• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.6. Metode Analisis Data

Analisis kelembagaan dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap situasi (situation), struktur (structure), perilaku (behavior), dan kinerja (performance). Analisis situasi (situation) akan mendeskripsikan karakteristik inheren (yang melekat) pada sumberdaya. Situasi didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber interdependensi (Pakpahan, 1989). Analisis struktur (structure) akan menjelaskan kelembagaan/ aturan formal dan informal pengelolaan daerah penyangga.

Selanjutnya, prilaku (behavior) akan meninjau perilaku dari masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dan bagaimana kepentingannya terhadap suatu sumberdaya. Kinerja (performance) A akan menggambarkan kondisi pengelolaan terhadap sumberdaya hutan apakah sudah cukup baik atau belum. Pengelolaan dapat dikatakan cukup baik apabila diketahui kepastian dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Kinerja (performance) B merujuk pada konsep-konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat merubah kinerja A menjadi lebih baik, sehingga dapat menghilangkan

32

ketidakpastian (uncertainty) terhadap sumberdaya tersebut. Untuk merubah prilaku (behavior) masing-masing stakeholder sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik perlu dilakukan perubahan terhadap unsur-unsur kelembagaan seperti yang dinyatakan oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni: 1) batas yurisdiksi (jurisdictional boundry); 2) Hak Kepemilikan (property rights); dan 3) aturan representasi (rules of representation). Batas yurisdiksi akan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Selanjutnya konsep property atau pemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Secara ringkas kerangka analisis kelembagaan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka analisis kelembagaan

(dimodifikasi dari Sanim et al., 2006; Kartodihardjo, 2006a)

3.6.2. Analisis AHP

Metode analisis untuk menentukan prioritas pengelolaan eks HPH PT MJRT sebagai daerah penyangga TNKS menggunakan metode Analytical Hierarchy Process/ AHP. AHP pada prinsipnya merupakan penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi

SITUATION STRUCTURE A BEHAVIOR A PERFORMANCE A

STRUCTURE B BEHAVIOR B PERFORMANCE B

nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel yang lain. Dalam metode AHP dilakukan pengkonversian nilai subjektif dari kepentingan relatif ke dalam suatu himpunan dari keseluruhan skor atau bobot. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty ini merupakan salah satu aplikasi metode multicriteria analysis (MCA). Skala pembobotan untuk mengevaluasi kepentingan relatif pada kegiatan- kegiatan yang berbeda dalam analisis AHP disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Pembobotan Skala Saaty

Nilai Tingkat

Kepentingan Penjelasan

1 Sama penting Kedua kegiatan sama pentingnya

3 Sedikit lebih

penting

Faktor yang satu sedikit lebih penting dari pada faktor lainnya

5 Penting Faktor yang satu esensial atau lebih penting dari

faktor lainnya

7 Jelas lebih

penting Satu faktor jelas lebih penting daripada faktor lainnya

9 Sangat penting Satu faktor mutlak lebih penting daripada faktor

lainnya

2,4,6,8 Nilai antara atau

pertengahan Diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Kebalikan

Jika untuk kegiatan I diperoleh dua angka 2 jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai ½ dibanding i.

Pembobotan dalam metode AHP menggunakan skala Saaty dimulai dari satu (1), yang menggambarkan atribut yang satu terhadap yang lain sama penting. Untuk atribut yang sama selalu bernilai satu (1) sampai sembilan (9), yang menggambarkan satu atribut sangat penting terhadap atribut lainnya. Jika hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai Consistency Ratio/CR < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Analisis data dibantu dengan menggunakan perangkat lunak program Expert choice 2000.

Analisis prioritas fungsi daerah penyangga TNKS menurut persepsi aktor yang terlibat (stakeholders). Menurut Basuni (2003) beberapa fungsi daerah penyangga adalah antara lain: 1) daerah penyangga sebagai perluasan habitat kawasan konservasi, 2) daerah penyangga sebagai pelindung fisik kawasan konservasi, dan 3) daerah penyangga sebagai sumber pendapatan masyarakat.

Kelembagaan (institusi) diciptakan untuk membantu para aktor yang terlibat dan berkepentingan dengan posisi tawar untuk menemukan aturan-aturan yang

34

Penentuan Prioritas Fungsi Daerah Penyangga TNKS

Tujuan :

Faktor (Fungsi Daerah Penyangga):

Daerah Perluasan Habitat Daerah Pelindung Fisik TNKS Sumber Pendapatan Masyarakat

Pemda

Swasta

Masyarakat

LSM

Aktor:

PT

baru bagi kepentingannya. Berdasarkan aturan main yang ada, para aktor yang terlibat akan berprilaku untuk memenangkan permainan dalam rangka memaksimumkan kesejahteraannya. Perilaku para aktor merupakan hal yang berkembang dan merupakan proses terpisah dari proses kreasi, evolusi, dan konsekuensi dari aturan-aturan yang diciptakan (North, 1991). Oleh karena itu, dalam analisis prioritas fungsi daerah penyangga TNKS sangat penting untuk mempertimbangkan para aktor yang terlibat. Para aktor yang dimaksud adalah Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat, Perguruan Tinggi (PT) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Rekayasa sosial merupakan suatu upaya untuk memecahkan masalah nyata yang dihadapi yaitu perubahan dalam batas yurisdiksi, aturan representasi, dan property rights atas lahan. Metode AHP dalam kerangka ini dapat digunakan untuk memutuskan suatu prioritas fungsi daerah penyangga dengan mempertimbangkan berbagai macam kriteria dan memiliki tingkat konsistensi yang terjaga. Berikut disajikan struktur hierarki penetapan prioritas fungsi daerah penyangga TNKS untuk analisis AHP (Gambar 4).

Gambar 4. Struktur hierarki penetapan prioritas fungsi daerah penyangga TNKS

3.6.3. Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities and Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS. Analisis SWOT didasarkan

pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 2001). Analisis SWOT harus mempertimbangkan situasi dari faktor internal dan faktor eksternal pengelolaan daerah penyangga TNKS tersebut.

Secara umum langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah: 1) Identifikasi kekuatan/ kelemahan dan peluang/ ancaman. Identifikasi dilakukan berdasarkan kondisi yang ada (existing condition). Hal ini diperlukan untuk mengetahui berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam membuat kebijakan pengelolaan daerah penyangga kedepan; 2) Analisis SWOT. Hasil identifikasi diberi bobot/skor berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi eks areal hutan konsesi. Bobot tertinggi diberikan untuk unsur SWOT yang mempunyai pengaruhi penting bagi kebijakan pengelolaannya. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot, kemudian unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan. Bobot masing-masing kebijakan tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan rangking alternatif kebijakan yang prioritas; 3) Anlternatif kebijakan hasil analisis SWOT. Alternatif kebijakan dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Kebijakan yang dihasilkan terdiri atas beberapa alternatif, sehingga untuk menentukan prioritas kebijakan yang harus dilakukan penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alteratif kebijakan. Jumlah bobot akan menentukan rangking prioritas alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait