• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk ustadz , pengurus, dan mad’u, yaitu:

1. Untuk Ustadz Suhro Suhaemi

a. Ada baiknya jika metode-metode yang ada, ditambah, seperti dengan mengarang sebuah buku Islam, membuat sebuah rekaman video (video recording) ketika pengajian diselenggarakan agar tidak hanya karyawan saja atau orang-orang yang mengikuti pengajian beliau saja yang mendapatkan pemahaman agama Islam, melainkan seluruh kaum muslimin, lebih-lebih orang-orang di luar Islam dapat menikmati dakwah dari ustadz Suhro Suhaemi.

b. Ringkasan beliau yang selalu mengunakan bahasa Arab, mungkin bisa menjadikan para mad’u tidak terlalu paham dengan apa yang beliau sampaikan, mungkin sebaiknya ringkasan yang beliau buat, ditambahkan terjemahannya agar mad’u semakin paham terhadap materi yang beliau sampaikan.

c. Dengan keilmuan yang ustadz Suhro miliki, ada baiknya jika ustadz memilki gelar dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi agar semakin berkembang dakwah yang ustadz sampaikan. d. Adanya kerjasama antara ustadz dengan pengurus untuk

menerjemahkan ringkasan materi yang menggunakan bahasa Arab, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

2. Untuk Pengurus Mushalla An-Nabawi

a. Membuat absen untuk para jama’ah yang mengikuti pengajian rutin ini. Sehingga bisa terlihat yang aktif datang dalam pengajian tersebut. b. Membuat sebuah penghargaan kepada setiap karyawan yang rajin

menghadiri pengajian di mushalla An-Nabawi. 3. Untuk para mad’u

b. Jangan sungkan-sungkan untuk bertanya.

c. Mengajak teman yang lain dalam satu pekerjaan untuk ikut serta dalam pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh mushalla An-Nabawi Hotel Menara Peninsula Jakarta Barat.

62

al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

al-Qaradhawi, Yusuf. Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilakan Wajah Islam. Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2004.

al-Sakandari, Ibnu Athaillah. Kitab „Iqadul himam fii syarhil hikam. Bandung: Daarul Fikri, 1400.

Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulullah. Jakarta: Qisthi Press, 2004. Amin, M. Mansyhur. Dakwah Islam dan Pesan Moral (Yogyakarta: Al-Amin

Press, 1997).

Amin, Syamsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2009.

Anten, Elyas. Ashi Injilizi Arabig. Mesir: Elyas Moderrn Press, 1951. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

As’ad, Mohammad. Psikologi Industri. Yogyakarta: Lembaga Management Akademik Management Perusahaan YKPN, 1980.

Azis, Jum’ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah. Solo: Era Intermedia, 2005. Azis, Mohammad Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah Jakarta: Logos, 1997. Daulay, M. Zainuddin. Mereduksi Eskalasi Konflik Antar Umat Beragama di

Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001.

Dimyati, Aan Surachlan. Pengetahuan Dasar Perhotelan. Jakarta: PT. Anom Kosong, 1989.

Haq, Hamka. Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama: Dari Wacana ke Aksi Nyata. Jakarta: Titahandalusia Press, 2002.

Hari Karyono, A. Usaha dan Pemasaran Perhotelan. Bandung: Angkasa, 1999. Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1997. Mahmud, Ahmad, Dakwah Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

Muriah, Siti. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000. S. P. Hasibuan, Malayu. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2011.

Saifudin, Muhammad. Syaamil Al-Qur‟an Miracle The Reference. Jakata: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2011.

Shaleh, Abdur Rasyad. Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.

Tjokroamidjojo, Bintoro. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1974.

Umar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Wijaya, 1998.

Wasito, Woyo. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Cy Pres, 1974.

Waskito, A. A. Waskito. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Wahyu Media, 2012.

Widjaja, A. Administrasi Kepegawaian Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1990.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1989.

