SEBARAN POPULASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT
MONYET EKOR PANJANG
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
TRI CAHYA NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasional Gunung Merapi“ adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
TRI CAHYA NUGROHO. Distribution of Population and Habitat Characteristics of Long-tailedmacaques in Gunung Merapi National Park. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and DONES RINALDI.
Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) is a widely distributed primate species which experiencing rapid population decline due to habitat loss and degradation, pharmaceutical usage and conflicts with human. Many researches regarding this species has been carried out, but not a particular topic on how volcanic eruptions affected its habitat. Gunung Merapi, a volcano located in Yogyakarta Province and was known as long-tailed macaque habitat, erupted in 2010 and made a massive destruction to the forest ecosystem. This research was aimed to identify the distribution of population, habitat characteristic and the correlation of habitat components to the existence of this monkey in Gunung Merapi forest ecosystem after the eruption took place. Spatial analysis was used to describe the distribution of population, while habitat characteristic was identified using vegetation analysis followed by chi square test. The result showed that 5 groups of this macaque were found spreading in 5 resorts of Gunung Merapi of which these regions were classified as slightly-damaged and moderately-damaged habitat. As for the diversity of plant species, an amount of 85 species was able to be identified and these species were found at the slightly-damaged and moderately-damaged habitats within a group of 82 and 29 species respectively. Of all these species only 21 and 11 species in each group were identified as the macaques’ diet. The result of Chi square test suggested a significant correlation between the existence of long-tailedmacaque with habitat components of altitude, temperature, humidity, distance to farm, distance to water, plant species for diet, the number of vegetation species, and vegetation density (seedlings, saplings and trees).
Keywords: long-tailedmacaque, Gunung Merapi National Park, distribution, habitat
TRI CAHYA NUGROHO. Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasionan Gunung Merapi. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan DONES RINALDI.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan spesies primata yang umum ditemukan di Asia Tenggara. Monyet ekor panjang oleh IUCN dikategorikan sebagai spesies Berisiko Rendah (Least Concern), untuk status perdagangan oleh CITES dimasukan ke dalam Appendix II. Monyet ekor panjang merupakan satwa liar yang memiliki sebaran yang sangat luas akan tetapi monyet ekor panjang telah mengalami penurunan populasi yang cepat dikarenakan degradasi dan hilangnya habitat, pemanfaatan dalam farmasi, konflik dengan manusia sehingga status spesies tersebut perlu dikaji ulang (Whitten et al. 2000, Eudey 2008). Salah satu contoh penyebab perubahan habitat adalah erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang telah menghancurkan ekosistem hutan pegunungan seluas 2000-2500 ha (31-39%) dari luas total 6.410 ha (TNGM 2011a).
Penelitian tentang monyet ekor panjang telah banyak dilakukan tetapi penelitian tentang dampak erupsi gunung berapi terhadap habitat monyet ekor panjang belum pernah dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk mengidentifikasi lokasi dan potensi dalam kawasan konservasi Gunung Merapi yang masih sesuai untuk dijadikan habitat berbagai spesies satwaliar.
Penelitian dilakukan di Balai Taman Nasional Gunung Merapi Propinsi D.I. Yogyakarta. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan April hingga Mei 2012 selama ± satu bulan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, binokuler, altimeter, kompas, thermo-hygro meter, kamera digital, dan pita ukur. Data yang dikumpulkan adalah data sebaran dan habitat monyet ekor panjang. Pengumpulan data sebaran dan habitat monyet ekor menggunakan metode garis berpetak (Indriyanto 2006) dan pencatatan titik kordinat serta jumlah individu monyet ekor panjang. Pengamatan dilakukan pada lima resort yaitu Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo.
Pengolahan data ketinggian tempat, jarak ke sumber air dan jarak pertanian, suhu dan kelembaban diolah dengan menggunakan analisis spasial dan kuantitatif kemudian ditabulasikan. Pengolahan data sebaran monyet ekor panjang diolah dengan analisis spasial. Pengolahan data habitat menggunakan perhitungan indeks nilai penting (Soerianegara & Indrawan 1998), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Ludwig & Reynold 1988), indeks kesamaan Jaccard (Maguran 1988). Pemilihan habitat dan uji hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat dilakukan dengan menggunakan Chi Square Test (Johnson & Bhattacharyya 1987).
informasi masyarakat dan disebutkan dalam laporan monitoring habitat dan populasi primata yang dilakukan oleh TN Gunung Merapi pada tahun 2010.
Hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian menemukan 85 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis yang paling banyak ditemukan adalah pada famili Euphorbiaceae dan Moraceae dengan masing-masing famili 9 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan yang ditemukan dalam habitat kerusakan ringan adalah sebanyak 82 jenis dengan jumlah 32 famili. Famili dengan jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak adalah Famili Euphorbiaceae dengan 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan pada habitat kerusakan sedang tergolong dalam 16 famili dengan 29 jenis tumbuhan. Famili dengan jumlah jenis terbanyak adalah Moraceae dengan 6 jenis tumbuhan.
Habitat kerusakan ringan pada tingkat semai didominasi oleh kaliandra (INP= 68,05%), pancang oleh kaliandra (INP= 42,73%), tingkat tiang oleh bambu petung (INP= 85,97%), dan tingkat pohon oleh puspa (INP= 52,42%). Habitat kerusakan sedang pada tingkat semai didominasi oleh akasia dekuren (INP= 77,66%), tingkat pancang oleh akasia dekuren (INP= 139,08%), tingkat tiang oleh puspa (INP= 216,39%), dan tingkat pohon oleh pinus (INP = 181,79%).
Hasil analisis yang dilakukan menunjukan bahwa di habitat kerusakan ringan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) untuk tingkat semai sebesar 2,33, tingkat pancang sebesar 2,59, tingkat tiang sebesar 2,20, dan tingkat pohon sebesar 2,47. Untuk habitat kerusakan sedang nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) untuk tingkat semai sebesar 1,85, tingkat pancang sebesar 0,74, tingkat tiang sebesar 1,04, dan tingkat pohon sebesar 1,00. Indeks kesamaan komunitas Jaccard (Cj) antara habitat kerusakan ringan dan habitat kerusakan sedang paling besar terdapat pada tingkat pohon sebesar 0,28. Nilai indeks kesamaan komunitas untuk tingkat semai adalah 0,23, pada tingkat pancang adalah 0,18, dan pada tingkat tiang adalah 0,12.
Jumlah jenis tumbuhan pakan di habitat kerusakan ringan adalah 21 jenis sedangkan tumbuhan pakan di habitat kerusakan sedang adalah 11 jenis. Bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang yang paling besar adalah bagian buah sebanyak 13 jenis. Pakan monyet ekor panjang pada bagian daun berjumlah 3 jenis, bagian tunas berjumlah 2 jenis, bagian buah dan daun berjumlah 2 jenis, bagian daun dan bunga berjumlah 1 jenis, bagian buah, bunga dan daun berjumlah 1 jenis.
Tumbuhan pakan di habitat kerusakan ringan pada tingkat semai didominasi oleh kaliandra (INP= 68,05%), tingkat pancang oleh kaliandra (INP= 42,73%), tingkat tiang oleh belimbing kosek (INP= 85,97%), dan tingkat pohon oleh puspa (INP= 52,42%). Tumbuhan pakan di habitat kerusakan sedang pada tingkat semai didominasi oleh akasia dekuren (INP= 77,66%), tingkat pancang oleh akasia dekuren (INP= 139,08%), tingkat tiang oleh puspa (INP= 216,39%), dan tingkat pohon oleh pinus (INP= 181,79%).
panjang di TNGM mempunyai hubungan dengan jumlah jenis vegetasi, jumlah jenis pakan, kerapatan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, dan tingkat pohon. Keberadaan monyet ekor panjang juga mempunyai hubungan dengan ketinggian tempat, jarak ke pertanian, jarak ke sumber air, suhu, dan kelembaban. Faktor dominan yang tidak mempunyai hubungan dengan keberadaaan monyet ekor panjang adalah kerapatan vegetasi pada tingkat tiang.
