• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study on population and spatial use pattern of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in Hutan Pendidikan Gunung Walat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study on population and spatial use pattern of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in Hutan Pendidikan Gunung Walat"

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

i

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

ANDOKO HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

(4)
(5)

v ABSTRACT

ANDOKO HIDAYAT. Study on population and spatial use pattern of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in Hutan Pendidikan Gunung Walat. Under the supervision of YANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUSTARI.

Long-tailed macaque (Macaca fascicularis Raffles 1821) in Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) was introduced in 1980/1981. Thirty years post-introduction, there was no any research on the species. The objectives of the research were to estimate demographic parameters and home range of long-tailed macaque in HPGW. This research was conducted from March to May 2012. These data were collected using concentration count method based on sex and age structure. Composition and structure of vegetations analyzed using line-plot sampling method. The groups movement of the long-tailed macaque were recorded using GPS and analyzed using maximum convex polygon. Four groups of long-tailed macaque were observed in HPGW. Population size were 108 individual and group sizes were 30, 23, 24, 31 respectively. Population density were 0,3 per Ha, natality was 0,24, mortality juvenile to sub adult was 0,64 and mortality sub adult to adult was 0,30. Population of macaque groups indicated progressive population based on age structure. Homerange of the groups were 29,26 Ha; 19,73 Ha; 26,94 Ha and 15,78 Ha for group A, B, C, D respectively. Dominant factors of habitat of the long-tailed macaque were elevation (X1), temperature (X2) and moisture (X3). Based on the dominant factor of the habitat, the result from multiple linear regression was Y=-30,964+0,028X1+0,675X2+0,317X3, where Y=size group, R2=75,3%.

Key words : long-tailed macaque, demographic parameters, population, home range, hutan pendidikan Gunung Walat

(6)
(7)

vii

RINGKASAN

ANDOKO HIDAYAT. Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI.

Introduksi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dilaksanakan pada tahun 1980/1981. Tiga puluh tahun paska intoduksi tidak ada penelitian monyet ekor panjang sementara data dan informasi terkait satwa ini sangat penting bagi pengelolaan populasi dan habitatnya di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk menduga parameter demografi, wilayah jelajah dan mengidentifikasi faktor penentu komponen habitat monyet ekor panjang di HPGW. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjadi bahan pertimbangan pengelolaan monyet ekor panjang di HPGW.

Penelitian dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulan Maret hingga Mei 2012. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Jenis data yang dikumpulkan meliputi parameter demografi empat kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan di wilayah studi, wilayah jelajah dan habitat meliputi kondisi bio fisik habitat.

Parameter demografi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah ukuran dan komposisi kelompok, kepadatan populasi, sex rasio, angka kelahiran, angka kematian dan struktur umur. Wilayah jelajah setiap kelompok monyet ekor panjang dianalisa menggunakan ArcGis 9.3 dengan metode maximum convex polygon sedangkan komponen dominan habitat dianalisa menggunakan regresi linier berganda dengan metode stepwise.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ukuran kelompok monyet ekor panjang adalah 30, 23, 24 dan 31 individu untuk masing-masing kelompok A, B, C dan D. Kepadatan adalah 0,3 individu/Ha, sex rasio 1 : 2, angka kelahiran 0,24 sedangkan angka kematian kelas umur anak–muda adalah 0,64 dan kelas umur muda–dewasa adalah 0,30. Struktur umur menunjukan gambaran struktur umur meningkat (progressive population), kondisi ini mengindikasikan bahwa populasi monyet ekor panjang di HPGW akan terus berkembang dan lestari. Luas wilayah jelajah monyet ekor panjang kelompok A, B, C dan D selama empat hari masing-masing adalah 29,26 Ha, 19,73 Ha, 26, 94 Ha dan 15,78 Ha. Kelompok A dan D mempunyai wilayah jelajah terpisah sedangkan kelompok B dan C memiliki wilayah jelajah yang tumpang tindih seluas 6,63 Ha. Komponen dominan habitat monyet ekor panjang adalah ketinggian tempat (X1), suhu (X2) dan kelembaban (X3) dengan persamaan Y = - 30,964 + 0,028X1 + 0,675X2 + 0,317X3 dengan R2=75,3%.

(8)
(9)

ix © Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

xi

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG

MONYET EKOR PANJANG (

Macaca fascicularis

)

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

ANDOKO HIDAYAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

xii

(13)

xiii Judul Tesis : Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat

Nama : Andoko Hidayat

NRP : E353100055

Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA. Ketua

Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

xv

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Tesis berjudul “Studi Populasi dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Pendidikan Gunung Walat” ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap kelestarian monyet ekor panjang di HPGW yang tidak diketahui kondisinya paska introduksi tahun 1980/1981 bahkan keberdaannya sering dikeluhkan oleh masyarakat sekitar HPGW karena dianggap hama.

Dalam tesis ini diuraikan tentang parameter demografi monyet ekor panjang, komponen fisik dan biotik habitat seperti ketinggian, suhu dan kelembaban, jenis vegetasi pakan monyet ekor panjang, dan faktor dominan habitat yang mempengaruhi keberadaan monyet ekor panjang.

Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

(16)
(17)

xvii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada : (1) Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan izin dan sponsor beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Abu Bakar selaku Kepala Balai KSDA Aceh yang telah memberikan izin, rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Hutan Pendidikan Gunung Walat yang telah memberikan semua fasilitas selama penelitian dan terima kasih juga kepada teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan tesis ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MScF selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada istriku tercinta Nurlaila Hermansyach dan anak-anakku tersayang Ariz Umar Ramdhan, Ahmad Yusuf dan Muhammad Nofendra Arafat atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Kepada Bapak dan Ibuku, Mertuaku diucapkan terima kasih atas dukungan dan doanya yang diberikan.

(18)
(19)

xix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1973 di Madiun, Jawa Timur. Merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak dan Ibu Reban. Pada tahun 1985 menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Kraton IV Maospati, tahun 1988 menamatkan pendidikan di SMP Negeri 1 Maospati. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri Maospati dan pada tahun 1996 penulis masuk di Fakultas Kehutanan Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh dan memilih Jurusan Manejemen Hutan, lulus pada tahun 2001.

Sejak tahun 1995 penulis bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh hingga sekarang. Tahun 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada program Magister Profesi IPB pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati.

