BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.6 Metode Analisis Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi bahaya yang ada pada perawat Instalasi Rawat Inap RSKO dengan cara mengidentifikasi setiap bahaya yang mungkin terjadi berdasarkan Job Description perawat RSKO yang kemudian disajikan dalam bentuk narasi dan tabel.
Prosedur identifikasi hazard atau potensi bahaya menurut Tarwaka (2008) antara lain yaitu:
1. Membuat daftar semua objek (mesin, peralatan kerja, bahan, proses kerja, sistem kerja, kondisi kerja, dll) yang ada di tempat kerja.
2. Memeriksa semua objek yang ada di tempat kerja dan sekitarnya.
3. Melakukan wawancara dengan tenaga kerja yang bekerja di tempat kerja yang berhubungan dengan objek-objek tersebut.
4. Mereview kecelakaan, catatan P3K, dan informasi lainnya.
5. Mencatat seluruh hazard yang telah diidentifikasi.
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Profil Rumah Sakit
Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta merupakan salah satu rumah sakit yang termasuk dalam daftar Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dan mitra dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam hal menangani pasien ketergantungan NAPZA. Rumah sakit ini digagas pendiriannya oleh Bapak H. Ali Sadikin almarhum mantan Gubernur DKI Jakarta, dr. Herman Susilo (mantan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta), Prof. dr. Kusumanto Setyonegoro (mantan Kepala Ditkeswa Departemen Kesehatan) dan bagian Psikiatri Universitas Indonesia. Secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 12 April 1972. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan adanya rumah sakit pemerintah yang secara khusus memberikan layanan kesehatan di bidang gangguan penyalahgunaan NAPZA (Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya), hal ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Tanggapan positif diiringi dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang lebih baik dan lebih lengkap. Untuk menjawab kebutuhan ini, Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) menambah kapasitas layanannya dengan mendirikan bangunan baru di Cibubur, Jakarta Timur pada tahun 2002 dilakukan soft opening. Rumah Sakit Ketergantungan Obat berlokasi di Jalan Lapangan Tembak No.75, Cibubur, RT 12/ RW 2, Ciracas, Kota Jakarta
Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tanah seluas 15.000 m2 diperoleh berdasarkan izin prinsip Gubernur DKI Jakarta dengan No. 3797/1.771.5 pada tanggal 11 November 1999. Salah satu negara yang membantu memberikan dana dalam pembangunan dan pengembangan RSKO adalah negara Jepang, dimana Jepang telah memberikan bantuan dana sebesar Rp. 12,4 miliar untuk pembangunan RSKO Jakarta.
Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta digunakan bagi masyarakat umum yang anggota keluarganya sebagai pecandu narkoba untuk melakukan rehabilitasi narkoba tanpa berstempel “status hukum”. Keluarga pasien ketergantungan NAPZA dapat membawa pasien ke bagian rawat jalan di Klinik NAPZA RSKO. Klinik NAPZA menyelenggarakan layanan medis secara rawat jalan yang diberikan pada pasien dengan gangguan ketergantungan NAPZA.
Pasien yang datang ke klinik NAPZA akan dilakukan Skrining dan Assesment NAPZA, intervensi medis dimulai dari fase detoksifikasi sampai fase stabilisasi, abstinensia dan terapi rumatan pada ketergantungan opiad. Rencana terapi yang
sesuai dengan kebutuhan pasien akan disusun berdasarkan hasil assessment yang dilakukan oleh dokter di klinik NAPZA.
Terapi gangguan penggunaan NAPZA meliputi pendekatan medikasi (farmakoterapi) dan intervensi psikososial. Intervensi psikososial akan dilaksanakan dalam bentuk tim yang terdiri atas dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial profesional dan konselor adiksi. Pada kasus-kasus dengan kormodibitas (adanya penyakit penyerta baik fisik ataupun psikis pada pasien dengan gangguan ketergantungan NAPZA) akan dilakukan rujukan ke spesialis terkait. Bagi pasien
yang memenuhi persyaratan dan ketentuan maka biaya rehabilitasi pasien RSKO Jakarta bisa ditanggung oleh pemerintah. Standar pelayanan Rumah Sakit Ketergantungan Obat diatur khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Khusus.
4.1.2 Visi, Misi, dan Motto RSKO Jakarta A. Visi
Menjadi rumah sakit yang unggul dalam pelayanan, pendidikan, dan penelitian dalam bidang NAPZA di tahun 2019.
