• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Parameter Demografi

a. Ukuran populasi dari hasil sensus adalah jumlah terbanyak dari keseluruhan pengamatan.

b. Kepadatan (density)

Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per luas areal studi.

Keterangan : P = Populasi, A = luas HPGW c. Sex rasio

Sex ratio diperoleh dengan menghitung jumlah jantan dan betina (Santosa dan Sitorus, 2008). Sex Rasio dihitung dengan rumus berikut ini:

Keterangan : S = Sex Ratio

Y = Jumlah Individu Jantan, X = Jumlah Individu Betina d. Angka kelahiran

Angka kelahiran diperoleh dengan menghitung jumlah individu baru atau jumlah anak secara keseluruhan dan dibandingkan dengan jumlah total betina dewasa (Santosa dan Sitorus, 2008). Persamaan yang digunakan :

Keterangan :

b = angka kelahiran kasar B = jumlah individu bayi,

N = Jumlah seluruh individu betina produktif e. Angka kematian

Angka kematian diperoleh dari hasil wawancara dengan pengelola dan masyarakat sekitar HPGW. Menurut Santosa dan Sitorus (2008) persamaan yang digunakan untuk menghitung angka kematian adalah :

Keterangan :

d = angka kematian kasar

D = jumlah individu yang mati dari semua sebab dalam waktu satu tahun N = Jumlah seluruh anggota populasi

f. Struktur umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur diperoleh dengan menghitung dan mengelompokan jumlah jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda, anak dan bayi (Santosa dan Sitorus, 2008).

2. Wilayah jelajah

Titik koordinat unit contoh yang dikumpulkan dengan GPS reciever dalam WGS 84 UTM Zone 48S dipetakan dan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat terluar (maximum convex polygon) tempat monyet ekor panjang beraktivitas. Analisis diskriptif dilakukan pada masing-masing wilayah jelajah monyet ekor panjang.

3. Habitat

Analisa kondisi biotik menggunakan analisa vegetasi. Anveg digunakan untuk mengetahui susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam ekologi tumbuhan. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan (K), kerapatan relative (KR), frekwensi (F), frekwensi relative (FR), dominasi (D) dan dominasi relative (DR) adalah sebagai berikut :

INP (Indeks Nilai Penting) untuk tingkat tiang dan pohon = KR+FR+DR, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang INP=KR+FR

4. Faktor dominan komponen habitat

Penentuan faktor dominan penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan regresi linier berganda yang diolah dengan software IBM SPSS Statistic 19 melalui metode stepwise. Dalam hal ini akan dianalisis hubungan antara peubah tidak bebas (Y) dengan peubah bebas (X). Peubah tidak bebas (Y) adalah jumlah individu monyet ekor panjang, sedangkan peubah bebas (X) adalah peubah-peubah yang berasal dari faktor fisik dan biotik habitat yang diduga mempengaruhi populasi monyet ekor panjang pada tempat tersebut. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y = b0 + b1x1 + b2x2 + ……+ b5x5 Keterangan : + ε Y = jumlah individu b0 b = nilai intersep 1 x

= nilai koefisien regresi ke-1

1 x = ketinggian tempat 2 x = suhu 3 x = kelembaban 4 x = kelerengan 5 Hipotesa : = kerapatan pohon

Ho : b1=b2=…..=b5 (semua variable bebas x tidak mempunyai pengaruh terhadap variable tidak bebas Y)

Ho : b1≠b2≠…..≠b5 (minimal ada satu variable bebas x yang mempunyai pengaruh terhadap variable tidak bebas Y)

5. Uji hubungan

Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara : - Faktor fisik lingkungan dengan keberadaan monyet ekor panjang,

- Ukuran kelompok dengan luas wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah selama empat hari.

Hipotesa yang dibangun adalah Ho : Tidak ada hubungan H1 : Ada hubungan Uji hubungan dilakukan menggunakan uji statistik dengan metode Chi square. Software yang digunakan adalah Minitab 16, apabila P-Value < 0,05 artinya tolak Ho. Rumus yang digunakan :

Dimana :

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Demografi

5.1.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok

Pengamatan kelompok monyet ekor panjang di HPGW dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari. Ukuran kelompok terbanyak ditemukan pada sore hari pada saat monyet ekor panjang mulai berkelompok dan bergerak menuju lokasi dimana terdapat pohon tidurnya. Hal ini sependapat dengan Lindburg (1980), metode yang lebih akurat untuk menghitung individu monyet ekor panjang dalam sebuah kelompok adalah dengan cara menghitung ketika satwa tersebut sedang memanjat pohon yang menjadi tempat tidurnya di sore hari tetapi berbeda halnya dengan Priyono (1998) yang menyatakan bahwa pada sore hari diduga individu dalam kelompok belum berkumpul secara utuh dan jarak antar individu anggota kelompok relatif lebih jauh dibandingkan pada pagi hari.

