• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE KAJIAN

3. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam kajian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif meliputi tahap transfer data, editing data, pengolahan data dan interpretasi data secara deskriptif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen dan aspek sosial. Aspek teknis meliputi teknologi, kuantitas dan kualitas tenaga teknis serta faktor non-ekonomis, kemudian aspek pasar meliputi pemasaran dan daya serap pasar, sedangkan aspek manajemen meliputi bentuk usaha,

wewenang dan tanggung jawab, spesifikasi tenaga kerja dan kebutuhan biaya gaji dan upah tenaga kerja dan aspek sosial berhubungan dengan dampak sosial dan lingkungan dalam pengembangan biogas di empat lokasi kajian.

Aspek analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui aspek kelayakan pengembangan biogas sebagai energi alternatif. Adapun metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis kelayakan investasi dan analisis SWOT untuk mengetahui strategi yang perlu dikembangkan secara umum di empat lokasi kajian.

a. Analisis Kelayakan Usaha

Analisis kelayakan suatu kegiatan usaha yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari lima kriteria investasi, yaitu Pay Back Period (PBP), Net Benefit

Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV)

dan Internal Rate of Return (IRR).

a) Pay Back Period (PBP)

PBP adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas (Umar, 1997), dapat dinotasi sebagai berikut :

dimana ; n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negatif terakhir

m = nilai kumulatif Bt-Ct negatif terakhir

Bn+1 = nilai sekarang penerimaan bruto pada tahun n + 1

(

+ 1+ 1

)

+ = n n C B m n PBP

Cn+1 = nilai sekarang biaya bruto tahun n + 1

b) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Menurut Gittenger (1986), Net B/C merupakan perbandingan jumlah nilai bersih sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif. Angka ini menunjukkan tingkat besarnya

tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu satuan, dapat dinotasikan sebagai berikut :

dimana ; Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomis usaha (tahun) i = tingkat suku bunga (%)

t = periode investasi (i = 1,2,3....n)

c) Break Even Point (BEP)

BEP adalah suatu cara untuk dapat menetapkan tingkat produksi dimana penjualan sama dengan biaya-biaya. Dengan kata lain, tingkat produksi dimana tidak ada kerugian dan keuntungan (Nitisemito, 1980), dinotasikan sebagai berikut :

d) Net Present Value (NPV)

Menurut Gittenger (1986), NPV adalah menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi, merupakan jumlah nilai penerimaan arus tunai pada waktu sekarang dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan selama waktu tertentu, dapat dinotasikan sebagai berikut :

(

(

Net

Penerimaan Total Variabel Biaya Tetap Biaya BEP − = 1

dimana ; Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomis usaha (tahun) i = tingkat suku bunga (%)

t = periode investasi (i = 1,2,3....n)

e) Internal Rate of Return (IRR)

Menurut Gray, et al. (1992) IRR menunjukkan persentase keuntungan yang diperolah atau investasi bersih dari suatu proyek atau tingkat diskonto yang dapat membuat arus penerimaan bersih sekarang dari investasi (NPV) sama dengan nol. Formulasi yang digunakan dalam menghitung Net B/C adalah sebagai berikut :

dimana ; NPV1 = Nilai NPV yang positif (Rp) NPV2 = Nilai NPV yang negatif (Rp)

i1 = discount rate nilai NPV yang positif (%) i2 = discount rate nilai NPV yang negatif (%)

i* = IRR (%) b. Analisis Matriks SWOT

Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengembangan biogas individu dan kelompok. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks

= = + + = n o t t 0 (1 i) Ct -) 1 ( n t t i Bt NPV

= + − = n o t t t t i C B ) 1 ( ) ( * 2 1 2 1 1 i i NPV NPV NPV i i − − + =

ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi S-O, strategi W-O, strategi W-T dan strategi S–T, seperti terlihat pada Tabel – 4.

