ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH
PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
(Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber
Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)
IDHAM KHALIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2007
ABSTRAK
IDHAM KHALIK. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT : Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan SAMBAS BASUNI.
Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT) terletak di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sehingga merupakan daerah penyangga bagi perlindungan kawasan konservasi tersebut. Dalam kaitan inilah kebijakan pengelolaan daerah penyangga tersebut harus mendukung upaya-upaya konservasi pada TNKS. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan situasi, struktur, prilaku dan kinerja pengelolaan daerah penyangga TNKS; dan 2) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan kelembagaan serta metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT Analysis untuk merumuskan prioritas fungsi pengelolaan daerah penyangga tersebut dan alternatif kebijakannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan hutan berupa hutan primer pada daerah penyangga (eks HPH PT MJRT) hanya sekitar 30%, sedangkan sisanya berupa hutan bekas tebangan serta lahan perkebunan milik masyarakat maupun swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan hutan tersebut sebagai daerah penyangga TNKS belum baik. Berdasarkan analisis AHP, fungsi pengelolaan daerah penyangga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan. Beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil analisis SWOT adalah penguatan property right atas lahan, membangun institusi lokal, mengembangkan agroforestry pada areal yang masih berhutan dan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan ekonomi produktif.
ABSTRACT
IDHAM KHALIK. INSTITUTION ANALYSIS TO MANAGE BUFFER ZONE OF KERINCI SEBLAT NATIONAL PARK: Case Study at Ex-Concession of PT Maju Jaya Raya Timber, North Bengkulu Regency, Bengkulu Province. Supervised by CECEP KUSMANA and SAMBAS BASUNI.
Ex concession of PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT) is located at North Bengkulu Regency, Bengkulu Province is an important buffer zone of Kerinci Seblat National Park (KSNP). Therefore the damage that happened in that area will have a huge impact in the on going development of the reservation area. The purpose of this research are as follow: 1) to describe the situation, structure, behavior and performance of institution in managing buffer zone of KSNP; and 2) to design an alternative policies to manage the buffer zone of KSNP. The analytical method used is descriptive-qualitative to describe the institution of ex-concession of PT MJRT and Analytical Hierarchy Process (AHP) and SWOT analysis method are both used to design an alternative policies management. The result this research showed that there have been changes in land cover, virgin forest only about 30%, and the rest was logged over area and has been converted to field crops owned by the locals and private company. This indicates that the management of ex-concession is not good enough. Based on Analytical Hierarchy Process and SWOT analysis, the prioritize function on the management of the area mentioned has be increasing to income of the locals, therefore this could decrease the preassure of the locals to take advantage in using the forest area. Some alternatives of policies which can be carried out is to strengthen property rights, developed local institution, developed the pattern of agroforestry and to upgrade the human resources by increasing the economic productivity for proper management of KSNP buffer zone.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH
PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
(Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber
Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)
IDHAM KHALIK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT : Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu
Nama : Idham Khalik
N R P : P052040231
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Cecep Kusmana Dr. Sambas Basuni
K e t u a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
i
PRAKATA
Penulis bersyukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’alah, atas segala
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis yang berjudul “ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi
Bengkulu” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun lokasi yang menjadi objek penelitian ini adalah pada daerah penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang terletak di dalam dan sekitar eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT).
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, antara lain: kawasan hutan eks HPH umumnya berupa hutan bekas tebangan banyak yang
telah dikonversi menjadi lahan non kehutanan. Selain itu kebijakan pengelolaan daerah penyangga harus sinergi dengan upaya-upaya konservasi pada taman nasional, karena merupakan daerah jelajah bagi beberapa mamalia besar yang
terdapat pada taman nasional ersebut. Beranjak dari hal-hal tersebut, perlu kiranya penelitian aspek kelembagaan dalam pengelolaan daerah penyangga
tersebut, sehingga dapat mendukung kelestarian taman nasional, namun disisi lain masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dapat meningkatkan
kesejahteraannya.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelsaikan penulisan
tesis dan selama penyelsaian studi di IPB ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua (Ayahanda Saludin dan Ibunda Raknaini), wancik dan etek (Drs. M. Amin Ahmad dan Yurnalismawati) yang telah mengasuh dan
membesarkanku dengan seluruh cinta kasih dan duka citanya.
2. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB,
ii
3. Bapak Prof. Dr. Cecep Kusmana selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Sambas Basuni selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis ini. Proses bimbingan dan konsultasi telah banyak memberikan ilmu baru bagi penulis.
Serta kepada Bapak Prof. Dr. Dudung Darusman selaku Penguji Luar Komisi yang ikut menyumbangkan pemikirannya untuk penyempurnaan tulisan ini.
4. Ketua dan Anggota Tim Penelitian Hibah Pascasarja (TPHP) IPB; Departemen Kehutanan RI, Kepala Balai KSDA Bengkulu, Kepala Pusat
Latihan Gajah Seblat dan semua anggota Pawang Gajah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkulu Utara, dll yang telah membantu
menyediakan data dan informasi penelitian ini.
5. Semua keluarga (Dang Sudarman sekeluarga, Wo Dewitawati sekeluarga,
Dang Jallalaludin sekeluarga); adik-adik ku: Firwandi, Wiwin, Efriyansyah, Winarti, Feri Junika, Witri Wahyuni); serta seluruh keponakan (Redho, Rani, Echa, Iya, Angga, Aditya dan semuanya).
6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi PSL yang dibanggakan, khususnya angkatan 2004 (hampir mewakili seluruh Indonesia). Terima kasih untuk
Mezuan, Bang Farma, Pak Irwan, Pak Heri, Pak Wisnu, Rum, Narwan, There, Rosy, Yeni, Dhona, Teh Inna dan Ipay-nya, Kak Tini, Mbak Chana,
Mbak Oshenk dan semuanya atas semua bantuan. 7. Teman-teman satu kost: Pak Azwin, Kak Rizon, dll.
8. Pak Hutwan dan keluarga, Pak Indra dan keluarga, Pak Ridwansyah dan keluarga, Wan Usman dan keluarga, Mas Anto, Mas Ijul.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala do’a, dorongan dan motivasinya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Bogor, Februari 2007
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Batu Raja, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu pada tanggal 9 Januari 1979 dari
ayah Saludin dan ibu Raknaini. Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Pada tahun 2002–2003 penulis bekerja di Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil (P3KPK) Universitas Bengkulu. Sejak tahun 2003 hingga sekarang penulis merupakan peneliti dan tenaga ahli
pada Lembaga TERAJU Bengkulu. Adapun bidang kajian yang menjadi konsentrasi adalah manajemen usaha kecil, koperasi, ekonomi kerakyatan dan
pemberdayaan masyarakat serta kajian aspek-aspek lingkungan hidup.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota Tim
Penelitian Hibah Pascasarjana (TPHP) Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional. Adapun topik penelitian adalah Kajian Kelembagaan dan Ekonomi Sumberdaya Eks Areal Hutan Konsesi yang Berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Bogor, Februari 2007
ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH
PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
(Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber
Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)
IDHAM KHALIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2007
ABSTRAK
IDHAM KHALIK. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT : Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan SAMBAS BASUNI.
Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT) terletak di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sehingga merupakan daerah penyangga bagi perlindungan kawasan konservasi tersebut. Dalam kaitan inilah kebijakan pengelolaan daerah penyangga tersebut harus mendukung upaya-upaya konservasi pada TNKS. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan situasi, struktur, prilaku dan kinerja pengelolaan daerah penyangga TNKS; dan 2) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan kelembagaan serta metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT Analysis untuk merumuskan prioritas fungsi pengelolaan daerah penyangga tersebut dan alternatif kebijakannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan hutan berupa hutan primer pada daerah penyangga (eks HPH PT MJRT) hanya sekitar 30%, sedangkan sisanya berupa hutan bekas tebangan serta lahan perkebunan milik masyarakat maupun swasta. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan hutan tersebut sebagai daerah penyangga TNKS belum baik. Berdasarkan analisis AHP, fungsi pengelolaan daerah penyangga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan. Beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil analisis SWOT adalah penguatan property right atas lahan, membangun institusi lokal, mengembangkan agroforestry pada areal yang masih berhutan dan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan ekonomi produktif.
ABSTRACT
IDHAM KHALIK. INSTITUTION ANALYSIS TO MANAGE BUFFER ZONE OF KERINCI SEBLAT NATIONAL PARK: Case Study at Ex-Concession of PT Maju Jaya Raya Timber, North Bengkulu Regency, Bengkulu Province. Supervised by CECEP KUSMANA and SAMBAS BASUNI.
Ex concession of PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT) is located at North Bengkulu Regency, Bengkulu Province is an important buffer zone of Kerinci Seblat National Park (KSNP). Therefore the damage that happened in that area will have a huge impact in the on going development of the reservation area. The purpose of this research are as follow: 1) to describe the situation, structure, behavior and performance of institution in managing buffer zone of KSNP; and 2) to design an alternative policies to manage the buffer zone of KSNP. The analytical method used is descriptive-qualitative to describe the institution of ex-concession of PT MJRT and Analytical Hierarchy Process (AHP) and SWOT analysis method are both used to design an alternative policies management. The result this research showed that there have been changes in land cover, virgin forest only about 30%, and the rest was logged over area and has been converted to field crops owned by the locals and private company. This indicates that the management of ex-concession is not good enough. Based on Analytical Hierarchy Process and SWOT analysis, the prioritize function on the management of the area mentioned has be increasing to income of the locals, therefore this could decrease the preassure of the locals to take advantage in using the forest area. Some alternatives of policies which can be carried out is to strengthen property rights, developed local institution, developed the pattern of agroforestry and to upgrade the human resources by increasing the economic productivity for proper management of KSNP buffer zone.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH
PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
(Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber
Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)
IDHAM KHALIK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT : Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu
Nama : Idham Khalik
N R P : P052040231
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Cecep Kusmana Dr. Sambas Basuni
K e t u a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
i
PRAKATA
Penulis bersyukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’alah, atas segala
limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis yang berjudul “ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT: Studi Kasus di Eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi
Bengkulu” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun lokasi yang menjadi objek penelitian ini adalah pada daerah penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang terletak di dalam dan sekitar eks HPH PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT).
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, antara lain: kawasan hutan eks HPH umumnya berupa hutan bekas tebangan banyak yang
telah dikonversi menjadi lahan non kehutanan. Selain itu kebijakan pengelolaan daerah penyangga harus sinergi dengan upaya-upaya konservasi pada taman nasional, karena merupakan daerah jelajah bagi beberapa mamalia besar yang
terdapat pada taman nasional ersebut. Beranjak dari hal-hal tersebut, perlu kiranya penelitian aspek kelembagaan dalam pengelolaan daerah penyangga
tersebut, sehingga dapat mendukung kelestarian taman nasional, namun disisi lain masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dapat meningkatkan
kesejahteraannya.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelsaikan penulisan
tesis dan selama penyelsaian studi di IPB ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua (Ayahanda Saludin dan Ibunda Raknaini), wancik dan etek (Drs. M. Amin Ahmad dan Yurnalismawati) yang telah mengasuh dan
membesarkanku dengan seluruh cinta kasih dan duka citanya.
2. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB,
ii
3. Bapak Prof. Dr. Cecep Kusmana selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Sambas Basuni selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis ini. Proses bimbingan dan konsultasi telah banyak memberikan ilmu baru bagi penulis.
Serta kepada Bapak Prof. Dr. Dudung Darusman selaku Penguji Luar Komisi yang ikut menyumbangkan pemikirannya untuk penyempurnaan tulisan ini.
4. Ketua dan Anggota Tim Penelitian Hibah Pascasarja (TPHP) IPB; Departemen Kehutanan RI, Kepala Balai KSDA Bengkulu, Kepala Pusat
Latihan Gajah Seblat dan semua anggota Pawang Gajah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkulu Utara, dll yang telah membantu
menyediakan data dan informasi penelitian ini.
5. Semua keluarga (Dang Sudarman sekeluarga, Wo Dewitawati sekeluarga,
Dang Jallalaludin sekeluarga); adik-adik ku: Firwandi, Wiwin, Efriyansyah, Winarti, Feri Junika, Witri Wahyuni); serta seluruh keponakan (Redho, Rani, Echa, Iya, Angga, Aditya dan semuanya).
6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi PSL yang dibanggakan, khususnya angkatan 2004 (hampir mewakili seluruh Indonesia). Terima kasih untuk
Mezuan, Bang Farma, Pak Irwan, Pak Heri, Pak Wisnu, Rum, Narwan, There, Rosy, Yeni, Dhona, Teh Inna dan Ipay-nya, Kak Tini, Mbak Chana,
Mbak Oshenk dan semuanya atas semua bantuan. 7. Teman-teman satu kost: Pak Azwin, Kak Rizon, dll.
