• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP ETIKA SOSIAL DALAM ISLAM

A. Etika Sosial Terhadap Saudara

Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‘ān surah Yūsuf ayat 59 yg berbunyi:

ْم ُكَّل ٍخ َاِب ْيِوْىُخْئا َلاَك ْمِهِشاَهَجِب ْمُهَصَّهَجاََّلََو ْم ُكْيِب َا ْنِّم

َن ْوَسَج َ َاَل

ْيِ ّوَا ْجُلَْاُرْح َخ ْاَهَاَو َلْي َكلْا ى ِف ْو ُا َنح ِلِز

Artinya: Dan ketika dia (Yūsuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik. (QS. Yūsuf [12]: 59)99

Menurut Buya Hamka dalam tafsirnya ―Dan tatkala disediakannya bagi mereka bekal mereka, dia berkata: ―Bawalah kepadaku saudara yang sebapak dengan kamu itu.‖Kamu telah menerangkan bahwa kamu bersaudara 12 orang, yang satu hilang di waktu kecil, yang satu tinggal di kampung bersama ayah, aku ingin berkenalan dengan kalian semuanya, sebab itu kalau kembali lagi kemari bawalah saudara kalian itu: ―Tidakkah kamu lihat bahwasannya aku memenuhi sukatan dan aku adalah sebaik-baik orang yang menerima tamu?‖ 100

99 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟ān dan Terjemahnya, (Jakarta:

PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), hlm. 326.

100 Hamka, Tafsīr Al-Azhar Jilid 5..., hlm. 15.

Dalam penafsiran yang lain menjelaskan bahwa nabi Yūsuf.

terlibat langsung serta aktif dalam upaya pembagian makanan dan pengawasannya, tidak melimpahkan pekerjaan itu kepada bawahannya. Ini terbukti dari pertemuannya dengan saudara-saudaranya di lokasi pembagian itu serta masuknya mereka untuk menemuinya di tempat tersebut. Apa yang dilakukan nabi Yūsuf. ini menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab beliau. Dan itu juga merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi siapa pun dalam menjalankan tugas.101 Setelah dia memuati kendaraan mereka dengan bahan pangan, dan membekali mereka perbekalan lain serta keperluan yang biasa diperlukan oleh para musafir sesuai dengan kesanggupan dan lingkungan mereka. Yūsuf. berkata, ―Bawalah saudara kalian kepadaku dari ayah kalian.‖ Yang dimaksud ialah saudara kandungnya, Bunyamin. Hal ini disebabkan Yūsuf. tidak pernah memberikan kepada setiap orang lebih dari satu muatan unta.

Sedangkan saudara-saudaranya berjumlah 10 orang, maka dia memberi mereka 10 muatan pula. Mereka berkata, ―Sesungguhnya kami mempunyai ayah yang sudah tua renta dan seorang saudara yang tinggal bersamanya.‖ Karena usianya yang sudah lanjut dan kesedihannya yang sangat mendalam, ayah mereka tidak bisa hadir bersama mereka, sedang saudaranya tinggal untuk berbakti kepadanya. Mereka berdua harus mendapatkan makanan. Maka Yūsuf. menyediakan dua unta lain untuk mereka berdua, seraya berkata, ―Bawalah saudara kalian itu kepadaku, agar aku mengetahuinya.‖

Penulis memahami bahwa dalam ayat ini nabi Yusuf.

membiarkan mereka melupakan perihal dirinya. Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya untuk membawa Bunyamin kehadapannya jika kelak kembali lagi. Sesungguhnya tergambar kerinduan seorang kakak terhadap adik kandung yang ia sayangi. Namun kepada saudara-saudaranya yang lain Yusuf tak mendendamkan, ia menerima dan memuliakan saudara-saudaranya dengan baik, serta memenuhi takarannya, Yusuf berkata tidaklah kamu melihat bahwa aku