Terdapat delapan tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu : a) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal perusahaan

b) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal perusahaan c) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal perusahaan d) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal perusahaan

e) Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S – O.

f) Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W – O.

g) Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S – T.

h) Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W – T.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum

Penelitian ini dilaksanakan di 4 (empat) lokasi yakni (i) kelompok peternakan sapi di Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, (ii) kelompok Peternakan Sapi di Cisarua Bogor, Provinsi Jawa Barat (iii) peternak sapi perah di Ciracas Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta dan (iv) peternak sapi di Kaba Wetan Kepahiang, Provinsi Bengkulu.

Kelompok peternakan sapi Bina Bersama di Bangka Tengah secara administratif berada di desa Perlang, kecamatan Lubuk Besar. Pada umumnya mata pencaharian penduduknya adalah berkebun lada dan karet, sedangkan peternakan masih merupakan usaha sampingan, populasi sapi yang ada dikelompok sebanyak 96 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 20 orang.

Pada tahun 2006, dengan dana APBN Direktorat Jenderal Peternakan melalui program BATAMAS, kelompok mendapat bantuan 1 (satu) paket denplot biogas dengan kapasitas 32 M3 , Dalam perkembangan nya pemanfaatan denplot tersebut saat ini lebih terfokus dalam memproduksi pupuk organik, karena permintaan cukup tinggi sedangkan suplai terbatas, harga pupuk organik ditingkat peternak sekitar Rp. 2000/kg.

Harga minyak tanah di Bangka Tengah, Rp. 4500/liter dan relatif masih murah karena masih mendapat subsidi dari pemerintah.

Kelompok peternakan Bina Warga Cisarua di Kabupaten Bogor, beranggotakan 20 orang, umumnya adalah peternak sapi perah yang tergabung dalam wadah Koperasi Susu Giri Tani. Kepemilikan sapi rata-rata 8-10 ekor , populasi sapi di kelompok saat ini sebanyak 230 ekor, pada umumnya peternak memelihara sapi perah merupakan sebagai usaha pokok.

Pada tahun 2007 dengan dan KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan melalui pemasangan instalasi biogas, kelompok tersebut mendapat bantuan 2 paket denplot biogas senilai Rp 60 juta rupiah dengan kapasitas digester 17 M3 . Pemanfaatan denplot tersebut saat ini lebih terfokus untuk memenuhi kebutuhan masak sehari-hari mengingat harga minyak tanah sangat mahal sekitar Rp. 8000/liter, dengan kapasitas

digester yang terpasang maka pemanfaatan gas nya dapat disalurkan di 3 (tiga) rumah tangga. Produk lainnya yang cukup potensil untuk menambah pendapatan peternak yakni dari pupuk baik padat maupun pupuk cair yang akhir-akhir ini sangat diminati oleh petani sayuran dan kembang. Untuk pupuk cair harganya sekitar Rp. 3000/liter sedang pupuk padat Rp. 500/kg.

Keadaan umum peternak individu di desa kembangsari, kecamatan Kabah Wetan, Kabupaten Kepahyang, pada umumnya merupakan peternak sapi perah dan sapi potong, jumlah kepemilikan rata-rata 3-5 ekor.

Pada tahun 2006 dengan dana APBN Direktorat Jenderal Peternakan melalui program BATAMAS, kelompok mendapat bantuan 8 unit denplot biogas senilai Rp. 20 juta per unit, dengan digester kapasitas 5 M3 . Pemanfaatan denplot saat ini lebih terfokus untuk memenuhi kebutuhan masak sehari-hari mengingat harga minyak tanah cukup mahal yakni Rp. 4500/liter, disamping produk lainnya berupa pupuk yang nilainya cukup baik, harga ditingkat petani mencapai Rp 500/kg.

Keadaan umum peternak individu di kelurahan kelapa dua wetan ciracas, Jakarta Timur DKI Jakarta, merupakan petani sapi perah dengan jumlah kepemilikan sebanyak 7 ekor dan beternak sapi perah tersebut merupakan usaha pokok.