8. Pak Hutwan dan keluarga, Pak Indra dan keluarga, Pak Ridwansyah dan keluarga, Wan Usman dan keluarga, Mas Anto, Mas Ijul.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala do’a, dorongan dan motivasinya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Bogor, Februari 2007
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Batu Raja, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu pada tanggal 9 Januari 1979 dari
ayah Saludin dan ibu Raknaini. Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Pada tahun 2002–2003 penulis bekerja di Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil (P3KPK) Universitas Bengkulu. Sejak tahun 2003 hingga sekarang penulis merupakan peneliti dan tenaga ahli
pada Lembaga TERAJU Bengkulu. Adapun bidang kajian yang menjadi konsentrasi adalah manajemen usaha kecil, koperasi, ekonomi kerakyatan dan
pemberdayaan masyarakat serta kajian aspek-aspek lingkungan hidup.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota Tim
Penelitian Hibah Pascasarjana (TPHP) Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional. Adapun topik penelitian adalah Kajian Kelembagaan dan Ekonomi Sumberdaya Eks Areal Hutan Konsesi yang Berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Bogor, Februari 2007
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL... vi
DAFTAR GAMBAR ...vii
DAFTAR LAMPIRAN...viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Kerangka Pemikiran ... 4
1.3. Perumusan Masalah... 7
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Otonomi Daerah di Bidang Kehutanan... 11
2.2. Tinjauan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Konsesi ... 14
2.3. Konsep Daerah Penyangga ... 15
2.4. Konsep Kelembagaan Pengelolaan Daerah Penyangga ... 18
2.5. Karakteristik atau Situasi yang Menjadi Sumber Interdependensi ... 21
III. METODE PENELITIAN ... 24
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24
3.2. Rancangan Penelitian ... 24
3.2.1. Kerangka Pendekatan Studi ... 24
3.2.2. Aspek Penelitian, Sumber Data dan Kegunaannya... 25
3.3. Teknik Pengukuran Peubah ... 25
3.3.1. Aktivitas penduduk... 25
3.3.2. Pemanfaatan hasil hutan ... 27
3.3.3. Kapasitas Rintangan Daerah Penyangga... 28
3.3.4. Pola Penggunaan Lahan Daerah Penyangga ... 29
3.3.5. Data Penunjang ... 29
3.4. Teknik Pengambilan Contoh ... 29
3.5. Metode Pengumpulan Data... 31
3.6. Metode Analisis Data... 31
3.6.1. Analisis Kelembagaan ... 31
3.6.2. Analisis AHP ... 32
3.6.3. Analisis SWOT... 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1. Sejarah Pengelolaan Areal... 36
4.2. Kondisi Geofisik... 38
v
4.2.2. Tanah... 39 4.2.3. Iklim ... 41 4.3. Kondisi Biologi ... 42 4.3.1. Vegetasi... 42 4.3.2. Satwaliar ... 43 4.4. Kinerja (Performance) Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS ... 45 4.4.1. Pemanfaatan Areal ... 45 4.4.2. Kondisi Tutupan Lahan... 46 4.5. Prilaku (Behavior) Stakeholders ... 51 4.6. Aturan-aturan Pengelolaan Daerah PenyanggaTNKS ... 56 4.6.1. Aturan Formal ... 56 4.6.2. Aturan Informal ... 61 4.7. Karakteristik Masyarakat di Daerah Penyangga TNKS ... 64 4.7.1. Karakteristik Sosial ... 65 4.7.2. Karakteristik Ekonomi ... 66 4.8. Interaksi Masyarakat dengan Daerah Penyangga TNKS ... 69
4.8.1. Jarak Tempat Tinggal dengan Lahan
Pertanian/Perkebunan ... 69 4.8.2. Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakat ... 69 4.8.3. Persepsi Masyarakat tentang Daerah Penyangga TNKS... 71 4.9. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi ... 74 4.9.1. Ongkos Eksklusi Tinggi (High Exclusion Cost)... 75 4.9.2. Ongkos Transaksi (Transaction Cost) ... 76 4.9.3. Barang dengan Dampak Bersama (Joint Impact Goods) ... 77 4.9.4. Inkompatibilitas (Incompatibility)... 78 4.9.5. Surplus... 78 4.10. Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS ... 79 4.10.1. Prioritas Fungsi Daerah Penyangga TNKS ... 79 4.10.2. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Daerah Penyangga
TNKS ... 81
V. SIMPULAN DAN SARAN... 95 5.1. Simpulan... 95 5.2. Saran ... 95
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Aspek penelitian, sumber data dan kegunaannya... 27 Tabel 2. Peubah, indikator dan satuan pengukuran... 28 Tabel 3. Distribusi kepala keluarga contoh berdasarkan desa... 30 Tabel 4. Pembobotan Skala Saaty ... 33 Tabel 5. Jenis tanah di areal eks HPH PT MJRT ... 40 Tabel 6. Kondisi kelerengan lapangan areal eks HPH PT MJRT... 40 Tabel 7. Formasi geologi di areal eks HPH PT MJRT... 41 Tabel 8. Data curah hujan, suhu dan kelembaban rata-rata (1980-1992) di
areal eks HPH PT MJRT ... 42 Tabel 9. Kondisi tutupan lahan eks HPH PT MJRT... 48 Tabel 10. Rata-rata alih fungsi lahan di eks-areal MJRT tahun 1988-2005 ... 49 Tabel 11. Stakeholders, kepentingan dan tingkat kepentingannya serta
pengaruh dan peluang partisipasinya dalam pengelolaan eks
HPH PT MJRT ... 52 Tabel 12. Prilaku stakeholders dan kinerja pengelolaan eks HPH PT MJRT... 56 Tabel 13. Karakteristik sosial kepala keluarga contoh di daerah penyangga
TNKS... 65 Tabel 14. Karakteristik ekonomi kepala keluarga contoh di daerah
penyangga TNKS ... 67 Tabel 15. Persentase tingkat pengetahuan kepala keluarga contoh... 72 Tabel 16. Alasan perlunya pelestarian dan penyebab kerusakan hutan
daerah penyangga TNKS berdasarkan pendapat KK contoh ... 74 Tabel 17. Hasil analisis prioritas fungsi daerah penyangga TNKS
menggunakan AHP ... 80 Tabel 18. Matriks SWOT Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS... 85 Tabel 19. Alternatif kebijakan terpilih pengelolaan daerah penyangga
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 5 Gambar 2. Peta lokasi penelitian: eks HPH PT MJRT (Sumber: FWI, 2002)... 26 Gambar 3. Kerangka analisis kelembagaan... 32 Gambar 4. Struktur hierarki penetapan prioritas fungsi daerah penyangga
TNKS... 34 Gambar 5. Perubahan tutupan lahan (land cover) eks HPH PT MJRT... 47 Gambar 6. Kondisi tutupan lahan (land cover) eks HPH PT MJRT, tahun
2005 (Laporan Hibah Pascasarjana, 2006) ... 50 Gambar 7. Stakeholders, tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 100 Lampiran 2. Hasil Analisis Analytical Hierarchy Process (AHP)... 106 Lampiran 3. Matriks SWOT Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS... 107 Lampiran 4. Prioritas alternatif kebijakan terpilih pengelolaan daerah
1.1. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai
ekonomis, ekologis dan sosial budaya. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya hutan secara bijaksana dan lestari harus dilaksanakan oleh para pengelola hutan
baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, diharapkan dapat menjamin kehidupan generasi sekarang dan masa yang akan datang.
Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan langsung sebagai salah satu sumber devisa negara. Hal ini telah dilakukan
pemerintah dengan dikeluarkannya kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan sejak tahun 1967/1968 (Sejak diterbitkannya UU No. 5/ 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan dan PP No. 21/ 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan/HPH)
(Anonim, 2001). Dalam pelaksanaannya, pemerintah menyerahkan pengelolaan sumberdaya hutan kepada pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
dengan masa kerja 20 tahun. Sektor kehutanan diperlakukan sebagai penggerak perekonomian (prime mover) –dimana kayu sebagai komoditi primadona-,
sehingga kurang memperhatikan secara proporsional keutuhan ekosistem kawasan hutan guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan dalam
jangka panjang (Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia, 2004). Sejak dimulainya pemanfaatan hutan dengan sistem HPH telah
memberikan dampak positif dan negatif terhadap pembangunan ekonomi, sosial maupun ekologi. Adanya peningkatan gross domestic product (GDP), perluasan lapangan kerja dan lain-lain merupakan implikasi keberhasilan sektor kehutanan.
