• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

E. Metode Analisis Data

Dalam menjalankan metode penelitian, analisis data merupakan serangkaian gambaran untuk menjabarkan bagaimana jabatan penelitian dapat ditemukan. Analisis dalam penelitian dengan judul Kewenangan Dewan Kode Etik Notaris dalam penegakan pelanggaran kode etik notaris dilakukan analisis secara kualitatif.

10

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan Dewan Kode Etik Notaris Dalam Penegakan Pelanggaran Kode Etik Notaris

Konsep rechtstaat bersumber dan rasio manusia, liberalistik individualistik, humanisme yang antroposentrik, pemisahan negara dan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan.50 Adapun unsure-unsur utama menurut F. J. Stahl terdapat 4 (empat) unsur dan negara hukum, yakni: (1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (2) adanya pembagian kekuasaan; (3) pemerintah harusah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan (4) adanya peradilan administrasi. Sementara menurut Scheltema unsur-unsurnya terdiri dan: (1) Kepastian Hukum; (2) Persamaan; (3) demokrasi dan; (4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum8.

Untuk menjamin itu semua, maka salah satu ketentuan dalam undang-Undang jabatan notaris tidak hanya melihat pada sisi formal, akan tetapi juga dari sisi subtansi dengan melahirkan penegakan etik. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang antuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak

8 Sirajuddin dan Winardi, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press(Kelompok Instras

11 para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya. 9

Hal ini tidaklah jauh beda dengan lembaga lain sebagaimana jabatan hakim. Terdapat 6 (enam) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia sebagaimana tercantum dalam The Bangalore

Principle, yakni:

1. Independensi (Independence Principle) Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

2. Ketidakberpihakan (Impartiality Principle). Ketidak berpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya.

3. Trite gritas (Integrity Principle). Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalarn menjalankan tugas jabatannya.

4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle). Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.

5. Kesetaraan (Equality Principle). Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan

12 yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa.

6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence dan Diligence Principle) Kecaka pan dan Kesamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim10.

Nampak dalam ketentuan tersebut kekuasaan kehakiman secara kelembagaan dikawal secara etika, jika terdapat lembaga. Lembaga yang salah sataunya adalah komisi yudisial Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar strukt ur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Mahaesa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berifat imparsial (in dependent and impartial

judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip

akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dan segi hukum maupun dan segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim ini sendiri11.

10 Sirajuddin dan Winardi, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press(Kelompok Instras Publising), Malang, hlm 141-142

11 Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm

13 Hal ini juga terdapat pula dalam ketentuan UU jabatan notaris yang menjalankan secara kelembagaan, lembaga yang disebut majlsi pengawas daerah diantaranya. Dalam Pasal 70 Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran

Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;

b. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;

c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;

e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

f. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);

g. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan

h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Berkaitan dengan isi kode etik diatur dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) yaitu Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris. Konsep dasar tersebut tidaklah jauh beda dengan konsep civil law dalam pengembangannya yang tidak bebas dari sebuat tataran nilai. Untuk memudahkan memahami karakter sistem hukum civil law, maka di bawah ini akan diuraikan beberapa karakternya sebagai berikut:

1. Adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh hakim dan oleh penegak hukum lainnya harus mengacu pada Kitab Undang-Undang atau Perundang-undangan, sehingga undang-undang menjadi

14 sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak terikat pada preseden atau yurisprudensi.

2. Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum publik.Meskipun secara konseptual sistem common law maupun civil law mengakui bahwa hukum privat mengatur hubungan antara warga negara dan antarperusahaan, sedangkan hukum publik mengatur hubungan antar warga negara dengan negara. Tetapi perbedaannya dalam civil law membawa implikasi praktis yang lebih mendalam. Karena perbedaan pada

civil law kemudian muncul dua macam hierarki pengadilan yaitu peradilan

perdata dan peradilan pidana. Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia perbedaan peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan perdata, tetapi muncul pula Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan untuk penyelesaian persoalan Kepailitan, Peradilan Pajak, Mahkamah Konstjtusi, Peradilan Militer, dan Peradilan khusus untuk tindak pidana korupsi (TIPIKOR). Dalam sistem common law tidak ada pengadilan tersendiri berkenaan dengan perselisihan hukum publik.6 Di dalam sistem civil law kumpulan substansi hukum privat secara prinsipil terdiri dan atas civil law dalam pengertian hukum perdata yang selanjutnya dipecah ke dalam beberapa subbab atau devisi hukum seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim hukum kepemilikan, hukum perjanjian atau kontrak.