101 M.Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, (Jakarta: Lentera Hati, 20012 ), Cet. 2, hlm. 477

menyempurnakan takaran dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu?‖ Yusuf berkata demikian agar saudara-saudaranya bisa melihat sendiri betapa Yusuf memuliakan setiap orang yang datang membeli kebutuhan pangan yang sangat langka saat kemarau panjang. Stok kerajaan maupun melayani rakyatnya. Yusuf melayani pembeli dengan sebaik-baik pelayanan, jujur serta menyempurnakan takaran.

tidak menguranginya, bahkan telah menambahkan satu unta untuk saudaranya (Bunyamin). Dengan demikian, sesungguhnya beliau adalah sebaik-baik tuan rumah bagi para tamunya. Hal ini menunjukan sikap darmawan. Karena beliau telah memenuhi keinginan dan mencukupi kebutuhannya. Sebagai seorang muslim, kita harus saling tolong-menolong. Salah satu bentuknya yaitu beramal. Orang yang suka beramal dapat disebut dermawan. Yang mendermawakan hartanya kepada orang yang lebih membutuhkannya.

Sikap dermawan merupakan sikap yang sangat mulia dan di anjurkan dalam Islam. Islam mengajarkan untuk memiliki sikap dermawan seperti yang telah dilakukan oleh nabi Muhammad Saw, sebagai suri tauladan yang baik. Beliau mengajarkan kepada umat Islam untuk saling membantu satu sama lain. Allah sangat menyukai hambanya yang memiliki sikap dermawan. Sikap dermawan dengan suka memberi dan menolong orang lain semata-mata karena mengharap ridha Allah. Sebaliknya, Allah tidak menyukai orang yang bakhil. Orang yang bakhil dan pelit tidak akan masuk surga.102 Sikap dermawan yang dimiliki seseorang akan membantu mengurangi kesenjangan yang ada, antara si kaya dan si miskin. Karena didalam perbuatan dermawan yang dilakukan tidak hanya memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas tetapi juga adanya hubungan atau silaturahmi yang baik antara pemberi dan yang menerimanya. Orang-orang yang menginfakkan hartanya baik dalam keadaan senang ataupun susah senantiasa memperoleh perhatian Allah. Para malaikat berdo‘a memohon tambahan rezeki bagi mereka yang mau menafkahkan hartanya. Sedangkan orang yang menimbun kekayaan

102 Muhammad Arifin Ilham, Dahsyatnya Kekuatan Dzikir dan Sedekah, (Jakarta:

Zikrul Hakim, 2017), hlm. 49.

selalu membayang-bayangkan kehilangan hartanya. Padahal harta benda kelak tidak akan dibawa mati.103

Di dalam ayat lain Allah menjelaskan bagaimana sikap nabi Yūsuf terhadap saudaranya:

ِمْىَيلا ُم ُكْيَلَع َبًِْرْثَجَلّ َلاَك ْم ُك َ

ل ُاللهُس ِفْغٌَ

ُم َحْز َاَىُهَو َنْح ِم ِحاَّسلا

Artinya: “Dia (Yūsuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah yang maha penyayang di antara para penyayang.”

(Q.S. Yūsuf [12]: 92).

Ayat ini menjelaskan betapa indahnya perkataan nabi Yūsuf, sehingga saudara-saudaranya merasa terharu mendengar jawaban itu.

Mulai hari itu jangan disebut-sebut soal itu. Yang telah berlalu biarlah berlalu, dan mulai hari ini kita mengahadapi zaman depan, Allah akan memberi ampunanya terhadap engkau wahai saudara-saudaraku. Jika di dunia ini ada orang yang penyayang, maka Allah lebih penyayang dari sekalian orang-orang itu. Ditutupnya hal itu dengan penuh rasa sayang. Kemudian itu dilanjutkannya perkataanya, sambil memberikan sehelai baju atau kemeja yang bekas dipakainya dan belum dicuci.104

Menurut Quraish Shihāb, kata tatsrīb terambil dari kata tsarraba yang berarti mengecam berulang kali sambil menyebut-nyebut kesalahan dan keburukan.