Berdasarkan hasil-hasil di atas maka: (1) sebaran monyet ekor panjang di TN Gunung Merapi terdapat di Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo, dan Resort Selo; (2) karakteristik habitat kerusakan ringan didominasi oleh kaliandra (Calliandra calothyrsus) pada tingkat semai dan pancang, bambu petung (Dendrocalamus asper) pada tingkat tiang dan puspa (Schima wallichii) pada tingkat pohon, sedangkan untuk habitat kerusakan sedang pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh akasia dekuren (Acacia decurens), tingkat tiang oleh puspa (Schima wallichii), dan tingkat pohon oleh pinus (Pinus merkusii). Jumlah jenis pakan di habitat kerusakan ringan lebih banyak (21 jenis) dibandingkan jumlah jenis pakan di habitat kerusakan sedang (11 jenis); (3) faktor dominan penentu penggunaan habitat yang mempunyai hubungan dengan keberadaan monyet ekor panjang adalah ketinggian tempat, jarak ke pertanian, jarak ke sumber air, suhu, kelembaban, jumlah jenis vegetasi, jumlah jenis pakan, kerapatan vegetasi tingkat semai, tingkat pancang, dan tingkat pohon.
Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan rehabilitasi dengan penanaman jenis-jenis tanaman yang menjadi pakan monyet ekor panjang. Perlu dilakukan penjarangan terhadap akasia dekuren dan kaliandra agar jenis tumbuhan asli TNGM mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang, selain itu perlu juga dilakukan pengkayaan jenis untuk kawasan yang dulunya berupa hutan produksi dengan jenis-jenis asli TNGM seperti dadap (Erythrina lythosperma), puspa (Schima wallichii), manisrejo (Vaccinium varingiaefolium) dan anggrung (Trema orientalis).
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
MONYET EKOR PANJANG
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI
TRI CAHYA NUGROHO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada
Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Tri Cahya Nugroho
NRP : E.353100135
Program Mayor : Konservasi Keanekaragaman Hayati
Disetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F.
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
NIP: NIP:
rahmat dan hidayah-Nya maka tesis dengan judul “Sebaran Populasi dan Karakteristik Habitat Monyet Ekor Panjang di Taman Nasional Gunung Merapi” dapat diselesaikan. Tesis ini digunakan sebagai prasyarat dalam penyelesaian pendidikan Pascasarjana IPB.
Banyak pihak telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu dengan segala kerendahan dan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu dan Bapak atas doa, semangat dan nasehat-nasehatnya.
2. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan dan bimbingan selama dalam penyusunan tugas akhir ini.
3. Ir. Kuspriadi Sulistyo,M.P. selaku Kepala Balai TN Gunung Merapi, Mbak Ruki Umaya, Mbak Silvi, Gunawan, Bangun, Sita, Sulfi, Vita, dan para staf TN Gunung Merapi yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan.
4. Warga masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi yang telah menjadi penunjuk jalan dan pengenal jenis tumbuhan dalam pengambilan data di lapangan.
5. Keluarga Besar KKH 2010, I will miss you all.
6. Pak Sopwan, Bik Uum, Pak Udin selaku staf KKH yang senantiasa membantu dalam penyelenggaraan perkuliahan.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Oktober 2012
Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sudarto dan Ibu Yulikah. Pada tahun 1993 menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SDL Pangudi Luhur Muntilan, tahun 1996 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Muntilan. Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri I Muntilan dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Gadjah Mada. Penulis memilih jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2005.
Sejak tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja di Taman Nasional Tanjung Puting sebagai Penelaah dan Penyusun Rencana Program dan Kegiatan. Pada tahun 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementrian Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati.
(i) 2.1. Persebaran Monyet Ekor Panjang ... 6
2.2. Habitat Monyet Ekor Panjang ... 6
2.3. Teritori dan Wilayah Jelajah... 8
2.4. Pakan ... 10
2.5. Seleksi Habitat ... 11
2.6. Kerusakan Vegetasi Gunung Merapi Pasca Letusan 2010 ... 11
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah Kawasan ... 13
4.3.2. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat . 22 4.4. Analisis Data ... 25
4.4.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang ... 25
4.4.2. Karakteristik Habitat ... 25
4.4.3. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat .. 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil ... 29
5.1.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang ... 29
5.1.2. Karakteristik Habitat ... 31
5.1.3. Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat ... 36
(ii)
5.2.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang ... 38
5.2.2. Karakteristik Habitat ... 40
5.2.3. Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat ... 42
5.2.4. Implikasi Pengelolaan ... 45
VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 5.1. Simpulan ... 48
5.2. Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 49
(iii)
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Luas home range monyet ekor panjang ... 10
2. Data luas area berdasar tipe kerusakan vegetasi di TNGM ... 12
3. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng tempat di TNGM (TNGM 2011) ... 16
4. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang ... 20
5. Peubah faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.. ... 22
6. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM ... 29
7. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM ... 30
8. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan di TNGM ... 32
9. Jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan sedang di TNGM ... 33
10. Jenis pakan monyet ekor panjang di TNGM... 34
11. Jumlah jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang di TNGM ... 35
12. Indeks Nilai Penting jenis pakan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan ringan ... 35
13. Indeks Nilai Penting jenis pakan tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon pada habitat kerusakan sedang... 36
14. Chi square test untuk menentukan adanya pemilihan habitat ... 37
15. Selang kelas untuk setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat .. 37
(iv)
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Kerangka pemikiran ... 5
2. Kondisi kerusakan vegetasi TNGM pasca erupsi tahun 2010 (TNGM 2011b) ... 12
3. Batas administrasi dan pemerintahan TNGM ... 14
4. Ketinggian tempat di TNGM ... 16
5. Lokasi penelitian ... 19
6. Penempatan unit contoh karakteristik habitat ... ... 21
7. Metode garis berpetak untuk pengamatan vegetasi ... 21
(v)
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Daftar jenis tumbuhan di habitat kerusakan ringan ... 53
2. Daftar jenis tumbuhan di habitat kerusakan sedang ... 56
3. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan ringan tingkat semai ... 57
4. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan ringan tingkat pancang ... 59
5. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan ringan tingkat tiang ... 63
6. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan ringan tingkat pohon ... 65
7. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan sedang tingkat semai ... 67
8. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan sedang tingkat pancang ... 68
9. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan sedang tingkat tiang ... 69
10. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Shannon-Wiener (H’) di habitat kerusakan sedang tingkat pohon ... 70
11. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di habitat kerusakan ringan TNGM ... 71
12. Jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di habitat kerusakan sedang TNGM ... 73
1.1. Latar Belakang
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan spesies primata
yang umum ditemukan di Asia Tenggara dan persebarannya meliputi Vietnam,
Indocina, Semenanjung Malaysia, Philipina dan Indonesia. Monyet ekor panjang
termasuk dalam kategori berisiko rendah (Least Concern) menurut IUCN
(International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources);
sedangkan status perdagangan menurut CITES (Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) termasuk dalam
Appendix II yang berarti perdagangannya diatur dengan kuota. Menurut Whitten
et al. (2000), monyet ekor panjang merupakan satwa liar yang memiliki sebaran
yang sangat luas karena monyet ekor panjang dapat hidup di pepohonan maupun
di atas tanah, mempunyai variasi makanan yang sangat banyak mulai dari
kepiting, rayap bahkan makanan manusia seperti roti dan kacang, mempunyai laju
reproduksi yang tinggi, dan dapat beradaptasi dengan kehadiran manusia.
Walaupun persebarannya luas, spesies ini cenderung mengalami penurunan
populasi yang cepat akibat degradasi dan hilangnya habitat, perdagangan dan
penangkapan untuk bahan penelitian, pengujian, dan pengembangan dalam
farmasi, serta konflik dengan manusia sehingga status spesies tersebut perlu dikaji
ulang (Eudey 2008).
Perubahan habitat akibat penebangan liar dan kehilangan pakan alami
merupakan isu yang muncul sebagai salah satu penyebab penurunan populasi
monyet ekor panjang di Pulau Jawa. Di sisi lain, penurunan kualitas habitat alami
bagi monyet ekor panjang mengakibatkan timbulnya gangguan berupa serangan
hama pada lahan pertanian. Bentuk-bentuk gangguan yang dilakukan oleh monyet
ekor panjang umumnya berupa pencurian bahan makanan.
Data Citra IKONOS liputan November 2010 menunjukkan bahwa erupsi
Gunung Merapi pada tahun 2010 yang telah menghancurkan ekosistem hutan
pegunungan seluas 2000-2500 ha. Kejadian ini merupakan salah satu contoh
faktor alam yang mengakibatkan perubahan habitat satwaliar, termasuk monyet
Perubahan kualitas habitat akibat erupsi Gunung Merapi menyebabkan
terjadinya perubahan penggunaan areal habitat oleh monyet ekor panjang.
