• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Demografi

5.1.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok

Pengamatan kelompok monyet ekor panjang di HPGW dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari. Ukuran kelompok terbanyak ditemukan pada sore hari pada saat monyet ekor panjang mulai berkelompok dan bergerak menuju lokasi dimana terdapat pohon tidurnya. Hal ini sependapat dengan Lindburg (1980), metode yang lebih akurat untuk menghitung individu monyet ekor panjang dalam sebuah kelompok adalah dengan cara menghitung ketika satwa tersebut sedang memanjat pohon yang menjadi tempat tidurnya di sore hari tetapi berbeda halnya dengan Priyono (1998) yang menyatakan bahwa pada sore hari diduga individu dalam kelompok belum berkumpul secara utuh dan jarak antar individu anggota kelompok relatif lebih jauh dibandingkan pada pagi hari.

Tiga puluh tahun pasca introduksi ditemukan empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Empat kelompok tersebut terdiri sebagai berikut : kelompok pertama adalah Kelompok A yaitu kelompok monyet ekor panjang yang menempati habitat di sekitar Stasiun Relay TVRI Gunung Walat. Kelompok kedua adalah Kelompok B yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar belakang camp atau komplek bangunan utama di HPGW. Kelompok ketiga yaitu Kelompok C yaitu kelompok yang menempati habitat di sekitar rumah air atau bak penampungan utama air bagi keperluan kegiatan di basecamp HPGW. Kelompok keempat adalah Kelompok D yaitu kelompok yang menempati habitat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran Kelompok Komposisi Kelompok Bayi Anak JM BM JD BD A 30 2 7 3 3 6 9 B 23 2 5 2 3 4 7 C 24 2 2 4 9 3 4 D 31 6 6 2 3 2 12

Keterangan : JM=Jantan Muda, BM=Betina Muda, JD=Jantan Dewasa dan BD=Betina Dewasa.

(2)

Semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki kekerabatan yang sangat dekat dikarenakanan memiliki tetua yang sama. Kelompok A diduga adalah awal dari semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Berdasarkan informasi dari mantan pengelola HPGW (Bapak Yoyok Ontaryo) bahwa lokasi introduksi monyet ekor panjang adalah di sekitar base camp HPGW. Alasan dipilihnya lokasi ini bahwa pada saat itu tanaman lebih banyak tumbuh di sekitar base camp. Setelah dilepaskan monyet ekor panjang bergerak ke arah bukit kabayan dimana terdapat sumber air dan banyak ditemukan pohon tangkalak (Bellucia axinanthera). Lokasi ini berada ditengah-tengah HPGW dan sering disebut Blok Tangkalak (Blok Tengah). Bukit ini sangat dekat lokasinya dengan Stasiun Relay TVRI Gunung Walat.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda-beda, ukuran kelompok tertinggi terdapat pada kelompok D yaitu 31 individu dan terendah terdapat pada kelompok B yaitu 23 individu. Ukuran kelompok monyet ekor panjang tergantung pada habitat yang ditempatinya. Hal ini sependapat dengan Bismark (1986) bahwa pembentukan dan besarnya kelompok bervariasi menurut tipe habitat. Selanjutnya menurut Bismark (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran kelompok adalah kelahiran, kematian, emigrasi, imigrasi, cara menghadapi kelompok lain dan cara menghadapi pembentukan kelompok.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di Cagar Alam Pangandaran yaitu 16 – 44 individu per kelompok (Hendratmoko 2009), berbeda jauh dengan kelompok monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta yaitu 48 – 68 per kelompok dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta yaitu 20 – 45 ekor per kelompok (Kusmardiatuti 2010). Ukuran kelompok monyet ekor panjang HPGW juga berbeda dengan ukuran kelompok monyet ekor panjang di hutan sekunder di sekitar bendungan Batu Tegi Lampung yaitu 34 – 47 individu per kelompok (Surya 2010).

5.1.2 Kepadatan

Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan kepadatan monyet ekor panjang di HPGW adalah 0.3 individu/Ha. Sedangkan kepadatan per habitat dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 2.

(3)

Tabel 2 Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW

Kelompok Habitat Kepadatan

(individu/Ha)

A TVRI dan sekitarnya 1,03

B Belakang base camp HPGW 1,17

C Penampungan air dan sekitarnya 0,89

D DAS sekitarnya 1,96

Kepadatan monyet ekor panjang HPGW masih lebih rendah dari kepadatan monyet ekor panjang di TWA dan CA Pangandaran 2,3 indinvidu/Ha (Mukhtar 1982), monyet ekor panjang di Pulau Tinjil 1,09 individu/Ha (Fadillah 2003), dan monyet ekor panjang di kawasan konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada 0,8 individu/Ha (Priyono 1998). Menurut Lesson et al. (2004) pada kawasan liar tanpa ada pakan tambahan daya tampung maksimum sekitar 1000 kg biomasa/Km2 atau sekitar 333 ekor/Km2 dengan rataan berat monyet 3 kg, atau sekitar 3– 4 ekor/Ha.

5.1.3 Sex rasio

Berdasarkan pengamatan, monyet ekor panjang HPGW yang diketahui jenis kelaminnya hanya pada kelas umur muda dan dewasa. Sedangkan pada kelas umur bayi dan anak tidak diketahui jenis kelaminnya.

Hasil peneltian ini menunjukan bahwa secara keseluruhan sex rasio populasi monyet ekor panjang di HPGW adalah 1 : 1,54. Sedangkan sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Jumlah Jantan Jumlah Betina Sex Rasio

A 9 12 1 : 1,33

B 6 10 1 : 1,67

C 7 13 1 : 1,86

D 4 15 1 : 3,75

Sex rasio tiap kelompok monyet ekor panjang HPGW berbeda-beda, tetapi secara umum seks rasio adalah 1 : 2. Sex rasio tertinggi terdapat pada Kelompok D adalah 1 : 4 dan sex rasio terendah terdapat pada kelompok A adalah 1 : 1. Hal ini sama dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) sex rasio monyet ekor panjang yang terdapat di SM Paliyan Yogyakarta adalah 1 : 2 dan di Hutan Kaliurang

(4)

adalah 1 : 2. Kondisi seperti ini tidak berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa sex rasio monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 1 : 2.

5.1.4 Angka Kelahiran

Monyet ekor panjang melahirkan sepanjang tahun dan tidak mengenal musim melahirkan. Angka kelahiran yang dihitung pada penelitian ini adalah angka kelahiran kasar. Pada peneltian ini angka kelahiran monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,24. Angka kelahiran tiap kelompok tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW Kelompok Bayi Betina Produktif Angka Kelahiran

A 2 12 0,16

B 2 10 0,20

C 2 13 0,15

D 6 15 0,40

Angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di HPGW berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kusmardiastuti (2010) angka kelahiran kasar monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta adalah 0,44 – 0,56 dan di Hutan Kaliurang adalah 0,43 – 0,67. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kelahiran kasar di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung adalah 0,72 – 0,77.

