa mempengaruhi permintaan beras domestik
Riyanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan
Cabang Usahatani dan Pemasaran Padi (Kasus: Tujuh Desa, Kecamatan Salem,
Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah). Berdasarkan hasil dan pembahasan
bahwa usahatani padi yang dikembangkan oleh petani di Tujuh Desa, pada
Kecamatan Salem memberikan keuntungan karena nilai pendapatan atas biaya
tunai dan biaya totalnya memiliki nilai positif. Selain itu nilai R/C rasio atas
biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh lebih besar dari satu.
Terdapat dua pola saluran pemasaran untuk padi di Kecamatan Salem,
tetapi dari kedua saluran pemasaran tersebut yang paling banyak dipakai oleh
petani adalah pola pemasaran II, yaitu sebesar 63,33 persen dari total petani.
nilai yang lebih besar dari pola pemasaran II. Hal ini berarti bahwa pola
pemasaran I paling efisien bila dibandingkan dengan pola pemasaran II.
Penelitian mengenai padi dilaksanakan di Kabupaten Subang salah satunya
dilaksanakan oleh Disti (2006), dengan judul Analisa Pendapatan dan Efisiensi
Produksi Usahatani Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
(PTT). Analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dan analisa
kuantitatif berdasarkan evaluasi program PTT, teknologi yang masih digunakan
oleh petani adalah penggunaan organik padat dan efisiensi penggunaan Urea,
SP36 dan Phonska berdasarkan pupuk berimbang. Berdasarkan perbandingan
tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih
bisa ditingkatkan, hal ini ditunjukan dengan R/C rasio pada biaya tunai lebih be