(20)
(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

I PENDAHULUAN

2.2 Parameter Demografi Monyet Ekor Panjang.. ... 9

2.2.1 Ukuran Populasi dan Kepadatan ... ... 9

2.2.2 Angka Kelahiran. ... 10

2.2.3 Angka Kematian ... ... 11

2.2.4 Struktur Umur ... 12

2.3 Wilayah Jelajah ... 13

III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan... 15

3.2 Kondisi Fisik Kawasan. ... 17

3.3 Kondisi Biologis Kawasan ... 17

3.4 Kondisi Sosial Ekonomi. ... 18

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu ... 21

4.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 21

4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 21

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 21

(22)

xxii

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Demografi ... 29 5.1.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok ... 29 5.1.2 Kepadatan ... 30 5.1.3 Sex rasio ... 31 5.1.4 Angka Kelahiran ... 32 5.1.5 Angka Kematian ... 32 5.1.6 Struktur Umur ... 34 5.2 Wilayah Jelajah... 35 5.3 Karakteristik Wilayah Jelajah ... 46 5.3.1 Karakteristik Habitat... 46 5.3.2 Faktor Fisik ... 49 5.3.3 Kondisi Biotik ... 54 5.4 Faktor Dominan Komponen Habitat ... 63

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... ... 65 6.2 Saran .... ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... ... 67

LAMPIRAN ... 73

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW ... 29 2 Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW ... 31 3 Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW ... 31 4 Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW ... 32 5 Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW ... 33 6 Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW ... 34 7 Wilayah jelajah harian Kelompok A ... 37 8 Wilayah jelajah harian Kelompok B ... 39 9 Wilayah jelajah harian Kelompok C ... 41 10 Wilayah jelajah harian Kelompok D ... 43 11 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai ketinggian... 50 12 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai suhu di bawah

tajuk ... 51 13 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelembaban di

bawah tajuk ... 52 14 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelerengan ... 54 15 Jumlah jenis vegetasi pada tiap habitat ditemukannya monyet ekor

panjang ... 55 16 Tiga jenis vegetasi tingkat semai dengan kerapatan tertinggi pada lokasi

penelitian ... 55 17 Tiga jenis vegetasi tingkat pancang dengan kerapatan tertinggi pada

lokasi penelitian ... 56 18 Tiga jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi

penelitian ... 57 19 Tiga jenis vegetasi tingkat pohon dengan kerapatan tertinggi pada lokasi

penelitian ... 58 20 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang di

(24)
(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram Kerangka Pemikiran... 3 2 Peta lokasi penelitian... ... 15 3 Bentuk jalur pengamatan vegetasi... ... 23 4 Wilayah jelajah harian Kelompok A... 36 5 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok A. ... 37 6 Wilayah jelajah harian Kelompok B.. ... 38 7 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok B. ... 39 8 Wilayah jelajah harian Kelompok C.. ... 41 9 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok C. ... 42 10 Wilayah jelajah harian Kelompok D... 43 11 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok D. ... 44 12 Wilayah jelajah dan teritori setiap kelompok monyet ekor panjang di

HPGW. ... 45 13 Kondisi lokasi penelitian yang merupakan habitat dimana ditemukan

kelompok monyet ekor panjang : (a) Kelompok A (b) Kelompok B (c) Kelompok C dan (d) Kelompok D. ... 47 14 Peta sebaran vegetasi di HPGW. ... 48 15 Monyet ekor panjang di HPGW : (a) jantan dewasa (b) induk dan bayi. ... 49 16 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok A... 59 17 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok B. ... 60 18 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok C. ... 60 19 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok D... 61 20 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan semua kelompok. ... 61 21 Beberapa jenis buah yang dimakan oleh monyet ekor panjang di

(26)
(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok

dengan natalitas menggunakan metode Chi square ... 73 2 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok

dengan wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah pada wilayah jelajah selama empat hari menggunakan metode Chi square ... 74 3 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan

kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat menggunakan metode Chi square ... 76 4 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan

kelompok monyet ekor panjang dengan suhu menggunakan metode Chi square ... 77 5 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan

kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban menggunakan metode Chi square ... 78 6 Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan

kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan menggunakan metode Chi square ... 79 7 Hasil analisa vegetasi tingkat semai di semua habitat ditemukannya

monyet ekor panjang di HPGW ... 80 8 Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di semua habitat ditemukannya

monyet ekor panjang di HPGW ... 82 9 Hasil analisa vegetasi tingkat tiang di semua habitat ditemukannya

monyet ekor panjang di HPGW ... 85 10 Hasil analisa vegetasi tingkat pohon di semua habitat ditemukannya

monyet ekor panjang di HPGW ... 87 11 Hasil perhitungan analisis regresi linier berganda dengan metode

(28)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) adalah salah satu jenis primata yang paling populer dan memiliki sebaran wilayah geografis yang luas (Eudey 2008, Gumert 2011). Monyet ekor panjang menempati berbagai tipe habitat di seluruh Asia Tenggara dan secara geografis telah berada di luar wilayah sebaran aslinya. Satwa ini disebut juga sebagai edge species karena menyukai wilayah pinggiran hutan, akibatnya di berbagai wilayah keberadaannya sering overlap dengan manusia (Gumert 2011).

Monyet ekor panjang mempunyai peranan yang sangat penting dalam bidang kedokteran. Satwa ini sangat bermanfaat sebagai hewan percobaan dan kebutuhannya terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan variasi produk yang digunakan manusia (Kusmardiatuti 2010). Satwa ini banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran, biomedis, teknologi antariksa dan lain-lain (Santosa 1996). Selain untuk dikonsumsi, monyet ekor panjang banyak dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan dan sebagai satwa percobaan industri obat-obatan (Eudey 2008).

Monyet ekor panjang di Indonesia adalah satwa yang tidak dilindungi karena satwa ini mudah dijumpai dan populasinya relatif banyak. IUCN mengkategorikan satwa ini pada status LC (least concern) artinya adalah suatu spesies yang tidak terancam kepunahan maupun kategori nyaris terancam. Menurut CITES satwa ini termasuk dalam Appendix II CITES artinya satwa tersebut belum terancam punah namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangannya tidak dikendalikan.

(29)

Tiga puluh tahun paska introduksi belum pernah ada penelitian monyet ekor panjang di HPGW, sementara itu penelitian terkait satwa ini telah banyak dilakukan di tempat lain. Penelitian monyet ekor panjang yang telah dilaksanakan, seperti oleh Mukhtar di TWA dan CA Pananjung Pangandaran (1982), Alita di Pulau Tinjil (1993), Kusmardiastuti di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta (2010), Surya di Lampung (2010) dan Hendratmoko di TWA dan CA Pangandaran (2010). Oleh karena itu penelitian monyet ekor panjang di HPGW perlu dilaksanakan.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk menduga parameter demografi dan wilayah jelajah monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat

2. Untuk mengetahui faktor dominan komponen habitat yang mempengaruhi keberadaan monyet ekor panjang di HPGW.

1.3 Manfaat Penelitian

Parameter demografi yang diperoleh dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau dasar bagi pengelolaan populasi monyet ekor panjang sedangkan informasi hasil penelitian terkait tentang faktor-faktor habitat akan sangat penting bagi pembinaan habitat monyet ekor panjang di HPGW.