B. Misi
1. Menyelenggarakan upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif dalam bidang NAPZA dan penyakit terkait secara komprehensif dan paripurna yang memenuhi kaidah mutu keselamatan pasien dan terjangkau oleh masyarakat yang dikelola oleh tenaga yang kompeten.
2. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga profesi serta masyarakat umum dalam bidang NAPZA dan melaksanakan penelitian dan pengembangan berbasis bukti dalam bidang NAPZA.
3. Menjadi sarana bagi pegawai untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan.
C. Motto
1. Ramah, selalu memberikan senyum, salam dan sapa setiap memberikan pelayanan maupun sesama karyawan.
2. Sigap, selalu berusaha cepat, tepat, dan cekatan dalam melakukan pekerjaan maupun pelayanan sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku.
3. Kasih, selalu memberikan kepedulian dan tanggap serta saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain.
4. Optimis, senantiasa memberikan harapan kepada pasien dan keluarganya agar pasien mencapai proses pemulihan yang optimal dari masalah penyalahgunaan NAPZA.
4.1.3 Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan diinginkan.
Struktur organisasi menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi.
Stuktur organisasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta adalah berbentuk piramid, dimana suatu pimpinan tertinggi yaitu Direktur Utama berada di bagian paling atas piramid dan tingkatan pimpinan menengah dan bawahan tiap instalasi ada di bagian-bagian bawah piramid. Struktur organisasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta
4.1.4 Pelayanan di RSKO Jakarta
Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta menyediakan fasilitas pelayanan untuk pasien ketergantungan NAPZA sebagai berikut:
1. Instalasi Rawat Jalan
Instalasi Rawat Jalan terbagi atas beberapa bagian pelayanan, di antaranya : a. Klinik NAPZA : rumatan dan non rumatan.
b. Klinik Umum.
c. Poli Spesialis : klinik jiwa, penyakit dalam, saraf, paru, gigi, dan psikologi.
d. Instalasi Rehab Medik.
e. MCU.
2. Instalasi Gawat Darurat a. Gawat Darurat NAPZA.
b. Gawat Darurat Jiwa.
c. Gawat Darurat Umum.
3. Instalasi Rawat Inap a. Detoksifikasi/ MPE.
b. Rehabilitasi NAPZA.
c. Derawan/Psikiatri.
d. Komplikasi.
4. Fasilitas Penunjang
a. Instalasi Laboratorium : Lab. Klinik dan Lab. Toksikologi.
b. Instalasi Radiologi.
c. Instalasi Farmasi.
d. Instalasi Gizi.
e. Instalasi Pemulasaran Jenazah.
5. Administratif
a. Layanan Pelanggan.
b. Instalasi Administrasi Pasien.
6. Diklit
a. Pendidikan dan Pelatihan.
b. Penelitian dan Pengembangan.
Selain fasilitas di atas, RSKO Jakarta juga memiliki pelayanan unggulan, di antaranya sebagai berikut:
1. Pelayanan NAPZA komprehensif : penerimaan awal (intial intake), detoksifikasi, rehabilitasi pelayanan untuk komplikasi medik, dual diagnosis dan terapi rumatan metadon dan bufrenorfin yang merupakan ciri khas terapi cafeteria guna menjawab kebutuhan penerima layanan. Hal di atas dimaksud untuk menyelaraskan kebutuhan pasien, keluarga dan masyarakat.
2. Sebagai pengampu layanan program rumatan metadon/suboxone.
3. Memberi pelatihan dan pendidikan dari berbagai profesi di bidang pelayanan ketergantungan NAPZA.
4. Menjadi bagian dari jejaring dunia melalui kolaborasi badan dunia (WHO, UNODS, UNAIDS) menyusun pedoman terapi dan pelatihan serta modulnya untuk kepentingan internasional, regional, dan nasional.
5. Menjadi narasumber bagi pelatihan, pelayanan, dan penyusunan perencanaan terapi ketergantungan NAPZA dan HIV/AIDS.
6. Menjadi bagian jejaring pelayanan kesehatan HIV/AIDS dalam promosi, prevensi, terapi dan penelitian. Pesatnya kemajuan teknologi informasi turut memacu tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik secara terus menerus. Tidak bisa tidak, dunia kesehatan khususnya di bidang perumah-sakitan perlu untuk terus menerus melakukan upaya dalam memperbaiki mutu pelayanan kesehatan mereka, baik di bidang sumber daya manusia, fasilitas dan peralatan kedokteran, teknologi informasi dan sebagainya.