Namun, diketahui hal ini juga telah memunculkan permasalahan antara lain telah terjadi kerusakan dan penurunan produktivitas sumberdaya hutan yang
diusahakan HPH, punahnya spesies tanaman dan hewan tertentu. Pada banyak kasus HPH yang beroperasi belum sampai 15 tahun telah menghabiskan potensi
kayu pada areal HPH tersebut. Selain itu, banyak juga HPH yang izin operasinya telah habis tidak dapat diperpanjang lagi karena hutan mengalami kerusakan
berat. Pemerintah tidak pernah memberikan sanksi kepada pemegang konsesi yang tidak mampu mempertahankan kelestarian hutan. Dampak lebih lanjut telah
2
pengaturan (policy failure) dalam pemanfaatan sumberdaya ini pada waktu yang lalu.
Di Provinsi Bengkulu khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat hutan konsesi yang dikelola oleh pengusaha melalui Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Hak pengusahan hutan tersebut antara lain: PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT) dengan luas 80.000 ha yang beroperasi sejak tahun 1974, PT
Dirgahayu Rimba (PT DR) dengan luas 102.185 ha yang beroperasi sejak tahun 1978 dan PT Bina Samakhta (PT BS) dengan luas 72.900 ha mulai beroperasi
tahun 1977. Sejak pemekaran wilayah pada tahun 2002, areal kerja PT BS masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Mukomuko. HPH tersebut telah dicabut izin konsesinya sejak tahun 1998 hingga 1999 (Sanim et al., 2006) dan
saat ini statusnya menjadi eks HPH. Pencabutan izin konsesi tersebut
menyebabkan timbulnya konflik penggunaan sumberdaya hutan yang tersisa dan lahan yang ada dikarenakan pengelolaan yang tidak jelas. Ketiga HPH tersebut berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan
merupakan daerah penyangga yang sangat penting bagi kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar batas kawasan konservasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa daerah
penyangga adalah wilayah yang berada di luar dan berbatasan dengan kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah
yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Sebagai daerah penyangga, eks HPH tersebut diharapkan menjadi
daerah perlindungan bagi kawasan TNKS, namun kenyataan yang terjadi sebaliknya, yaitu banyak terjadi fragmentasi, konversi hutan, penebangan liar,
perambahan hutan, perladangan dan pembangunan perkebunan. Pada eks HPH di Kabupaten Bengkulu Utara telah terjadi perubahan tutupan lahan, yang berarti telah terjadi konversi kawasan hutan tersebut. Hasil penelitian Hernawan (2001)
menyatakan bahwa faktor penyebab perubahan tutupan hutan di areal bekas HPH di Bengkulu Utara adalah penebangan legal oleh HPH, penebangan illegal
(oleh HPH dan masyarakat), konversi lahan menjadi lahan budidaya non-kehutanan dan perambahan hutan.
(Tapirus indicus), rangkong gading (Buceros vigil), enggang (Anthracoceros malayanus), dan lain-lain. Keberadaan satwa-satwaliar tersebut sangat terancam
dengan adanya konversi hutan menjadi lahan non kehutanan. Apabila kerusakan habitatnya terus terjadi dapat menimbulkan konflik satwaliar dengan manusia
serta pada waktu yang sama juga akan kehilangan satwa-satwaliar tersebut. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengelola
daerah tersebut secara terencana dan terarah (Dephut, 2001).
Kondisi eks areal HPH di daerah penyangga TNKS memiliki permasalahan
yang jauh lebih kompleks dari hanya sekedar persoalan deforestasi. Hal ini dikarenakan pengelolaannya berada diluar kewenangan manajemen kawasan
konservasi tersebut, sehingga kebijakan pengelolaannya menjadi lebih rumit. Ketidakpastian (uncertainty) dalam pengelolaan eks areal HPH sangat menonjol
dan memiliki potensi konflik antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk konflik vertikal antara pemerintah daerah setempat dengan pemerintah pusat. Pada suatu kondisi tertentu pula, konflik antara
pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya sangat mudah terjadi. Dengan demikian, pilihan-pilihan pengelolaan beralih orientasi –setidaknya dimulai secara
de facto di tingkat lapangan– pada upaya-upaya untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan finansial jangka pendek dari kawasan tanpa
memperhatikan kerugian-kerugian lain yang ditimbulkannya secara ekologis, ekonomi, dan sosial dalam jangka panjang sebagai konsekuensi logis dari praktik
ekstraksi terhadap nilai intrinsik kawasan hutan, seperti kayu komersial (Sanim et al., 2006).
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berlangsung sejak Januari 2001 mengakibatkan berkurangnya peran dan kontrol pemerintah dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah daerah, khususnya kabupaten dan kota mempunyai kewenangan untuk mengurus sumberdaya alam di wilayahnya (hutan, tambang, laut, perkebunan, pertanian). Dengan kewenangan ini
pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan kemandirian dalam membiayai jalannya pemerintahan dan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya. Kondisi ini akan mendorong para pengambil keputusan di daerah
untuk menempuh jalan pintas dalam menggali sumber-sumber pembiayaan, di antaranya dengan mengeksploitasi dan mengkonversi kawasan hutan. Bahkan
4
kawasan lindung, taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Realitas kebutuhan lokal ini menggiring munculnya stereotipe terhadap para pihak lokal,
khususnya pemerintah daerah yang hanya berorientasi jangka pendek untuk meningkatkan dan memperkuat fiskal daerah melalui ekstraksi sumberdaya alam
tanpa memikirkan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Dengan kenyataan demikian, maka dapat dikatakan bahwa para pihak lokal
merupakan “ancaman” terhadap kawasan konservasi, khususnya taman nasional, cagar alam, taman wisata alam dan suaka margasatwa.
Pada perkembangan terakhir, masyarakat yang bermukim di sekitar areal eks hutan konsesi tersebut menganggap sumberdaya yang ada tidak bertuan,
sehingga dapat dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Hal ini semakin menambah rentetan persoalan hak kepemilikan dan pengelolaan
daerah tersebut. Lebih jauh Hernawan (2001) menyatakan terdapat beberapa desa yang berbatasan dengan areal eks HPH di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, dengan sistem penguasaan tanah oleh masyarakat desa yaitu mengikuti
peraturan hukum secara tradisi, kepemilikannya secara individu dan keluarga. Masyarakat menyatakan bahwa hutan dan tanah yang kosong dianggap
merupakan tanah bebas, sehingga dapat dilakukan semua peruntukan. Dampak lebih lanjut akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam
penguasaan sumberdaya lahan dan hutan. Konflik kepentingan tersebut bermula dari kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya dan beragamnya persepsi dari
berbagai pemangku kepentingan terhadap suatu sumberdaya tersebut (baca: kawasan hutan). Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan areal eks hutan
konsesi di daerah penyangga TNKS, menuntut adanya pengelolaan yang terarah dengan aturan yang jelas, sehingga dapat mengurangi kerusakan sumberdaya
tersebut serta diharapkan dapat menjaga kelestariannya.