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran kasar (P-Value > 0,05). Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan angka kelahiran menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 1.

5.1.5 Angka Kematian

Kematian adalah kejadian alamiah dalam suatu populasi. Kematian akan menyeimbangkan populasi. Angka kematian merupakan faktor penentu kelestarian satwa liar termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Sulitnya mendapatkan angka kematian monyet ekor panjang di alam maka pendugaan angka kematian dihitung melalui pendekatan 1 - peluang hidup pada setiap kelas

(5)

umur (Kusmardiatuti 2010, Surya 2010). Asumsi yang digunakan adalah bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan kondisi populasi pada tahun sebelumnya. Angka kematian setiap kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW

Kelompok Peluang Hidup Angka Kematian Peluang Hidup Angka Kematian

Anak – Muda Muda – Dewasa

A 0,29 0,71 1,00 0

B 0,30 0,70 0,91 0,08

C 1,22 * -0,22 * 0,22 0,78

D 0,16 0,84 1,00 0

Keterangan : Tidak normal

Pada Tabel 5, peluang hidup dang angka kematian Kelompok C adalah tidak normal. Hal ini disebabkan karena asumsi bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan tahun sebelumnya tidak bisa diterapkan pada Kelompok C atau diduga terdapat kejadian alami yang menyebabkan kematian individu pada kelas umur anak lebih besar sehingga jumlah anak lebih kecil dari pada jumlah individu pada kelas umur muda.

Pada penelitian ini, secara keseluruhan angka kematian monyet ekor panjang di HPGW adalah 0,64 pada kelas umur anak – muda; 0,30 pada kelas umur muda – dewasa. Tabel 5 menunjukan bahwa angka kematian pada kelas umur anak – muda lebih besar dari pada angka kematian pada kelas umur muda – dewasa. Hasil ini berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) angka kematian monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta lebih besar terjadi pada kelas umur muda – dewasa. Berbeda juga dengan penelitian Surya (2010) bahwa angka kematian monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung lebih besar pada kelas umur muda – dewasa.

Kematian yang terjadi pada kelas umur anak diduga karena individu pada kelas umur ini peluang terjadinya kecelakaan dan peluang ditangka predator lebih besar. Hal ini sependapat dengan Priyono (1998) kematian pada bayi umumnya disebabkan oleh kecelakaan atau dimangsa oleh predator. Predator monyet ekor panjang di HPGW adalah burung elang.

(6)

5.1.6 Struktur umur

Berdasarkan pendekatan struktur umur menurut Napier & Napier (1967), menghasilkan gambaran struktur umur monyet ekor panjang di HPGW menggambarkan pola struktur umur menurun (regressive population) yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur sangat muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi seperti ini terus menerun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu (Tarumingkeng 2010).

Gambaran tersebut di atas berbeda dengan kondisi di lapangan, bahwa monyet ekor panjang di HPGW mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang biak dengan pesat. Untuk menghindari adanya gambaran struktur umur menurun (regressive population) dan menghasilkan gambaran struktur umur meningkat (progressive populations) maka kelas umur bayi dan anak di gabung. Penggabungan ini menghasilkan kelas umur yang baru yaitu anak, muda dan dewasa. Pada penelitian ini, secara keseluruhan struktur umur monyet ekor panjang pada kelas umur anak, muda dan dewasa adalah 18 : 6 : 4. Struktur umur tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW. Kelompok Ukuran kelompok

(individu)

Struktur umur Anak : Muda : Dewasa

A 30 4 : 1 : 1

B 23 3 :1 : 1

C 24 2 : 3 : 1

D 31 6 : 1 : 1

Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar termasuk monyet ekor panjang, sehingga dapat juga digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Menurut Tarumingkeng (1994) terdapat tiga pola struktur umur yaitu struktur umur menurun, struktur umur stabil dan struktur umur meningkat. Berdasarkan Tabel 4, struktur umur monyet ekor panjang di HPGW termasuk dalam pola struktur umur meningkat atau populasi berkembang (progressive populations) dimana kelas umur anak lebih tinggi daripada kelas umur lainnya.

(7)

Tabel 4 menunjukan bahwa secara keseluruhan semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki struktur umur meningkat (progressive populations) kecuali kelompok C. Hal ini menggambarkan bahwa kelompok monyet ekor panjang yang ada di HPGW akan terus berkembang dan lestari karena jumlah anak lebih besar dibanding dewasa. Dengan kondisi demikian maka regenerasi satwa ini akan berlangsung dengan baik di masa yang akan datang.

Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) bahwa struktur umur monyet ekor panjang di SM Paliyan dan Hutan Kaliurang Yogyakarta memiliki struktur umur meningkat (progressive populations). Kondisi seperti ini juga tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) bahwa struktur monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung memiliki struktur umur meningkat (progressive populations).

5.2 Wilayah Jelajah

Empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki wilayah jelajah yang berbeda-beda. Dua kelompok memilik wilayah jelajah yang tumpang tindih (Kelompok B dan C) dan dua kelompok lainnya memiliki wilayah jelajah yang terpisah (Kelompok A dan D).

Berdasarkan hasil pengamatan monyet ekor panjang di HPGW lebih banyak memanfaatkan vegetasi tingkat pohon dalam pergerakannya. Berbeda dengan Santosa (1996) yang menyatakan bahwa ,monyet ekor panjang di Pulau Tinjil lebih menyukai vegetasi tingkat pancang. Hal ini diduga karena sumber makanan seperti buah-buah lebih banyak tersedia pada tingkat pohon.

Kelompok A

Selama empat hari pengamatan Kelompok A memiliki luas wilayah jelajah harian yang berbeda-beda. Luas wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7 sedangkan bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah harian dapat dilihat pada Gambar 4.

(8)

Gambar 4 Wilayah jelajah harian Kelompok A

Pada hari pertama dalam pergerakannya Kelompok A hanya memanfaatkan 2 jenis tumbuhan yaitu pinus sebesar 97 % dan kayu afrika 3 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, potensi ketersediaan sumber daya pada wilayah jelajah hari pertama seluas 6,17 Ha adalah pinus sebanyak 1.080 pohon dan kayu afrika sebanyak 142 pohon.

Hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 6,77 Ha. Jenis pohon yang digunakan yang digunkan dalam pergerakannya adalah pinus 20 %, kayu afrika 23 % dan harendong 18 %. Potensi ketersediaan saumber daya adalah pinus 1.185 pohon, kayu afrika 156 pohon dan harendong 41 pohon.

Hari ketiga Kelompok A memiliki luas jelajah 18,57 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 78 % dan kayu afrika 22 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 3.250 pohon dan kayu afrika 427 pohon.

Hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 10,30 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan kelompok ini adalah pinus 48 %, afrika 37 % dan

(9)

harendong 15 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 1.800 pohon, kayu afrika 237 pohon dan harendong 62 pohon.