4.1.5 Jam Kerja dan Jumlah Tenaga Kerja 4.1.5.1 Jam Kerja
Pekerja di RSKO Jakarta memiliki jam kerja yang berbeda berdasarkan jabatan dan bagian masing-masing. Pekerja yang bekerja di bagian kantor bekerja dari hari senin hingga jumat selama 8 jam/hari. Jam kerja pada waktu libur, bila diperlukan dihitung sebagai jam kerja lembur. Pekerja yang bekerja di bagian pelayanan khususnya perawat memiliki jam kerja dengan shift. Shift kerja perawat terbagi atas 3 shift dengan waktu 8 jam/hari dan rotasi shift dilakukan satu kali seminggu.
Pembagian shift kerja yang diberikan kepada perawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta menjadi sebagai berikut:
Tabel 4.1 Shift kerja perawat di RSKO Jakarta
Rotasi Shift Jam Kerja
Shift Pagi Shift Sore Shift Malam
08.00 – 16.00 WIB 16.00 – 00.00 WIB 00.00 – 08.00 WIB
4.1.5.2 Tenaga Kerja
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sub Bagian Tata Usaha dan kepegawaian menunjukkan bahwa jumlah Sumber Daya Manusia atau tenaga kerja di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta sebagai berikut:
Tabel 4.2 Jumlah Tenaga Kerja di RSKO Jakarta
No. Jabatan PNS Non PNS Jumlah
1. Struktural 15 0 15
3 Tenaga Administrasi 94 28 122
Jumlah 275 44 319
(Sumber: Data Laporan RSKO Jakarta Tahun 2018)
4.2 Pembagian Instalasi Rawat Inap
Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta terbagi atas 3 unit, yaitu:
4.2.1 Detoksifikasi/MPE
Pada saat pasien baru pertama kali masuk ke RSKO Jakarta maka akan ditangani di unit Detoksifikasi/MPE untuk dilakukan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah proses membuang racun dari dalam tubuh seorang pecandu. Ada dua cara detoksifikasi yang dapat dilakukan bagi para pecandu narkoba, yang pertama rapid detoksifikasi atau detok dengan cara cepat. Rapid detoksifikasi cukup
ampuh karena racun hilang dalam waktu dua sampai tiga hari, hanya saja cara ini cukup menyiksa pasien.
Pertama, pasien akan disuntik obat yang bernama Naltrekson. Efek sampingnya, pasien akan merasa kesakitan. Bahkan, sakit yang dirasakan tetap terasa meski sudah dibius. Pasien bahkan harus diikat karena akan meronta dan
karena harus ada dokter anestesi. Cara kedua adalah natural detoksifikasi, cara inilah yang digunakan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. Cara ini lebih halus karena racun dikeluarkan sendiri.
Pada hari pertama ditempatkan di ruang Detoksifikasi/MPE, pasien akan merasa kesakitan atau sering diberikan istilah sakau. Proses berlanjut hingga hari keempat, yang akan menjadi puncak kesakitan bagi pasien. Pada tahap ini, rumah sakit akan memberikan obat penenang. Memasuki hari kelima, rasa sakitnya mulai menurun. Umumnya, pasien benar-benar bersih pada hari kesepuluh dan beberapa pasien bisa mencapai dua minggu. Semua pasien ketergantungan NAPZA harus disembuhkan melalui proses ini. Alasannya, agar tubuh bisa membentuk antibodi dan memperbaiki sel yang rusak selama mengkonsumsi NAPZA supaya tahap pemulihan berjalan lebih maksimal.
4.2.2 Rehabilitasi NAPZA
Setelah pasien selesai melalui tahapan detoksifikasi, maka pasien akan dipindahkan ke unit rehabilitasi NAPZA. Rehabilitasi NAPZA adalah sebuah tingkatan represif yang dilakukan bagi pecandu narkoba. Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga berfungsi sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkoba, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika. Rehabilitasi memiliki 2 bagian, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta melakukan rehabilitasi keduanya, yaitu medis dan sosial.
Rehabilitasi medis merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkoba. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Pengertian dari bekas pecandu narkoba adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap NAPZA secara fisik dan psikis. Selama masa rehabilitasi, pasien harus disiplin dan menaati setiap aturan yang ditetapkan oleh pihak RSKO Jakarta. Pasien juga diajak untuk melakukan berbagai kegiatan yang positif dan bermanfaat bagi kesehatan fisik, mental, dan spiritual. Contoh kegiatan yang dilakukan selama masa rehabilitasi di RSKO Jakarta di antaranya ialah berolahraga, bercocok tanam, kegiatan keagamaan, dan melakukan konseling terhadap pasien.