Berdasarkan survei Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang
dilakukan pada tahun 2011 diketahui bahwa setelah terjadinya erupsi Gunung
Merapi, monyet ekor panjang merupakan jenis mamalia yang paling banyak
dijumpai yaitu sebesar 62,50% dari semua jenis mamalia hasil survey (TNGM
2011a).
Penelitian tentang monyet ekor panjang telah banyak dilakukan tetapi
penelitian tentang dampak erupsi gunung berapi terhadap habitat monyet ekor
panjang belum pernah dilakukan. Oleh karena itu studi tentang sebaran populasi
dan karakteristik habitat monyet ekor panjang di kawasan TNGM pasca erupsi
Gunung Merapi sangat penting untuk dilakukan.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang sebaran populasi dan karakteristik habitat monyet ekor
panjang dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Mengidentifikasi lokasi persebaran populasi monyet ekor panjang di Taman
Nasional Gunung Merapi pasca letusan Gunung Merapi tahun 2010
berdasarkan tingkat kerusakan habitat.
2. Mengidentifikasi karakteristik habitat monyet ekor panjang.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor dominan yang menentukan penggunaan
habitat oleh monyet ekor panjang.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi Balai Taman Nasional
Gunung Merapi selaku pengelola kawasan konservasi Gunung Merapi dan
pengembangan ilmu pengetahuan terutama untuk:
1. Pembinaan habitat satwaliar termasuk didalamnya monyet ekor panjang
pasca letusan Gunung Merapi tahun 2010.
2. Perancangan pengelolaan habitat satwa liar terutama untuk kelestarian
spesies dan populasi monyet ekor panjang di Taman Nasional Gunung
1.4. Perumusan Masalah
Berdasarkan informasi Balai TNGM tahun 2011 ekosistem hutan
pegunungan di kawasan TNGM dihuni oleh berbagai spesies satwaliar termasuk
monyet ekor panjang. Namun letusan Gunung Merapi pada tahun 2010
mengakibatkan terjadinya perubahan lanskap serta kerusakan habitat berbagai
jenis satwaliar tersebut. Survei yang dilakukan oleh Balai TNGM (2011b)
mengklasifikasikan tipe kerusakan yang terjadi pada ekosistem hutan pegunungan
tersebut kedalam tiga tipe, yakni: a) kerusakan ringan; vegetasi masih hidup,
relatif utuh, namun tertutup abu vulkanik, b) kerusakan sedang; vegetasi masih
tersisa namun kondisinya rusak, menyisakan tonggak-tonggak yang kering, dan c)
kerusakan berat; vegetasi rusak total dan tidak menyisakan bagian sedikitpun.
Perubahan kondisi habitat menyebabkan monyet ekor panjang yang berada dalam
kawasan Gunung Merapi mencari habitat baru untuk kemudian beradaptasi demi
kelangsungan hidupnya. Ada beberapa pertanyaan yang timbul dengan adanya
perubahan habitat monyet ekor panjang di Gunung Merapi diantaranya adalah:
1. Bagaimanakah sebaran monyet ekor panjang di TNGM setelah terjadi erupsi
Gunung Merapi?.
2. Bagaimanakah karakter habitat yang digunakan oleh monyet ekor panjang di
TNGM setelah erupsi Gunung Merapi?.
3. Faktor-faktor apa saja yang menentukan dalam penggunaan habitat oleh
monyet ekor panjang?.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan yang timbul seperti tersebut diatas
maka dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai:
1. Sebaran monyet ekor panjang pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
2. Karateristik habitat yang digunakan oleh monyet ekor panjang pada setiap
tipe habitat seperti struktur vegetasi, jenis-jenis pakan, serta perbedaan tiap
tipe habitat.
3. Faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat oleh monyet ekor
panjang dan hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan
1.5. Kerangka Pemikiran
Taman Nasional Gunung Merapi sebagai salah satu kawasan konservasi di
Indonesia ditetapkan dengan fungsi perlindungan bagi flora dan fauna yang
terdapat di dalamnya. Salah satu satwaliar yang menghuni kawasan TNGM adalah
monyet ekor panjang. Dalam perkembangan kawasan TNGM mengalami
gangguan baik oleh manusia maupun alam. Gangguan yang baru saja terjadi pada
tahun 2010 adalah letusan Gunung Merapi yang mengakibatkan rusaknya habitat
yang selama ini menjadi habitat monyet ekor panjang. Kerusakan habitat akibat
erupsi Gunung Merapi telah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: a) kerusakan
ringan, b) sedang, dan c) berat (TNGM 2011b) Kerusakan yang yang terjadi
akibat erupsi Gunung Merapi secara langsung adalah matinya tumbuhan yang
menjadi habitat dan sumber pakan serta menyempitnya habitat monyet ekor
panjang karena terfragmentasi akibat tertutupnya kawasan TNGM oleh pasir dan
batu.
Perubahan habitat ini menyebabkan monyet ekor panjang berpindah dan
memilih daerah yang lebih aman untuk menyelamatkan diri dan bertahan hidup.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Alikodra (2010) bahwa satwaliar mempunyai
naluri mengetahui akan terjadinya suatu bencana alam sehingga satwaliar akan
melarikan diri mencari daerah yang aman. Perubahan habitat yang terjadi diduga
mengakibatkan monyet ekor panjang mencari habitat yang sesuai untuk
mendapatkan kebutuhan hidupnya terutama pakan seperti yang terjadi pada
spesies primata colobus (Colobus palliatus angolensis) di Kenya (Anderson etal.
2007). Selain itu perubahan habitat akibat fragmentasi diduga mempengaruhi
kelimpahan, pergerakan dan ketahanan monyet ekor panjang seperti halnya
beberapa spesies primata di Amazon Brasil (Michalski & Peres 2005)
.
Karakteristik habitat dan sebaran monyet ekor panjang pasca erupsi Gunung
Merapi perlu diketahui untuk pembinaan habitat dan sumber informasi dalam
perancangan pengelolaan habitat oleh pengelola TNGM. Pengumpulan data
sebaran dan habitat monyet ekor panjang dilakukan dengan survey lapangan
menggunakan metode garis berpetak (Indriyanto 2006), pencatatan titik kordinat
serta jumlah individu monyet ekor panjang. Kombinasi data dan informasi tentang
kontribusi terhadap rencana pengelolaan TNGM pasca erupsi Gunung Merapi
tahun 2010.
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Taman Nasional Gunung Merapi
Habitat monyet ekor panjang
Berat
Kerusakan Habitat
Ringan Letusan Merapi
Sedang
Faktor-faktor dominan yang menentukan penggunaan
habitat
Analisis Chi square
Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Merapi Sebaran monyet ekor panjang
Karakteristik habitat Survey lapangan
Perjumpaan Langsung
Perjumpaan tak
2.1. Persebaran Monyet Ekor Panjang
Monyet ekor panjang merupakan satwaliar yang dapat hidup dimana-mana,
mempunyai persebaran yang luas di Asia tenggara meliputi Myanmar, Kamboja,
Thailand, Laos, Vietnam, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia
persebarannya cukup luas meliputi Kalimantan, Sumatra, Jawa, Bali, Lombok,
Sumba, dan Flores (Supriatna 2000). Persebaran yang luas tersebut disebabkan
antara lain karena monyet ekor panjang dapat hidup di pepohonan maupun di atas
tanah, mempunyai variasi makanan yang sangat banyak mulai dari kepiting, rayap
bahkan makanan manusia seperti roti dan kacang, mempunyai laju reproduksi
yang tinggi, dan tidak takut akan kehadiran manusia (Whitten et al. 2000).
Keys et al. (2011) menyatakan bahwa beberapa lokasi persebaran monyet
ekor panjang yang pernah dijumpai di Pulau Jawa diantaranya terdapat di Gunung
Mas, CA Telaga Warna, Puncak Pass, Maribaya, Curug Omas, Cisarua, Garut,
Cimanggu, Cikakak, Kaligondang, Maja Singi, Wanagama, Tawangmangu,
Tulung Agung, Bektiharjo, Sumber Semen, Colo, Goa Kreo, Kutosari, Jati
Barang, Cirebon, Cibubur, TN Ujung Kulon, TN Gunung Halimun, CA Gunung
Simpang, TN Gunung Gede Pangrango, CA Leuweung Sancang, Gunung Slamet.