Panjang lintasan pada wilayah jelajah harian Kelompok A bervariasi antara 448,66 – 807,74 meter sedangkan lebar lintasan adalah 160,66 - 391 meter. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok A tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Wilayah jelajah harian Kelompok A

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 6,17 587,39 160,66

Kedua 6,77 448,66 179,78

Ketiga 18,57 652,07 391,04

Keempat 10.30 807,74 257,96

Luas wilayah jelajah Kelompok A selama empat hari adalah 29,26 Ha dengan panjang 807,74 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok A mempunyai teritori seluas 0,40 Ha dengan panjang 126,39 meter dan lebar 36,86 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 413,30 meter dan jarak terpendek adalah 80.88 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok A tersaji pada Gambar 5.

(10)

Kelompok B

Tidak berbeda dengan Kelompok A, selama empat hari pengamatan Kelompok B juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Hari pertama kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha, hari kedua 2,31 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat seluas 4,80 Ha. Bentuk dan arah lintasan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6 Wilayah jelajah harian Kelompok B

Pada hari pertama pegerakannya, Kelompok B memiliki luas wilayah jelajah 2,77 Ha. Kelompok B memanfaatkan 6 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 29 %, puspa 8 %, kayu afrika 26 %, harendong dan gemelina masing-masing 3 %, dan agathis 31 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi pada habitat ini, potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 6 pohon, puspa 490 pohon, kayu afrika 6 pohon dan agathis 23 pohon.

Kelompok B pada hari kedua memiliki luas jelajah 2,31 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakan hari ketiga adalah pinus dan harendong 11 %, kayu afrika 22 %, agathis 50 % dan sempur 6 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 5 pohon, kayu afrika 5 pohon, agathis 19 pohon.

(11)

Hari ketiga kelompok ini memiliki luas jelajah 10,36 Ha. Dalam pergerakannya kelompok ini memanfaatkan jenis pinus 28 %, puspa 10 %, kayu afrika 31 %, harendong 4 %, agathis 24 % dan sempur 3 %. Potensi ketersediaan sumber daya adalah pinus 21 pohon, kayu afrika 21 pohon, puspa 1.834 pohon, agathis 86 pohon.

Kelompok B pada hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 4,80 Ha. Kelompok ini memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakan hari keempat yaitu pinus 9 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan kipasang 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 10 pohon, puspa 850 pohon, kayu afrika 10 pohon dan agathis 40 pohon.

Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok B bervariasi antara 361,61 – 533,60 meter sedangkan lebar lintasan adalah 72,15 – 327,35 meter. Panjang lintasan tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Wilayah jelajah harian Kelompok B

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 2,77 381,75 72,15

Kedua 2,31 370,36 134,90

Ketiga 10,36 553,60 327,35

Keempat 4,80 361,61 168,47

(12)

Luas wilayah jelajah Kelompok B selama empat hari adalah 19,73 Ha dengan panjang 635,48 meter dan lebar 572,84 meter. Kelompok B mempunyai teritori seluas 0,015 Ha dengan panjang 45,03 meter dan lebar 4,84 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 328,24 meter dan jarak terpendek adalah 76,06 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok B tersaji pada Gambar 7.

Kelompok C

Kelompok C juga memiliki luas wilayah jelajah harian yang bervariasi selama empat hari pengamatan. Hari pertama pengamatan luas wilayah jelajah Kelompok C 6,87 Ha, hari kedua 7,12 Ha, hari ketiga 10,36 Ha dan hari keempat 7,15 Ha. Bentuk adan arah lintasan wilayah jelajah harian Kelompok C tersaji pada Gambar 8.

Hari pertama kelompok C memiliki luas wilayah jelajah 6,87 Ha. Dalam pergerakannya pada hari pertama kelompok ini memanfaatkan 4 jenis tumbuhan yaitu pinus 33 %, puspa dan harendong masing-masing 11 %, dan agathis 45 %. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, ketersediaan sumber daya di habitat ini adalah 687 pohon, puspa 357 pohon.

Pada hari kedua kelompok ini memiliki luas jelajah 7,12 Ha. Jenis pohon yang digunakan dalam pergerakannya adalah pinus 46 %, kayu afrika 43 % dan agathis 11 %. Potensi ketersediaan sumber daya 712 pohon, kayu afrika 370 pohon.

Hari ketiga kelompok memiliki luas jelajah 4,29 Ha. Kelompok C pada hari ketiga memanfaatkan 7 jenis dalam pergerakannya yaitu pinus 19 %, puspa 26 %, kayu afrika 9 %, harendong 5 %, agathis 37 %, sempur dan ki pasang masing-masing 2 %. Potensi ketersediaan sumber daya, pinus 429 pohon, puspa dan kayu afrika 223 pohon, sempur 9 pohon. Hari keempat memiliki luas wilayah jelajah 7,15 Ha. Pada hari keempat pengamatan kelompok ini memanfaatkan 3 jenis tumbuhan dalam pergerakannya yaitu pinus 12 %, kayu afrika 52 % dan agathis 36 %. Ketersediaan sumber daya, pinus 715 pohon, kayu afrika 372 pohon.

(13)

Gambar 8 Wilayah jelajah harian Kelompok C

Panjang wilayah jelajah harian Kelompok C adalah 457,84 – 617,36 meter sedang lebar wilayah jelajah harian 69,05 – 241,52 meter. Panjang wilayah jelajah harian adalah tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Wilayah jelajah harian Kelompok C

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 6,87 482,01 241,52

Kedua 7,12 457,84 239,45

Ketiga 4,29 617,36 69,05

Keempat 7,15 479,83 215,51

Luas wilayah jelajah Kelompok C selama empat hari adalah 26,94 Ha dengan panjang 915,30 meter dan lebar 446,04 meter. Kelompok C mempunyai teritori seluas 0,41 Ha dengan panjang 144,56 meter dan lebar 33,20 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 480,34 meter dan jarak terpendek adalah 79,73 meter. Posisi teritori dan wilayah jelajah Kelompok C tersaji pada Gambar 9.

(14)

Gambar 9 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok C

Kelompok D

Tidak berbeda dengan lainnya selama empat hari pengamatan Kelompok D juga memiliki luas wilayah jelah harian yang bervariasi. Luas wilayah jelajah hari pertama 1,17 Ha, hari kedua 7,17 Ha, hari ketiga 2,19 Ha dan hari keempat 5,22 Ha. Arah dan bentuk lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D tersaji pada Gambar 10.

Pada hari pertama kelompok D memiliki luas wilayah jelajah 1,17 Ha. Pergerakan kelompok ini pada hari pertama memanfaatkan 5 jenis tumbuhan yaitu puspa 32 %, harendong 7 %, agathis 47 %, sempur 11 % dan tereup 4 %. Ketersediaan sumber daya berdasarkan hasil analisa vegetasi di habitat ini, puspa 124 pohon, agathis 54 pohon.

Hari kedua Kelompok D memiliki luas jelajah 7,17 Ha. Jenis pohon yang dimanfaatkan kelompok ini dalam pergerakan hari kedua hanya 2 jenis tumbuhan masing-masing adalah puspa 50 % dan agathis 50 %. Ketersediaan sumber daya adalah 762 pohon, puspa 403 pohon.