1.4 Kerangka Pemikiran

(30)

Gambar 1 Diagram Kerangka Pemikiran

Gambar 1 menunjukan bahwa pengelolaan satwa liar termasuk monyet ekor panjang di HPGW memerlukan data dan informasi aktual terkait populasi satwa tersebut meliputi parameter demografi, wilayah jelajah dan faktor penentu habitat. Tiga puluh tahun paska introduksi belum ada penelitian sementara data dan informasi tersebut penting untuk pengelolaan populasi dan habitatnya guna mencapai populasi lestari (ideal). Bahkan itu saat ini populasi monyet ekor panjang telah dianggap sebagai hama merugikan bagi masyarakat sekitar HPGW oleh karena itu dipandang perlu untuk diteliti guna memperoleh data dan informasi tersebut.

Data parameter demografi seperti ukuran dan komposisi kelompok, kepadatan, sex rasio, angka kelahiran, angka kematian dan struktur umur akan diperoleh melalui serangkaian pengamatan secara terkonsentrasi terhadap setiap kelompok monyet ekor panjang yang hidup di wilayah studi. Sedangkan informasi mengenai penggunaan ruang akan diperoleh melalui serangkaian pengamatan

Pengelolaan monyet ekor panjang : Populasi lestari di HPGW

Populasi aktual 30 tahun pasca introduksi

Populasi ideal

Data dan informasi aktual 1. Parameter demografi 2. Wilayah jelajah 3. Faktor dominan

habitat

(31)
(32)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi

Menurut Lekagul & McNeely (1977), secara taksonomi monyet ekor panjang diklasifikasilan ke dalam phylum Chordata, subphylum Vertebrata, class Mamalia, ordo Primata, subordo Anthropoidae, family Cercopithecidae, subfamily Cercopithecinae, genus Macaca dan spesies Macaca fascicularis (Raffles 1821). Nama ilmiah lainnya dari monyet ekor panjang adalah Simia fascicularis Raffles (1812), Macaca irus Cuvier (1818), serta Simia cynomolgus Schreber (1775). Monyet ekor panjang juga dikenal dengan nama monyet-kera, kunyuk atau kethek (Jawa/Sunda), monyet dan cigak (Indonesia) serta crab-eating macaque dan long-tailed macaque (Inggris).

Menurut Sody (1949) Macaca fascicularis yang terdapat di Indonesia terdiri atas 11 sub-species, yakni:

a) Macaca f. impudens Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Riau

b) Macaca f. fascicularis Raffles, 1821: spesimen berasal dari Sumatera

c) Macaca f. mandibularis Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kalimantan

d) Macaca f. carimatae Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Karimata,

Pulau Serutu dan Pulau Pelapis

e) Macaca f. mordax Thomas & Wroughton, 1909: spesimen berasal dari Jawa

Barat dan Jawa Tengah

f) Macaca f. baweanus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bawean

g) Macaca f. karimunjawae Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau

Karimunjawa

h) Macaca f. submordax Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Bali

i) Macaca f. limitis Schwarz, 1913: spesimen berasal dari Pulau Timor

j) Macaca f. sublimitus Sody, 1932: spesimen berasal dari Pulau Sumba,

Sumbawa, Flores, dan Pulau Lombok

k) Macaca f. lapsus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bangka

(33)

muka dan telinganya berwarna merah muda. Setelah satu minggu kulit mukanya menjadi merah muda keabu-abuan dan enam minggu kemudian berubah menjadi coklat (Aldrich-Blake 1976). Warna rambut yang menutupi tubuh monyet kera ekor panjang bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet yang tinggal di kawasan hutan umumnya berwarna lebih gelap dan lebih mengkilap dari pada yang menghuni kawasan pantai. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh pemutihan oleh udara yang bergaram dan sinar matahari langsung (Lekagul & McNeely 1977).

Monyet ekor panjang mempunyai bentuk ekor silindris, muskular dan ditutupi rambut-rambut pendek. Pada umumnya panjang ekor antara 80-110% dari panjang kepala dan badan. Rambut pada mahkota kepala tersapu ke belakang dari arah dahi. Monyet muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi, sedangkan monyet yang lebih tua mempunyai cambang yang lebat. Ciri anatomi penting monyet ekor panjang adalah kantong pipi (cheek pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Adanya kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke mulut dengan cepat dan mengunyahnya di tempat lain (Lekagul & McNeely (1977).

2.1.2 Habitat

Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Menurut Alikodra (1990) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar.

(34)

khususnya di hutan mangrove dan sungai atau di pinggiran habitat yang terganggu (Gummert 2011).

2.1.3 Populasi dan Penyebaran

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng 1994). Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki suatu populasi adalah kerapatan (densitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (disperse).

Menurut Gummert (2011) populasi monyet ekor panjang tidak diketahui secara pasti. Populasinya selalu menurun di habitat alaminya dan dimungkinkan bahwa populasinya selalu meningkat di habitat yang dekat dengan pemukiman manusia.

Daerah penyebaran monyet ekor panjang adalah Indocina, Thailand, Burma (Myanmar), Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Di Indonesia, penyebaran

Macaca fascicularis terdapat di Sumatera, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka,

Belitung, Kepulauan Tambilan, Kepulauan Natuna, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba dan Sumbawa (Lekagul & McNeely 1977).

2.1.4 Pakan

Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivore dari langurs. Monyet ekor panjang memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & Mc Neely 1977).

Jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Pada daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa yang bersifat frugivore–omnivore

(35)

dan monyet karena jenis ini dapat berdaun muda sepanjang tahun atau berbuah 2-3 kali setahun.

Jenis tumbuhan yang sering dimakan oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum), songgom (Melanorhoea walichii), butun (Barringtonia asiatica), waru (Hibiscus tiliaceus), jambu klampok

(Eugenia cymosa), ketapang (Terminalia catapa), kiampelas (Ficus ampelas),

kopeng (Ficus variegata) dan kiara (Ficus glomerata). Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling disukai adalah butun (Barringtonia asiatica), sedangkan berdasarkan tingkatannya vegetasi yang disukai adalah pada tingkat pancang (Santosa 1996).

2.1.5 Perilaku

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002).

Wheatley (1980) membagi aktivitas Macaca fascicularis sebagai berikut : a) Makan (feeding) berupa aktivitas makan meliputi memungut makanan dan

prosesnya, termasuk mulai dari mengumpulkan makanan dilakukan pada pohon yang sama. Satwa biasanya tinggal pada pohon yang sama untuk mengunyah makanannya tetapi kadang-kadang memungut makanan dari satu pohon dan mengunyah pada pohon yang lain. Aktivitas makan dibatasi ketika satwa berhenti makan atau meninggalkan pohon.

b) Penjelajahan (ranging) berupa aktivitas penjelajahan diantara sumber makanan biasa antar pohon.

c) Istirahat (resting) yaitu aktivitas selain aktivitas makan dan penjelajahan, dan kadang-kadang terdapat prilaku grooming.