Monyet ekor panjang tersebar diantara lahan pertanian, daerah hutan dan kadang
berada di tempat tinggal manusia sehingga sering timbul konflik dengan manusia.
2.2. Habitat Monyet Ekor Panjang
Habitat adalah suatu lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup
dan berkembang biak. Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat adalah
kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiografi, vegetasi dan
kuantitasnya dan merupakan tempat hidup organisme. Menurut Djuwantoko
(1986) habitat merupakan suatu daerah yang sangat penting bagi populasi satwa
agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan
cover. Untuk dapat mengetahui bagaimana habitat dapat mempengaruhi populasi
satwa, maka harus diketahui komponen dasar habitat satwa seperti pakan,
a. Pakan
Pakan merupakan komponen habitat yang nyata merupakan sumber nutrisi
dan energi. Energi dari makanan digunakan untuk bahan bakar proses
metabolisme sedangkan nutrisi digunakan sebagai pendukung pertumbuhan dan
perbaikan tubuh (Bolen & Robinson 2003). Ketersediaan pakan berhubungan erat
dengan perubahan musim, dimana disatu musim pakan berlimpah, dimusim yang
lain sangat kekurangan (Bailey 1984). Ketersedian pakan satwa karnivora
ditentukan oleh kelimpahan dan ketersedian mangsa, sebaliknya hewan herbivora
ketersediaan pakan tergantung terhadap kelimpahan dan disribusi tumbuhan pakan
(Bailey 1984). Bagi herbivora pakan bisa menjadi faktor pembatas dalam dua hal
yaitu kurangnya jumlah pakan dan rendahnya kualitas pakan (Bolen & Robinson
2003). Tiap jenis satwa mempunyai kesukaan untuk memilih pakannya. Pakan
yang disukai merupakan pakan yang tinggi kualitasnya karena berkaitan dengan
proses reproduksi dan bertahan hidup (Bailey 1984).
b. Cover
Komponen habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca,
predator dan musuh lainnya disebut cover (Bolen & Robinson 2003). Cover
digunakan sebagai tempat untuk melarikan diri dari predator, berlindung dari
panas, hujan, angin, ataupun kehilangan panas tubuh pada malam hari.
c. Air
Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Kebanyakan satwa
mencukupi kebutuhan air dengan minum air permukaan (Bailey 1984). Kebutuhan
air bervariasi, ada yang tergantung air, ada yang tidak. Perubahan ketersediaan air
akan mengubah kondisi habitat yang secara langsung ataupun tidak
mempengaruhi kehidupan satwa.
d. Ruang
Individu-individu satwa membutuhkan variasi luasan ruang untuk
mendapatkan cukup pakan, pelindung, air dan tempat untuk kawin. Luasan ruang
populasi tergantung besarnya satwa, semakin besar ruang yang dibutuhkan, jenis
pakan, produktivitas dan keragaman habitat.
Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe vegetasi
karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek
vegetasi (Dasmann 1981). Bailey (1984) menyatakan bahwa tipe habitat dicirikan
oleh vegetasi utama (primarily vegetation) yang merupakan faktor kesejahteraan
satwa. Vegetasi diartikan sebagai kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri
atas beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Di dalam habitat
terdapat interaksi yang erat baik antara individu-individu penyusun vegetasi itu
sendiri maupun dengan satwa yang hidup bersamanya sehingga merupakan suatu
ekosistem hidup yang dinamis (Djuwantoko 1986).
Habitat klasik monyet ekor panjang adalah hutan mangrove, tetapi dapat
juga dijumpai dalam hutan primer dan sekunder sampai ketinggian 2000 m dpl.
Monyet ini sangat tertarik dengan daerah pemukiman karena mereka beradaptasi
dengan manusia. Di daerah pemukiman mereka mencari makan dengan
mendatangi tempat-tempat sampah. Di Lopburi Thailand, sekelompok monyet
yang jumlahnya cukup besar hidup di pelataran candi. Mereka diberi makan oleh
biarawan, orang-orang setempat dan wisatawan (Lekagul & McNeely 1977).
Menurut Galdikas (1978), monyet ekor panjang biasanya terdapat di
sepanjang sungai-sungai dan rawa-rawa yang langsung berbatasan dengan sungai
serta hutan-hutan tanah kering. Di beberapa hutan monyet ekor panjang lebih
banyak ditemukan di hutan-hutan sekunder, dan di kawasan hutan yang
berbatasan dengan tempat pemukiman (Soutwick & Cadigan 1972).
2.3. Teritori dan Wilayah Jelajah
Menurut Bolen & Robinson (2003) yang dimaksud teritori adalah daerah
yang ditempati satwa dan dipertahankan dari satwa lainnya dan biasanya
merupakan bagian dari unit yang lebih luas yang disebut home range. Bentuk
teritori satwa bervariasi tergantung dari tujuan penggunaannya. Delany & Whitten
(1982), diacu dalam Alikodra (2002) menjelaskan bahwa daerah tempat satwa
membuat sarang, tempat tidur, tempat istirahat dan mencari pakan disebut daerah
meter persegi sampai beberapa km persegi. Luas teritori juga dipengaruhi oleh
jenis satwa dan keadaannya (Bolen & Robinson 2003).
Teritori merupakan salah satu kunci status kekeluargaan sehingga
pertahanan terhadap teritori sangat penting karena teritori dapat menyediakan
tempat berbiak, perawatan anak, tempat pemeliharaan satwa muda, cadangan
pakan, tempat bertahan dan berlindung dari predator (Bailey 1984). Satwa akan
berjuang keras untuk mempertahankan daerah kekuasaan yang terbaik, jika seekor
saingan masuk ke daerahnya satwa tersebut dihalau keluar teritori (Bolen &
Robinson 2003). Hal ini disebabkan terbatasnya wilayah dan pakan yang tersedia
sehingga satwa tersebut harus mampu mempertahankan daerahnya agar tetap
hidup. Tuntutan daerah teritori jelas nampak pada monyet ekor panjang dan dalam
mempertahankan daerah tersebut menjadi tugas monyet jantan dewasa, salah satu
cara mempertahankan adalah dengan mengeluarkan suara keras serta
membesarkan diri agar nampak menakutkan dengan mengembangkan bulu-bulu
pada daerah tertentu (Napier & Napier 1985).
Suatu daerah tertentu dimana satwa melakukan pergerakan normal dan
kegiatan hidupnya disebut wilayah jelajah atau home range (Bailey 1984).
Perbedaan home range dengan teritori adalah bahwa teritori dipertahankan dari
satwa lain tetapi tidak demikian dengan home range bahkan antar satwa liar dapat
berbagi area home range (Bolen & Robinson 2003). Apabila home range-nya
telah dikenal dengan baik oleh individu yang tinggal didalamnya, maka individu
tersebut akan mampu mendapatkan makanan dan menjauhi pemangsa yang berada
dalam area tersebut (Napier & Napier 1985). Home range luasannya bervariasi
tergantung jenis satwa (Sanderson 1966). Pada umumnya karnivora mempunyai
home range yang lebih lebih luas dari herbivora jika keduanya mempunyai ukuran
tubuh yang sama begitu pula home range satwa jantan biasanya lebih luas
dibandingkan satwa betina pada spesies yang sama (Bailey 1984).
Home range untuk daerah yang kering seperti daerah gurun mempunyai
ukuran yang besar sedangkan untuk daerah hutan tropis mempunyai ukuran yang
kecil. Perbedaan ukuran luas tersebut dikarenakan hutan tropis kaya akan jenis
pakan dan berbentuk seperti ruang tiga dimensi dimana pohon di hutan topis dapat
dan horisontal (Napier & Napier 1985). Home range monyet ekor panjang di
beberapa tipe habitat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas home range monyet ekor panjang
Daerah Home range (ha) Sumber
CA Pangandaran 23,20 Mukhtar (1982)
Hutan Jati Pasar Sore Cepu 46,50 – 89,20 Djuwantoko et al. (1993)
CA Pangandaran 13,06 Hendratmoko (2009)
2.4. Pakan
Secara umum, primata dapat dibedakan berdasarkan jenis pakannya
kedalam frugivorous, folivorous dan insectivorous (Clutton-Brock & Harvey
1977). Pemilihan buah-buahan sebagai pakan mungkin berkaitan dengan tingkat
kemasakannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi, ukuran butiran dan
penyebarannya (Ungar 1995, Peres 1996). Pakan monyet ekor panjang terdiri dari
buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska
(Lekagul & McNeely 1977). Lucas & Corlett (1998) menyatakan bahwa daun
yang umum dimakan oleh monyet ekor panjang di Suaka Alam Bukit Timah
Singapura adalah Moraceae (Artocarpus elastica Reinw, Ficus spp, dan Streblus
elongatus Miq), Anacardiaceae [Gluta wallichii (Hook.f) Dip Hou], Polygalaceae
(Xantophyllum maingayi Hook), Rubiaceae (Urophyllum spp.) dan
Symplococaceae (Symplocos fasciculate Zoll).