Dengan dilakukannya pembinaan dan pengobatan selama masa rehabilitasi, diharapkan nantinya korban penyalahgunaan NAPZA dapat kembali normal dan berperilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi merupakan suatu upaya untuk mengembalikan para pecandu narkoba untuk dapat terbebas dari jerat narkoba. Setelah pasien benar-benar dapat dinyatakan sembuh, saat itulah masa rehabilitasi selesai dan pasien dapat kembali kepada keluarga dan melanjutkan aktivitas seperti biasanya.
4.2.3 Komplikasi dan Derawan
Unit Komplikasi dan Derawan tergabung dalam satu instalasi. Komplikasi adalah unit yang melayani pasien dengan penyakit yang sudah kronis dan parah.
Biasanya pasien tersebut adalah pasien ketergantungan NAPZA yang mengidap
penyakit kronis lainnya, seperti HIV/AIDS dan penyakit gangguan hati seperti Hepatitis A dan B. Perawat yang bekerja di unit komplikasi ini pun memiliki tingkat bahaya tertular penyakit akibat kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan perawat di unit lainnya karena pasien yang dirawat di unit komplikasi RSKO Jakarta sebagian besar didiagnosa mengidap penyakit menular. Pasien dirawat sebaik mungkin dengan harapan pasien dapat pulih atau setidaknya keadaan fisik pasien tidak semakin buruk. Namun, tidak sedikit pasien yang sudah masuk ke unit komplikasi sudah tidak dapat tertolong dan meninggal dunia.
Unit derawan adalah salah satu unit di Instalasi Rawat Inap (IRI) yang merawat pasien murni, yaitu dalam artian pasien yang sakit bukan disebabkan oleh NAPZA. Pasien yang ditangani adalah pasien dengan penyakit umum, seperti pasien dengan diagnosa gangguan alat pencernaan, DBD, typus, dan sebagainya.
4.3 Karakteristik Responden 4.3.1 Umur
Gambaran responden berdasarkan karakteristik umur responden dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RSKO Jakarta Tahun 2018
No. Umur Frekuensi Persentase (%)
1 ≤ 35 Tahun 21 56,8%
2 > 35 Tahun 16 43,2%
Total 37 100%
Dari Tabel 4.3 di atas diketahui bahwa umur responden terbanyak adalah ≤ 35 tahun yaitu 21 orang (56,8%) dan paling sedikit responden dengan umur > 35 tahun yaitu 16 orang (43,2%).
4.3.2 Jenis Kelamin
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSKO Jakarta Tahun 2018
No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1 Perempuan 20 54,1%
2 Laki-laki 17 45,9%
Total 37 100%
Dari Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 20 orang (54,1%) dan jumlah responden laki-laki sebanyak 17 orang (45,9%).
4.3.3 Lama Bekerja
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bekerja di RSKO Jakarta Tahun 2018
No. Lama Bekerja Frekuensi Persentase (%)
1 ≤ 12 Tahun 19 51,4%
2 > 12 Tahun 18 48,6%
Total 37 100%
Dari Tabel 4.5 di atas diketahui bahwa lama bekerja responden terbanyak adalah ≤ 12 tahun yaitu sebanyak 19 orang (51,4%) dan sisanya responden dengan lama bekerja > 12 tahun yaitu 18 orang (48,6%).
4.3.4 Ruangan
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Ruangan Bekerja di RSKO Jakarta Tahun 2018
Dari Tabel 4.6 di atas diketahui bahwa perawat terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang Detoksifikasi sebanyak 12 orang (32,4%), ruang Komplikasi sebanyak 12 orang (32,4%), dan ruang Rehabilitasi sebanyak 13 orang (35,1%).