1.2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian secara skema disajikan pada Gambar 1.
Uraian berikut merupakan keterkaitan antar beberapa variabel dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. Selain itu menyajikan upaya-upaya yang akan dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Salah
satu HPH yang telah dicabut izin konsesinya yang terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara adalah PT MJRT, sehingga saat ini statusnya menjadi eks HPH.
(TNKS). Secara yurisdiksi pengelolaan daerah penyangga diluar kewenangan Balai TNKS, sehingga kebijakan pengelolaannya menjadi lebih kompleks.
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran
Pengelolaan eks areal HPH PT MJRT hendaknya mengintegrasikan rencana pembangunan daerah secara berkelanjutan dan konsep pengelolaan daerah penyangga. Rencana pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan
kepentingan generasi masa sekarang dengan tidak meninggalkan kepentingan generasi mendatang. Dengan demikian diharapkan adanya keseimbangan dalam
pembangunan daerah. Sedangkan konsep daerah penyangga menurut Basuni (2003) mempunyai dua karakteristik khas utama yaitu: pertama, kapasitas
daerah penyangga sebagai rintangan (barrier capacity), yakni karakteristik daerah penyangga untuk membatasi akses ke dan dari kawasan konservasi
Kajian Penelitian
Konflik Kepentingan
Pengelolaan
Dampak:
Kerusakan Sumberdaya
Hutan dan Lahan
Eks HPH sebagai Sumberdaya
Pembangunan Daerah
Meningkatnya fungsi penyangga TNKS
Terjaganya fungsi hutan
Kepentingan
stakeholders
terakomodasi
Pencabutan Izin Konsesi
HPH PT MJRT
Rencana Pembangunan
Daerah Berkelanjutan
6
dalam usaha membatasi pengaruh-pengaruh buruk terhadap kawasan konservasi serta pengaruh-pengaruh buruk dari kawasan konservasi terhadap
daerah sekelilingnya. Kedua, kapasitas daerah penyangga sebagai penyangga sumberdaya (resource buffer capacity), yaitu karakteristik daerah penyangga
untuk memasok hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk setempat. Pengintegrasian konsep pembangunan berkelanjutan dan
daerah penyangga diharapkan adanya keberlanjutan eks areal hutan konsesi sebagai sumberdaya pembangunan daerah di Kabupaten Bengkulu Utara.
Dengan demikian, beberapa hal yang diharapkan antara lain: meningkatnya fungsi penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, terjaganya fungsi hutan dan
terakomodasinya kepentingan stakeholders.
Sebagai daerah penyangga taman nasional, eks HPH PT MJRT
merupakan sumberdaya yang sangat penting sebagai areal perluasan habitat satwa dan sebagai daerah proteksi terluar dari taman nasional. Daerah penyangga dapat berupa kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun
tanah yang dibebani hak. Namun demikian, fungsi-fungsi hutan seperti: penghasil kayu (wood), sumber air (water), habitat hidupan liar (wildlife), makanan ternak
(forage) dan tempat rekreasi (recreation) serta penghasil udara bersih (air) dapat terjaga (Suhendang, 2004).
Pengelolaan daerah penyangga harus disesuaikan dengan situasi yang terjadi pada sumberdaya tersebut. Terdapat tiga kategori variabel yang
mempengaruhi pengelolaan sumberdaya antara lain: (1) karakteristik fisik dan teknis dari sumberdaya; (2) karakteristik kelompok pengguna; dan (3)
atribut-atribut dari kerangka aturan kelembagaan (Tang, Uphoff, dalam Rasmusen dan Meinzen-Dick, 1995). Lebih jauh dijelaskan karakteristik fisik dan teknis dapat
menjelaskan tipe sumberdaya seperti: excludability (berkaitan dengan hubungan antar pengguna) dan subtractability atau rivalry (berkaitan dengan sifat khas sumberdaya). Excludability berkaitan dengan ongkos pencegahan pihak lain dari
menggunakan sumberdaya; sementara subtractability merujuk pada situasi-situasi dimana penggunaan sumberdaya oleh seorang individu mengurangi
jumlah ketersediaan bagi individu yang lain. Hal yang penting mempengaruhi tipe sumberdaya tersebut adalah ukuran dan sifat keterbatasan alami-nya.
Selanjutnya karakteristik kelompok pengguna akan menjelaskan bagaimana permintaan atas, ketergantungan pada, dan pengetahuan
pengguna sumberdaya juga besar pengaruhnya dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Semakin kecil kelompok, maka semakin homogen pula
kepentingan-kepentingan anggotanya. Dalam konteks sumberdaya, tingkat homogenitas akan mempengaruhi akses sumberdaya dan persepsi terhadap risiko dari
eksploitasi sumberdaya dalam jangka panjang. Selain itu keterbukaan dan stabilitas komunitas secara umum. Semakin tinggi laju migrasi, mobilitas dan
integrasi pasar, semakin rendah kemungkinan kerjasama atau pengorganisasian sukarela (Baland and Platteau, Bardhan, Ostrom, dalam Rasmusen dan
Meinzen-Dick, 1995).
Lebih jauh Rasmusen dan Meinzen-Dick (1995) membedakan tiga tingkat
kerangka aturan kelembagaan yaitu: aturan-aturan operasional (operational rules), aturan-aturan pilihan kolektif (collective choice rules) dan aturan-aturan
konstitusional (constitutional rules). Aturan-aturan operasional secara langsung mempengaruhi penggunaan sumberdaya: siapa yang dapat berpartisipasi, apa yang boleh dilakukan, harus dan tidak boleh (diizinkan, diharuskan dan dilarang)
dan bagaimana mereka diberi ganjaran dan hukuman. Sedangkan aturan-aturan pilihan kolektif memberikan arahan bagi perumusan, perubahan dan pemaksaan
aturan-aturan operasional (Tang dalam Rasmusen dan Meinzen-Dick, 1995). Aturan-aturan ini menentukan siapa yang dapat dipilih (eligible) dan bagaimana
aturan-aturan operasional di masa datang akan dibuat. Selanjutnya aturan-aturan konstitusional didefinisikan baik secara internal maupun eksternal. Dalam
organisasi-organisasi lokal, aturan-aturan kolektif dan konstitusional sulit dipisahkan. Sebagaimana dipahami bahwa keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya alam bukan hanya tergantung pada teknologi dan harga-harga yang pantas, tetapi juga pada institusi-institusi yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya alam di tingkat lokal.
1.3. Perumusan Masalah
Secara yuridis, pengelolaan daerah penyangga diatur dalam UU No. 5
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan digariskan dalam PP. No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam khususnya Pasal 56 dan 57. Berbagai kebijakan pemerintah
untuk mengurangi kerusakan TNKS diantaranya Program Integrated Conservation Development Project (ICDP-TNKS), Bengkulu Regional
8
berupaya mengajak masyarakat untuk menjaga keutuhan kawasan konservasi tersebut. Secara umum upaya-upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang
cukup berarti, terbukti masih adanya tekanan terhadap kawasan TNKS (BTNKS, 2002).
Sebagai daerah penyangga TNKS, eks HPH PT MJRT mempunyai peranan yang sangat penting dalam melindungi kawasan konservasi tersebut.
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah antara lain: a) Ketidakmampuan pemerintah dalam mencegah penebangan liar dan
perambahan hutan pada areal eks HPH PT MJRT tersebut, sehingga mempengaruhi tutupan lahan; tersedianya jalan yang dibuat oleh perusahaan
mempermudah illegal logger dan perambah mengakses daerah tersebut. Laporan Tim Independent Consession Audits/ICA (2001) menyatakan bahwa
beberapa bentuk penggunaan lahan hutan antara lain: hutan dengan tutupan baik berupa hutan primer, hutan bekas tebangan (log over area), semak belukar dan tanah kosong, perkebunan dan perladangan serta areal satuan
pemukiman transmigrasi. Selain itu pada areal tersebut ditetapkan sebagai areal dengan peruntukan khusus sebagai Pusat Latihan Gajah/PLG.
Perubahan tutupan hutan tersebut sangat berdampak pada keberlanjutan ekosistem TNKS.
b) Adanya izin pelepasan kawasan menjadi areal transmigrasi di dalam dan di sekitar eks HPH; Menurut Arifin (2001) di Provinsi Bengkulu persentase luas
lahan transmigrasi terhadap areal luas hutan konversi mencapai 14,69%. Adanya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya aktivitas perekonomian
serta adanya aksesibilitas jalan akan mempengaruhi kebutuhan akan lahan, sehingga pilihan yang paling mudah adalah mengkonversi kawasan hutan.
Sejak tahun 1994 luas areal kerja HPH PT MJRT menjadi 45.100 ha sedangkan selebihnya (34.900 ha) dikeluarkan dari areal kerja PT MJRT dan dijadikan sebagai areal transmigrasi. Berdasarkan TGHK Provinsi Bengkulu
areal perpanjangan HPH PT MJRT terdiri atas areal Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 35.200 ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 9.900 ha.
Berdasarkan fungsi hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Bengkulu pada areal eks HPH PT MJRT seluas 5.961 ha merupakan
peruntukan khusus sebagai Pusat Latihan Gajah/PLG Seblat Bengkulu. HPH PT MJRT telah berakhir izin konsesinya sejak tahun 1994 dan diperpanjang
c) Konversi lahan menjadi areal perkebunan dan perladangan masyarakat serta tanah terbuka; Adanya izin pelepasan kawasan areal eks HPH menjadi
perkebunan dapat menyebabkan kerusakan kawasan TNKS. Pengelolaan daerah penyangga merupakan upaya untuk mengendalikan penggunaan
lahan di sekitar dan berbatasan dengan kawasan konservasi agar sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi (Basuni, 2003).
Pemanfaatan areal kerja eks HPH berfungsi sebagai APL dan telah dialihkan izin pengelolaannya kepada perkebunan kelapa sawit swasta PT Alno Agro
Utama (PT AAU) seluas 4.754 ha. Pemberian izin pengelolaan eks areal ini telah menyebabkan terjadinya konversi hutan menjadi lahan pertanian/
perkebunan.
d) Konflik kepentingan dalam pengelolaan daerah penyangga; Pengelolaan
daerah penyangga berada di luar batas yurisdiksi Balai Taman Nasional (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan), sehingga diperlukan adanya kesepahaman antar
pemangku kepentingan dalam mengelola daerah penyangga tersebut.
e) Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati akibat kerusakan habitatnya;
Laporan Independent Concession Audits (2001) menyatakan bahwa masih banyak satwaliar yang terdapat di daerah penyangga tersebut, seperti: gajah
(Elephas maximus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus),
rusa (Cervus unicolor), dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati eks HPH PT. MJRT masih cukup tinggi dan
merupakan daerah perluasan habitat bagi satwa-satwaliar yang ada di TNKS. Satwaliar besar umumnya memerlukan home range yang cukup besar dan
memerlukan integritas ekologis. Kerusakan habitat satwaliar tersebut sering menjadi pemicu timbulnya konflik manusia-satwaliar.
f) Daerah penyangga kawasan konservasi harus ditunjuk berdasarkan hasil
studi, kemudian diusulkan oleh pengelola kawasan konservasi yang bersangkutan, dan ditetapkan secara legal oleh Menteri. Kenyataan di
10
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menyusun alternatif kebijakan pengelolaan areal eks hutan konsesi (HPH) sebagai sumberdaya pembangunan
daerah dan sebagai daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan situasi, struktur, prilaku dan kinerja pengelolaan areal eks
HPH PT MJRT sebagai daerah penyangga TNKS.
2. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS yang
dapat mendukung kelestariannya.
Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan daerah penyangga kawasan
konservasi. Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan stakeholders terkait dalam rangka pengelolaan eks areal hutan
2.1. Otonomi Daerah di Bidang Kehutanan
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No.
32/2004). Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian
otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peranserta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan salah satu wujud demokrasi yang mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat yang selama ini bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini didasarkan bahwa kebijakan yang diterapkan selama orde
baru yang sentralistis telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar wilayah, antar golongan dan antar sektor (Nasution dalam Sudrajat, 2002).
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola
sumberdaya alam sendiri. Sumberdaya alam terutama hutan yang terdapat di daerah merupakan aset yang harus dikelola dengan baik dengan memperhatikan aspek kelestariannya, agar dapat dimanfaatkan dengan optimal. Selama ini
pengelolaan sumberdaya hutan bersifat sentralistis dengan pendekatan top down dan seragam serta mengabaikan adanya keberagaman (pluralitas) daerah,
sehingga menimbulkan ketimpangan distribusi manfaat hasil pengelolaan hutan yang lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
12
Menurut Warsito dalam Ohorella (2003) ada 3 (tiga) faktor yang membuat desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan menjadi penting. Pertama,
keadilan pembagian pendapatan yang tercermin dari porsi perimbangan keuangan pusat daerah, daerah dengan sub daerah, dan seterusnya. Kedua,
distribusi tanggung jawab; dengan adanya otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan akan terdapat pembagian tugas yang disertai dengan beban
tanggung jawab dan mutu pengelolaannya. Ketiga, keragaman teknik pengelolaan; dengan penerapan otonomi daerah disektor kehutanan,
dimungkinkan daerah dapat menerapkan sistem pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi setempat (site spesific) sehingga diharapkan sumberdaya dan
fungsi hutan dapat terjaga.
Menurut Wardojo (2002) penyelenggaraan otonomi daerah dalam
pengurusan hutan memerlukan peletakan peran dan kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota secara proporsional dan optimal agar pengurusan hutan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
secara berkeadilan dapat terwujud. Peranserta masyarakat dalam pembangunan kehutanan perlu dikembangkan melalui pelimpahan wewenang dan tanggung
jawab kepada daerah, dengan tetap mengacu pada arah dan tujuan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah, khususnya dalam bidang kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah dengan adanya kebijakan
pembagian manfaat yang berimbang dan proporsional antara daerah dan pusat. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan efek ganda yakni peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta dapat mengurangi berbagai persoalan yang terkait dengan pengelolaan hutan. Selain itu, berbagai konflik yang selama ini
terjadi belum mampu ditangani dengan baik oleh pemerintah pusat diharapkan dengan adanya otonomi daerah dan peningkatan peranserta masyarakat dapat dikelola dengan baik.
Berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah seperti kesiapan sumberdaya manusia (SDM), sarana dan prasarana telah
menyebabkan kerusakan hutan dengan laju yang cukup tinggi di era otonomi daerah (Sudrajat, 2002). Suparna (2005) memperkirakan bahwa tingkat
deforestasi beberapa tahun terakhir ini mencapai lebih dari 2 (dua) juta hektar per tahun. Di Indonesia saat ini diperkirakan luas areal berhutan tidak lebih dari
Dipahami bahwa sumberdaya alam (SDA) tidak mengenal batas-batas administrasi, sehingga pengelolaannya harus meliputi satuan kawasan atau
Daerah Aliran Sungai (DAS). Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk mengelola SDA-nya masing-masing. Hal ini dapat menimbulkan
ketimpangan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Adanya ego sektoral dan kurangnya koordinasi antar daerah akan menyebabkan timbulnya konflik antar
daerah. Adanya batas-batas administrasi yang menyekat suatu daerah dan kawasan menimbulkan potensi-potensi konflik antar daerah, pemerintah
kabupaten dan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dengan pusat dan antar kelompok masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai upaya untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dalam bidang kehutanan
diantaranya: perlunya koordinasi antar instansi terkait sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsinya masing-masing sehingga terdapat keselarasan dan keserasian tindak dalam meningkatkan keberhasilan
desentralisasi bidang kehutanan; adanya persamaan pemahaman dan persepsi tentang desentralisasi bidang kehutanan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dari seluruh komponen bangsa dan negara melalui berbagai pertemuan formal/ informal; diperlukan adanya penguatan sumberdaya manusia,
perangkat peraturan perundang-undangan dan fasilitas pendukung lain yang diperlukan melaui optimalisasi potensi yang dimiliki.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
14
2.2. Tinjauan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Konsesi
Sistem konsesi hutan merupakan pemberian hak/izin konsesi hutan untuk melaksananakan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada kawasan
konsesi. Lebih lanjut Ferraz dan Seroa (1998) dalam ICW dan Greenomics (2004) menyatakan bahwa mekanisme konsesi merupakan pemberian hak eksploitasi sumberdaya hutan dari pemerintah yang menguasai kawasan hutan,
kepada pihak swasta melalui kontrak konsesi hutan. Dengan demikian, sistem konsesi hutan dapat diartikan sebagai salah satu bentuk pengusahaan hutan
yang melibatkan “kontrak” pemanfaatan hutan dari pihak pemerintah kepada swasta/badan usaha (ICW dan Greenomics Indonesia, 2004).
Pemberian izin konsesi hutan di banyak negara termasuk di Indonesia umumnya tidak berbeda yakni adanya : a) pemberian izin/hak pemungutan hasil
kayu hutan, biasanya untuk skala kecil dan dalam jangka waktu yang pendek dan b) pemberian hak/izin pemanfaatan hasil hutan kayu atas konsesi hutan,
biasanya untuk skala besar, yakni pada areal konsesi yang lebih luas dan jangka waktu konsesi yang lebih panjang. Pemberian izin konsesi hutan terdiri atas 2
(dua) bentuk yaitu: a) izin konsesi pada hutan alam, yang meliputi kegiatan pemanenan atau penebangan, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan
pemasaran hasil hutan kayu; dan b) izin konsesi pada hutan tanaman, yang meliputi kegiatan penyiapan lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu (ICW
dan Greenomics Indonesia, 2004).
Pemanfaatan hutan oleh Pemerintahan Orde Baru diawali sejak
diberlakukannya UU Nomor 5 tahun 1967. Dengan adanya UU tersebut diterbitkan PP No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Berbekal PP tersebut mulai dilakukan pemanfaatan hasil hutan dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Kemudian diganti dengan Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (SK HPHTI) pada tahun 1980-an dan pada akhirnya diganti menjadi
Surat Keputusan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (SK IUPHHK) tahun 2000-an. Pemanfaatan hutan awalnya bertujuan untuk menyejahterakan
dan pemanfaatan hutan. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dikenal dengan kelembagaan formal.
Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah untuk kepentingan industri kehutanan dan mengejar nilai ekonomis dan berorientasi ekspor untuk
membayar hutang luar negeri. Dampak dari pemanfaatan kekayaan alam untuk kepentingan ekonomi semata telah menyebabkan deforestasi yang cukup tinggi.
Menurut FAO dalam Muhshi (1999), selama 1976 hingga 1980 hutan Indonesia yang rusak tidak kurang dari 550.000 ha per tahun. Laju kerusakan tersebut
meningkat sejalan dengan eksploitasi hutan melalui HPH. Setelah tahun 1980 laju kerusakan hutan mencapai 600.000 ha per tahun. Data terakhir
menunjukkan bahwa tingkat deforestasi beberapa tahun terakhir meningkat menjadi di atas 2 (dua) juta hektar per tahun. Menurut Departemen Kehutanan
(2004) dalam Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia (2004), di Indonesia hampir 60 juta hektar hutan produksi atau 52% dari total kawasan hutan negara telah dialokasikan sebagai kawasan hutan konsesi. Sekitar 24%
dari total luas hutan produksi tersebut dialokasikan sebagai hutan produksi yang dapat dikonversikan.
2.3. Konsep Daerah Penyangga
Secara konseptual daerah penyangga menurut Alikodra et al., (1985) merupakan kawasan yang mengelilingi suatu taman nasional yang bentuk dan
luasnya disesuaikan dengan taman nasional dan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar. Sedangkan menurut MacKinnon et al.,
(1990) daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk
memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan sekitarnya. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa sebagai aturan umum, prioritas pertama daerah penyangga harus ditujukan bagi keperluan perlindungan, baru kemudian untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk alam yang dapat dipungut hasilnya, dan terakhir adalah untuk “tanaman perdagangan”. Kemudian Meffe dan Carroll (1994) dalam Basuni (2003) menyatakan bahwa daerah penyangga
dapat mempunyai beberapa fungsi eksploitatif terbatas, seperti penebangan kayu selektif, perburuan terkendali, bahkan pemukiman dengan kepadatan rendah dan
16
Menurut MacKinnon et al. (1993) ada 2 (dua) fungsi daerah penyangga: Pertama, daerah penyangga yang berfungsi memperluas habitat, yang pada
hakikatnya untuk memperluas areal habitat yang terdapat di dalam kawasan konservasi. Dengan fungsi daerah penyangga ini memungkinkan ukuran total
populasi tumbuhan dan satwa yang berkembangbiak akan lebih besar dibandingkan dengan ukuran populasi yang dapat bertahan hidup dalam
kawasan konservasi semata-mata. Bentuk daerah penyangga dengan fungsi perluasan habitat diantaranya adalah hutan produksi dengan tebang pilih, areal
buru, hutan alam yang digunakan penduduk untuk mencari kayu bakar, daerah terlantar dan padang pengembalaan. Kedua, daerah penyangga yang berfungsi
sosial. Tujuan utama pengelolaan daerah penyangga yang berfungsi sosial adalah penyediaan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat
setempat, seperti tanaman perdagangan, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam merupakan hal sekunder. Namun demikian, penggunaan lahan seperti ini tidak bertentangan dengan tujuan kawasan konservasi itu sendiri dan tumbuhan
yang ditanam pun tidak berdaya tarik sebagai makanan satwaliar.