Tiga puluh tahun pasca introduksi ditemukan empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Empat kelompok tersebut terdiri sebagai berikut : kelompok pertama adalah Kelompok A yaitu kelompok monyet ekor panjang yang menempati habitat di sekitar Stasiun Relay TVRI Gunung Walat. Kelompok kedua adalah Kelompok B yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar belakang camp atau komplek bangunan utama di HPGW. Kelompok ketiga yaitu Kelompok C yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar rumah air atau bak penampungan utama air bagi keperluan kegiatan di basecamp HPGW. Kelompok keempat adalah Kelompok D yaitu kelompok yang menempati habitat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran Kelompok Komposisi Kelompok Bayi Anak JM BM JD BD A 30 2 7 3 3 6 9 B 23 2 5 2 3 4 7 C 24 2 2 4 9 3 4 D 31 6 6 2 3 2 12

Keterangan : JM=Jantan Muda, BM=Betina Muda, JD=Jantan Dewasa dan BD=Betina Dewasa.

Semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki kekerabatan yang sangat dekat dikarenakanan memiliki tetua yang sama. Kelompok A diduga adalah awal dari semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Berdasarkan informasi dari mantan pengelola HPGW (Bapak Yoyok Ontaryo) bahwa lokasi introduksi monyet ekor panjang adalah di sekitar base camp HPGW. Alasan dipilihnya lokasi ini bahwa pada saat itu tanaman lebih banyak tumbuh di sekitar

base camp. Setelah dilepaskan monyet ekor panjang bergerak ke arah bukit kabayan dimana terdapat sumber air dan banyak ditemukan pohon tangkalak (Bellucia axinanthera). Lokasi ini berada ditengah-tengah HPGW dan sering disebut Blok Tangkalak (Blok Tengah). Bukit ini sangat dekat lokasinya dengan Stasiun Relay TVRI Gunung Walat.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda-beda, ukuran kelompok tertinggi terdapat pada kelompok D yaitu 31 individu dan terendah terdapat pada kelompok B yaitu 23 individu. Ukuran kelompok monyet ekor panjang tergantung pada habitat yang ditempatinya. Hal ini sependapat dengan Bismark (1986) bahwa pembentukan dan besarnya kelompok bervariasi menurut tipe habitat. Selanjutnya menurut Bismark (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran kelompok adalah kelahiran, kematian, emigrasi, imigrasi, cara menghadapi kelompok lain dan cara menghadapi pembentukan kelompok.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran yaitu 16 – 44 individu per kelompok (Hendratmoko 2009), berbeda jauh dengan kelompok monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta yaitu 48 – 68 per kelompok dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta yaitu 20 – 45 ekor per kelompok (Kusmardiatuti 2010). Ukuran kelompok monyet ekor panjang HPGW juga berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di hutan sekunder di sekitar bendungan Batu Tegi Lampung yaitu 34 – 47 individu per kelompok (Surya 2010).

5.1.2 Kepadatan

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan kepadatan monyet ekor panjang di HPGW adalah 0.3 individu/Ha. Sedangkan kepadatan per habitat dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW

Kelompok Habitat Kepadatan

(individu/Ha)

A TVRI dan sekitarnya 1,03

B Belakang base camp HPGW 1,17

C Penampungan air dan sekitarnya 0,89

D DAS sekitarnya 1,96

Kepadatan monyet ekor panjang HPGW masih lebih rendah dari kepadatan monyet ekor panjang di TWA dan CA Pangandaran 2,3 indinvidu/Ha (Mukhtar 1982), monyet ekor panjang di Pulau Tinjil 1,09 individu/Ha (Fadillah 2003), dan monyet ekor panjang di kawasan konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada 0,8 individu/Ha (Priyono 1998). Menurut Lesson et al. (2004) pada kawasan liar tanpa ada pakan tambahan daya tampung maksimum sekitar 1000 kg biomasa/Km2 atau sekitar 333 ekor/Km2 dengan rataan berat monyet 3 kg, atau sekitar 3– 4 ekor/Ha.