3. Dalam sistem civil law dikenal perbedaan hukum perdata (civil law) dengan hukum dagang (commercial law). Hukum dagang menjadi bagian hukum perdata, tetapi diatur dalam kumpulan hukum yang berbeda yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang tersendiri (French Code de

Conmierce/Hukum Dagang di Prancis) atau Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD di Indonesia). Dalam sistem hukum common law tidak ada perbedaan antara hukum perdata dengan hukum dagang dengan alasan

15 yang sederhama bahwa hukum dagang adalah bagian dan hukum perdata. Sebagai lawan dan hukum pidana12.

Secara normatif dalam ketentuan Undang-Undang jabatanNotaris menjabarkan tentang ruan dari penegakan kode etik yaitu :

a. P a s a l 9 a ya t ( 1 ) h u r u f d UU Jabatan Notaris, berbunyi: Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, karena melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta Kode Etik Notaris.

b. P a s a l 7 3 a ya t ( 1 ) h u r u f f U U J a b a t a n N o ta r i s , b e r b u n yi : Majelis Pengawas Wilayah berwenang: Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengfawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 bulan.

c. P a s a l 7 7 h u r u f c U U J a b a ta n N o t a r i s , b e r b u n yi : Majelis Pengawas Pusat, berwenang: Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara.

d. P a s a l 9 a ya t ( 1 ) h u r u f c U U J a b a t a n N o t a r i s , berbunyi: Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, karena melakukan pe r b u a t a n

t e r c e l a . (Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf c, berbunyi: yang dimaksud

dengan melakukan pe r b u a ta n t e r ce la adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat).

e. P a s a l 1 2 h u r u f c U U J a ba t a n N o t a r i s , berbunyi: Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila melakukan p e r b ua t a n ya n g m e r e n d a h ka n k e h o rm a ta n d a n m a r ta b a t j a ba t a n notaris. (Penjelasan Pasal 12 huruf c UU Jabatan Notaris, berbunyi: yang dimaksud dengan “perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina).

12 Zainal Asikin, 2013, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm

16 Hal yang patut ditekankan dalam hal ini adalah kekuasaan kelembagaan dari majlis kehormatan kode etik. Majelis Kehormatan dan Majelis Pengawas dalam menjalankan tugas dan kewenangannya juga tidak terlepas dari ketentuan dan peraturan yang ada, baik berkaitan dengan Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) maupun Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN). Dewan Pengawas maupun organisasi pengawas INI saling bekerja sama dan berkoordinasi dalam melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum dan pedoman kode etik dilapangan. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, Dewan Pengawas dan Dewan Kehormatan mengharuskan peningkatan perannya dalam melakukan upaya pembinaan kepada notaris maupun penjatuhan sanksi kepada notaris yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran perilaku maupun pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris, karena saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris13.

Mengenai sanksi diatur dalam Pasal 6 BAB 1V Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) berbunyi sebagai berikut3 : 1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa : Teguran; Peringatan; Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan; Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan; Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan. 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris 2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Endang Purwaningsih dalam penelitiannya menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris yaitu : pertama : para pihak tidak tanda tangan di hadapan Notaris sekaligus Notaris tidak membacakan akta dihadapannya sering terjadi di Wilayah Banten, ditemukan fakta-fakta bahwa Notaris telah membuat akta kuasa menjual dimana para pihak baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa tidak