MUSHALLA AN-NABAWI HOTEL MENARA PENINSULA JAKARTA BARAT

Narasumber : Ustadz Suhro Suhaemi (da’i)

Pewawancara : Choirul Roziqin (peneliti)

Waktu : Rabu, 24 April 2013

Pukul : 20.00 WIB - selesai

1. P : Apakah bisa ustadz ceritakan tentang riwayat hidup ustadz?

J : Saya lahir pada 13 April 1955, di Ciamis Tasikmalaya Jawa Barat, Bapak saya bernama Suhaemi dan Ibu saya Hajah Enco. Nama lengkap saya sebenarnya Suhro Suhaemi al-Hadi, saya tambahkan nama ayah dan kakek saya yaitu Suhaemi (bapak) dan al-Hadi (kakek). Nama tersebut (Suhaemi dan al-Hadi) saya ambil karena memang ta’zhiman aja kepada orang tua dan kakek, jadi ketika orang mendo’akan saya, dan saya mengamalkan ilmu yang ada, maka akan ikut serta pahala dan kebaikkan untuk ayah dan kakek saya. Saya menikah di tahun 1986, istri saya bernama Apung Hasanah, mertua saya bapak Fakhruddin dan ibu Mamah. Dari pernikahan saya ini, alhamdulillah

saya dikaruniai tiga anak, yang pertama Hanifah Sumiarti, kedua Irfan Hilmi, ketiga Luthfi Akmaluddin. Aktifitas sehari-hari yang saya jalani, yah hanya belajar dan mengajar dari satu masjid ke masjid, dari mushalla ke mushalla lain, dari rumah ke rumah, bersosialisasi pada masyarakat dan juga berdagang sandal, sepatu, tas, dan lain-lain di pasar bedeng.

J : Riwayat pendidikan saya dimulai dari SD (Sekolah Dasar) Negeri 03 Cihaurbeuti, Ciamis, Jawa Barat saya tamat pada tahun 1966.Kemudian SMP saya MTs (Madrasah Tsanawiyyah) Cihaurbeuti, Ciamis, Jawa Barat, di tahun 1971 saya tamat.Kemudian SMA (Sekolah Menengah Atas) saya di Yayasan Pendidikan Palmerah Jakarta Barat, dan tamat pada tahun1984. Selain itu, ada juga pendidikan non-formal yang pernah saya jalani, yang pertama Pesantren Salafiah Pasir Kadu, di Ciamis, Jawa Barat, tamat pada tahun 1974 waktu itu. Terus, mencoba kursus Bahasa Inggris, di Cihideng, Tasikmalaya, Jawa Barat, dan tamat tahun 1975. Meneruskan kembali pesantren di Pesantren Salafiah Ciharbeuti, Ciamis, Jawa Barat, tamat pada tahun 1976. Kemudian juga terus Pesantren kembali di Pondok Pesantren Sadang, Garut, Jawa Barat, dan tamat di tahun 1978. Kembali lagi meneruskan ilmu agama (Pesantren) di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, tepatnya di Raja Pola, Jawa Barat, tamat di tahun 1980. Itu aja kalau di tanya masalah riwayat pendidikan yang pernah saya jalani.

3. P : Bagaimana awal perjuangan dakwah ustadz sampai sekarang?

J : Awalnya itu, sebetulnya, mmmh, “keberanian”, jadi, seandinya engga berani, sulit juga untuk tampil berdakwah, ini adalah sesuai dengan nasehat sayyidina „Ali karramallahu wajhah, yaitu “fa „alaika bissaja‟ah” atrinya (“hendaklah kau berani”), bahkan, “laa takhaf bil ghalat” (“untuk awal-awal jangan sampai kau takut salah. Jadi ketika awal dakwah itu, jangan sampai takut salah, kenapa? Karena kita akan bisa belajar melalui kesalahan tersebut, nantikan tinggal diperbaiki dari kesalahan tersebut, sambung beliau. Kalau

perjuangan saya berdakwah adalah mengajar, dari rumah kerumah, sasaran dakwahnya ada bapak-bapak, anak-anak, remaja, dan lain sebagainya.. Bahkan kalau ceramah-ceramah itu, saya belakangan, sehingga ketika saya dahulu disuruh untuk ceramah, saya sempat menolak, karena menurut saya, waktu itu, ceramah bukan bidang saya, saya fikir, bidang saya yah mengajar. Tapi karena banyaknya tuntutan dari berbagai pihak untuk berceramah atau khutbah, maka saya usahakan, masa sih engga bisa, saya berusaha, dan terus mencoba, akhirnya bisa. Artinya, tidak ada yang engga bisa, kalau memang kita belajar, berani dan semangat, sesuai juga dengan hadist Rasul “man jadda wajada” (“barang siapa yang bersungguh-sungguh maka pasti dia akan berhasil”).