(15)

Pada hari ketiga Kelompok D memiliki luas jelajah 2,19 Ha. Ada 3 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan kelompok ini dalam pergerakan hari ketiga yaitu puspa 39 %, agathis 56 % dan tepus 5 %. Ketersediaan sumber daya puspa 233 pohon, agathis 100 pohon.

Hari keempat Kelompok D memiliki luas wilayah jelajah 5,22 Ha. Pergerakan Kelompok D pada hari keempat memanfaatkan jenis pinus 27 %, puspa 33 % dan agthis 40 %. Ketersediaan sumber daya, puspa 555 pohon dan agathis 239 pohon.

Gambar 10 Wilayah jelajah harian Kelompok D

Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D adalah 227,68 – 507,54 meter sedangkan lebar wilayah jelajah 124,90 – 259,68 meter. Panjang lintasan wilayah jelajah harian Kelompok D tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Wilayah jelajah harian Kelompok D

Hari Wilayah jelajah harian

Luas (Ha) Panjang (meter) Lebar (meter)

Pertama 1,17 227,68 186,88

Kedua 7,17 507,54 124,90

Ketiga 2,19 334,87 155,17

(16)

Luas wilayah jelajah Kelompok D selama empat hari adalah 15,78 Ha dengan panjang 721,68 meter dan lebar 300,95 meter. Kelompok D mempunyai teritori seluas 0,65 Ha dengan panjang 199,95 meter dan lebar 47,23 meter. Posisi teritori berada di tengah wilayah jelajah. Jarak terpanjang dari teritori adalah 326,28 meter dan jarak terpendek adalah 43,68 meter. Posisi wilayah jelajah dan teritori Kelompok D tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11 Wilayah jelajah dan teritori Kelompok D Semua Kelompok

Empat kelompok monyet ekor panjang di HPGW memiliki posisi, luas wilayah jelajah dan teritori yang berbeda-beda. Terdapat 2 kelompok yaitu kelompok A dan D yang memiliki wilayah jelajah terpisah. Dua kelompok lainnya yaitu kelompok B dan C memiliki wilayah jelajah yang tumpang tindih. Tumpang tindih wilayah jelajah kelompok B dan C adalah 6,63 Ha. Posisi wilayah jelajah semua kelompok monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Gambar 12.

Berdasarkan hasil pengamatan Kelompok B dan C pada saat bertemu tidak menunjukkan sifat saling menyerang. Kelompok C terlihat berdiam diri menunggu Kelompok B melanjutkan pergerakannya. Setelah Kelompok C terlihat

(17)

jauh, Kelompok B melanjutkan pergerakannya kembali. Diduga Kelompok B dan C menghindari konflik dan mereka menggunakan sumber daya secara bergantian

Gambar 12 Wilayah jelajah dan teritori setiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan luas wilayah jelajah harian (P-Value > 0,05). Tidak berbeda dengan hasil perhitungan sebelumnya, hasil uji statistik dengan metode Chi square menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ukuran kelompok dengan wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah selama empat hari (P-Value > 0,05). Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara ukuran kelompok dengan wilayah jelajah harian, wilayah jelajah selama empat hari, jarak jelajah harian dan jarak jelajah pada wilayah jelajah selama empat hari menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 2.

Hasil perhitungan statistik menunjukan bahwa luas wilayah jelajah dan jarak jelajah tidak dipengaruhi oleh ukuran kelompok. Pada penelitian ini luas wilayah jelajah monyet ekor panjang di HPGW diduga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, musim berbunga dan berbuah, waktu pergantian kematangan buah dan

(18)

wilayah jelajah kelompok lain. Hal ini sependapat dengan Alita (1993) bahwa variasi temporal penyebaran satwa aktif dipengaruhi oleh musim berbunga dan berbuah. Hal ini tidak berbeda juga dengan penelitian Hendratmoko (2009) bahwa monyet ekor panjang di CA Pangandaran koloni Pasir Selatan memiliki wilayah jelajah terluas karena sangat tergantung dengan ketersediaan pakan alami.

Rata-rata wilayah jelajah terluas terluas monyet ekor panjang di HPGW dimiliki oleh Kelompok A yaitu 10,45 Ha tetapi masih lebih kecil dari penelitian Hendratmoko (2009) bahwa rata-rata wilayah jelajah kelompok monyet ekor panjang di CA Pangandaran adalah 13,06 Ha.

5.3 Karakteristik Wilayah Jelajah 5.3.1 Karakteristik Habitat

Kuantitas dan kualitas habitat ini sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar, menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Menurut Alikodra (1990) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar. Hal ini sependapat Bailey (1994) kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh species hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil.

Pada penelitian ini, pengamatan monyet ekor panjang dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Pemilihan HPGW sebagai lokasi penelitian karena monyet ekor panjang mudah dijumpai dan belum pernah dilaksanakan penelitian mengenai jenis satwa ini. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui parameter demografi, wilayah jelajah monyet ekor panjang dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaannya. Kondisi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.

(19)

(a) (b)

(b) (d)

Gambar 13 Kondisi lokasi penelitian yang merupakan habitat dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang : (a) Kelompok A (b) Kelompok B (c) Kelompok C dan (d) Kelompok D

Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah hutan tanaman. Sejarah penanaman kawasan dimulai sejak tahun 1951/1952. Jenis tanaman yang ditanam adalah damar (Agathis lorantifolia). Tahun 1980 seluruh kawasan HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), Dalbergia latifolia, Gliricidae sp, Paraserianthes falcataria, Shorea sp, dan acacia mangium. Sebaran vegetasi di HPGW dapat dilihat pada Gambar 14.

(20)

Gambar 14 Peta sebaran vegetasi di HPGW

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Hutan Pendidikan Gunung Walat bukanlah satwa asli setempat. Monyet ekor panjang ini awalnya adalah satu populasi yang terdiri dari 15 ekor yang diintroduksi pada tahun 1980/1981 (IPB 1981). Sebelum dilepaskan, monyet ekor panjang dipelihara dalam kurungan selama satu bulan. Kegiatan introduksi monyet ekor panjang di Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan kerjasama antara Direktorat Jenderal PHKA (PPA pada saat itu) dengan Fakultas Kehutanan IPB. Monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Gambar 15.

Monyet ekor panjang adalah salah satu jenis satwa yang berhasil beradaptasi dengan baik di HPGW setelah introduksi pada tahun 1980/1981. Satwa ini adalah jenis satwa yang mempunyai kemampuan beradaptasi tinggi terhadap lingkungan barunya sesuai dengan Napier & Napier (1967) monyet ekor panjang mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan dan iklim yang berbeda.

(21)

(a)

(b)

Gambar 15 Monyet ekor panjang di HPGW : (a) jantan dewasa (b) induk dan bayi

5.3.2 Faktor Fisik

Ketinggian tempat dan Topografi

Ketinggian tempat dan topografi merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang. Topografi ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW adalah berbukit-bukit.

Hasil pengukuran di lapangan menunjukan bahwa Kelompok A ditemukan pada ketinggian 611 – 769 mdp, rata-rata ketinggian 597, 88 mdpl. Kelompok A lebih sering ditemukan pada ketinggian 652 – 772 mdpl dengan frekwensi perjumpaan 78 kali. Berbeda dengan kelompok A, Kelompok B ditemukan pada ketinggian 410 - 582 mdpl, rata-rata ketinggian 467,74 mdpl. Perjumpaan terbanyak ditemukannya Kelompok B adalah pada ketinggian 410 – 530 mdpl, dengan frekwensi perjumpaan 22 kali. Kelompok C ditemukan pada ketinggian 430 – 582 mdpl, rata-rata ketinggian adalah 520,83 mdpl. Kelompok C lebih sering ditemukan pada ketinggian 410 – 530 mdpl dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 30 kali. Sedangkan kelompok D ditemukan pada ketinggian 518 – 540

(22)

mdpl. Perjumpaan terbanyak Kelompok D adalah pada ketinggian 410 – 530 mdpl dengan frekwensi perjumpaan 6 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok diberbagai ketinggian tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai ketinggian Ketinggian

tempat (mdpl)

Frekwensi perjumpaan (kali)

Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D

410 – 530 0 22 30 6

531 – 651 6 5 23 5

652 - 772 78 0 0 0

Berdasarkan hasil pengukuran monyet ekor panjang di HPGW ditemukan pada keinggian pada 410 – 772 mdpl, rata-rata ketinggian adalah 597,88 mdpl. Secara keseluruhan monyet ekor panjang lebih sering ditemukan pada ketinggian 652 – 772 mdpl dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 78 kali dan frekwensi perjumpaan terendah pada ketinggian 531 – 651 mdpl yaitu sebanyak 39 kali. Ketinggian tempat ditemukannya monyet ekor panjang di HPGW sama dengan penelitian Surya (2010) monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung ditemukan pada ketinggian 500 mdpl. Berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) bahwa monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta ditemukan pada ketinggian 200 mdl dan di Hutan Kaliurang Yogyakarta monyet ekor panjang ini temukan pada keinggian di atas 800 mdpl.

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan adanya hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat (P-Value < 0,05). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap ketinggian tempat. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan ketinggian tempat menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 3.

Suhu

Komponen iklim mikro yang diukur pada penelitian ini adalah suhu udara dan kelembaban. Suhu dan kelembaban sangat menentukan kondisi cuaca pada suatu daerah. Suhu udara merupakan salah satu komponen fisik habitat yang

(23)

dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang di HPGW.

Berdasarkan hasil pengukuran suhu di bawah tajuk, Kelompok A ditemukan pada suhu 22 – 31 oC, rata-rata suhu adalah 25,67 oC. Kelompok A paling banyak ditemukan pada suhu 26 – 29 oC, dengan frekwensi perjumpaan tertinggi kelompok A adalah 88 kali. Kelompok B ditemukan pada suhu 24 – 26 oC, rata-rata suhu 25,67 oC. Frekwensi perjumpaan terbanyak Kelompok B adalah 26 kali pada suhu 22 – 25 oC. Kelompok C ditemukan pada suhu 22 – 27 oC, rata-rata suhu adalah 26,27 oC. Berbeda dengan kelompok A, B, C, Kelompok D ditemukan pada suhu 26 – 27 oC, rata-rata suhu 26,27 oC. Kelompok D hanya ditemukan pada suhu 26 – 29 o

Tabel 12 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai suhu di bawah tajuk

C, dengan frekwensi perjumpaan 11 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok terkait dengan suhu tersaji pada Tabel 12.

Suhu (oC) Frekwensi perjumpaan (kali)

Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D

22 – 25 35 26 25 0

26 – 29 48 1 28 11

30 – 32 1 0 0 0

Secara keseluruhan monyet ekor panjang ditemukan pada suhu 22 – 31 oC, rata-rata suhu 25,43 oC. Frekwensi perjumpaan terbanyak monyet ekor panjang di HPGW adalah 88 kali pada suhu 26 – 29 oC. Hal ini berbeda dengan penelitian Kusmardiatuti (2010) monyet ekor panjang di SM Paliyan Yogyakarta ditemukan pada suhu 35 – 36 oC, sedangkan monyet ekor panjang di Hutan Kaliurang Yoyakarta ditemukan pada suhu 23 – 24 oC. Tetapi hal ini tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung ditemukan pada suhu 27 – 28 o

Tidak berbeda dengan hasil perhitungan sebelumnya, hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan adanya hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu (X

C.

2

hitung > X2). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap suhu. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi

(24)

perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan suhu menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 4.

Kelembaban

Satu komponen penting lainnya yang berpengaruh pada iklim mikro adalah kelembaban. Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air (Rushayati & Arief 1997). Kelembaban udara merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk monyet ekor panjang di HPGW.

Pengukuran kelembaban pada penelitian ini, menggambarkan bahwa Kelompok A ditemukan pada kelembaban 66 – 85 %, rata-rata kelembaban 75,79 %. Kelompok A sering ditemukan pada kelembaban 73 – 79 % dengan frekwensi perjumpaan terbanyak adalah 45 kali. Berbeda dengan kelompok A, Kelompok B ditemukan pada kelembaban 77 – 82 %, rata-rata kelembaban 78.89 %. Kelompok B paling banyak ditemukan pada kelembaban 73 – 79 %, dengan frekwensi perjumpaan 45 kali. Kelompok C ditemukan pada kelembaban 71 – 80,5 %, rata-rata kelembaban 77,04 %. Frekwensi perjumpaan terbanyak Kelompok C adalah 38 kali pada kelembaban 73 – 79 %. Sedangkan Kelompok D ditemukan pada kelembaban 79 – 83 %, rata-rata kelembaban 81,45 %. Kelompok D paling banyak ditemukan pada kelembaban 80 – 86 % dengan frekwensi perjumpaan terbanyak yaitu 9 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok terkait dengan kelembaban tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelembaban di bawah tajuk

Kelembaban (%)

Frekwensi perjumpaan (kali)

Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D

66 – 72 19 0 1 0

73 – 79 45 22 38 2

80 – 86 20 5 14 9

Secara keseluruhan monyet ekor panjang di HPGW ditemukan pada kelembaban 66 – 85 %, rata-rata kelembaban 77 %. Satwa ini paling banyak ditemukan pada kelembaban 73 – 79 dengan frekwensi perjumpaan terbanyak

(25)

yaitu 107 kali. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian Kusmardiastuti (2010) monyet ekor panjang di SM Paliyan ditemukan pada kelembaban 60 – 75 %, tetapi berbeda dengan kelembaban ditemukannnya monyet ekor panjang di Hutan Kaliurang Yogyakarta yaitu 87 – 95 %. Kondisi ini juga tidak berbeda dengan penelitian Surya (2010) monyet ekor panjang di hutan sekunder sekitar bendungan Batu Tegi Lampung ditemukan pada kelembaban 77 – 79 %.

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan terdapat hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban (P-Value < 0,05). Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap kelembaban. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelembaban menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 5.

Kelerengan

Kelerengan adalah salah satu komponen fisik habitat yang diduga mempunyai pengaruh terhadap keberadaan satwa liar, termasuk monyet ekor panjang di HPGW. Hasil pengukuran kelerengan dimana ditemukan monyet ekor panjang di HPGW adalah 0% - 78 %.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan Kelompok A lebih sering dijumpai pada kelerengan 27 – 53 % dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 69 kali sedangkan frekwensi perjumpaan terendah adalah 6 kali pada kelerengan 54 – 80 %. Tidak berbeda dengan Kelompok A, Kelompok B lebih banyak ditemukan pada kelerengan 27 – 53 % dengan frekwensi perjumpaan 19 kali, sedangkan frekwensi perjumpaan terendah terjadi pada kelerengan 54 – 80 % yaitu 1 kali perjumpaan. Kelompok C berbeda dengan Kelompok A dan B, frekwensi perjumpaan terbanyak pada kelerengan yang sama dengan Kelompok A dan B yaitu pada kelerengan 27 – 53 % sebanyak 31 kali, tetapi frekwesi perjumpaan terendah terjadi pada kelerengan yang berbeda dengan Kelompok A dan B yaitu pada kelerengan 0 – 26 % dengan perjumpaan 5 kali. Kelompok D tidak berbeda dengan Kelompok C, Kelompok D sering ditemukan pada kelerengan 27 – 53 % dengan perjumpaan sebanyak 5 kali sedangkan perjumpaan terendah terjadi pada

(26)

kelerengan 0 – 26 % dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 2 kali. Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang tiap kelompok di berbagai kelerengan tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Frekwensi perjumpaan monyet ekor panjang di berbagai kelerengan Kelerengan

(%)

Frekwensi perjumpaan (kali)

Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D

0 – 26 9 7 5 2

27 – 53 69 19 31 5

54 – 80 6 1 17 4

Secara keseluruhan monyet ekor panjang di HPGW lebih sering ditemukan pada kelerengan 27 – 53 % dengan frekwensi perjumpaan sebanyak 124 kali dan perjumpaan terendah adalah 23 kali pada kelerengan 0 – 26 %. Sedangkan perjumpaan pada kelerengan 54 – 80 % terjadi sebanyak 28 kali.

Hasil perhitungan statistik dengan metode Chi square menunjukan terdapat hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan (P-Value < 0,05). Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat preferensi monyet ekor panjang terhadap kelerengan. Hasil perhitungan statistik uji hubungan antara frekwensi perjumpaan kelompok monyet ekor panjang dengan kelerengan menggunakan metode Chi square selengkapnya tersaji pada Lampiran 6.

5.3.3 Kondisi Biotik Struktur Vegetasi

Analisa vegetasi dilakukan di empat lokasi dimana ditemukan kelompok monyet ekor panjang. Lokasi-lokasi tersebut meliputi lokasi pertama adalah di sekitar Stasiun Relay TVRI Gunung Walat dimana ditemukan Kelompok A. Lokasi kedua adalah habitat di sekitar belakang camp atau komplek bangunan utama di HPGW dimana ditemukan kelompok B. Lokasi ketiga adalah habitat di sekitar rumah air atau bak penampungan utama air bagi keperluan kegiatan di basecamp HPGW dimana ditemukan Kelompok C. Lokasi keempat adalah habitat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana ditemukan Kelompok D.

Berdasarkan hasil analisa vegetasi yang dilakukan di empat lokasi, ditemukan dua puluh jenis tumbuhan. Jumlah jenis vegetasi berdasarkan hasil

(27)

analisis vegetasi dari tiap habitat kelompok monyet ekor panjang di HPGW disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah jenis vegetasi pada tiap habitat ditemukannya monyet ekor panjang

Habitat Jumlah jenis

Semai Pancang Tiang Pohon

Kelompok A 4 6 2 6

Kelompok B 12 9 1 6

Kelompok C 7 16 4 7

Kelompok D 2 2 2 6

Komposisi tumbuhan tingkat semai

Hasil analisa vegetasi di habitat monyet ekor panjang Kelompok A ditemukan 4 jenis. Jenis harendong memiliki kerapatan paling tinggi dan terendah adalah ki sireum. Pada habitat kelompok B, ditemukan 12 jenis tingkat semai dengan kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis sasah. Pada habitat kelompok C ditemukan 7 jenis tingkat semai, jenis sasah memiliki kerapatan tertinggi. Pada habitat kelompok D, hanya ditemukan 2 jenis yaitu puspa dan rambutan yang memiliki kerapatan sama. Kerapatan tumbuhan tingkat semai di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 16. Hasil analisa vegetasi tingkat semai selengkapnya tersaji pada Lampiran 7.

Tabel 16. Tiga jenis vegetasi tingkat semai dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian

No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha) Habitat Kelompok A 1 2 3 Harendong Ki Huru Kopo

Bellucia axinanthera Triana Macaranga rhizinoides (BL)

Muell

Eugenia subglauca K & V

Melastomataceae Euphorbiaceae Myrtaceae 625 417 417 Habitat Kelompok B 1 2 3 Sasah Puspa Ki Teja

Symplocos javanica Kurz Schima wallichii (DC) Korth Machilus rimosa BL Symplocaceae Theaceae Lauraceae 3.333 1.874 833 Habitat Kelompok C 1 2 3 Sasah Teurep Ki Huru

Symplocos javanica Kurz Artocarpus elastica Reinw Macaranga rhizinoides (BL) Muell Symplocaceae Moraceae Euphorbiaceae 3.333 625 625 Habitat Kelompok D 1 2 Puspa Rambutan

Schima wallichii (DC) Korth Nephelium lappaceum

Theaceae 208

(28)

Komposisi tumbuhan tingkat pancang

Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di empat habitat monyet ekor panjang menunjukan jumlah jenis yang bervariasi. Pada habitat Kelompok A ditemukan 6 jenis tumbuhan tingkat pancang, kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis harendong dan huru batu memiliki kerapatan terendah. Berbeda dengan habitat Kelompok A, pada habitat Kelompok B jumlah jenis yang ditemukan lebih banyak yaitu 9 jenis tingkat pancang. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis harendong dan rambutan memiliki kerapatan terendah. Habitat Kelompok C memiliki jenis tumbuhan tingkat pancang paling banyak yaitu 16 jenis. Jenis puspa dan jangkurang memiliki kerapatan tertinggi, sedangkan mahoni memiliki kerapatan terendah. Pada habitat Kelompok D hanya ditemukan 2 jenis tumbuhan tingkat pancang yaitu puspa dan harendong. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh puspa dan kerapatan terendah dimiliki oleh harendong. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 17. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang selengkapnya tersaji pada Lampiran 8.

Tabel 17. Tiga jenis vegetasi tingkat pancang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian

No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha) Habitat Kelompok A 1 2 3 Harendong Kayu afrika Puspa

Bellucia axinanthera Triana Maesopsis eminii Engl Schima wallichii (DC) Korth

Melastomataceae Rhamnaceae Theaceae 800 233 100 Habitat Kelompok B 1 2 3 Harendong Ki anjing Puspa

Bellucia axinanthera Triana Syzigium iyantum

Schima wallichii (DC) Korth

Melastomataceae Myrtaceae Theaceae 400 333 267 Habitat Kelompok C 1 2 3 Puspa Jangkurang Kayu afrika

Schima wallichii (DC) Korth ?

Maesopsis eminii Engl

Theaceae ? Rhamnaceae 100 100 67 Habitat Kelompok D 1 2 Puspa Harendong

Schima wallichii (DC) Kort Bellucia axinanthera Triana

Theaceae Melastomataceae

167 33

Komposisi tumbuhan tingkat tiang

Hasil analisa vegetasi tingkat tiang di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang memiliki jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis pada tingkat semai, pancang dan pohon. Pada habitat Kelompok A hanya ditemukan 2 jenis tingkat tiang yaitu kayu afrika dan ki

(29)

anjing. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis ki anjing. Pada habitat Kelompok B hanya ditemukan 1 jenis tingkat tiang yaitu harendong. Habitat Kelompok C memiliki jumlah jenis paling banyak yaitu 4 jenis tumbuhan tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi dimiliki oleh puspa dan kerapatan terendah dimiliki oleh jenis harendong. Pada Habitat Kelompok D juga hanya ditemukan 2 jenis tumbuhan tingkat tiang puspa dan harendong. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis puspa. Kerapatan tumbuhan tingkat tiang di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 18. Hasil analisa vegetasi tingkat tiang selengkapnya tersaji pada Lampiran 9.

Tabel 18. Tiga jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi pada lokasi penelitian

No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha) Habitat Kelompok A 1 2 Kayu afrika Ki anjing

Maesopsis eminii Engl Syzigium iyantum Rhamnaceae Myrtaceae 33 8 Habitat Kelompok B

1 Harendong Bellucia axinanthera Triana Melastomataceae 25

Habitat Kelompok C 1 2 3 Puspa Kayu afrika Ki Teja

Schima wallichii (DC) Kort Maesopsis eminii Engl Machilus rimosa BL Theaceae Rhamnaceae Lauraceae 33 25 16 Habitat Kelompok D 1 2 Puspa Harendong

Schima wallichii (DC) Kort Bellucia axinanthera Triana

Theaceae Melastomataceae

17 8 Komposisi tumbuhan tingkat pohon

Hasil analisa vegetasi pada tingkat pohon di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tidak menunjukan adanya variasi jumlah jenis, masing-masing habitat yaitu Kelompok A, B dan D memiliki 6 jenis tumbuhan tingkat pohon dan hanya pada habitat Kelompok C yang memiliki 7 jenis tumbuhan tingkat pohon. Pada habitat Kelompok A kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis Pinus merkusii dan kerapatan terendah dimiliki oleh jenis puspa dan sempur. Pada habitat Kelompok B, jenis puspa memiliki kerapatan tertinggi dan kayu afrika memiliki kerapatan terendah. Pada habitat Kelompok C, Pinus merkusii memiliki kerapatan tertinggi dan tereup memiliki kerapatan terendah. Pada habitat Kelompok D, kerapatan tertinggi dimiliki oleh jenis puspa dan kerapatan terendah dimiliki oleh jenis mahoni. Kerapatan tumbuhan tingkat pohon

(30)

di tiap habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang tersaji pada Tabel 19. Hasil analisa vegetasi tingkat pohon selengkapnya tersaji pada Lampiran 10. Tabel 19. Tiga jenis vegetasi tingkat pohon dengan kerapatan tertinggi pada lokasi

penelitian

No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha) Habitat Kelompok A 1 2 3 Pinus Kayu afrika Harendong

Pinus merkusii Jung et de Vriese

Maesopsis eminii Engl Bellucia axinanthera Triana

Pinaceae Rhamnaceae Melastomataceae 175 23 6 Habitat Kelompok B 1 2 3 Puspa Agathis Kayu afrika

Schima wallichii (DC) Kort Agathis lorantifolia Salish Maesopsis eminii Engl

Theaceae Araucariaceae Rhamnaceae 177 8 2 Habitat Kelompok C 1 2 3 Pinus Kayu afrika Puspa

Pinus merkusii Jung et de Vriese

Maesopsis eminii Engl Schima wallichii (DC) Kort

Pinaceae Rhamnaceae Theaceae 100 52 52 Habitat Kelompok D 1 2 3 Puspa Pinus Agathis

Schima wallichii (DC) Kort

Pinus merkusii Jung et de Vriese

Agathis lorantifolia Salish

Theaceae Pinaceae Araucariaceae 106 56 46

Potensi Tumbuhan Pakan

Pakan adalah komponen habitat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup satwa liar. Menurut Bismark (1984) sumber makanan, kualitas dan distribusi makanan primata sangat tergantung pada tipe dan keadaan habitat yang dihuni oleh primata termasuk monyet ekor panjang. Tumbuhan pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi satwaliar, termasuk monyet ekor panjang.

Informasi tumbuhan pakan monyet ekor panjang di HPGW diperoleh berdasarkan wawancara dengan petugas (Bapak Lilik), masyarakat sekitar (Bapak Udin) dan pengamatan di lapangan. Berdasarkah hasil pengamatan monyet ekor panjang di HPGW memanfaatkan sepuluh jenis pohon dalam beraktifitas dan tujuh diantaranya adalah jenis tumbuhan pakan. Jenis tumbuhan pakan tersebut adalah Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallici), kayu afrika (Maesopsis eminii), harendong (Bellucia axinanthera), agathis (Agathis lorantifolia), teurep (Arthocarpus elastica) dan tepus (Amomum coccineum).

Selain itu terdapat jenis tumbuhan buah-buahan yang ditanaman di sekitar basecamp HPGW yang menjadi tanaman pakan monyet ekor panjang seperti

(31)

jambu biji (Psidium guajava), cempedak (Artocarpus integer), matoa (Pometia pinnata), manggis (Garcinia mangostana L), nangka (Artocarpus integra), mangga (Mangifera indica), pisang (Musa sp). Jenis tanaman pakan lain yang sering dimakan monyet ekor panjang adalah ubi kayu (Manihot utilisima). Informasi lain menyebutkan bahwa monyet ekor panjang memakan laron, ulat daun pisang sebagai sumber protein.

Berdasarkan hasil pengamatan pada setiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW terdapat variasi jumlah jenis tumbuhan pakan. Monyet ekor panjang Kelompok A paling banyak memanfaatkan tumbuhan pakan jenis Pinus merkusii sebesar 69 % dan paling sedikit memanfaatkan jenis puspa sebesar 1 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok A tersaji pada Gambar 16.