Pada tahun 2006 melalui dana APBD mendapat bantuan 1 unit denplot biogas senilai Rp. 20 juta, kapasitas digester 5 M3 dengan tujuan adanya peternakan tersebut tidak mencemari lingkungan. Pemanfaatan denplot saat ini terfokus untuk memenuhi kebutuhan masak sehari-hari mengingat adanya kelangkaan minyak tanah dan harga mahal sekitar Rp. 8000/liter, disamping itu pupuk padat nilainya cukup baik dan harga jual Rp 500/kg.

a. Limbah Ternak sebagai Bahan Baku Biogas

Saat ini, masalah lingkungan hidup bukan hanya ditimbulkan oleh limbah dari pabrik kimia, tekstil dan usaha manufaktur lainnya. Industri peternakan juga mulai memberikan andil yang signifikan terhadap permasalahan lingkungan hidup. Usaha peternakan yang selama ini dipandang sebagai usaha yang akrab dengan lingkungan mulai dituding

sebagai usaha yang ikut mencemari lingkungan hidup (Maksudi, 1993). Selain menghasilkan daging, telur, susu dan kulit, usaha peternakan juga menghasilkan produk ikutan (by product) dan limbah (waste). Peningkatan permintaan hasil ternak mendorong meningkatnya populasi ternak dan produktivitas ternak. Sistem pemeliharaan pun beralih dari ekstensif ke pemeliharaan sistem intensif.

Selain memberikan dampak positif, peningkatan usaha peternakan juga memberikan dampak negatif, yaitu limbah yang dihasilkan. Penumpukan limbah ternak akan semakin buruk jika tidak dilakukan usaha untuk pengolahan limbah. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pengolahan limbah yang praktis dan murah.

Hasil Utama Ternak. Secara garis besar, ternak yang dipelihara manusia meliputi sapi, kerbau, domba, kambing, ayam broiler, ayam petelur dan ayam kampung. Walaupun sekarang telah banyak yang membudidayakan satwa harapan seperti cacing dan lebah madu. Keberadaan ternak sangat penting bagi kehidupan manusia. Tujuan pemeliharaan ternak yang paling utama adalah sebagai sumber bahan makanan. Dari ternak dapat diperoleh daging, susu dan telur sebagai bahan pangan yang memiliki kandungan nutrisi tinggi. Selain kandungan nutrisinya yang tinggi, produk-produk dari hasil ternak juga memiliki komposisi nutrisi yang seimbang. Keadaan ini merupakan salah satu keunggulan produk hewani dibandingkan dengan bahan pangan yang berasal dari tumbuhan. Protein hewani juga lebih mudah dicerna dari pada protein nabati.

Hasil Sampingan Ternak. Suatu usaha peternakan pasti menghasilkan limbah, di samping hasil utamanya. Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah pemotongan hewan dan pengolahan produk ternak. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk dan isi rumen. Semakin besar skala usaha yang dijalankan, maka limbah yang dihasilkan akan semakin banyak. Volume limbah yang

dihasilkan oleh usaha peternakan tergantung dari spesies ternak, skala usaha dan sistem perkandangan.

Berbagai jenis limbah masih dapat dimanfaatkan seperti bulu, wol, kulit, tulang dan tanduk dapat dibuat sebagai barang kerajinan yang dapat menambah penghasilan para peternak. Dengan teknologi yang baik, wol dan kulit dapat diolah menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti pakaian. Hasil ternak yang tidak dapat dikonsumsi manusia juga bisa digunakan sebagai pakan ternak seperti bulu, tulang dan kerabang telur yang telah dikeringkan dan digiling menjadi tepung yang dapat digunakan sebagai sumber protein dan mineral pelengkap pada ternak. Limbah yang berupa feses, urine dan sisa pakan pun dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan berbagai kebutuhan hidup, dari pupuk organik hingga menjadi penghasil energi seperti biogas.