(36)

e) Berkutu-kutuan (grooming) yaitu aktivitas mencari kotoran atau ekto-parasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.

f) Kawin (sexsual behavior) yaitu hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran betina dan diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah kopulasi.

g) Bermain (playing) berupa aktivitas baku hantam terhadap individu lain terutama dilakukan pada anak (juvenil).

Pada populasi monyet ekor panjang terdapat struktur sosial tersendiri. Satwa yang memiliki hirarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang disebut sebagai alpha male. Sudah menjadi aturan bahwa kekuasaan satwa dalam kelompok ditentukan oleh peringkatnya. Peringkat tertinggi disebut juga sebagai satwa menangan atau dominant animal dan peringkat paling bawah disebut satwa kalahan atau subordinate animal (Chalmers 1980).

2.2. Parameter Demografi Monyet Ekor Panjang

2.2.1 Ukuran Populasi dan Kepadatan

Sebuah populasi diartikan sebagai sebuah kelompok individu/organisme yang menempati tempat tertentu dan pada waktu tertentu (Krebs 1978). Populasi adalah organisme yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan dapoat melakukan perkembangbiakan pada waktu dan tempat yang sama, dan mengahasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Sebuah populasi yang memiliki lebih dari satu kelompok memiliki ukuran kelompok, seperti monyet ekor panjang di HPGW. Ukuran kelompok adalah jumlah individu yang terdapat dalam suatu kelompok monyet ekor panjang (Priyono 1998). Monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran terdiri dari empat kelompok dengan ukuran kelompok 16 – 44 ekor (Hendratmoko 2009).

(37)

kepadatan populasi adalah total ukuran populasi per luas wilayah yang digunakan (Seber 1982).

Sepanjang kehidupan suatu populasi, kerapatannya berubah-ubah (Tarumingkeng 1994). Perubahan atau proses turun naiknya kerapatan populasi berlangsung terus menerus sepanjang waktu. Perubahan kerapatan populasi disebabkan oleh peningkatan karena kelahiran (natalitas), peningkatan karena masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain (imigrasi), penurunan karena kematian (mortalitas) dan penurunan karena keluarnya beberapa individu dari populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs 1978, Tarumingkeng 1994).

2.2.2 Angka Kelahiran

Angka kelahiran disebut juga sebagai potensi perkembangbiakan adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Angka kelahiran atau natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu individu (Krebs 1978). Menurut Santosa (1996) tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran, sedangkan menurut Alikodra (1990) natalitas atau angka kelahiran adalah jumlah individu baru per unit per waktu per unit populasi.

Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran ditentukan oleh faktor-faktor : (1) perbandingan komposisi kelamin, (2) umur tertua dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran

(fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan

(38)

Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu (Alikodra 1990). Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena : 1) Umur setiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, 2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama.

Menurut Santosa (1996) laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang sudah matang seksual. Jumlah anak yang dapat dilahirkan monyet ekor panjang adalah satu ekor dan jarang sekali dua. Induk betina dapat melahirkan tiap tahun bila induk diberi perlakuan berupa penyapihan anak pada umur 2-3 bulan dan induk dikondisikan untuk siap bereproduksi kembali (Djabbar 1994). Induk betina dapat melahirkan tiap dua tahun bila masa sapih anak dibiarkan alami yaitu sampai anak berumur 1,5 tahun (Napier & Napier 1973). Pengelolaan seperti ini mengikuti laju reproduksi monyet ekor panjang di alam.

2.2.3 Angka Kematian

Kelahiran dan kematian adalah kejadian alami yang terjadi pada populasi satwa liar. Kematian akan membentuk keseimbangan di dalam suatu populasi satwa liar di alam. Mortalitas atau angka kematian merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu; dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 2002). Menurut Santosa (1996) angka kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu.

(39)

seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) Kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, pemburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya (Alikodra 1990).

2.2.4 Struktur umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar. Melakukan identifikasi umur satwa liar di lapangan akan mengalami banyak kesulitan, terutama karena sulitnya menangkap sejumlah contoh satwaliar untuk diperiksa dalam menentukan umurnya, sehingga perlu dicarikan pendekatan-pendekatan tertentu yang lebih sederhana (Alikodra 1990).

Panjang usia monyet ekor panjang sekitar 25 – 30 tahun (Napier & Napier 1967). Menurut Napier & Napier (1967) struktur umur monyet ekor panjang dapat adalah sebagai berikut:

a) Kelas umur bayi : berumur antara 0-15 bulan, yakni sejak lahir hingga selesainya masa laktasi

b) Kelas umur anak : berumur antara 15 bulan–4 tahun, yakni sejak selesainya masa laktasi hingga memasuki masa kematangan seksual

c) Kelas umur muda/remaja : berumur 4–9 tahun, yaitu semenjak memasuki kematangan seksual (minimum breeding age) hingga mencapai masa reproduksi yang optimum.

d) Kelas umur dewasa : merupakan anggota populasi yang diperkirakan berumur 9 tahun hingga 21 tahun ( maximum breeding age).

(40)

a) Dewasa (adult) terdiri dari jantan dan betina dewasa. Jantan dewasa (JD) mempunyai ukuran paling besar, scrotum terlihat jelas. Betina dewasa (BD) tubuhnya lebih kecil dari jantan dewasa dan puting susu terlihat jelas. Jantan dewasa terlihat kekar dan bergerak terlihat lebih mantap.

b) Muda (sub adult), monyet hampir dewasa dapat berdiri sendiri dalam kelompoknya. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan monyet dewasa tetapi dapat dibedakan dari kelakuannya. Monyet hamper dewasa masih dalam tahap belajar dalam melakukan aktivitas kawin dan lebih banyak melakukan pergerakan.

c) Remaja (juvenile) yaitu monyet muda yang dapat berdiri sendiri pada waktu makan, tetapi kalau tidur dekat induknya dan masih suka bermain, ukuran tubuhnya lebih kecil dari sub adult.

d) Bayi (infant), yaitu monyet yang masih bergantung pada induknya baik siang maupun malam dan ukuran tubuhnya paling kecil.

2.3 Wilayah jelajah

Wilayah jelajah dan pergerakan adalah perwujudan dari prilaku satwa liar dalam memenuhi kebutuhan dasar biologi seperti makan, tempat tinggal dan pasangan (Collins et al, 2005). Wilayah jelajah adalah wilayah dimana satwa liar menghabiskan waktunya (Bullard, 1991). Wilayah jelajah monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran adalah 5,65 – 20,48 Ha, rata-rata wilayah jelajah 13,06 Ha (Hendratmoko 2009).

(41)

habitatnya. Parameter pola penggunaan ruang yang paling banyak diteliti adalah : daerah jelajah (luas dan komposisi vegetasi) dan pergerakan.