4.4 Identifikasi Potensi Bahaya
4.4.1 Identifikasi Potensi Bahaya pada Perawat dalam Aktivitas Menerima Pasien Baru
Berdasarkan data uraian pekerjaan yang didapat dari rumah sakit serta hasil observasi dan wawancara pada perawat dalam penerimaan pasien baru maka potensi bahaya yang dihadapi perawat dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.7 Potensi Bahaya pada Perawat dalam Aktivitas Menerima Pasien Baru di RSKO Jakarta Tahun 2018
N
Pada Tabel 4.7 diperoleh risiko bahaya yang teridentifikasi dalam aktivitas penerimaan pasien baru berupa diserang pasien dengan frekuensi sering sebanyak 5 orang (13,5 %), kadang-kadang sebanyak 6 orang (16,2%), dan tidak pernah diserang pasien sebanyak 26 orang (70,3%). Risiko terpeleset saat mengejar pasien dialami oleh perawat dengan frekuensi sering sebanyak 1 orang (2,7%), kadang-kadang sebanyak 6 orang (16,2%), dan tidak pernah terpeleset sebanyak 30 orang (81,1%). Risiko sakit pinggang saat menaikkan pasien ke atas kasur dialami oleh perawat dengan frekuensi sering sebanyak 1 orang (2,7%), kadang-kadang sebanyak 11 orang (29,7%), dan tidak pernah mengalami sakit pinggang sebanyak 25 orang (67,6%).
4.4.2 Identifikasi Potensi Bahaya pada Perawat dalam Melakukan Pengkajian Kebutuhan Dasar Pasien di RSKO Jakarta Tahun 2018
Berdasarkan data uraian pekerjaan yang didapat dari rumah sakit serta hasil observasi dan wawancara pada perawat dalam melakukan pengkajian kebutuhan dasar pasien maka potensi bahaya yang dihadapi perawat dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.8 Potensi Bahaya pada Perawat dalam Aktivitas Melakukan Pengkajian Kebutuhan Dasar Pasien
Pada Tabel 4.8 diperoleh risiko bahaya yang teridentifikasi dalam aktivitas pengkajian kebutuhan dasar pasien berupa tertular virus penyakit selama
berkomunikasi dengan pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 4 orang (10,8%) dan tidak pernah mengalami tertular virus penyakit sebanyak 33 orang (89,2%).
4.4.3 Identifikasi Potensi Bahaya pada Perawat dalam Menegakkan Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data uraian pekerjaan yang didapat dari rumah sakit serta hasil observasi dan wawancara pada perawat dalam menegakkan diagnosa keperawatan maka potensi bahaya yang dihadapi perawat dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.9 Tabel Identifikasi Potensi Bahaya Perawat dalam Menegakkan Diagnosa Keperawatan di RSKO Jakarta Tahun 2018
Pada Tabel 4.9 diperoleh risiko bahaya yang teridentifikasi dalam aktivitas menegakkan diagnosa keperawatan berupa diserang pasien dengan frekuensi sering sebanyak 2 orang (5,4%), kadang-kadang sebanyak 3 orang (8,1%), dan tidak pernah mengalami diserang pasien sebanyak 32 orang (86,5%). Risiko bahaya dimaki/ serangan verbal dari pasien dengan frekuensi sangat sering sebanyak 1 orang (2,7%), sering sebanyak 5 orang (13,5%), kadang-kadang
4.4.4 Identifikasi Potensi Bahaya pada Perawat dalam Melaksanakan Tindakan Keperawatan
Berdasarkan data uraian pekerjaan yang didapat dari rumah sakit serta hasil observasi dan wawancara pada perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan maka potensi bahaya yang dihadapi perawat dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.10 Identifikasi Potensi Bahaya pada Perawat dalam Melaksanakan Tindakan Keperawatan di RSKO Jakarta Tahun 2018
N
Kimia - Mata iritasi
Pada Tabel 4.10 diperoleh risiko bahaya yang teridentifikasi dalam aktivitas oksigenasi berupa terluka saat pasien memberontak dengan frekuensi sering sebanyak 1 orang (2,7%), kadang-kadang sebanyak 10 orang (27%), dan yang tidak pernah terluka karena pasien memberontak sebanyak 26 orang (70,3%). Risiko bahaya terpeleset saat mengambil oksigen dengan frekuensi sering sebanyak 1 orang (2,7%), kadang-kadang sebanyak 3 orang (8,1%), dan yang tidak pernah mengalami terpeleset sebanyak 33 orang (89,2%).
Dalam aktivitas memasang dan melepas cairan infus teridentifikasi risiko bahaya berupa tertimpa tiang penyangga infus dengan frekuensi sering sebanyak 2 orang (5,4%), kadang-kadang sebanyak 4 orang (10,8%), dan yang tidak pernah
mengalami tertimpa tiang penyangga infus sebanyak 31 orang (83,8%). Risiko bahaya diserang pasien saat memasang dan melepas cairan infus dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 6 orang (16,2%) dan yang tidak pernah mengalami sebanyak 31 orang (83,8%). Risiko bahaya mata terkena cipratan darah pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 1 orang (2,7%) dan tidak pernah mengalami terkena cipratan darah pasien sebanyak 36 orang (97,3%). Risiko bahaya tertusuk jarum suntik bekas pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 7 orang (18,9%) dan tidak pernah mengalami tertusuk jarum suntik bekas pasien sebanyak 30 orang (81,1%).