4. P : Apakah tujuan dakwah yang ustadz harapkan?

J : Tujuan dakwah itu sebetulnya, hanya mengembangkan ilmu aja, mmmhh, kata Rasul “barang siapa belajar, mengajar, dan mau mengamalkan kepada

ilmunya, maka Allah akan berikan ilmu yang mereka belum pelajari”, semua tidak lain hanyalah untuk mencari Ridha Allah SWT. Tapi, yah itulah, kalau kita ingin agar cepat dapat ilmu yang belum kita pelajari, mesti rajin belajar, mengajar, apalagi kalau bisa mengarang serta mengamalkannya, maka Allah akan berikan kepada dia ilmu yang belum dia pelajari.

5. P : Menurut ustadz apakah kunci sukses dalam berdakwah?

J : Jadi kunci sukses dalam berdakwah, sebenarnya, ini tidak terlepas dari “lisanul hal afshahul lil lisanil maqal” jadi artinya, perbuatan itu, jauh lebih hebat ketimbang kata-kata, maksudnya, bukan hanya, memberikan tausiah,

mengikuti kepada percontohan Rasul. Rasul itu uswatun hasanah suri tauladan yang bagus di dalam segala bentuk dan segi, baik kata-katanya, perbuatannya, perilakunya, dan diamnya itu, adalah sebuah percontohan. Itulah kunci sukses dalam berdakwah, karena orang lain dapat dipercaya itu, karena melihat dari perilakunya, bukan hanya dari segi omongannnya saja, kalau omongan mah bisa dibuat-buat.

6. P : Apa saja kegiatan dakwah ustadz?

J : Oh, kegiatan dakwah, ada rutinitas dakwah yang saya jalani yaitu mengajar mingguan atau bulanan di masjid-masjid, mushalla-mushalla, instansi-instansi, rumah ke rumah, dan selain mengajar, membuat ringkasan materi, agar dapat dibawa pulang oeh jama’ah, selain itu, saya juga berdakwah dengan cara merekrut khatib jum’at, dengan harapan agar kelak nanti ada generasi Islam yang meneruskan dakwah Rasulullah SAW, kemudian juga menjadi khatib jum’at di beberapa masjid wilayah Jakarta, ceramah agama ketika ada Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), atau juga ceramah saat ada keluarga yang syukuran, kultum, dan yang paling saya andalkan untuk kedepannya nanti adalah mengurus secara langsung Yayasan Pondok Pesantren yang sudah saya bagun dan saya beri nama Pon-Pes Nurul Hasanah di Tasikmalaya Jawa Barat, selain itu juga berdagang sambil berdakwah, karena kadang-kadang ada juga, yang datang ke toko, bukan untuk membeli dagangan melainkan bertanya mengenai agama Islam, ada juga yang curhat, makanya saya beri nama juga toko saya Toko al-Mukasyafah.

J : Kalau bicara hambatan dalam berdakwah tentu ada ya, misalnya setiap kali saya menyampaikan materi, terkadang saya mengalami komunikasi yang tidak efektif. Mugkin karena ada jama’ah yang sulit mencerna atau menerima materi yang saya sampaikan, biasanya karena kurang konsentrasi jama’ah terhadap materi. Ada juga ketika saya memberikan materi, pemahaman jama’ah tidak sesuai dengan apa yang direncanakan (salah persepsi), padahal kalau dilihat dari materi yang dibahas, kemudian waktu dan tempat semuanya sama. Mmmhh, sulit untuk mengukur kira-kira sampai mana nih pemahaman jama’ah terhadap materi yang saya sampaikan. Ada juga hambatannya daya tangkap jama’ah yang tidak mudah dalam menerima isi materi saya. Kemudian juga ada ketergantungan dari pengurus majelis taklim, karena metode dakwah yang ada pada saya ini, tergantung adanya undangan, karena kalau saya engga diundang, maka saya tidak mungkin datang tiba-tiba lalu berceramah di depan jama’ah. Rasulullah juga mengatakan “al-„Ilmu yu‟ta walaa ya‟ti” atinya, ilmu itu harus didatangkan, tidak datang sendiri, maksudnya ialah, dakwah itu harus adanya undangan-undangan. Itu yang saya rasa, juga menjadi hambatan saya dalam berdakwah. Jadi kalau pengurus tidak mengundang, saya tidak mungkin datang begitu saja dan tiba-tiba berdakwah. Artinya juga dakwah itu butuh dukungan dari berbagai macam pihak juga.