Core area merupakan bagian dari wilayah jelajah yang sering dipergunakan

dengan keteraturan yang lebih besar dibanding bagian lainnya. Teritori adalah daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar, sedangkan wilayah jelajah

(home range) itu sendiri adalah daerah pergerakan normal satwa dalam

(42)

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

3.1 Lokasi dan Sejarah Pengelolaan Kawasan

Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi - Bogor (desa Segog). Dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan 6°54'23''LS sampai 6°55'35''LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi (HPGW 2010).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha.

(43)

kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan.

Tahun 1968, Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 1969 terbit Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

Tahun 1973 terbit SK Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh kawasan HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling

Dalbergia latifolia, Gliricidia sp, Paraserianthes falcataria, Shorea sp, dan

Acacia mangium.

(44)

3.2 Kondisi Fisik Kawasan

1. Topografi

HPGW terletak pada ketinggian 460-715 m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan di bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Pada punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN 2.212 (670 m dpl.) dan KN 2.213 (720 m dpl.).

2. Jenis Tanah

Tanah HPGW adalah kompleks dari podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping).

3. Iklim

Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan nilai Q = 14,3%-33% dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600 – 4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari.

4. Hidrologi

HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri.

3.3 Kondisi Biologis Kawasan

1. Keragaman Flora

Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes

(45)

(Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia),

Gliricidia sp, Shorea sp, dan akasia (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit

terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk dua jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis.

Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar, 9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, 132 m3 sengon, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, maesopsis/kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul.

2. Keragaman Fauna

Beberapa jenis satwa liar yang dapat ditemukan di HPGW adalah jenis-jenis mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Dari kelompok mamalia terdapat babi hutan

(Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus

sp), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp), trenggiling

(Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditus). Dari kelompok jenis

burung terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain Elang Jawa, Emprit, Kutilang dll. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular, bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula terdapat pula lebah hutan (odeng, tawon gung, Apis dorsata).

3.4 Kondisi Sosial Ekonomi

Desa-desa yang terletak dan berdekatan dengan HPGW adalah Desa Batununggal dan Sekarwangi (di Bagian Utara), Desa Cicantayan, Desa Cijati (di Bagian Timur), Desa Hegarmanah (di Bagian Selatan) dan Desa Hegarmanah (di Bagian Barat).

(46)

pertanian dari lahan agroforestry seperti singkong, kapolaga, pisang, cabe, padi gogo, kopi, sereh, dll. Jumlah ternak domba /kambing di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat sebanyak 1875 ekor, jika setiap ekor domba/kambing memerlukan 5 kg rumput, maka diperlukan hijauan sebanyak 9,375 ton. Hijauan pakan ternak tersebut sebagian besar berasal dari HPGW.

(47)
(48)

IV.

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2012.

4.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat tulis, jam tangan, kamera digital Canon EOS 20 D, kompas, label, peta kawasan, pita meter, plastik sampel, tali plastik, tally sheet, teropong binokuler, GPS Garmin 60 CSX, Microsoft Excel 2007, perangkat lunak minitab 16, IBM SPSS Statistic 19 dan ArcGis 9.3.

4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa :

1. Parameter Demografi, meliputi ukuran populasi, kepadatan populasi, jumlah populasi berdasarkan struktur umur, jenis kelamin, sex rasio, angka kelahiran dan angka kematian.

2. Wilayah jelajah berupa data pergerakan satwa.

3. Habitat, meliputi faktor fisik yaitu ketinggian tempat, suhu, kelembaban dan kelerengan. Faktor biotik adalah struktur dan komposisi vegetasi serta potensi tumbuhan pakan.

Data sekunder berupa : peta digital HPGW, data dan informasi lain yang diperlukan melalui studi literatur dari text book, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan laporan penelitian.

4.4 Metode Pengumpulan Data

(49)

Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung

(observational approach) di lapangan.

1. Parameter Demografi

Pengumpulan data parameter demografi dilakukan dengan cara sensus. Metode yang digunakan adalah metode penghitungan titik konsentrasi

(consentrartion count) berdasarkan survey awal dan informasi dari petugas

HPGW. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari (07.00-09.00) dan sore hari (15.00-18.00) selama 3 kali dengan ulangan 3 kali masing-masing 5 menit. Data yang dicatat selama pengamatan adalah jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Jumlah individu yang dicatat merupakan individu yang ditemukan/ dijumpai langsung dalam pengamatan. Sehubungan sulitnya mengetahui secara pasti umur monyet ekor panjang di lapangan, maka pembagian kelas umur didasarkan pada ukuran kualitatif yang mencakup kelas umur bayi, anak, muda, dan dewasa.

2. Wilayah jelajah

Data wilayah jelajah dilakukan dengan cara mengambil titik koordinat pergerakan monyet ekor panjang dengan menggunakan GPS. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara mengikuti pergerakan satwa dimulai pada pagi hari (07.00 WIB) sampai sore hari (18.00). Pengambilan data dilaksanakan sebanyak 4 kali.

3. Habitat

Terdiri dari kondisi fisik dan biotik. Pengumpulan data kondisi fisik habitat berupa ketinggian tempat, suhu, kelembaban, kelerengan. Pengumpulan data kondisi biotik (tumbuhan) dilaksanakan dengan menggunakan petak contoh berbentuk jalur (Kartono, 2000). Jumlah petak ukur adalah 12 buah di 4 habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang. Arah jalur Utara Selatan.

Data yang dikumpulkan, meliputi : a. Tingkat Pohon

(50)

b. Tingkat Tiang

Jenis, jumlah, diamater tingkat tiang, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada (dbh) ± 130 cm dari permukaan tanah atau 20 cm di atas banir lebih besar 10-19 cm.

c. Tingkat Pancang

Jenis dan jumlah tingkat pancang, yaitu anakan pohon dengan tinggi lebih dari 1,5 meter dengan diameter setinggi dada < 10 cm.

d. Tingkat Semai

Jenis dan jumlah semai, anakan pohon dengan tinggi < 1,5 m.

B

Gambar 3. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Keterangan :

A = Petak pengamatan tingkat pohon, ukuran 20 m X 20 m B = Petak pengamatan tingkat tiang, ukuran 10 m X 10 m C = Petak pengamatan tingkat pancang, ukuran 5 m X 5 m D = Petak pengamatan tingkat semai, ukuran 2 m X 2 m

Selain itu juga dilaksanakan pengumpulan data potensi tumbuhan pakan. Pengumpulan data dilaksanakan dengan pengamatan langsung jenis pakan dan bagian apa yang dimakan (daun, buah, dll) selama 4 hari, dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data wilayah jelajah.

4.5 Metode Analisis Data

1. Parameter Demografi

(51)

b. Kepadatan (density)

Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per luas areal studi.