Ternak dan Permasalahan Lingkungan. Usaha peternakan dapat memberikan manfaat yang besar dilihat dari perannya sebagai penyedia protein hewani. Hal ini yang menjadi alasan pengembangan program peternakan. Namun di sisi lain, peternakan juga menjadi penyebab timbulnya pencemaran. Hasil sampingan ternak berupa limbah dari usaha yang semakin intensif dan skala usaha besar dapat menimbulkan masalah yang komplek. Selain baunya yang tidak sedap, keberadaannya juga mencemari lingkungan, mengganggu pemandangan dan dapat menjadi timbulnya penyakit.

Di usaha peternakan kecil, masalah ini mungkin tidak begitu terasa. Jumlah limbah yang sedikit akan dapat ditangani. Berbeda dengan usaha peternakan skala besar. Limbah yang dihasilkan akan sangat banyak. Jika pengelolaannya tidak dilakukan secara baik akan berakibat buruk. Masyarakat di sekitar peternakan yang merasa terganggu dengan adanya limbah, dapat saja menuntut peternakan tersebut. Hal ini dapat mengancam keberlangsungan usaha peternakan.

Biogas dari Hasil Pemanfaatan Kotoran Ternak. Mendirikan suatu peternakan harus dimulai dengan perencanaan yang matang, tidak hanya terfokus pada aspek produksi utama, tetapi harus memerhatikan faktor lain. Suatu peternakan yang layak sebaiknya mempunyai mekanisme kerja

yang baik dalam mengolah limbah yang dihasilkan. Apalagi jika suatu peternakan itu memiliki skala usaha yang besar dan intensif.

Sebagai gambaran, seekor sapi dengan berat 454 kg akan menghasilkan 25 kg limbah feses dan urine setiap hari. Dapat dibayangkan jika suatu peternakan memiliki 100 ekor sapi, jumlah limbah yang dihasilkan bisa mencapai 1.8 ton per hari. Keberadaan limbah ini tentu akan menjadi masalah tersendiri bagi peternak dan menjadi penyebab gangguan bagi lingkungan sekitarnya.

Selama ini, limbah berupa feses dan urine banyak dimanfaatkan sebagai pupuk oleh sebagian besar peternak. Namun, kebanyakan limbah tersebut langsung di bawa ke kebun tanpa melakukan pengomposan terlebih dahulu. Padahal feses tersebut masih bersifat panas dan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Dari kebiasaan tersebut inovasi pengembangan instalasi biogas muncul sebagai alternatif sumber energi dengan penghasil utama biogas adalah sebagai pupuk.

Dengan instalasi ini, peternakan mendapatkan gas sebagai bahan bakar, pupuk organik padat dan pupuk organik cair dari sisa fermentasi bahan organik dalam digester biogas. Selain itu, dapat mengurangi pencemaran akibat tumpukan feses. Instalasi biogas dapat dibangun pada peternakan dengan skala rumah tangga maupun peternakan dengan skala besar. Saat ini, ketika harga bahan bakar minyak naik akibat meningkatnya harga minyak dunia, maka pemanfaatan kotoran ternak sebagai bahan baku penghasil biogas dapat menjadi salah satu alternatif.

Diversifikasi hasil yang diperoleh dari pengolahan limbah organik ternak dapat berupa bahan bakar biogas dan pupuk organik (padat dan cair). Mengingat kebutuhan bahan bakar dan pupuk organik yang semakin meningkat, maka sudah saatnya teknologi biogas ini dimasyarakatkan.

b. Potensi Biogas bagi Kehidupan Masyarakat

Perkembangan Biogas. Kotoran ternak berupa feses dan urine telah dimanfaatkan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pemanfaatan utamanya adalah sebagai pupuk untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan

tanah. Seiring dengan peningkatan penggunaan pupuk kimia, penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk semakin berkurang. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan lagi pemanfaatan pupuk organik dari kotoran ternak. Hal ini dipengaruhi oleh semakin berminatnya masyarakat terhadap produk pertanian organik.

Bahan pangan organik yang dihasilkan dari sistem pertanian yang menggunakan bahan-bahan alami tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Bahan pangan organik dinilai lebih sehat dan tidak memiliki kandungan residu zat berbahaya. Pemanfaatan kotoran ternak dalam bentuk lain adalah dengan mengolahnya menjadi sumber energi dalam bentuk gas yang sering disebut biogas.