Solusinya adalah ketika ada jama’ah yang kurang konsentrasi atau kurang serius dalam menyimak materi yang saya bahas, maka saya mensiasati dengan memberikan sesuatu yang menarik, seperti mengaitkan pembahasan dengan menulis dipapan tulis (white board) berupa do’a-doa yang berkaitan

Allah atau juga dengan humor yang tidak berlebihan. Kemudian saya mengulas kembali apa-apa yang telah saya sampaikan dengan kata-kata yang mudah dicerna oleh para jama’ah. Saya ajak komunikasi aja dengan jama’ah seperti dengan menanyakan, “gimana, faham atau tidak?”, atau dengan saya membuka waktu tanya jawab di dalam atau di luar majelis taklim. Selain itu juga, saya akan selalu men-support kepada jama’ah untuk terus selalu menggali ilmu, dimana pun mereka berada. Dan selalu memberikan motivasi kepada jama’ah untuk selalu belajar, belajar, dan belajar (menuntut ilmu) agar tercapai apa-apa yang dituntut dan mendapat ridha Allah Ta’ala. Dan selain itu, memperbanyak jaringan, teman, pengetahuan dan lain sebaginya, agar dakwah bisa tersebar luas.

Narasumber Pewawancara

(Ustadz Suhro Suhaemi) (Choirul Roziqin)

*Keterangan: P” = Pertanyaan

PENGAJIAN DI MUSHALLA AN-NABAWI HOTEL MENARA PENINSULA JAKARTA BARAT

Narasumber : Ustadz Suhro Suhaemi (pengajar)

Pewawancara : Choirul Roziqin (peneliti)

Waktu : Jum’at, 03 Mei 2013

Pukul : 13.00 WIB - selesai

1. P : Bagaimana dakwah menurut ustadz?

J : Dakwah itu adalah ajakan, artinya kita sebagai da’i mengajak, diri sendiri, keluarga, teman-teman, jama’ah dan orang-orang di luar Islam untuk beribadah kepada Allah SWT, menjalankan semua perintah-Nya, dan menjauhi segala larangannya-Nya. Karena dakwah itu ada dua yah, yang pertama dakwah intern dan ekstern. Intern artinya dakwah ke sesame Islam, dan dakwah ekstern adalah dakwah ke luar agama Islam.

2. P : Metode dakwah apa saja yang ustadz gunakan?

J : Jadi, metodenya itu, mencari metode yang termudah, yang dapt diserap oleh jama’ah, tentunya berupa tausiah, selain itu tanya jawab, atau juga tertulis juga, praktek juga, tapi tergantung dari jama’ahnya, kalau memang jama’ahnya yang memerlukan praktek ya, maka praktek digunakan. Jadi,

tausiah, secara metode tanya jawab.

3. P : Apa rujukan dari metode tersebut?

J : Tentunya tidak keluar dari kitab karangan para ulama, karena mereka adalah pakar dari alquran dan alhadist, artinya yang berbicara sebagai pakarnya, jadi, saya hanya menyambung lidah dari para ulama, karena para ulama yang dapat kita pegang pemahamannya dan pendapatnya, karena tidak pernah keluar dari al-Qur’an dan al-Hadist, artinya, para ulama itu, rujukannya kepada al-Qur’an dan al-Hadist.

4. P : Apakah metode tersebut sudah efektif menurut ustadz?

J : Iya, termasuk sudah efektif menurut saya, tapi, bagi mereka yang ilmunya sudah ada sehingga lebih mudah diserap, kecuali yang ilmunya belum ada, kalau ilmunya belum ada, sulit juga memang, jadi memang tergantung dari tingkatan-tingkata jama’ah juga, bagi mereka orang-orang yang ahli fikir (mau berfikir), tentunya cepat memahami, kemudian cepat diserap juga, tapi bagi mereka yang bukan ahli fikir (malas mikir), tentunya agak juga berat menurut mereka, tentan metode saya ini, karena memang saya, ketika memberikan penjelasan itu, tidak pernah keluar dari definisi dan fakta, atauta‟rif dan dalil. Nah, ini juga sesuai dengan ilmu mantiq, ilmu mantiq itukan isinya dua yah, satu adalah untuk mengetahui kepada ta‟rif artinya definisi, kedua untuk mengetahui kepada dalil artinya fakta. Dan bahkan menurut Imam Ghazali “fa man lam ya‟rif bil‟ilmil mantiq la yusaku bil‟ilmihi” artinya (“barang siapa yang tidak mengerti kepada ilmu mantiq atau ilmu logika, maka dia tidak bisa

fakta.

5. P : Apakah sebelum mengajar ustadz ada persiapan?

J : Memang harus, harus adanya persiapan, kalau engga pakai persiapan dikhawatirkan nanti, “ajraukum „alal fatwaa ajraukum „alannar” (“orang yang paling berani memberikan fatwa atau nasehat tanpa referensi itu adalah mereka orang yang paling masuk neraka.”) ini maqalah ulama, tapi maqalah juga tidak terlepas dari hadist Rasul. Selain itu, dibutuhkan juga persipan fisik, karena tanpa adanya persiapan fisik sulit juga rasanya, karena kalau sakit gimana mau memberikan materi, jangan sakit, mengantuk saja bisa menjadi hamabatan dalam menyajikan materi.

6. P : Apa saja dasar yang digunakan dalam menyajikan materi?

J :Jadi, sebenarnya al-Qur’an dan al-Hadist, dan kitab-kitab para ulama, diantaranya ijma dan kiyas, yaitu kesepakatan para ulama dan pengukuran hukum, dari kata-kata mereka kepada al-Qur’an dan al-Hadist.

7. P : Apakah ustadz peernah mengalami kesulitan ketika memberikan pemahaman kepada mad’u?

J : Kalau kesulitan mah ada saja, jadi tergantung dari kondisi orangnya juga sih, karena terkadang, materi yang disampaikan bisa diserap sama si A, tapi sama si B belum tentu, atau si A faham, tapi si B belum faham, padahal materinya dan penjelasannya sama.

ilmu tasawuf?

J : Oh iya, jadi alasannya adalah, bahwa ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf adalah ilmu yang termasuk ilmu yang fardhu „ain, yang diwajibkan kepada setiap muslim. Sebetulnya di dalam al-Qur’an itu kan ada lima puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan cabang ilmu, kalau umpanya kita diberikan umur yang panjang oleh Allah seribu tahun, itu ilmu yang ada di dalam al-Qur’an tidak akan pernah selesai kita pelajari, maka, oleh karena itu, kata Imam Syafi’I tidak lain, mereka sudah meringkas, bahwa yang wajib kita pelajari adalah “ilmu yang penting-penting saja”, untuk kepentingan kehidupan kita di dunia dan di akhirat yaitu di antaranya ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf.

Narasumber Pewawancara

(Ustadz Suhro Suhaemi) (Choirul Roziqin)

*Keterangan: P” = Pertanyaan

Narasumber : Irfan Hilmi (putra kedua ustadz Suhro) Pewawancara : Choirul Roziqin (peneliti)

Waktu : Kamis, 09 Mei 2013

Pukul : 21.00 WIB - selesai

1. P : Apakah bapak selalu mendidik dengan cara yang baik?

J :Sering, pesan moral sih yang paling ditekan banget, contohnya “irfan jaga nama baik” kalo ini salah langsung dikasih tahu. Kayak bangun subuh, kesiangan misalnya, abis shalat langsung dikasih tahu, nasehatin baik-baik. Kalau pendidikan dunia juga disuruh, tapi lebih mengutamakan urusan agama, karena kalau agama udah kepegang dunia juga ikut.

2. P : Bagaimana figur bapak di mata anda?

J :Bagus, sebagi kepala rumah tangga, tegas, bisa kasih contoh kepada anak-anakanya, selalu mendukung apa yang anak-anaknhya mau bapak juga bakal turutin kemauannya tapi engga keluar jalur. Bapak juga engga egois dengan kemauannya sendiri, kayak bapak punya kemauan anaknya jadi ustdaz tapi kesanaya tergantung anaknya, yang penting jangan keluar dari jalur agama.

3. P : Apa bapak berhasil menjadi seorang ayah? Berhasil

J : Berhasil, dilihat dari segi mana? Setiap hari bapak kasih nasihat, buat jadi orang yang baik sedikit-sedikit dari situ anaknya berubah.