Secara umum, tujuan pengelolaan daerah penyangga adalah
mengendalikan aktivitas penggunaan lahan disekitar dan berbatasan dengan kawasan konservasi agar lebih kompatibel dengan tujuan konservasi
biodiversitas kawasan konservasi (Basuni, 2003). Dalam kaitan inilah prioritas fungsi daerah penyangga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) daerah penyangga
sebagai perluasan habitat satwaliar; (2) daerah perlindungan fisik; dan (3) sebagai sumber pendapatan masyarakat.
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada
di luar batas kawasan konservasi. Pada penjelasan pasal 16 ayat 2 UU tersebut dinyatakan bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar dan berbatasan dengan kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah
negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi
daerah penyangga untuk menjaga kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari
luar dan dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan (PP 68/ 1998). Untuk membina fungsi
peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (b) peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (c) rehabilitasi lahan; (d) peningkatan produktivitas lahan; (e) dan kegiatan lain yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Menurut MacKinnon et al. (1993) terdapat beberapa tipe utama daerah
penyangga, yaitu:
1) Daerah pemanfaatan tradisional. Kegiatan yang diperkenankan di dalam tipe
daerah ini termasuk: penangkapan ikan tanpa menggunakan racun atau bahan peledak; perburuan tradisional dari spesies yang tidak dilindungi,
tanpa menggunakan perangkap, senjata modern atau menggunakan api; mengumpulkan getah dan damar (asalkan pohon tidak mati dalam proses
pengambilan); mengumpulkan buah-buahan hutan dan madu; mengumpulkan kayu bakar atau bahan bangunan dari pohon yang tumbang bagi keperluan pribadi; memotong bambu, buluh, bahan atap rumah atau
rotan; pengembalaan ternak peliharaan secara berkala.
2) Penyangga hutan. Tipe penyangga ini termasuk hutan kayu bakar atau
bahan bangunan yang terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di atas tanah negara. Hutan tersebut dapat berupa hutan alami, hutan sekunder
yang diperkaya, atau bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa
setempat, selain berfungsi melindungi air dan tanah.
3) Penyangga ekonomi. Tipe penyangga ini diperlukan untuk mengurangi
keperluan masyarakat desa mengambil sumberdaya dari kawasan konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan pertanian, sosial atau
komunikasi maupun lahan penyangga yang produktif.
4) Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah penyangga, maka batas itu sendiri harus berfungsi sebagai penyangga.
Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan, kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Hal ini membantu menghalangi satwa liar
18
2.4. Konsep Kelembagaan Pengelolaan Daerah Penyangga
Selama ini kelembagaan (institusi) banyak diartikan sebagai organisasi, namun sebenarnya juga mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan,
kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Menurut North (1990), secara umum kelembagaan mengandung dua pengertian penting yaitu: Pertama, kelembagaan diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai
aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan
sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk
hutan. Sedangkan menurut Schmid dalam Pakpahan (1989) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang, yang
mendefinisikan hak-hak mereka, hubungan dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan.
Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun
struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: (1) hak-hak kepemilikan (property rights) yang berupa hak atas benda materi maupun non materi; (2)
batas yurisdiksi (jurisdictional boundary), dan (3) aturan representasi (rules of representation) (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan, 1989). Dengan demikian
perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan. Hak-hak kepemilikan (property rights), mengandung pengertian
tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsesus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat
dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia
berada. Implikasi dari hal ini adalah (i) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (ii) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu
mendapatkan pendapatan dan melakukan transfer hak-haknya atas aset (Barzel dalam Basuni, 2003). Hak dapat diperoleh melalui pembelian apabila barang
atau jasa dapat diperjualbelikan, pemberian atau hadiah, atau pengaturan administratif.
Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas
wilayah kekuasaan dan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya sehingga terkandung makna
bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi dipengaruhi oleh empat faktor antara lain: (1)
perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa termasuk dalam masyarakat dan siapa
yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan; (2) eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan
pihak lain. Perubahan batas yurisdiksi akan merubah struktur ekternalitas yang akhirnya merubah siapa menanggung apa; (3) homogenitas, berkaitan dengan
preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa; dan (4) skala ekonomi, yang menunjukkan suatu situasi dimana ongkos per
satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan
alternatif batas yurisdiksi yang lainnya (Pakpahan, 1989).
Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan
yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang
mendasari keputusan, yaitu (i) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam membuat keputusan, dan (ii) ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi
tersebut. Aturan representasi akan mempengaruhi struktur dan besarnya ongkos tersebut. Aturan pengambilan keputusan yang sederhana untuk masalah ini
adalah meminimumkan kedua ongkos. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan.
Konsep aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan
20
representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka. Oleh karena itu perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien dalam arti
menurunkan ongkos transaksi (Pakpahan, 1989).
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan terdapat beberapa pemangku
kepentingan (stakeholder). Stakeholders ini akan mempunyai kepentingan dan mewakili kelompoknya, baik dalam pemanfaatan maupun dalam pelestariannya.
Apabila salah satu stakeholder tidak terlibat dalam pengelolaannya akan berdampak pada keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Menurut
Tadjudin (2000) identifikasi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan antara lain: pertama, stakeholders primer, yaitu pelaku yang terlibat
(berkepentingan) langsung dalam kegiatan konservasi dan/atau pendayagunaan sumberdaya hutan: 1) pemerintah, yaitu instansi yang menangani pengelolaan
sumberdaya hutan di daerah mapun di pusat; 2) swasta yang memiliki konsesi di kawasan yang bersangkutan; 3) masyarakat yang kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial-budayanya secara langsung bergantung pada sumberdaya hutan
yang bersangkutan. Kelompok ini lazim disebut sebagai masyarakat pengguna. Kedua, stakeholders sekunder, terdiri atas: instansi pemerintah yang tidak
bertanggungjawab langsung dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan namun berkepentingan terhadap sumberdaya yang bersangkutan, misalnya swasta yang
tidak terlibat dalam pengusahaan hutan, namun memiliki lini bisnis yang terkait dengan sumberdaya hutan atau terkait dengan kegiatan masyarakat yang
kehidupannya bergantung pada sumberdaya hutan; masyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan pengelolaan sumberdaya hutan sesudah
manajemen kolaboratif diterapkan. Secara praktikal kelompok ini adalah masyarakat yang bermukim di sekitar hutan di luar batas yurisdiksi kawasan
hutan yang akan dikelola secara kolaboratif (Tadjudin, 2000).
Kelembagaan terdiri atas peraturan formal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dll dan peraturan informal seperti adat, kebiasaan, agama
dll (North, 1991). Aturan formal pengelolaan daerah penyangga terdapat p