13 Ulfi Handayani dan Anis Mashdurohatun, Urgensi Dewan Kehormatan Notaris Dalam

17 menandatangani akta tersebut dihadapan Notaris. Kedua : Notaris membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta. Ketika seoramg Notaris membuat salinan akta, Notaris harus mencocokan dengan minuta aslinya, sesuai dengan kompetensinya, agar akta tidak kehilangan otentitasnya.4 Selain pelanggaran oleh Notaris diatas, juga terdapat beberapa pelanggaran kode etik Notaris di Wilayah Kabupaten Wonogiri dalam penelitiannya Wahyuningsih. Bentuk pelanggaran kode etik yang dilakukan notaris (1) pembuatan akta tidak sesuai dengan undang-undang Jabatan Notaris (2) membuka kantor lebih dari satu (3) plang nama terpampang akan tetapi kosong (4) tidak membacakan akta dihadapan para pihak dan para sanksi (5) membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta. Sering terjadinya penandatanganan dan pembacaan akta yang tidak dilakukan oleh Notaris dihadapan para pihak, praktek Notaris yang demikian sebenarnya tidak hanya melanggar sumpahnya tetapi bisa dikategorikan dengan Notaris tidak beritikad baik dan sengaja membuat akta palsu, yang mengarah pada perbuatan tindak pidana, namun dalam kenyataannya sulit dilakukan karena pada umumnya yang membutuhkan jasa Notaris tidak mengetahui dan bersikap tidak peduli atas praktekpraktek tersebut14.

B. Kelemahan dan Solusi Atas Masalah Kewenangan Dewan Kode Etik Notaris Dalam Penegakan Pelanggaran Kode Etik Notaris

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa perubahan dahsyat di era reformasi mencakup dua hal yang membuka peluang terjadinya peningkatan korupsi.Pertama, terjadinya perubahan sistem aturan; kedua, terjadinya perubahan sistem dan fungsi kelembagaan bernegara.Kedua perubahan tersebut menyebabkan terjadinya anomi dan anomali yakni ditinggalkannya sistem dan aturan lama, sementara sistem dan aturan baru belum efektif sehingga yang terjadi adalah keadaan tanpa aturan.Dan, dalam keadaan yang seperti ini, ada kebebasan dalam ketidakteraturan yang ternyata menjadi sumber rezeki bagi koruptor.Sebab, situasi seperti itu mendorong perilaku

18 korupsi baik karena niat jahat maupun karena kenaifan (ketidaktahuan). Apa yang dikemukakan oleh Jimly itu mungkin benar. Tetapi, berkenaan dengan lembaga eksekutif dan legislatif, penulis sendiri mencatatsekurangnya empat hal yang menyebabkan upaya pemberantasan korupsi sangat sulit dilakukan.Sementara itu, yang menyangkut lembaga yudikatif harus dicatat sebagai masalah tersendiri.15

Majlis pengawas kode etik yang ada pada lembaga notaris tentunya memiliki peranan penting dalam proses pengawasan yang dihadapkan pada problem budaya notaris. Budaya hukum ini tentunya menjadi masalah dilematis pada lembaga notaris yang perlu digalakkan untuk dilakukan perbaikan secara serius mengingat banyaknya terjadi pelanggaran karena ketidaksiplinan notaris.

Sesuai mengacu kode etik yaitu berdasarkan ketentuan kode etik yang dibuat oleh ikatan notaris indonesia sebagai berikut dalam pokok-pokok kewajiban notaris dalam memegang teguh jabatan notaris dijelaskan sebagai ruh dari budaya notaris dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat negara sesuai dengan pasal 3 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia sebagai berikut :

1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang balk.

2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris. 3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.

4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.

5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.

6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; 7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk

masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.

15Moh. Mahfud MD, 2013, Perdebatan Hukum Tata NegaraPasca Amandemen Konstitusi, Raja

19 8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.

9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat : a. Nama lengkap dan gelar yang sah; b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris. c. Tempat kedudukan; d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus ielas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud. 10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang

diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.

11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.

12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.

13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan.

14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.

15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi. 16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan

status ekonomi dan/atau status sosialnya.

17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam : a. UU Nomor 30 Tahun 2004

20 tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; c. Isi Sumpah Jabatan Notaris; d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.