5.1.3 Sex rasio

Berdasarkan pengamatan, monyet ekor panjang HPGW yang diketahui jenis kelaminnya hanya pada kelas umur muda dan dewasa. Sedangkan pada kelas umur bayi dan anak tidak diketahui jenis kelaminnya.

Hasil peneltian ini menunjukan bahwa secara keseluruhan sex rasio populasi monyet ekor panjang di HPGW adalah 1 : 1,54. Sedangkan sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Jumlah Jantan Jumlah Betina Sex Rasio

A 9 12 1 : 1,33

B 6 10 1 : 1,67

C 7 13 1 : 1,86

D 4 15 1 : 3,75

Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang HPGW berbeda-beda, tetapi secara umum seks rasio adalah 1 : 2. Sex rasio tertinggi terdapat pada Kelompok D adalah 1 : 4 dan sex rasio terendah terdapat pada kelompok A adalah 1 : 1. Hal ini sama dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) sex rasio monyet ekor panjang yang terdapat di SM Paliyan Yogyakarta adalah 1 : 2 dan di Hutan Kaliurang

adalah 1 : 2. Kondisi seperti ini tidak berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa sex rasio monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 1 : 2.

5.1.4 Angka Kelahiran

Monyet ekor panjang melahirkan sepanjang tahun dan tidak mengenal musim melahirkan. Angka kelahiran yang dihitung pada penelitian ini adalah angka kelahiran kasar. Pada peneltian ini angka kelahiran monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,24. Angka kelahiran tiap kelompok tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Bayi Betina Produktif Angka Kelahiran

A 2 12 0,16

B 2 10 0,20

C 2 13 0,15

D 6 15 0,40

Angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kusmardiastuti (2010) angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta adalah 0,44 – 0,56 dan di Hutan Kaliurang adalah 0,43 – 0,67. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kelahiran kasar di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 0,72 – 0,77.

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran kasar (P- Value > 0,05). Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 1.

5.1.5 Angka Kematian

Kematian adalah kejadian alamiah dalam suatu populasi. Kematian akan menyeimbangkan populasi. Angka kematian merupakan faktor penentu kelestarian satwa liar termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Sulitnya mendapatkan angka kematian monyet ekor panjang di alam maka pendugaan angka kematian dihitung melalui pendekatan 1 - peluang hidup pada setiap kelas

umur (Kusmardiatuti 2010, Surya 2010). Asumsi yang digunakan adalah bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan kondisi populasi pada tahun sebelumnya. Angka kematian setiap kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Peluang Hidup Angka Kematian Peluang Hidup Angka Kematian

Anak – Muda Muda – Dewasa

A 0,29 0,71 1,00 0

B 0,30 0,70 0,91 0,08

C 1,22 * -0,22 * 0,22 0,78

D 0,16 0,84 1,00 0

Keterangan : Tidak normal

Pada Tabel 5, peluang hidup dang angka kematian Kelompok C adalah tidak normal. Hal ini disebabkan karena asumsi bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan tahun sebelumnya tidak bisa diterapkan pada Kelompok C atau diduga terdapat kejadian alami yang menyebabkan kematian individu pada kelas umur anak lebih besar sehingga jumlah anak lebih kecil dari pada jumlah individu pada kelas umur muda.

Pada penelitian ini, secara keseluruhan angka kematian monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,64 pada kelas umur anak – muda; 0,30 pada kelas umur muda – dewasa. Tabel 5 menunjukan bahwa angka kematian pada kelas umur anak – muda lebih besar dari pada angka kematian pada kelas umur muda – dewasa. Hasil ini berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) angka kematian monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta lebih besar terjadi pada kelas umur muda – dewasa. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kematian monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung lebih besar pada kelas umur muda – dewasa.

Kematian yang terjadi pada kelas umur anak diduga karena individu pada kelas umur ini peluang terjadinya kecelakaan dan peluang ditangka predator lebih besar. Hal ini sependapat dengan Priyono (1998) kematian pada bayi umumnya disebabkan oleh kecelakaan atau dimangsa oleh predator. Predator monyet ekor panjang di HPGW adalah burung elang.

5.1.6 Struktur umur

Berdasarkan pendekatan struktur umur menurut Napier & Napier (1967), menghasilkan gambaran struktur umur monyet ekor panjang di HPGW menggambarkan pola struktur umur menurun (regressive population) yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur sangat muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi seperti ini terus menerun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu (Tarumingkeng 2010).