Jenis tumbuhan yang tergolong sering dimakan oleh monyet ekor panjang di
Pulau Tinjil adalah peuris (Antidesma montanum Blume), songgom (Melanorhoea
wallichii Hook.f), butun [Barringtonia asiatica (L.) Kurz], waru (Hibiscus
tiliaceus L), jambu klampok (Eugenia cymosa Lamarck), ketapang (Terminalia
catapa L), kiampelas (Ficus ampelas Burm), kopeng (Ficus variegata Blume) dan
kiara (Ficus glomerata Roxb). Dari jenis-jenis tersebut tumbuhan yang paling
disukai adalah butun (Santoso 1996).
Menurut Yeager (1996), urutan bagian tumbuhan yang paling banyak
dimakan berturut-turut adalah buah, daun, bunga, serangga dan kulit. Hadi et al.
(2007) menyatakan bahwa jenis buah yang paling disukai oleh monyet ekor
bulu (Ficus virens Aiton). Menurut Hadinoto (1993), kebutuhan pakan monyet
ekor panjang setiap ekor perhari sebanyak 4% dari bobot tubuhnya, serta
memerlukan air untuk minum sebanyak 1 liter per ekor setiap harinya.
2.5. Seleksi Habitat
Seleksi merupakan proses satwa memilih komponen-komponen habitat yang
digunakan (Johnson 1980). Pemilihan habitat yang sesuai merupakan suatu tindakan
yang dilakukan satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang
menguntungkan bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Bolen &
Robinson 2003). Satwa memilih habitat melalui sebuah hierarki keruangan, yaitu
seleksi pada skala jelajah geografis, seleksi pada skala melakukan aktivitasnya
(dalam home range), seleksi pada komponen tertentu dalam wilayah jelajah satwa,
serta seleksi pada saat satwa memilih bagaimana mereka akan memperoleh
sumberdaya dan lokasi mikro-nya (Johnson 1980, Hutto 1985).
Seleksi terhadap suatu tipe habitat terkait erat dengan sumberdaya yang
tersedia di dalamnya. Manly et al. (2002) menyatakan bahwa seleksi sumberdaya
merupakan suatu kesatuan konsep untuk menjelasan pemilihan terhadap beberapa
tipe habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai
habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Adapun
pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketersediaan
mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator (Morris 1987).
2.6. Kerusakan Vegetasi Gunung Merapi Pasca Letusan 2010
Berdasarkan survei kondisi lahan dan pengukuran pemetaan lokasi restorasi
yang dilakukan oleh TN Gunung Merapi pada tahun 2011 kerusakan yang terjadi
paling luas pada kerusakan ringan (41,40%) dan paling sedikit pada kerusakan
sedang (19,66%). Kerusakan vegetasi yang terjadi akibat letusan Gunung Merapi
Berdasarkan survei tersebut dengan menggunakan citra satelit ASTER
perekaman pasca letusan Gunung Merapi dan setelah dilakukan pemeriksaan
lapangan dapat diketahui bahwa tidak seluruh kawasan TNGM terkena dampak
erupsi merapi dan diperoleh informasi bahwa dari luas total (6.410,00 ha)
kawasan TNGM yang mengalami rusak berat adalah seluas 1.242,16 ha atau
20,21% (Tabel 2).
Tabel 2. Data luas area berdasar tipe kerusakan vegetasi di TNGM
Klasifikasi Kerusakan Luas (ha) Persentase (%)
Kerusakan ringan 2.543,94 41,40
Kerusakan sedang 1.207,91 19,66
Kerusakan berat 1.242,16 20,21
Medan lava dan lahar 1.151,46 18,74
Total 6.410,00 100,00
3.1.Sejarah Kawasan
Gunung Merapi terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), termasuk gunung api yang paling aktif di dunia.
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan gabungan dari Taman
Wisata Alam, Cagar Alam, dan Hutan Lindung. Sejarah kawasan TN Gunung
Merapi sebelum ditunjuk menjadi Taman Nasional adalah sebagai berikut:
1). Kawasan hutan Gunung Merapi seluas 6.472,10 ha ditetapkan sebagai
kawasan hutan dengan fungsi lindung sejak jaman Pemerintahan Belanda.
Penetapan tersebut didasarkan atas Gouvernements Besluit Nomor: 4197/b
tanggal 4 Mei 1931. Berdasarkan administrasi pemerintahan RI maka areal
seluas 228,50 ha dari seluruh kawasan fungsi lindung termasuk dalam wilayah
Provinsi DIY. Daerah tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting, tidak
hanya dari segi fungsi hidroorologis, tetapi juga dari segi botanis-historis dan
estetika.
2). Berdasarkan fungsi tersebut diatas Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan
Nomor: 347/Kpts/Um/8/1975 tanggal 20 Agustus 1975 menetapkan sebagian
hutan lindung Gunung Merapi yang terletak di Kaliurang DIY seluas 198,50
ha sebagai Cagar Alam Plawangan Turgo, dan seluas 30 ha sebagai Taman
Wisata Alam Plawangan Turgo.
3). Pada tahun 1975 melalui Surat Keputusan Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor: 6/1975 tanggal 16 Februari 1975 menetapkan Dusun
Kumpulrejo dan Patuk Kalurahan Girikerto Kecamatan Turi Kabupaten
Sleman sebagai daerah tertutup dan terlarang, baik sebagai sumber mata
pencaharian maupun sebagai tempat kediaman.
4). Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
155/KPts-II/1984 tanggal 4 Agustus 1984 memperluas wilayah Taman Wisata
5). Selanjutnya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
758/Kpts-II/1989 tanggal 16 Desember 1989, kawasan Plawangan Turgo seluas 282,25
ha ditetapkan sebagai Cagar Alam dan Taman Wisata Alam
6). Pemerintah Provinsi DIY melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor: 5/2000
tanggal 20 Januari 2000 menetapkan daerah yang dulunya merupakan Dusun
Kumpulrejo dan Dusun Patuk seluas 233,48 ha, pengelolaan dan
penggunaannya diserahkan kepada Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
dan Perkebunan DIY untuk dijadikan hutan lindung.
7). Dusun Kumpulrejo dan Dusun Patuk oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan
melalui Surat Keputusan Menteri Nomor: 201/Kpts-II/2000 tanggal 12 Juli
2000 ditetapkan sebagai hutan dengan fungsi hutan lindung.
Kawasan Gunung Merapi kemudian ditunjuk menjadi Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM) berdasarkan SK Menhut Nomor: 134/Kpts-II/2004
tanggal 4 Mei 2004 yang berisi tentang penunjukan kawasan Gunung Merapi
menjadi Taman Nasional dan perubahan luas kawasan TNGM menjadi 6.410 ha.
Luas kawasan TNGM tersebut terbagi menjadi dua yaitu 1.283,99 ha di DIY dan
5.126,01 ha di Jateng. Batas administrasi pemerintahan disajikan pada Gambar 3.
3.2. Letak dan Luas
Kawasan TNGM merupakan bagian dari kawasan Gunung Merapi.
Kawasan TNGM terletak di tengah pulau, sebagian berada dalam wilayah
administratif Provinsi DIY dan sebagian lagi berada dalam wilayah administratif
Provinsi Jawa Tengah dengan luas total 6.410,00 ha (1.283,99 ha di DIY dan
5.126,01 ha di Jawa tengah). Secara fisik batas-batas kawasan Gunung Merapi
adalah sebagai berikut:
1). Bagian utara dilingkupi oleh pegunungan yang merupakan pertemuan antara
Gunung Merbabu dan Gunung Merapi sendiri. Batas alam ini dibentuk dari
hulu Sungai Pepe di wilayah timur dan hulu Sungai Pabelan di wilayah barat.