Gambar 16 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok A

Berbeda dengan Kelompok A, Kelompok B memanfaatkan tumbuhan pakan sebanyak 5 jenis. Jenis kayu afrika paling banyak dimakan Kelompok B sebesar 33 % dan yang paling sedikit dimanfaatkan adalah jenis puspa 6 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok B tersaji pada Gambar 17. Pinus 69% Puspa 1% Afrika 20% Harendong 10%

(32)

Gambar 17 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok B Kelompok C memanfaatkan 5 jenis sebagai tumbuhan pakan. Jenis kayu afrika paling banyak dimanfaatkan Kelompok C sebesar 30 % dan paling sedikit jenis harendong sebesar 2 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok C tersaji pada Gambar 18.

Gambar 18 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok C Pinus 24% Puspa 6% Kayu afrika 33% Harendong 9% Agathis 28% Pinus 29% Puspa 10% Kayu afrika 30% Harendong 2% Agathis 29%

(33)

Kelompok D memanfaatkan 6 jenis tumbuhan pakan. Jenis agathis paling banyak dimanfaatkan oleh Kelompok D sebesar 49 % dan jenis yang paling sedikit dimanfaatkan adalah tepus, tereup dan harendong masing-masing sebesar 1 %. Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan monyet ekor panjang Kelompok D tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan Kelompok D Secara keseluruhan, prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang di HPGW tersaji pada Gambar 20.

Gambar 20 Prosentase tumbuhan pakan yang dimanfaatkan semua kelompok Pinus 5% Puspa 44% Harendong 1% Agathis 49% Tepus 0% Tereup 1% Agathis 30% Pinus 27% Puspa 20% Kayu afrika 18% Harendong 5% Teurep0% Tepus 0%

(34)

Jumlah jenis tumbuhan pakan di HPGW lebih sedikit dibandingkan dengan di tempat lain. Seperti pada penelitian Kusmardiastuti (2010) terdapat 28 jenis tumbuhan pakan di SM Paliyan Yogyakarta dan 26 jenis tumbuhan pakan di hutan Kaliurang Yogyakarta. Jumlah jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di HPGW juga lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian Surya (2010) di Lampung, tumbuhan pakan monyet ekor panjang di hutan primer sebanyak 15 jenis, di hutan sekunder ditemukan 23 jenis, di hutan pantai 14 jenis dan di kebun campuran 25 jenis.

Berdasarkan bagian tumbuhan pakan yang dimakan oleh monyet ekor panjang di HPGW, semua kelompok dominan memakan buah. Bagian tumbuhan yang dimakan monyet ekor panjang per jenis tumbuhan tersaji pada Gambar 21 dan Tabel 20.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 21 Beberapa jenis buah yang dimakan oleh monyet ekor panjang di HPGW : (a) harendong (b) kayu afrika (c) agathis (d) pinus

(35)

Tabel 20 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan oleh monyet ekor panjang di HPGW

No Jenis Bagian yang dimakan

1 Pinus merkusii Buah

2 Puspa Daun

3 Kayu afrika Buah

4 Harendong Buah

5 Agathis Buah

6 Tereup Buah

7 Tepus Hati pada batang

Sesuai dengan hasil pengamatan, Kelompok A dominan memakan buah sebesar 99 % dan sebesar 1 % memakan daun. Kelompok B juga dominan memakan buah sebesar 94 % dan daun sebesar 6 %. Kelompok C dominan memakan buah sebesar 90 % dan memakan daun sebesar 10 %. Berbeda dengan kelompok lainnya, Kelompok D dominan memakan buah sebesar 55 %, memakan daun sebesar 44 % dan memakan hati batang sebesar 1 %.

Apabila dilihat dari struktur pertumbuhan vegetasi maka jenis pinus tidak lagi memiliki tingkat semai, pancang dan tiang. Kondisi seperti ini sangat mengkhawatirkan dan diduga akan punah di masa mendatang. Berbeda halnya dengan jenis puspa, kayu afrika, harendong dan agathis memiliki struktur pertumbuhan yang lengkap sehingga jenis-jenis ini di duga akan lestari pada masa yang akan datang.

5.4. Faktor Dominan Komponen Habitat

Terdapat lima peubah lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap keberadaan monyet ekor panjang di HPGW. Peubah-peubah lingkungan yang diduga mempengaruhi jumlah individu atau ukuran kelompok monyet ekor panjang di HPGW (Y) tersebut adalah adalah ketinggian tempat (X1), suhu (X2),

kelembaban (X3), kelerengan (X4) dan kerapatan pohon (X5). Hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan IBM SPPS

Statistic 19 metode stepwise menunjukkan bahwa peubah yang berpengaruh paling dominan terhadap ditemukannya jumlah individu monyet ekor panjang di suatu habitat adalah ketinggian tempat (X1), suhu (X2), kelembaban (X3). Analisis ini menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut:

(36)

Y = - 30,964 + 0,028 X1 + 0,675 X2 + 0,317 X3

Berdasarkan hasil perhitungan nilai sig dari persamaan regresi untuk peubah paling dominan tersebut menunjukkan bahwa ketiga peubah tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah individu monyet ekor panjang di suatu habitat (sig=0,000). Keeratan hubungan antara ketiga peubah tersebut dengan jumlah individu monyet ekor panjang pada suatu habitat terpilih dapat diketahui dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2). Persamaan regresi tersebut mempunyai nilai R2 = 0,753 (75,3 %). Hasil perhitungan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise selengkapnya disajikan pada Lampiran 11.

Gambar

Tabel 2   Kepadatan tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW
Tabel 4 Angka kelahiran tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW  Kelompok  Bayi  Betina Produktif  Angka Kelahiran
Tabel 5 Angka kematian tiap kelompok monyet ekor panjang di HPGW
Tabel 6 Struktur umur monyet ekor panjang di HPGW.
+7

Referensi

Dokumen terkait

kaca (glass) dan karbon (carbon) dan serat sintetik serta fiber dari bahan alami yang dapat dipakai adalah ijuk, jerami, serabut kelapa dan lainnya pada beton yang

Hasil jagung P 27 pada perlakuan pupuk kandang (T1) dan sludge (T2) secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5) disebabkan karena kandungan

Strategi yang dapat dilakukan untuk mempercepat hilirisasi bioplastik berbasis PHA dari industri kelapa sawit meliputi: (1) penggunaan teknologi pengolahan

Di antara penelitian dimaksud misalnya: (1) Pendidikan Karakter melalui Life Skills Development dalam Kurikulum Persekolahan (Penelitian Hibah Pasca 2005-2006

ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara nasional. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Telekomunikasi adalah setiap

2) Responden melakukan penilaian diri mengenai budaya keselamatan dengan menggunakan 5 skala likert. Skala 1 untuk nilai buruk, skala 2 untuk nilai kurang, skala 3 untuk

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Pada era modern, khususnya Indonesia, Islamic Center berubah menjadi sebuah komplek yang di dalamnya terdapat masjid sebagai bangunan utama dan bangunan-bangunan