Prinsip Pembuatan Biogas. Adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan suatu gas yang sebagian besar berupa metana (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan karbon dioksida. Gas yang terbentuk disebut gas rawa atau biogas. Proses dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah mikroorganisme, terutama bakteri metana. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55°C. Pada suhu tersebut mikroorganisme dapat bekerja secara optimal merombak bahan-bahan organik menjadi gas metana.

Pembuatan biogas bukan merupakan teknologi baru. Berbagai negara telah mengaplikasikan teknologi ini sejak puluhan tahun yang lalu seperti petani di Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Sementara itu, di Benua Asia, India merupakan negara pelopor dan pengguna energi biogas sejak masih dijajah Inggris.

Negara yang memiliki populasi ternak yang besar seperti Amerika, India, Taiwan, Korea dan Cina telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar. India telah membuat instalasi biogas sejak tahun 1900. Negara tersebut mempunyai lembaga khusus yang meneliti pemanfaatan limbah kotoran ternak yang disebut Agricultural Research

Institute dan Gobar Gas Research Station. Pada tahun 1980 di seluruh India

Indonesia mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun 1970-an. Tujuannya untuk memanfaatkan buangan atau sisa limbah yang kurang bermanfaat agar mempunyai nilai guna yang lebih tinggi. Tujuan lain adalah mencari sumber energi lain selain minyak tanah dan kayu bakar.

Keterbatasan Pemanfaatan Limbah. Segala aktivitas manusia akan menghasilkan limbah atau sampah. Limbah yang dihasilkan ini dapat diperinci menjadi limbah anorganik dan limbah organik. Limbah anorganik adalah limbah yang tidak atau sulit terdegradasi oleh mikroorganisme perombak seperti plastik, kaca dan sebagiannya.

Selain limbah anorganik, aktivitas manusia juga menghasilkan limbah organik. Limbah ini lebih mudah terdegradasi oleh mikroorganisme tanah sehingga mampu menyatu dengan struktur tanah, bahkan dapat menyuburkan tanah. Walaupun demikian, dalam jumlah besar limbah organik juga dapat mendatangkan masalah seperti pencemaran udara (akibat bau) dan penyakit. Limbah organik juga dapat menjadi media yang baik bagi bibit penyakit.

Limbah anorganik dan limbah organik sedikit atau banyak akan menimbulkan masalah. Dalam jumlah sedikit, limbah dan sampah dapat merusak pemandangan sekitarnya. Apalagi dalam jumlah yang banyak, puluhan jiwa manusia meninggal hanya karena tumpukan sampah seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung. Berdasarkan permasalahan di atas, usaha penanganan limbah memerlukan perhatian khusus.

Biogas dan Kecukupan Energi Masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan bahan bakar. Berbagai bentuk sumber energi telah dimanfaatkan oleh manusia seperti minyak bumi, batu bara, gas alam yang merupakan bahan bakar fosil, serta sumber energi tradisional seperti kayu bakar. Sumber energi fosil bersifat tidak dapat diperbaharui sehingga pemakaiannya harus dihemat. Luas hutan di Indonesia semakin menipis sehingga penggunaan kayu sebagai bahan bakar juga harus dikurangi. Selain itu, efisiensi panenan

energi dari kayu bakar dan bahan bakar fosil relatif rendah (20-30%). Sedangkan efisiensi panenan energi dari biogas lebih besar dari 30-40%.

Selama ini yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar adalah masyarakat perdesaan atau masyarakat di sekitar pinggiran hutan. Kecukupan energi pada masyarakat, khususnya yang tinggal di perdesaan dapat diatasi dengan menggunakan energi alternatif yang murah, ramah lingkungan, mudah diperoleh dan dapat diperbaharui. Salah satu energi alternatif tersebut adalah biogas.