Secara adminitratif masuk dalam Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.
2). Kaki gunung bagian timur dan selatan merupakan wilayah yang datar yang
dan merupakan persawahan dengan kesuburan tanah yang tinggi. Bagian timur
ini membentang sampai bertemu dengan Sungai Bengawan Solo dan bagian
selatan bertemu dengan hulu Sungai Dengkeng.
3). Hulu Sungai Progo menjadikan batas alam gunung di bagian barat.
3.3. Topografi
Secara topografi, kerucut (cone) Gunung Merapi berada pada ketinggian
berkisar antara 50-2.968 m dpl. Dalam kerucut itu, Kabupaten Magelang berada
pada ketinggian 200–1.350 m dpl, Kabupaten Sleman berada pada ketinggian
antara 100 –1.500 m dpl. Kabupaten Klaten terletak antara 50–1.000 m dpl, dan
Kabupaten Boyolali antara 400–1.500 m dpl. Ketinggian tempat di TN Gunung
Merapi adalah antara 600–2.968 m dpl seperti disajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil analisis peta kemiringan lereng yang dilakukan oleh BKSDA
DIY (2004) dapat diketahui bahwa kemiringan lereng kawasan Gunung Merapi
Gambar 4. Ketinggian tempat di TNGM
Tabel 3. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng tempat di TNGM (TNGM 2011)
Kemiringan Kabupaten Total
(ha) Sleman
(ha)
Magelang (ha)
Klaten (ha)
Boyolali (ha)
8-15% 1.623,93 2.664,89 - - 4.288,82
15-25%. - - 859,54 - 859,54
25- 40% - - - 1.467,50 1.467,50
3.4. Geologi
Kawasan Gunung Merapi terletak pada potongan antara dua sesar, yaitu
sesar transversal dan sesar longitudinal Pulau Jawa. Tubuh Gunung Merapi bagian
atas cukup dinamis. Gunung Merapi memiliki tipe batuan yang berasal dari
aktivitas gunung api. Batuan yang ada di Gunung Merapi sebagian besar adalah
piroklastik basa dengan kandungan SiO2 lebih dari 50%. Batuan utama penyusun
Gunung Merapi terdiri dari dua fase yaitu:
1. Endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang tersusun oleh tufa, lahar,
2. Endapan vulkanik kwarter tua terdapap pada topografi perbukitan kecil di
sekitar Merapi Muda sebagai bagian dari aktivitas Merapi Tua, yaitu terdapat
di Bukit Gono, Turgo, Plawangan, Maron dan dinding timur terdapat Geger
Boyo.
Berdasarkan peta tanah skala 1:250.000 tahun 2000, di wilayah Provinsi
DIY memiliki jenis tanah regosol. Tanah ini berkembang pada fisiografi berupa
lereng vulkan. Bahan induk tanah adalah material vulkanis hasil dari aktivitas
vulkanis Gunung Merapi. Tanah regosol merupakan tanah yang tergolong muda
sehingga belum mengalami perkembangan profil. Tanah ini dicirikan oleh warna
tanah kelabu sampai kehitaman dengan tekstur tanah tergolong kasar, yaitu
pasiran. Adapun struktur tanah juga belum terbentuk sehingga termasuk tekstur
granular. Jenis tanah yang dapat dijumpai di kawasan Gunung merapi adalah:
regosol, andosol, alluvial, dan litosol.
3.5. Iklim
Secara klimatologis, keberadaan kawasan TNGM masuk wilayah iklim
muson tropis, yang dicirikan dengan hujan dengan intensitas yang tinggi pada
musim hujan (November-April) yang kemudian berganti dengan bulan-bulan
kering (April-Oktober). Curah hujan bervariasi dengan curah hujan terendah
sebesar 875 mm/tahun dan curah hujan tertinggi sebesar 2.527 mm/tahun. Tipe
iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson termasuk tipe C atau agak basah.
Rata-rata curah hujan tahunan di TN Gunung Merapi untuk tiap kabupaten adalah
sebagai berikut:
1. Kabupaten Magelang : 2.252–3.627 mm/tahun
2. Kabupaten Boyolali : 1.856–3.136 mm/tahun
3. Kabupaten Klaten : 902–2.490 mm/tahun
4. Kabupaten Sleman : 1.869–2.495 mm/tahun
Variasi hujan di sepanjang lereng Gunung Merapi dipengaruhi oleh hujan
orografis. Seperti juga wilayah muson tropis lainnya, variasi suhu dan kelembaban
udara pada dasarnya tidaklah menyolok. Suhu berkisar antara 20o-33oC dan
3.6. Hidrologi
Daerah hulu ini merupakan daerah resapan air yang menjadi komponen air
tanah dan aliran dasar (base flow). Daerah Gunung Merapi bagian selatan
mempunyai kemiringan terjal hingga mendekati datar yang menyebabkan banyak
terbentuknya sungai di bagian selatan. Sungai-sungai tersebut di bagian hulu
bersifat epemeral (mengalir di musim hujan) dan memiliki kemiringan dasar yang
tinggi, tetapi sebagian juga bersifat perennial (mengalir sepanjang tahun),
walaupun di musim kemarau mengalami penurunan debit. Porositas batuan yang
besar juga mempengaruhi keringnya sungai di bagian hulu. Sumberdaya air dalam
kawasan TNGM secara wilayah hidrologis terbagi ke dalam tiga DAS yaitu: DAS
Progo (sisi barat), DAS Opak Oyo (sisi selatan), dan DAS Bengawan Solo (sisi
utara dan timur).
3.7. Flora dan Fauna
Berdasar data yang dihimpun oleh TNGM hingga tahun 2009 di kawasan
TNGM terdapat lebih kurang 57 jenis anggrek (lima di antaranya endemik Jawa),
10 jenis rumput, 93 jenis jamur, 24 jenis paku, 13 jenis bambu, hampir 100 jenis
pohon, terdapat pula jenis palm, lumut dan lainnya. Satwa liar yang ada tercatat 9
jenis mamalia yang terdiri dari mamalia besar yaitu macan tutul (Panthera pardus
melas Cuvier), babi hutan (Sus scrofa Linnaeus), rusa (Cervus timorensis
Blainville), serta mamalia lainnya seperti musang (Paradoxurus hermaphrodites
Pallas), kucing hutan (Felis sp), bajing (Lariscus insignis Cuvier). Jenis primata
seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raflles) dan lutung kelabu
(Trachypithecus auratus E.Geoffroy) serta jenis reptil seperti ular sowo (Dytas
coros), ular gadung (Trimeresurus albobabris Gray) dan bunglon (Goneochepalus
sp.). Di kawasan TNGM terdapat 159 jenis burung dan 32 di antaranya adalah
endemik Jawa, salah satunya adalah satwa terancam punah dan dilindungi serta
merupakan satwa dirgantara nasional yaitu elang jawa (Nisaetus bartelsi
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Resort Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun,
Resort Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo Taman Nasional
Gunung Merapi Kabupaten Sleman Propinsi DIY (Gambar 5). Pengambilan data
dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012 selama ± dua bulan dan analisis data
dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2012.
4.2. Bahan dan Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, binokuler, altimeter,
kompas, tally sheet, tali tambang, alat tulis, thermo-hygro meter, kamera digital,
pita ukur, Peta RBI TN Gunung Merapi. Perangkat lunak yang digunakan adalah
ArcGIS 9.3, Microsoft Word, dan Microsoft Excel dan komputer. Gambar 5. Lokasi penelitian
4.3. Metode Pengumpulan Data
4.3.1. Karakteristik Habitat
Pengumpulan data untuk mengetahui informasi sebaran dan karakteristik
habitat monyet ekor panjang dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan.
Pengamatan langsung ini dilakukan guna memperoleh data dan informasi tentang
keberadaan, komponen fisik, dan biotik habitat monyet ekor panjang.
Penentuan jumlah unit contoh dilakukan dengan metode stratified sampling
with random start dengan pendekatan metode alokasi proporsional. Penempatan
unit contoh mewakili tipe-tipe kerusakan yang terjadi pasca erupsi Gunung
Merapi tahun 2010 yaitu pada areal tipe kerusakan vegetasi ringan dan tipe
kerusakan vegetasi sedang dengan luas 3.751,85 ha. Pada tipe kerusakan vegetasi
berat tidak dilakukan pengamatan karena tidak terdapat vegetasi yang tersisa. Unit
contoh pengamatan karakteristik habitat yang digunakan berukuran 500 m x 20 m.