Dia, yakni Yūsuf yang mendengar penyesalan itu berkata:

―Tidak ada cercaan, tidak ada kecamaan, amarah dan ejekan dariku terhadap kamu pada hari dan saat ini, apalagi hari-hari mendatang.

Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa kamu, dan sungguh wajar Dia mengampuninya karena dia adalah maha penyayang di antara para penyayang bagi seluruh makhluk, khususnya bagi orang yang bertaubat dan menyadari kesalahannya.‖105

103 Abu Laila, Akhlak Seorang Muslim, (Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1995), hlm.

235

104Hamka, Tafsīr Al-Azhar Jilid 5..., hlm. 30.

105 M. Quraish Shihāb, Tafsīr Al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‘ān, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 518.

Ayat ini sangat jelas menerangkan bagaimana besarnya kesabaran Yūsuf dalam menerima kelakuan saudara-saudaranya yang telah membuangnya dalam dasar sumur. Karena memang di antara ciri-ciri sabar yang benar adalah tidak ada memiliki rasa dendam terhadap orang yang menzhaliminya. Ia serahkan segala perkaranya hanya kepada Allah, karena ia yakin segala sesuatu itu berasal dari Allah Swt.

Jika menelusuri lebih dalam dari penafsiran Buya Hamka dalam Qs. Yusuf ayat 59 maka akan ditemukan karakter etika sosial lain yang bahkan memiliki makna yang lebih luas dan mendalam. Dalam surat Yusuf ayat 59 menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. terlibat langsung serta aktif dalam upaya pembagian makanan dan pengawasannya, tidak melimpahkan pekerjaan itu kepada bawahannya. Hal ini terbukti dari pertemuannya dengan saudara-saudaranya di lokasi pembagian itu serta masuknya mereka untuk menemuinya di tempat tersebut. Apa yang dilakukan Nabi Yusuf AS.

ini menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab beliau terhadap tugas yang telah diamanatkan kepada beliau.

Tanggung jawab yaitu kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya baik yang disengaja maupun yang tidak di sengaja.

Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Jadi, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab adalah kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tugas dengan sebaik-baiknya.

Tanggung jawab bersifat kodrati, yang artinya tanggung jawab itu sudah menjadi bagian kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan yang pasti masing-masing orang akan memikul suatu tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Apabila seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa untuk tindakan tanggung jawab tersebut. Sebagaimana firman Allah :

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”(Q.S. Al-Zalzalah ayat 7-8)

Ayat diatas menjelaskan bahwa sekecil apapun amal yang yang kita lakukan semuanya akan mendapat balasan dan kita harus mempertanggungjawabkan segala amal yang kita lakukan. Tanggung jawab bukanlah keistimewaan. Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggung jawabkannya. Bukan hanya dihadapan manusia, tapi juga dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Nabi SAW. bersabda :

Ibnu Umar r.a. mendengar Rasulullah saw. bersabda :” Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. “HR.Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.”106

Hadits di atas menjelaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin dari apa yang dipimpinnya, setiap manusia memiliki tanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan apa yang ia pimpin.

Sebagaimana yang telah dicontohkan didalam hadits diatas bahwa seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, istri adalah pemimpin dirumah suaminya, karena istri merupakan seorang ibu dari anak-anaknya dan ia wajib bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.

106 Muhammad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadis Sahih (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 92.

Setiap manusia yang berjuang memiliki tujuan untuk memenuhi keperluannya sendiri atau untuk keperluan pihak lain. Untuk itu, ia menghadapi manusia lain dalam masyarakat atau menghadapi lingkungan alam. Dalam usahanya itu manusia juga menyadari bahwa ada kekuatan lain yang ikut menentukan, yaitu kekuasaan Tuhan.

Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dibedakan menurut keadaan manusia atau hubungan yang dibuatnya, atas dasar ini, lalu dikenal beberapa macam tanggung jawab, yaitu:

1. Tanggung jawab terhadap Tuhan.

Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab. Manusia mempunyai tanggung jawab langsung terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang telah diatur sedemikian rupa dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macammacam agama.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT. untuk menyembahNya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Setiap manusia akan dipertanyakan dan diperhitungkan serta mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.107

2. Tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Tanggung jawab terhadap diri sendiri menentukan kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi.