J :Bisa,karena sering diajak bercanda juga, kalo sore biasanya kita tuh ngumpul diruang tamu, sambil nonton tv, dari situ ada becandaan, sambil kasih nasehat. Dengarin ustadz cermah di TV, sekalian kasih gambaran supaya anknya jadi orang yang benar.

5. P : Apakah bapak bisa menjadi guru?

J : Pas banget, soalnya suka ngasih contoh, setiap hari dinasehatoin tapi dengan cara ngobrol engga langsung menggurui. Kayak ngobrol aja gitu.

6. P : Bagaimana cara bapak ketika mendidikanaknya untuk mengambil ilmu dunia akhirat?

J : Sering kasih, katanya jadi anak itu harus bisa bikin bangga orang tua, Minimal tuh mesti mencontoh orang-orang baik. Dukungan materi juga bapak kasih asal anaknya mau benar-benar dan sungguh-sungguh menuntut ilmunya.

Narasumber Pewawancara

(Irfan Hilmi) (Choirul Roziqin)

*Keterangan: P” = Pertanyaan

Narasumber : Lutfi Akmaludin (putra ketiga ustadz Suhro) Pewawancara : Choirul Roziqin (peneliti)

Waktu : Kamis, 09 Mei 2013

Pukul : 21.30 WIB - selesai

1. P : Apakah bapak selalu mendidik dengan cara yang baik?

J : Selalu, biasanya dengan cara dialog, terus juga, menjelaskan pelan-pelan dan sedikit sedikit, ingetin buat shalat, sekolah lebih tinggi lagi, ngaji juga, kalau engga ada waktu di rumah bapak ngajarin secara langsung. Kalau di luar rumah ada pengajian usahain datang, katanya. Bapak maunya ada yang terusin peninggalan dakwahnya, baca kitab-kitabnya.

2. P : Bagaimana figur bapak di mata anda?

J : Bapak tuh engga pernah marah, tapi tegas, misalnya anaknya engga nurut, bapak langsung bilang, “keluar aja gih sana kalau engga mau nurut”, tapi lutfi malah mikir, karena itu bukan kemauan bapak yang asli. Bapak juga.sabar, kalau ada apa-apaan, misalnya ada maslah, engga marah-marah.

3. P : Apa bapak berhasil menjadi seorang ayah? Berhasil

J : Berhasil. Dilihat dari segi mana? Sikapnya, sebagai seorang ayah patut dicontoh kesabarannya. Bapak juga bijaksana sama anak-anaknya. Engga egois.

aja.. tapi liat situasi juga. Kalau bapak lagi capek engga berani. (sambil ketawa)

5. P : Apakah bapak bisa menjadi guru?

J : Bisa, cara ngomong bapak baik-baik kalau lagi nasehatin, masuk di hati.

6. P : Bagaimana cara bapak ketika mendidikanaknya untuk mengambil ilmu dunia akhirat?

J : Salah satu dari anaknya harus ada yang meneruskan pejuangannya.

Narasumber Pewawancara

(Lutfi Akamaluddin) (Choirul Roziqin)

*Keterangan: “P” = Pertanyaan

RUTIN USTADZ SUHRO SUHAEMI Narasumber : Bapak Sofyan Hadi

Pewawancara : Choirul Roziqin (peneliti) Waktu : Rabu, 06 Mei 2013

Pukul :13.00 WIB – Selesai

1. P : Apakah sudah tepat metode yang ustadz Suhro berikan kepada jama’ah?

J : Untuk metode yang beliau bawa, saya bisa katakan sudah tepat, karena beliau memberikan metode yang sesuai dengan yang saya pribadi merasakan tepat untuk memahamami agama. Seperti, materi yang beliau bawa juga sesuai dengan bulan ramadhan, maka beliau mengaitkan materi dengan bulan suci ramadhan.

2. P : Seberapa besar pengaruh dari dakwah yang ustadz Suhro berikan kepada bapak?

J : Kalau untuk saya pribadi ya, memang kalau bicara soal agama, saya memang bukan lulusan atau keluaran dari pesantren atau sekolah agama. Jadi, pengaruh sekali, karena dengan adanya ustadz Suhro mengajarkan aqidah (tauhid) dan akhlak (fiqih dan tasawuf), berkaitan sekali dengan kehidupan sehari-hari, selain itu juga kan, hampir seluruh kawan-kawan disini latar belakangnya

Dokumen terkait