Biogas dihasilkan dari limbah peternakan dan pertanian yang relatif mudah diperoleh di lingkungan masyarakat perdesaan. Dengan menggunakan biogas permasalahan kekurangan bahan bakar dapat diatasi, penggunaan kayu sebagai bahan bakar dapat dikurangi, serta masyarakat tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bahan bakar fosil yang kini mulai terasa langka.

Program Pembangunan Instalasi Biogas. Indonesia mempunyai potensi kekayaan alam yang melimpah termasuk kekayaan ternaknya. Potensi ternak selama ini belum dikembangkan sepenuhnya. Sebagian besar peternakan di Indonesia adalah peternakan yang belum menggunakan teknologi dan pemeliharaannya masih bersifat tradisional. Termasuk dalam pengolahan hasil dan limbahnya yang belum menggunakan teknologi yang tepat.

Pengembangan usaha peternakan yang tidak diikuti dengan pengolahan limbah yang baik akan menimbulkan masalah terhadap masyarakat sekitar areal peternakan. Untuk itu, perlu diterapkan sistem pengolahan limbah yang baik, sehingga masalah pencemaran lingkungan sekitar area peternakan dapat diatasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangun instalasi biogas untuk mengolah limbah peternakan menjadi produk sampingan yang dapat dimanfaatkan seperti biogas dan pupuk organik baik cair maupun padat.

Dalam jangka waktu yang akan datang diharapkan unit instalasi biogas akan lebih banyak lagi digunakan oleh peternak. Hal ini disebabkan keuntungan ganda yang dapat diperoleh, yaitu berupa biogas hasil

pengolahan dan terjaganya kebersihan lingkungan. Dengan demikian, peternakan di Indonesia menjadi lebih maju karena tidak lagi mendapat protes dari masyarakat sekitar yang terganggu oleh pencemaran limbah ternak.

c. Pembuatan Instalasi Biogas

Model Digester. Pada dasarnya kotoran ternak yang ditumpuk atau dikumpulkan begitu saja dalam beberapa waktu tertentu dengan sendirinya akan membentuk gas metana. Namun, karena tidak ditampung, gas itu akan hilang menguap ke udara. Oleh sebab itu, untuk menampung gas yang terbentuk dari kotoran sapi dapat dibuat beberapa model konstruksi alat penghasil biogas. Berdasarkan cara pengisiannya ada dua jenis digester (pengolah gas), yaitu batch fedding dan continuous fedding.

Batch fedding adalah jenis digester yang pengisian bahan organik

(campuran kotoran ternak dan air) dilakukan sekali sampai penuh, kemudian ditunggu sampai biogas dihasilkan. Setelah biogas tidak berproduksi lagi atau produksinya sangat rendah, isian digesternya dibongkar, lalu diisi kembali dengan bahan organik yang baru.

Continuous feeding adalah jenis digester yang pengisian bahan

organiknya dilakukan setiap hari dalam jumlah tertentu, setelah biogas mulai berproduksi. Pada pengisian awal digester diisi penuh, lalu ditunggu sampai biogas diproduksi. Setelah biogas diproduksi, pengisian bahan organik dilakukan secara kontinu setiap hari dengan jumlah tertentu. Setiap pengisian bahan organik yang baru akan selalu diikuti pengeluaran bahan sisa (sludge). Karena itu, jenis digester ini akan didesain dengan membuat lubang pemasukan dan lubang pengeluaran.

Sludge adalah cairan lumpur yang ke luar dari digester yang telah

mengalami fermentasi. Sludge dapat dipisahkan menjadi bagian padatan dan cairan yang semuanya dapat dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organik, yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Digester jenis continuous

feeding mempunyai dua model yaitu model tetap (fixed) dan model terapung

(floating). Perbedaan kedua model ini adalah pada pengumpul biogas yang dihasilkan. Pada model floating, pengumpul gasnya terapung di atas sumur

pencerna sehingga kapasitasnya akan naik turun sesuai dengan produksi gas yang dihasilkan dan pemanfaatan gas yang dihasilkan.

Pada penelitian ini model digester yang digunakan adalah model

Dokumen terkait