Dalam aktivitas mobilisasi dan perubahan posisi pasien teridentifikasi risiko bahaya berupa tangan tertimpa/terjepit dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 1 orang (2,7%), dan tidak pernah mengalami tangan tertimpa/terjepit sebanyak 36 orang (97,3%). Risiko bahaya sakit pinggang/terkilir saat membantu pasien berubah posisi dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 17 orang (45,9%) dan yang tidak pernah mengalami sakit pinggang dengan frekuensi 20 orang (54,1%). Risiko bahaya dimaki pasien dengan frekuensi sering sebanyak 4 orang (10,8%), kadang-kadang sebanyak 13 orang (35,1%), dan yang tidak pernah mengalami dimaki pasien sebanyak 20 orang (54,1%).
Dalam aktivitas menolong pasien BAK/BAB di tempat tidur teridentifikasi risiko bahaya berupa terpeleset dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 3 orang (8,1%) dan yang tidak pernah mengalami terpeleset sebanyak 34 orang (91,9%). Risiko bahaya sakit pinggang karena membungkuk terlalu lama dengan frekuensi sering sebanyak 2 orang (5,4%), kadang-kadang sebanyak 10 orang
(27%), dan tidak pernah mengalami sakit pinggang karena membungkuk sebanyak 25 orang (67,6%).
Dalam aktivitas memandikan pasien teridentifikasi risiko bahaya berupa terpeleset dengan frekuensi sering sebanyak 3 orang (8,1%), kadang-kadang sebanyak 4 orang (10,8%), dan yang tidak pernah mengalami terpeleset sebanyak 30 orang (81,1%). Risiko bahaya berupa tersiram air panas dengan frekuensi tidak pernah sebanyak 37 orang (100%). Risiko bahaya berupa tertimpa baskom air dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 4 orang (10,8%), dan tidak pernah mengalami tertimpa baskom air sebanyak 33 orang (89,2%). Risiko bahaya berupa mata iritasi terkena sabun dengan frekuensi sering sebanyak 2 orang (5,4%), kadang-kadang sebanyak 2 orang (5,4%), dan yang tidak pernah mengalami mata iritasi terkena sabun sebanyak 33 orang (89,2%).
Dalam aktivitas mengukur tekanan darah teridentifikasi risiko bahaya berupa diserang pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 1 orang (2,7%) dan yang tidak pernah mengalami diserang pasien sebanyak 36 orang (97,3%).
Dalam aktivitas memberi makan dan obat teridentifikasi risiko bahaya berupa terjatuh dan tertimpa nampan dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 3 orang (8,1%) dan yang tidak pernah mengalami tertimpa nampan sebanyak 34 orang (91,9%). Risiko bahaya terluka karena pecahan piring dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 1 orang (2,7%) dan yang tidak pernah mengalami terluka karena pecahan piring sebanyak 36 orang (97,3%). Risiko bahaya tertusuk jarum suntik bekas pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 7 orang
(18,9%) dan yang tidak pernah mengalami tertusuk jarum suntik bekas pasien sebanyak 30 orang (81,1%).
Dalam aktivitas melakukan perawatan luka terhadap pasien teridentifikasi risiko bahaya berupa diserang pasien dengan frekuensi sering sebanyak 1 orang (2,7%), kadang-kadang sebanyak 3 orang (8,1%) dan yang tidak pernah mengalami diserang pasien sebanyak 33 orang (89,2%). Risiko bahaya terinfeksi virus penyakit dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 2 orang (5,4%) dan yang tidak pernah mengalami terinfeksi virus penyakit sebanyak 35 orang (94,6%). Risiko bahaya terluka karena peralatan pengobatan dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 4 orang (10,8%) dan yang tidak pernah mengalami sebanyak 33 orang (89,2%).
Dalam aktivitas melakukan pengambilan sampel darah teridentifikasi risiko bahaya berupa diserang pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 5 orang (13,5%) dan yang tidak pernah mengalami diserang pasien sebanyak 32
Dalam aktivitas melakukan pengambilan sampel darah teridentifikasi risiko bahaya berupa diserang pasien dengan frekuensi kadang-kadang sebanyak 5 orang (13,5%) dan yang tidak pernah mengalami diserang pasien sebanyak 32