3. Tanggung jawab terhadap keluarga

Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarga. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik keluarga.

4. Tanggung jawab terhadap masyarakat.

Pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial.

Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi

107 Ali abdul Halim Mahmud, Fiqih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim Dalam Islam (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 20.

dengan manusia lain. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

5. Tanggung jawab kepada Bangsa / Negara Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara. Orang yang bertanggung jawab akan memperoleh kebahagiaan, karena orang tersebut dapat menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau orang lain. Sebaliknya, jika orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena ia tidak mengikuti aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Sikap tanggung jawab ini wajib dimiliki oleh para guru, karena sebagai guru harus bertanggung jawab atas setiap perkataan dan perbuatannya dalam menyampaikan materi kepada peserta didik.

Selain memiliki karakter etika yang bertanggung jawab, nabi Yusuf, sebagaimana terdapat dalam tafsiran Buya Hamka, merupakan pribadi yang sangat dermawan. Dalam surat Yusuf ayat 59 menjelaskan bahwa nabi Yūsuf . mengabulkan permintaan mereka membeli barang-barang mereka dan menukarkan dengan bahan makanan dan disiapkan untuk mereka 10 pikul bahan makanan dan keperluan-keperluan lain yang dibutuhkan dalam perjalanan, karena mereka berjumlah 10 orang, masing-masing berhak mendapat satu pikul. Tetapi mereka menceritakan bahwa di kampung mereka ada lagi 2 orang yang sangat memerlukan bahan makanan yaitu seorang saudara dan seorang ayah mereka sendiri. Mereka memohon supaya kepada mereka diberikan 12 pikulan sebab yang sepuluh pikulan itu hanya cukup untuk mereka saja. Kemudian Nabi Yusuf AS. berkata kepada mereka bahwa beliau telah menyempurnakan takaran, tidak menguranginya, bahkan telah menambahkan satu unta untuk

saudaranya (Bunyamin). Hal ini menunjukkan sikap dermawan.

Karena beliau telah memenuhi keinginan mereka dalam mencukupi kebutuhannya, dan beliau mengembalikan barang-barang mereka yang ingin ditukarkan.

Sebagai seorang muslim, kita harus saling tolong-menolong.

Salah satu bentuknya yaitu beramal. Beramal akan melatih diri kita untuk lebih memahami kehidupan orang yang tidak beruntung. Orang yang suka beramal dapat disebut dermawan. Ia mendermakan hartanya kepada orang yang lebih membutuhkannya. Sifat dermawan yang dipraktekkan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya menunjukkan bahwa beliau memberi merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh seorang manusia yang memiliki kelebihan harta. Kedermawanan itu tidak terbatas keluarga dan sejawat, melainkan pada seluruh elemen masyarakat yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Dengan kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki lantas tidak menjadikan pribadi Yusuf menjadi pribadi yang sombong dan pelit, sebaliknya hal itu dimanfaatkan oleh Yusuf untuk memberi pertolongan dan membantu saudara-saudara, sanak keluarga, dan rakyatnya yang sangat membutuhkan.

Sifat dermawan yang ditunjukkan oleh Yusuf AS, kepada saudara-suadaranya tersebut, merupakan tanda akan keimanan beliau kepada Allah SWT yang kuat. Kedermawanan tidak boleh dicampur adukan dengan kepentingan dan masalah pribadi terhadap penerima manfaat. Sifat dermawan yang diajarkan oleh Nabi Yusuf dalam ayat 59 tersebut, menunjukkan pada penafian terhadap rasa dendam dan kebencian terhadap saudara-saudaranya, bahkan lebih dari itu sikap yang ditampikan oleh Yusuf menunjukkan bahwa beliau hendak memenuhi kebutuhan saudara dan keluarganya dengan harta yang telah dimiliki.

Dokumen terkait