Keterangan : P = Populasi, A = luas HPGW c. Sex rasio

Sex ratio diperoleh dengan menghitung jumlah jantan dan betina (Santosa dan Sitorus, 2008). Sex Rasio dihitung dengan rumus berikut ini:

Keterangan : S = Sex Ratio

Y = Jumlah Individu Jantan, X = Jumlah Individu Betina d. Angka kelahiran

Angka kelahiran diperoleh dengan menghitung jumlah individu baru atau jumlah anak secara keseluruhan dan dibandingkan dengan jumlah total betina dewasa (Santosa dan Sitorus, 2008). Persamaan yang digunakan :

Keterangan :

b = angka kelahiran kasar B = jumlah individu bayi,

N = Jumlah seluruh individu betina produktif e. Angka kematian

(52)

Keterangan :

d = angka kematian kasar

D = jumlah individu yang mati dari semua sebab dalam waktu satu tahun N = Jumlah seluruh anggota populasi

f. Struktur umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur diperoleh dengan menghitung dan mengelompokan jumlah jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda, anak dan bayi (Santosa dan Sitorus, 2008).

2. Wilayah jelajah

Titik koordinat unit contoh yang dikumpulkan dengan GPS reciever dalam WGS 84 UTM Zone 48S dipetakan dan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat terluar (maximum convex polygon) tempat monyet ekor panjang beraktivitas. Analisis diskriptif dilakukan pada masing-masing wilayah jelajah monyet ekor panjang.

3. Habitat

(53)

INP (Indeks Nilai Penting) untuk tingkat tiang dan pohon = KR+FR+DR, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang INP=KR+FR

4. Faktor dominan komponen habitat

Penentuan faktor dominan penggunaan habitat oleh monyet ekor panjang akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan regresi linier berganda yang diolah dengan software IBM SPSS Statistic 19 melalui metode stepwise. Dalam hal ini akan dianalisis hubungan antara peubah tidak bebas (Y) dengan peubah bebas (X). Peubah tidak bebas (Y) adalah jumlah individu monyet ekor panjang, sedangkan peubah bebas (X) adalah peubah-peubah yang berasal dari faktor fisik dan biotik habitat yang diduga mempengaruhi populasi monyet ekor panjang pada tempat tersebut. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y = b0 + b1x1 + b2x2 + ……+ b5x5

= nilai koefisien regresi ke-1

1

Ho : b1=b2=…..=b5 (semua variable bebas x tidak mempunyai pengaruh terhadap variable tidak bebas Y)

Ho : b1≠b2≠…..≠b5 (minimal ada satu variable bebas x yang mempunyai pengaruh terhadap variable tidak bebas Y)

(54)

5. Uji hubungan

Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara : - Faktor fisik lingkungan dengan keberadaan monyet ekor panjang,

- Ukuran kelompok dengan luas wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah selama empat hari.

Hipotesa yang dibangun adalah Ho : Tidak ada hubungan H1 : Ada hubungan Uji hubungan dilakukan menggunakan uji statistik dengan metode Chi

square. Software yang digunakan adalah Minitab 16, apabila P-Value < 0,05

artinya tolak Ho. Rumus yang digunakan :

Dimana :

(55)
(56)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Demografi

5.1.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok

Pengamatan kelompok monyet ekor panjang di HPGW dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari. Ukuran kelompok terbanyak ditemukan pada sore hari pada saat monyet ekor panjang mulai berkelompok dan bergerak menuju lokasi dimana terdapat pohon tidurnya. Hal ini sependapat dengan Lindburg (1980), metode yang lebih akurat untuk menghitung individu monyet ekor panjang dalam sebuah kelompok adalah dengan cara menghitung ketika satwa tersebut sedang memanjat pohon yang menjadi tempat tidurnya di sore hari tetapi berbeda halnya dengan Priyono (1998) yang menyatakan bahwa pada sore hari diduga individu dalam kelompok belum berkumpul secara utuh dan jarak antar individu anggota kelompok relatif lebih jauh dibandingkan pada pagi hari.

Tiga puluh tahun pasca introduksi ditemukan empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Empat kelompok tersebut terdiri sebagai berikut : kelompok pertama adalah Kelompok A yaitu kelompok monyet ekor panjang yang menempati habitat di sekitar Stasiun Relay TVRI Gunung Walat. Kelompok kedua adalah Kelompok B yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar belakang camp atau komplek bangunan utama di HPGW. Kelompok ketiga yaitu Kelompok C yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar rumah air atau bak penampungan utama air bagi keperluan kegiatan di basecamp HPGW. Kelompok keempat adalah Kelompok D yaitu kelompok yang menempati habitat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran

(57)

Semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki kekerabatan yang sangat dekat dikarenakanan memiliki tetua yang sama. Kelompok A diduga adalah awal dari semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Berdasarkan informasi dari mantan pengelola HPGW (Bapak Yoyok Ontaryo) bahwa lokasi introduksi monyet ekor panjang adalah di sekitar base camp HPGW. Alasan dipilihnya lokasi ini bahwa pada saat itu tanaman lebih banyak tumbuh di sekitar

base camp. Setelah dilepaskan monyet ekor panjang bergerak ke arah bukit

kabayan dimana terdapat sumber air dan banyak ditemukan pohon tangkalak

(Bellucia axinanthera). Lokasi ini berada ditengah-tengah HPGW dan sering

disebut Blok Tangkalak (Blok Tengah). Bukit ini sangat dekat lokasinya dengan Stasiun Relay TVRI Gunung Walat.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda-beda, ukuran kelompok tertinggi terdapat pada kelompok D yaitu 31 individu dan terendah terdapat pada kelompok B yaitu 23 individu. Ukuran kelompok monyet ekor panjang tergantung pada habitat yang ditempatinya. Hal ini sependapat dengan Bismark (1986) bahwa pembentukan dan besarnya kelompok bervariasi menurut tipe habitat. Selanjutnya menurut Bismark (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran kelompok adalah kelahiran, kematian, emigrasi, imigrasi, cara menghadapi kelompok lain dan cara menghadapi pembentukan kelompok.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran yaitu 16 – 44 individu per kelompok (Hendratmoko 2009), berbeda jauh dengan kelompok monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta yaitu 48 – 68 per kelompok dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta yaitu 20 – 45 ekor per kelompok (Kusmardiatuti 2010). Ukuran kelompok monyet ekor panjang HPGW juga berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di hutan sekunder di sekitar bendungan Batu Tegi Lampung yaitu 34 – 47 individu per kelompok (Surya 2010).