Gambaran tersebut di atas berbeda dengan kondisi di lapangan, bahwa monyet ekor panjang di HPGW mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang biak dengan pesat. Untuk menghindari adanya gambaran struktur umur menurun (regressive population) dan menghasilkan gambaran struktur umur meningkat (progressive populations) maka kelas umur bayi dan anak di gabung. Penggabungan ini menghasilkan kelas umur yang baru yaitu anak, muda dan dewasa. Pada penelitian ini, secara keseluruhan struktur umur monyet ekor panjang pada kelas umur anak, muda dan dewasa adalah 18 : 6 : 4. Struktur umur tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran kelompok

(individu)

Struktur umur Anak : Muda : Dewasa

A 30 4 : 1 : 1

B 23 3 :1 : 1

C 24 2 : 3 : 1

D 31 6 : 1 : 1

Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar termasuk monyet ekor panjang, sehingga dapat juga digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Menurut Tarumingkeng (1994) terdapat tiga pola struktur umur yaitu struktur umur menurun, struktur umur stabil dan struktur umur meningkat. Berdasarkan Tabel 4, struktur umur monyet ekor panjang di HPGW termasuk dalam pola struktur umur meningkat atau populasi berkembang (progressive populations) dimana kelas umur anak lebih tinggi daripada kelas umur lainnya.

Tabel 4 menunjukan bahwa secara keseluruhan semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki struktur umur meningkat (progressive populations) kecuali kelompok C. Hal ini menggambarkan bahwa kelompok monyet ekor panjang yang ada di HPGW akan terus berkembang dan lestari karena jumlah anak lebih besar dibanding dewasa. Dengan kondisi demikian maka regenerasi satwa ini akan berlangsung dengan baik di masa yang akan datang.

Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) bahwa struktur umur monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta memiliki struktur umur meningkat (progressive populations). Kondisi seperti ini juga tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) bahwa struktur monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung memiliki struktur umur meningkat (progressive populations).

5.2 Wilayah Jelajah

Empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki wilayah jelajah yang berbeda-beda. Dua kelompok memilik wilayah jelajah yang tumpang tindih (Kelompok B dan C) dan dua kelompok lainnya memiliki wilayah jelajah yang terpisah (Kelompok A dan D).

Berdasarkan hasil pengamatan monyet ekor panjang di HPGW lebih banyak memanfaatkan vegetasi tingkat pohon dalam pergerakannya. Berbeda dengan Santosa (1996) yang menyatakan bahwa ,monyet ekor panjang di Pulau Tinjil lebih menyukai vegetasi tingkat pancang. Hal ini diduga karena sumber makanan seperti buah-buah lebih banyak tersedia pada tingkat pohon.

Kelompok A

Selama empat hari pengamatan Kelompok A memiliki luas wilayah jelajah harian yang berbeda-beda. Luas wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7 sedangkan bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah harian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Wilayah jelajah harian Kelompok A

Pada hari pertama dalam pergerakannya Kelompok A hanya memanfaatkan 2 jenis tumbuhan yaitu pinus sebesar 97 % dan kayu afrika 3 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, potensi ketersediaan sumber daya pada wilayah jelajah hari pertama seluas 6,17 Ha adalah pinus sebanyak 1.080 pohon dan kayu afrika sebanyak 142 pohon.

Hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 6,77 Ha. Jenis pohon yang digunakan yang digunkan dalam pergerakannya adalah pinus 20 %, kayu afrika 23 % dan harendong 18 %. Potensi ketersediaan saumber daya adalah pinus 1.185 pohon, kayu afrika 156 pohon dan harendong 41 pohon.

Hari ketiga Kelompok A memiliki luas jelajah 18,57 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 78 % dan kayu afrika 22 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 3.250 pohon dan kayu afrika 427 pohon.

Hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 10,30 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 48 %, afrika 37 % dan

harendong 15 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 1.800 pohon, kayu afrika 237 pohon dan harendong 62 pohon.

Panjang lintasan pada wilayah jelajah harian Kelompok A bervariasi antara 448,66 – 807,74 meter sedangkan lebar lintasan adalah 160,66 - 391 meter. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Wilayah jelajah harian Kelompok A

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 6,17 587,39 160,66

Kedua 6,77 448,66 179,78

Ketiga 18,57 652,07 391,04

Keempat 10.30 807,74 257,96

Luas wilayah jelajah Kelompok A selama empat hari adalah 29,26 Ha dengan panjang 807,74 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok A mempunyai teritori seluas 0,40 Ha dengan panjang 126,39 meter dan lebar 36,86 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 413,30 meter dan jarak terpendek adalah 80.88 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok A tersaji pada Gambar 5.