Salah satu yang banyak dilanggar adalah banyaknya notaris yang menyusun akta lebih dari 20 dalam setiap bulannya. Dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia No.1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Jumlah Pembuatan Akta Perhari, terdapat ketentuan pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Batas Kewajaran dalam pembuatan akta oleh Notaris sebagai anggota Perkumpulan adalah 20 (dua puluh) akta per hari.

2. Apabila Notaris akan membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta per hari dalam satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan akta yang saling berkaitan, dan/atau akta-akta lainnya, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), tatacara pembuatan akta notaris, Kode Etik Notaris (KEN), kepatutan dan kepantasan serta peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Anggota Perkumpulan yang melanggar ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini merupakan objek pemeriksaan Dewan Kehormatan Notaris (DKN), Dewan Kehormatan Daerah (DKD), Dewan Kehormatan Wilayah (DKW), Dewan Kehormatan Pusat (DKP) yang dilakukan secara berjenjang.\

4. Pembuatan akta sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini berada dalam ruang lingkup perilaku Notaris berdasarkan Kode Etik Notaris (KEN).

Hal yang menjadi masalah tersebut menjadi titik tolak dari budaya hukum notaris. berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum seperti kepercayaan, nilai, ide, dan harapan-harapan, Ia juga sering diartikan sebagai situasi pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu dituruti, dilanggar, dan disimpangi. Dan pengertian ini menjadi

21 jelas bahwa tanpa budaya hukum suatu sistem hukum, tidak akan berdaya. Dapat juga dikemukakan bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dan sistem hukum yang juga memiliki dua bagian lain, yakni struktur hukum dan substansi hukum. Struktur, substansi, dan budaya hukum merupakan subsistem dan sistem hukum yang saling berkaitan sehingga jika budaya hukum tidak ada maka sistem hukum itu menjadi lumpuh. Ketiga subsistem itu dapat digambarkan dalam hubungan antara mesin, cara menggerakkan mesin, dan penggerak mesin. Struktur hukum dapat diumpamakan sebagai mesin, substansi hukum adalah bagaimana mesin itu bergerak, dan budaya hukum adalah apa dan siapa saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin dan siapa yang menghidupkan atau mematikan serta menentukan bagaimana mesin itu akan digunakan16.

Pada sisi lain, masalah pokok dalam penegakan kode etik adalah kebiasaan mengunakan kode etik sebagai acuan dalam pelaksanaan profesi notaris. Hal ini disebabkan ketentuan dalam UU jabatan notaris masih dianggap baru. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengawasan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana diatur dalam : a. Pasal 14 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het Der Justitie (Stbl.1847 no.23); b. Pasal 96 Reglement Buitengewesten; c. Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen, Lembaran Negara tahun 1946 Nomor 135; dan d. Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris17.

Disinilah perlu adanya sosialisasi secara terus menerus dan dilakukan penegakan kode etik secara simultan. Upaya penegakan kodee tik menjadi bagain yang tidak terpisahkan dalam penguatan notaris sebagai pejabat negara dalam menjalankan kepentingan-kepentingan masyarakat.

16Moh. Mahfud MD, 2013, Perdebatan Hukum Tata NegaraPasca Amandemen Konstitusi, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hlm 208-209

17 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), cet. 1, CV.

22

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Hal yang patut ditekankan dalam hal ini adalah kekuasaan kelembagaan dari majlis kehormatan kode etik. Majelis Kehormatan dan Majelis Pengawas dalam menjalankan tugas dan kewenangannya juga tidak terlepas dari ketentuan dan peraturan yang ada, baik berkaitan dengan Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) maupun Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN). Dewan Pengawas maupun organisasi pengawas INI saling bekerja sama dan berkoordinasi dalam melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum dan pedoman kode etik dilapangan. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, Dewan Pengawas dan Dewan Kehormatan mengharuskan peningkatan perannya dalam melakukan upaya pembinaan kepada notaris maupun penjatuhan sanksi kepada notaris yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran perilaku maupun pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris, karena saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris

2. Majlis pengawas kode etik yang ada pada lembaga notaris tentunya

Dokumen terkait