Intensitas sampling yang digunakan sebesar 1% sehingga total unit contoh
pengamatan sebanyak 38. Pengamatan dilakukan pada lima resort yaitu Resort
Turi-Cangkringan-Pakem, Resort Dukun, Resort Kemalang, Resort
Musuk-Cepogo dan Resort Selo. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat
monyet ekor panjang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran unit contoh pengamatan karakteristik habitat monyet ekor panjang
Resort Jumlah jalur pada tipe kerusakan Jumlah
Ringan Sedang
Turi-Cangkringan-Pakem 10 3 13
Kemalang 7 1 8
Musuk-Cepogo 3 0 3
Selo 3 1 4
Dukun 3 7 10
Jumlah 26 12 38
Penempatan unit contoh pada setiap resort mengikuti grid satwaliar yang
dibuat oleh TNGM (2010) dengan jarak antar jalur 1 km. Penempatan jalur
TN Gunung Merapi memiliki berapa tipe vegetasi yang dibedakan menurut
struktur dan komposisi vegetasi. Pengukuran dilakukan dengan metode garis
berpetak (Indriyanto 2006). Metode ini dilakukan dengan membuat petak ukur
dengan ukuran 20 m x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon (A), 10 m x 10 m untuk
tingkat tiang (B), 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (C) dan 2 m x 2 m untuk
tingkat semai (D). Ukuran unit contoh yang digunakan adalah 500 m x 20 m.
Bentuk unit contoh pengamatan vegetasi disajikan pada Gambar 7.
4.3.2. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat
Pengumpulan data faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat oleh
monyet ekor panjang dilakukan pada lokasi ditemukannya populasi monyet ekor
panjang. Pada titik ditemukannya populasi monyet ekor panjang dilakukan
pencatatan posisi GPS, jumlah individu dalam setiap kelompok, dan jumlah
kelompok monyet ekor panjang jika lebih dari satu kelompok. Selain karakteristik
umum kelompok, juga dilakukan pengamatan data karakteristik biotik dan abiotik
yang diperlukan guna menjelaskan faktor-faktor penentu sebaran monyet ekor
panjang. Data yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Peubah faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.
No Jenis Peubah Peubah Yang Diukur Notasi
1 Peubah Tak Bebas Jumlah Kehadiran Monyet ekor panjang Y1
2 Peubah Bebas Ketinggian Tempat X1
Jarak ke sumber air X2
Jarak pertanian X3
Suhu udara X4
Kelembaban udara X5
Jumlah jenis vegetasi X6
Jenis tumbuhan pakan X7
Kerapatan vegetasi X8
Pengumpulan data vegetasi dan peubah abiotik yang mempengaruhi
penggunaan habitat dilakukan dengan membuat petak ukur dengan ukuran 20 m x
20 m untuk vegetasi tingkat pohon (A), 10 m x 10 m untuk tingkat tiang (B), 5 m
x 5 m untuk tingkat pancang (C) dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai (D). Pada
setiap perjumpaan dengan monyet ekor panjang dilakukan pengukuran
karakteristik abiotik. Petak ukur dibuat sebanyak 5 buah dengan posisi
Metode pengumpulan data komponen abiotik dan vegetasi habitat monyet
ekor panjang tersebut adalah sebagai berikut:
4.3.2.1. Komponen Abiotik Habitat
Komponen fisik habitat monyet ekor panjang meliputi ketinggian tempat,
jarak ke sumber air, jarak pertanian, suhu, dan kelembaban.
a. Ketinggian tempat
Menurut Lekagul & McNeely (1977) monyet ekor panjang dapat ditemukan
di hutan primer dan sekunder sampai dengan ketinggian 2000 mdpl.
Ketinggian tempat penelitian diukur dengan menggunakan altimeter.
b. Jarak ke sumber air
Alikodra (2002) menyatakan satwaliar membutuhkan air untuk pencernaan
makanan dan metabolisme dengan kebutuhan yang berbeda untuk tiap jenis
satwaliar. Identifikasi jarak ke sumber air dilakukan dengan GPS dimana
titik koordinat ditemukan monyet ekor panjang diplotkan ke peta RBI,
kemudian dari titik tersebut ditarik garis ke titik koordinat sumber air terdekat.
Panjang garis diukur menggunakan ArcGIS 9.3.
c. Jarak pertanian
Pengukuran jarak pertanian dilakukan karena monyet ekor panjang sering
ditemukan disekitar daerah pertanian dan habitat tepi (edge) dibandingkan
didalam hutan (Lekagul & McNeely 1977). Pengukuran jarak keberadaan
monyet ekor panjang ke pertanian dilakukan dengan memasukan titik
koordinat GPS lokasi ditemukan monyet ekor panjang ke dalam Peta RBI
kemudian ditarik garis ke titik koordinat lahan pertanian terdekat. Panjang
garis diukur menggunakan ArcGIS 9.3.
d. Suhu dan kelembaban udara
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan
thermo-hygrometer. Pegukuran dilakukan sekali pada lokasi dan saat monyet
ekor panjang ditemukan. Pengukuran ini dilakukan karena berdasarkan
penelitian Santoso (1996) suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap
perilaku harian monyet ekor panjang.
4.3.2.2. Komponen Vegetasi
Pengamatan dilakukan disetiap titik perjumpaan monyet ekor panjang.
Metode yang digunakan dalam pengamatan komponen vegetasi adalah seperti
disajikan pada Gambar 7. Komponen yang diukur adalah sebagai berikut:
a. Jumlah jenis vegetasi
Vegetasi di lokasi ditemukannya monyet ekor panjang dicatat jenis dan
jumlahnya. Hasanbasri et al. (1996) menyebutkan bahwa potensi pakan
monyet ekor panjang ada dalam setiap tingkatan vegetasi baik pohon, tiang,
b. Jenis tumbuhan pakan
Tumbuhan pakan yang dimakan monyet ekor panjang pada saat penelitian
dicatat jenis, jumlah dan bagian yang dimakan. Menurut Yeager (1998),
urutan bagian tumbuhan yang paling banyak dimakan berturut-turut adalah
buah, daun dan bunga.
c. Kerapatan vegetasi.
Alikodra (2002) menyebutkan bahwa struktur vegetasi hutan merupakan salah
satu bentuk pelindung baik sebagai tempat persembunyian atau penyesuaian
terhadap temperatur.
4.4. Analisis Data
4.4.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Peta
sebaran dibuat dengan memplotkan titik koordinat perjumpaan monyet ekor
panjang dengan peta kawasan TN Gunung Merapi.
4.4.2. Karakteristik Habitat
Komponen fisik habitat monyet ekor panjang yang berupa ketinggian
tempat, jarak ke sumber air dan jarak pertanian diolah dengan menggunakan
analisis spasial, kemudian ditabulasikan. Komponen fisik suhu dan kelembaban
dianalisis secara kuantitatif kemudian ditabulasikan.