Kelompok B

Tidak berbeda dengan Kelompok A, selama empat hari pengamatan Kelompok B juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Hari pertama kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha, hari kedua 2,31 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat seluas 4,80 Ha. Bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6 Wilayah jelajah harian Kelompok B

Pada hari pertama pegerakannya, Kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha. Kelompok B memanfaatkan 6 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 29 %, puspa 8 %, kayu afrika 26 %, harendong dan gemelina masing-masing 3 %, dan agathis 31 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi pada habitat ini, potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 6 pohon, puspa 490 pohon, kayu afrika 6 pohon dan agathis 23 pohon.

Kelompok B pada hari kedua memiliki luas jelajah 2,31 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan hari ketiga adalah pinus dan harendong 11 %, kayu afrika 22 %, agathis 50 % dan sempur 6 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 5 pohon, kayu afrika 5 pohon, agathis 19 pohon.

Hari ketiga kelompok ini memiliki luas jelajah 10,36 Ha. Dalam pergerakannya kelompok ini memanfaatkan jenis pinus 28 %, puspa 10 %, kayu afrika 31 %, harendong 4 %, agathis 24 % dan sempur 3 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 21 pohon, kayu afrika 21 pohon, puspa 1.834 pohon, agathis 86 pohon.

Kelompok B pada hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 4,80 Ha. Kelompok ini memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakan hari keempat yaitu pinus 9 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan kipasang 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 10 pohon, puspa 850 pohon, kayu afrika 10 pohon dan agathis 40 pohon.

Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok B bervariasi antara 361,61 – 533,60 meter sedangkan lebar lintasan adalah 72,15 – 327,35 meter. Panjang lintasan tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Wilayah jelajah harian Kelompok B

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 2,77 381,75 72,15

Kedua 2,31 370,36 134,90

Ketiga 10,36 553,60 327,35

Keempat 4,80 361,61 168,47

Luas wilayah jelajah Kelompok B selama empat hari adalah 19,73 Ha dengan panjang 635,48 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok B mempunyai teritori seluas 0,015 Ha dengan panjang 45,03 meter dan lebar 4,84 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 328,24 meter dan jarak terpendek adalah 76,06 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 7.

Kelompok C

Kelompok C juga memiliki luas wilayah jelajah harian yang bervariasi selama empat hari pengamatan. Hari pertama pengamatan luas wilayah jelajah Kelompok C 6,87 Ha, hari kedua 7,12 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat 7,15 Ha. Bentuk adan arah lintasan wilayah jelajah harian Kelompok C tersaji pada Gambar 8.

Hari pertama kelompok C memiliki luas wilayah jelajah 6,87 Ha. Dalam pergerakannya pada hari pertama kelompok ini memanfaatkan 4 jenis tumbuhan yaitu pinus 33 %, puspa dan harendong masing-masing 11 %, dan agathis 45 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, ketersediaan sumber daya di habitat ini adalah 687 pohon, puspa 357 pohon.

Pada hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 7,12 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakannya adalah pinus 46 %, kayu afrika 43 % dan agathis 11 %. Potensi ketersediaan sumber daya 712 pohon, kayu afrika 370 pohon.

Hari ketiga kelompok memiliki luas jelajah 4,29 Ha. Kelompok C pada hari ketiga memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakannya yaitu pinus 19 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan ki pasang masing- masing 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 429 pohon, puspa dan kayu afrika 223 pohon, sempur 9 pohon. Hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 7,15 Ha. Pada hari keempat pengamatan kelompok ini memanfaatkan 3 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 12 %, kayu afrika 52 % dan agathis 36 %. Ketersediaan sumber daya, pinus 715 pohon, kayu afrika 372 pohon.

Gambar 8 Wilayah jelajah harian Kelompok C

Panjang wilayah jelajah harian Kelompok C adalah 457,84 – 617,36 meter sedang lebar wilayah jelajah harian 69,05 – 241,52 meter. Panjang wilayah jelajah harian adalah tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Wilayah jelajah harian Kelompok C

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 6,87 482,01 241,52

Kedua 7,12 457,84 239,45

Ketiga 4,29 617,36 69,05

Keempat 7,15 479,83 215,51

Luas wilayah jelajah Kelompok C selama empat hari adalah 26,94 Ha dengan panjang 915,30 meter dan lebar 446,04 meter. Kelompok C mempunyai teritori seluas 0,41 Ha dengan panjang 144,56 meter dan lebar 33,20 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 480,34 meter dan jarak terpendek adalah 79,73 meter. Posisi teritori dan wilayah

Dokumen terkait