5.1.2 Kepadatan

(58)

Tabel 2 Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW

Kelompok Habitat Kepadatan

(individu/Ha)

A TVRI dan sekitarnya 1,03

B Belakang base camp HPGW 1,17

C Penampungan air dan sekitarnya 0,89

D DAS sekitarnya 1,96

Kepadatan monyet ekor panjang HPGW masih lebih rendah dari kepadatan monyet ekor panjang di TWA dan CA Pangandaran 2,3 indinvidu/Ha (Mukhtar 1982), monyet ekor panjang di Pulau Tinjil 1,09 individu/Ha (Fadillah 2003), dan monyet ekor panjang di kawasan konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada 0,8 individu/Ha (Priyono 1998). Menurut Lesson et al. (2004) pada kawasan liar tanpa ada pakan tambahan daya tampung maksimum sekitar 1000 kg biomasa/Km2 atau sekitar 333 ekor/Km2 dengan rataan berat monyet 3 kg, atau sekitar 3– 4 ekor/Ha.

5.1.3 Sex rasio

Berdasarkan pengamatan, monyet ekor panjang HPGW yang diketahui jenis kelaminnya hanya pada kelas umur muda dan dewasa. Sedangkan pada kelas umur bayi dan anak tidak diketahui jenis kelaminnya.

Hasil peneltian ini menunjukan bahwa secara keseluruhan sex rasio populasi monyet ekor panjang di HPGW adalah 1 : 1,54. Sedangkan sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Jumlah Jantan Jumlah Betina Sex Rasio

A 9 12 1 : 1,33

B 6 10 1 : 1,67

C 7 13 1 : 1,86

D 4 15 1 : 3,75

(59)

adalah 1 : 2. Kondisi seperti ini tidak berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa sex rasio monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 1 : 2.

5.1.4 Angka Kelahiran

Monyet ekor panjang melahirkan sepanjang tahun dan tidak mengenal musim melahirkan. Angka kelahiran yang dihitung pada penelitian ini adalah angka kelahiran kasar. Pada peneltian ini angka kelahiran monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,24. Angka kelahiran tiap kelompok tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Bayi Betina Produktif Angka Kelahiran

A 2 12 0,16

B 2 10 0,20

C 2 13 0,15

D 6 15 0,40

Angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kusmardiastuti (2010) angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta adalah 0,44 – 0,56 dan di Hutan Kaliurang adalah 0,43 – 0,67. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kelahiran kasar di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 0,72 – 0,77.

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran kasar (P-Value > 0,05). Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 1.

5.1.5 Angka Kematian

(60)

umur (Kusmardiatuti 2010, Surya 2010). Asumsi yang digunakan adalah bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan kondisi populasi pada tahun sebelumnya. Angka kematian setiap kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok

Pada Tabel 5, peluang hidup dang angka kematian Kelompok C adalah tidak normal. Hal ini disebabkan karena asumsi bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan tahun sebelumnya tidak bisa diterapkan pada Kelompok C atau diduga terdapat kejadian alami yang menyebabkan kematian individu pada kelas umur anak lebih besar sehingga jumlah anak lebih kecil dari pada jumlah individu pada kelas umur muda.

Pada penelitian ini, secara keseluruhan angka kematian monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,64 pada kelas umur anak – muda; 0,30 pada kelas umur muda – dewasa. Tabel 5 menunjukan bahwa angka kematian pada kelas umur anak – muda lebih besar dari pada angka kematian pada kelas umur muda – dewasa. Hasil ini berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) angka kematian monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta lebih besar terjadi pada kelas umur muda – dewasa. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kematian monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung lebih besar pada kelas umur muda – dewasa.

(61)

5.1.6 Struktur umur

Berdasarkan pendekatan struktur umur menurut Napier & Napier (1967), menghasilkan gambaran struktur umur monyet ekor panjang di HPGW menggambarkan pola struktur umur menurun (regressive population) yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur sangat muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi seperti ini terus menerun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu (Tarumingkeng 2010).

Gambaran tersebut di atas berbeda dengan kondisi di lapangan, bahwa monyet ekor panjang di HPGW mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang biak dengan pesat. Untuk menghindari adanya gambaran struktur umur menurun

(regressive population) dan menghasilkan gambaran struktur umur meningkat

(progressive populations) maka kelas umur bayi dan anak di gabung.

Penggabungan ini menghasilkan kelas umur yang baru yaitu anak, muda dan dewasa. Pada penelitian ini, secara keseluruhan struktur umur monyet ekor panjang pada kelas umur anak, muda dan dewasa adalah 18 : 6 : 4. Struktur umur tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran kelompok

Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar termasuk monyet ekor panjang, sehingga dapat juga digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Menurut Tarumingkeng (1994) terdapat tiga pola struktur umur yaitu struktur umur menurun, struktur umur stabil dan struktur umur meningkat. Berdasarkan Tabel 4, struktur umur monyet ekor panjang di HPGW termasuk dalam pola struktur umur meningkat atau populasi berkembang

(progressive populations) dimana kelas umur anak lebih tinggi daripada kelas

(62)

Tabel 4 menunjukan bahwa secara keseluruhan semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki struktur umur meningkat (progressive

populations) kecuali kelompok C. Hal ini menggambarkan bahwa kelompok

monyet ekor panjang yang ada di HPGW akan terus berkembang dan lestari karena jumlah anak lebih besar dibanding dewasa. Dengan kondisi demikian maka regenerasi satwa ini akan berlangsung dengan baik di masa yang akan datang.

Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) bahwa struktur umur monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta memiliki struktur umur meningkat

(progressive populations). Kondisi seperti ini juga tidak berbeda dengan

penelitian Surya (2010) bahwa struktur monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung memiliki struktur umur meningkat

(progressive populations).

5.2 Wilayah Jelajah

Empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki wilayah jelajah yang berbeda-beda. Dua kelompok memilik wilayah jelajah yang tumpang tindih (Kelompok B dan C) dan dua kelompok lainnya memiliki wilayah jelajah yang terpisah (Kelompok A dan D).

Berdasarkan hasil pengamatan monyet ekor panjang di HPGW lebih banyak memanfaatkan vegetasi tingkat pohon dalam pergerakannya. Berbeda dengan Santosa (1996) yang menyatakan bahwa ,monyet ekor panjang di Pulau Tinjil lebih menyukai vegetasi tingkat pancang. Hal ini diduga karena sumber makanan seperti buah-buah lebih banyak tersedia pada tingkat pohon.

Kelompok A

(63)

Gambar 4 Wilayah jelajah harian Kelompok A

Pada hari pertama dalam pergerakannya Kelompok A hanya memanfaatkan 2 jenis tumbuhan yaitu pinus sebesar 97 % dan kayu afrika 3 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, potensi ketersediaan sumber daya pada wilayah jelajah hari pertama seluas 6,17 Ha adalah pinus sebanyak 1.080 pohon dan kayu afrika sebanyak 142 pohon.

Hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 6,77 Ha. Jenis pohon yang digunakan yang digunkan dalam pergerakannya adalah pinus 20 %, kayu afrika 23 % dan harendong 18 %. Potensi ketersediaan saumber daya adalah pinus 1.185 pohon, kayu afrika 156 pohon dan harendong 41 pohon.

Hari ketiga Kelompok A memiliki luas jelajah 18,57 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 78 % dan kayu afrika 22 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 3.250 pohon dan kayu afrika 427 pohon.

(64)

harendong 15 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 1.800 pohon, kayu afrika 237 pohon dan harendong 62 pohon.

Panjang lintasan pada wilayah jelajah harian Kelompok A bervariasi antara 448,66 – 807,74 meter sedangkan lebar lintasan adalah 160,66 - 391 meter. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Wilayah jelajah harian Kelompok A

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 6,17 587,39 160,66

Kedua 6,77 448,66 179,78

Ketiga 18,57 652,07 391,04

Keempat 10.30 807,74 257,96

Luas wilayah jelajah Kelompok A selama empat hari adalah 29,26 Ha dengan panjang 807,74 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok A mempunyai teritori seluas 0,40 Ha dengan panjang 126,39 meter dan lebar 36,86 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 413,30 meter dan jarak terpendek adalah 80.88 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok A tersaji pada Gambar 5.

(65)

Kelompok B

Tidak berbeda dengan Kelompok A, selama empat hari pengamatan Kelompok B juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Hari pertama kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha, hari kedua 2,31 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat seluas 4,80 Ha. Bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6 Wilayah jelajah harian Kelompok B

Pada hari pertama pegerakannya, Kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha. Kelompok B memanfaatkan 6 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 29 %, puspa 8 %, kayu afrika 26 %, harendong dan gemelina masing-masing 3 %, dan agathis 31 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi pada habitat ini, potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 6 pohon, puspa 490 pohon, kayu afrika 6 pohon dan agathis 23 pohon.

(66)

Hari ketiga kelompok ini memiliki luas jelajah 10,36 Ha. Dalam pergerakannya kelompok ini memanfaatkan jenis pinus 28 %, puspa 10 %, kayu afrika 31 %, harendong 4 %, agathis 24 % dan sempur 3 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 21 pohon, kayu afrika 21 pohon, puspa 1.834 pohon, agathis 86 pohon.

Kelompok B pada hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 4,80 Ha. Kelompok ini memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakan hari keempat yaitu pinus 9 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan kipasang 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 10 pohon, puspa 850 pohon, kayu afrika 10 pohon dan agathis 40 pohon.

Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok B bervariasi antara 361,61 – 533,60 meter sedangkan lebar lintasan adalah 72,15 – 327,35 meter. Panjang lintasan tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Wilayah jelajah harian Kelompok B

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 2,77 381,75 72,15

Kedua 2,31 370,36 134,90

Ketiga 10,36 553,60 327,35

Keempat 4,80 361,61 168,47

(67)

Luas wilayah jelajah Kelompok B selama empat hari adalah 19,73 Ha dengan panjang 635,48 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok B mempunyai teritori seluas 0,015 Ha dengan panjang 45,03 meter dan lebar 4,84 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 328,24 meter dan jarak terpendek adalah 76,06 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 7.

Kelompok C

Kelompok C juga memiliki luas wilayah jelajah harian yang bervariasi selama empat hari pengamatan. Hari pertama pengamatan luas wilayah jelajah Kelompok C 6,87 Ha, hari kedua 7,12 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat 7,15 Ha. Bentuk adan arah lintasan wilayah jelajah harian Kelompok C tersaji pada Gambar 8.

Hari pertama kelompok C memiliki luas wilayah jelajah 6,87 Ha. Dalam pergerakannya pada hari pertama kelompok ini memanfaatkan 4 jenis tumbuhan yaitu pinus 33 %, puspa dan harendong masing-masing 11 %, dan agathis 45 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, ketersediaan sumber daya di habitat ini adalah 687 pohon, puspa 357 pohon.

Pada hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 7,12 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakannya adalah pinus 46 %, kayu afrika 43 % dan agathis 11 %. Potensi ketersediaan sumber daya 712 pohon, kayu afrika 370 pohon.

(68)

Gambar 8 Wilayah jelajah harian Kelompok C

Panjang wilayah jelajah harian Kelompok C adalah 457,84 – 617,36 meter sedang lebar wilayah jelajah harian 69,05 – 241,52 meter. Panjang wilayah jelajah harian adalah tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Wilayah jelajah harian Kelompok C

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 6,87 482,01 241,52

Kedua 7,12 457,84 239,45

Ketiga 4,29 617,36 69,05

Keempat 7,15 479,83 215,51

(69)

Gambar 9 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok C

Kelompok D

Tidak berbeda dengan lainnya selama empat hari pengamatan Kelompok D juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Luas wilayah jelajah hari pertama 1,17 Ha, hari kedua 7,17 Ha, hari ketiga 2,19 Ha dan hari keempat 5,22 Ha. Arah dan bentuk lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D tersaji pada Gambar 10.

Pada hari pertama kelompok D memiliki luas wilayah jelajah 1,17 Ha. Pergerakan kelompok ini pada hari pertama memanfaatkan 5 jenis tumbuhan yaitu puspa 32 %, harendong 7 %, agathis 47 %, sempur 11 % dan tereup 4 %. Ketersediaan sumber daya berdasarkan hasil analisa vegetasi di habitat ini, puspa 124 pohon, agathis 54 pohon.

Gambar

Gambar 1 Diagram Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Gambar 4 Wilayah jelajah harian Kelompok A
Tabel 7 Wilayah jelajah harian Kelompok A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang karakteristik habitat dan ukuran kelompok monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) telah dilakukan di hutan Desa Cugung, Kesatuan Pengelolaan Hutan

Jumlah jenis pakan di habitat kerusakan ringan lebih banyak (21 jenis) dibandingkan jumlah jenis pakan di habitat kerusakan sedang (11 jenis); (3) faktor dominan penentu

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di hutan Desa Cugung KPHL Gunung Rajabasa memiliki ukuran kelompok 17-22 individu dengan jumlah tertinggi 22 individu dan terendah

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa data vegetasi yang dilakukan pada habitat pelanduk (Tragulus sp) mulai tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon pada 3 lokasi

Monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis ) di hutan Desa Cugung KPHL Gunung Rajabasa memiliki ukuran kelompok 17-22 individu dengan jumlah tertinggi 22 individu dan

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di hutan Desa Cugung KPHL Gunung Rajabasa memiliki ukuran kelompok 17-22 individu dengan jumlah tertinggi 22 individu dan terendah

𝐻′= −∑ 𝑃𝑖 𝑙𝑛 𝑃𝑖 8 𝑃𝑖 =𝑛𝑖 𝑁 9 Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman jenis Ni = Jumlah individu dari speies ke-i N = jumlah individu total Pi = ni/N Hasil dan Pembahasan INP