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat dominansi suatu jenis
tumbuhan yang menempati suatu daerah. Data lapangan hasil plot pengamatan
dianalisis untuk mengetahui jenis tumbuhan yang dominan yang dilakukan
dengan menghitung nilai penting (NP). Nilai penting suatu jenis tumbuhan dalam
suatu areal sama dengan jumlah nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan
dominansi relatif. Menurut Soerianegara & Indrawan (1998) nilai kerapatan
relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Kerapatan Relatif (KR)= Kerapatan suatu jenis
Kerapatan seluruh jenisx 100%
Frekuensi (F)= Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh
Frekuensi Relatif (FR)= Frekuensi suatu jenis
Frekuensi seluruh jenisx100%
Dominansi suatu jenis (D)=Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh
Luas bidang dasar suatu jenis =¼ D 2
Keterangan:
D = Diameter setinggi dada
Dominansi Relatif= Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis x 100%
Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat tiang dan pohon = KR +FR + DR,
sedangkan untuk tingkat semai dan pancang INP = KR + FR. Analisis untuk
mengetahui tingkat keanekaragaman tumbuhan pada setiap tipe habitat
menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dengan persamaan
sebagai berikut (Ludwig & Reynolds 1988):
H'= - (Piln Pi s
i=1
)
Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus:
Pi=
banyaknya individu spesies ke-i total individu dari seluruh spesies
Indeks kesamaan Jaccard ( ) digunakan untuk menganalisis tingkat
kesamaan komunitas antar tipe habitat. Tingkat kesamaan komunitas semakin
besar jika nilai indeks Jaccard semakin besar. Indeks kesamaan Jaccard dihitung
Cj= c
(a+b-c)
Keterangan:
c = Jumlah sepesies yang di temukan di kedua habitat a = jumlah spesies yang ditemukan di habitat A b = Jumlah spesies yang ditemukan di habitat B
4.4.3. Identifikasi Faktor Dominan Penentu Penggunaan Habitat
Pemilihan habitat oleh monyet ekor panjang diketahui dengan
membandingkan luas tipe habitat dengan intensitas penggunaannya. Satwaliar
didefinisikan mempunyai sifat selektif jika memanfaatkan habitat dengan tingkat
yang tidak proporsional dengan ketersediannya. Habitat dibedakan menjadi dua
yaitu tipe habitat kerusakan vegetasi ringan dan tipe habitat kerusakan vegetasi
sedang. Pengujian dilakukan dengan Chi Square Test untuk membandingkan
frekuensi hasil observasi (observed) kehadiran satwaliar dengan dengan frekuensi
yang diharapkan (expected). Frekuensi hasil observasi merupakan nilai proporsi
antara used plot pada tiap tipe habitat dengan total used plot. Frekuensi yang
diharapkan merupakan nilai perkalian proporsi area (availability) tiap-tiap tipe
habitat dengan jumlah total used plot. Availability merupakan proporsi area
masing-masing tipe habitat yang tersedia bagi monyet ekor panjang.
Hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor dominan
penentu penggunaan habitat diuji dengan menggunakan Chi Square Test. Dalam
pengujian ini setiap faktor dominan penentu penggunaan habitat dibagi dalam
beberapa kelas. Frekuensi hasil observasi (observed) merupakan jumlah individu
monyet ekor panjang yang dijumpai pada setiap kelas. Frekuensi yang diharapkan
(expected) untuk setiap kelas dianggap sama. Selang kelas untuk setiap faktor
dominan penentu penggunaan habitat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
L=R K
Keterangan: L = Selang kelas
R = Selisih antara nilai maksimum dengan minimum faktor dominan penentu penggunaan habitat
Chi Square Test untuk menguji adanya pemilihan habitat dan hubungan antara
keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu
pengggunaan habitat dirumuskan sebagai berikut (Johnson & Bhattacharyya
1987):
²= (Oi-Ei)² Ei
Keterangan:
² = Chi Square hasil perhitungan
Oi= Frekuensi hasil observasi (observed) Ei= Frekuensi yang diharapkan (expected)
Hipotesis yang dibangun untuk menguji ada tidaknya pemilihan habitat oleh
monyet ekor panjang adalah:
Ho : Habitat dipilih secara acak. Hi : Habitat dipilih secara tidak acak.
Hipotesis yang dibangun untuk menguji hubungan antara keberadaan
monyet dengan faktor dominan penentu penggunaan habitat adalah:
Ho : Tidak ada hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat
Hi : Ada hubungan antara keberadaan monyet ekor panjang dengan faktor-faktor dominan penentu penggunaan habitat.
Keputusan diambil jika nilai ² hitung ²(0,05,n-1) , maka terima H0 (tolak H1)
5.1. Hasil
5.1.1. Sebaran Monyet Ekor Panjang
Monyet ekor panjang yang dijumpai selama pengamatan baik secara
langsung maupun tidak langsung terdapat dalam 10 lokasi. Lokasi penyebarannya
meliputi lima resort yaitu Resort Turi Cangkringan Pakem, Resort Dukun, Resort
Kemalang, Resort Musuk-Cepogo dan Resort Selo (Tabel 6).
Tabel 6. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM
Desa Resort Kordinat
X Y
Purwobinangun Turi Cangkringan Pakem 437.317 9.160.869 Purwobinangun Turi Cangkringan Pakem 436.712 9.162.067
Ngargomulyo Dukun 430.913 9.163.602
Ngargomulyo Dukun 431.494 9.164.153
Ngargomulyo Dukun 432.461 9.165.667
Tegalmulyo Kemalang 441.281 9.162.422
Tegalmulyo Kemalang 442.388 9.164.089
Mriyan Musuk-Cepogo 442.457 9.165.936
Mriyan Musuk-Cepogo 441.791 9.166.086
Suroteleng Selo 441.848 9.168.476
Monyet ekor panjang yang dijumpai secara langsung berada di semua resort
dengan jumlah kelompok bervariasi seperti disajikan pada Tabel 7. Jumlah
anggota kelompok yang paling besar ditemukan dalam pengamatan berada di
Resort Kemalang dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 26 ekor, sedangkan
jumlah anggota kelompok yang paling kecil ditemukan di Resort Dukun sebanyak
5 ekor. Perjumpaan tidak langsung ditentukan dengan indikator bekas pakan
monyet ekor panjang yang berupa patahan daun dan bunga serta sisa buah pakan.
Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang didalam jalur pengamatan sebanyak 5
kali dengan perjumpaan langsung 2 kali dan perjumpaan tidak langsung 3 kali.
Perjumpaan langsung monyet ekor panjang selama pengamatan sebanyak 7 kali
dimana perjumpaan langsung diluar kawasan TNGM sebanyak 2 perjumpaan
Tabel 7. Jumlah perjumpaan monyet ekor panjang di TNGM
No Resort frekuensi Jumlah individu
A Perjumpaan Langsung
1 Turcangkem 1 22
2 Dukun 2 12
3 Kemalang 2 46
4 Musuk-Cepogo 1 7
5 Selo 1 9
B Perjumpaan Tidak Langsung
1 Turcangkem 1 -
2 Dukun 1 -
3 Musuk-Cepogo 1 -
Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang berdasarkan tipe kerusakan habitat
hanya terdapat 1 kelompok yang ditemukan di habitat kerusakan sedang yaitu di
Resort Dukun, sedangkan untuk habitat kerusakan ringan ditemukan 4 kelompok.
Lokasi penyebaran monyet ekor panjang di TNGM disajikan pada Gambar 9.
5.1.2. Karakteristik Habitat
1). Vegetasi
a). Habitat Kerusakan Ringan
Kerusakan habitat yang terjadi akibat erupsi Gunung Merapi pada tahun
2010 telah diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu kerusakan ringan, sedang dan
berat. Lokasi penelitian adalah habitat tipe kerusakan ringan dan kerusakan
sedang. Hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian menemukan 85
jenis tumbuhan yang tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis yang paling banyak
ditemui adalah pada famili Euphorbiaceae dan Moraceae dengan masing-masing
famili 9 jenis tumbuhan. Jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat semai adalah
47 jenis, tingkat pancang adalah 72 jenis, tingkat tiang adalah 43 jenis, dan pada
tingkat pohon sebanyak 40 jenis.
Jenis tumbuhan yang ditemukan dalam habitat kerusakan ringan adalah
sebanyak 82 jenis dengan jumlah famili 32. Famili dengan jumlah jenis tumbuhan
yang paling banyak adalah famili Euphorbiaceae dengan 9 jenis tumbuhan.
Jumlah jenis tumbuhan untuk tingkat semai adalah 46 jenis, tingkat pancang
adalah 70 jenis, tingkat tiang adalah 40 jenis dan tingkat pohon sebanyak 39 jenis.
Jenis tumbuhan habitat kerusakan ringan secara lengkap disajikan pada Lampiran
1.
Hasil analisis yang dilakukan pada habitat kerusakan ringan menunjukan
bahwa tingkat pancang memiliki keanekaragaman tertinggi dan paling rendah
adalah tingkat tiang. Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk tingkat
semai adalah 2,33, tingkat pancang adalah 2,59, tingkat tiang adalah 2,20 dan
tingkat pohon adalah 2,47. Nilai indeks tersebut menunjukan bahwa tingkat
keanekaragaman jenis pada setiap tingkatan vegetasi tergolong dalam kategori
sedang.
Berdasarkan hasil analisis pada habitat kerusakan ringan dapat diketahui
bahwa kerapatan tertinggi pada tingkat semai adalah jenis kaliandra (Calliandra
calothyrsus) sebanyak 1.564 ind/ha, kerapatan tertinggi pada tingkat pancang