PATOGEN DENGAN PCR
Perkembangan terkini dalam teknologi, secara teori membuat proses deteksi dan identifikasi bakteri patogen lebih cepat, tepat, sensitif, dan spesifik dibandingkan dengan metode konvensional (Anonim, 2001). Metode deteksi dengan teknik molekuler meliputi DNA probes, Polymerase Chain Reaction (PCR), Restriction Enzyme Analysis (REA), Random Amplification
of Polymorphic DNA (RAPD), Pulsed Field Gel Electrophoresis (PFGE),
dan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) (Jay, 1996).
Metode-metode tersebut sering disebut sebagai metode cepat (rapid methods). Metode deteksi cepat patogen dan kontaminan mikrobiologi lainnya dalam makanan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin keamanan pangan konsumen. Keuntungan dari metode cepat dibandingkan dengan metode konvensional adalah waktu lebih singkat (4–48 jam), tidak membutuhkan banyak tenaga, serta lebih sensitif dan akurat (Patel dan Williams, 1994; Anonim, 2001). Sedangkan metode konvensional untuk mendeteksi patogen asal pangan bergantung pada waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri dalam media kultur, yang diikuti oleh isolasi, identifikasi biokimia, dan terkadang harus diikuti dengan uji serologi.
Metode uji berbasiskan DNA yang telah dikembangkan secara komersial
untuk mendeteksi patogen asal pangan, antara lain: probes, PCR dan
18 amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) (de Boer dan Beumer, 1999).
PCR adalah metode in vitro untuk memperbanyak sekuens DNA
tertentu, perbanyakan tersebut seperti halnya replikasi DNA pada sel hidup. Lazimnya metode ini (PCR standar) memerlukan tahapan isolasi DNA, amplifikasi sekuens target dengan PCR, pemisahan produk amplifikasi (amplikon) dengan elektroforesis gel agarosa, dan memperkirakan ukuran fragmen dengan DNA ladder setelah pewarnaan dengan ethidium bromida. Pada bagian akhir, verifikasi hasil PCR dilakukan dengan pembelahan spesifik amplikon oleh endonuklease restriksi atau pemindahan amplikon
terpisah ke dalam membran kemudian dihibridisasi dengan probe DNA
spesifik. Alternatif verifikasi lain dengan sekuensing langsung menggunakan
semi-nested PCR. Perkembangan PCR lainnya yang lebih nyaman digunakan
ialah real-time PCR, di mana amplifikasi PCR dan verifikasi dilakukan sekali jalan dengan probe khusus (oligonukleotida berlabel fluoresen yang spesifik terhadap gen target).
Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan
sebab akumulasi produk spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang masih mengandalkan elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Hasil dari elektroforesis gel agarosa ini memperpanjang waktu deteksi dan kurang tepat karena pengukurannya berdasarkan ukuran molekul. Padahal molekul yang berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir sama. Pendeteksian dengan gel agarosa menganggap molekul yang berbeda tersebut sebagai molekul yang sama (Dharmaraj, 2009).
Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan PCR standar yang mengkuantitasi amplikon berdasarkan panjang basa atau
bobot molekul. Kuantitas produk real-time PCR dihitung berdasarkan
threshold cycle (Ct) yaitu waktu di mana intensitas fluoresen lebih besar daripada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise (background fluorescence).
Noise dapat disebabkan oleh penempelan larutan isolat DNA beserta
19 Format PCR standar yang berdasarkan analisis titik akhir (fase plato) kurang kuantitatif karena hasil akhir produknya tidak didasarkan konsentrasi sekuens target dalam sampel, tetapi berdasarkan pada ukuran molekul hasil amplifikasi (amplikon). Berikut ini beberapa kekurangan deteksi amplikon jika dilakukan pada fase plato dengan elektroforesis gel agarosa: kurang tepat, sensitivitas rendah, tidak otomatis, hanya berdasarkan ukuran molekul, pewarnaan ethidium bromida kurang sensitif, dan memperpanjang waktu deteksi (Dharmaraj, 2009).
Keunggulan real-time PCR adalah pendeteksian diukur tepat pada saat target amplifikasi terdeteksi pertama kali di setiap siklus (fase eksponensial), bukan di fase akhir amplifikasi (fase plato) seperti yang terjadi pada PCR standar. Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan tanpa membuka tabung sehingga mengurangi risiko kontaminasi amplikon PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edwards et al. (2004), aplikasi teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR. Dengan demikian, penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR standar (Edwards et al., 2004).
Kuantifikasi real-time PCR dapat dilakukan dengan dua teknik: (1) penggunaan dyefluoresence yang berikatan dengan DNA untai ganda, dan (2) penggunaan probe oligonukleotida DNA modifikasi yang mengeluarkan fluoresen ketika hibridisasi dengan DNA komplementer. Data yang dihasilkan dapat dianalisis dengan perangkat lunak komputer yang terhubung dengan thermal cycler untuk menghitung jumlah kopi DNA atau threshold cycle (Ct) dari patogen dalam sampel pangan tertentu.
Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap persiapan, kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk PCR. Tahap persiapan dan evaluasi tersebut dijelaskan lebih lanjut di bawah ini:
1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR
Tahap pra-amplifikasi PCR standar dan real-time PCR tidak
20 isolat DNA sebagai DNA target amplifikasi. Prosedur isolasi DNA merupakan tahapan yang paling banyak dimodifikasi sebelum amplifikasi dengan PCR dimulai. Terdapat enam tahap dalam mengisolasi DNA, yaitu preparasi sampel, pelisisan sel, proteksi dan stabilisasi DNA, pemisahan DNA dari debris sel, presipitasi DNA, dan pemekatan DNA.
Prosedur yang umum digunakan untuk mengisolasi DNA kromosomal sebagai DNA target untuk uji amplifikasi dikembangkan oleh Sambrook et al. (1989). Prosedur isolasi DNA juga dikembangkan oleh Chapaval et al. (2008). Tahapan isolasi DNA prosedur-prosedur tersebut dapat diperbandingkan berdasarkan enam tahap dalam mengisolasi DNA. Enam tahap mengisolasi DNA berdasarkan Sambrook
et al., (1989), sebagai berikut: a. Preparasi sampel
Sampel pangan yang telah diinokulasi secara artifisial dan dihomogenisasi, kemudian diencerkan.
b. Pelisisisan sel
Pelisisan sel dilakukan dengan 10% sodium dodecylsulphate (SDS) dan 0.2 mg/ml proteinase K. Selanjutnya divorteks dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 65°C.
c. Proteksi dan stabilisasi DNA
Suspensi dari tahap persiapan sampel ditambahkan 500 µl buffer (100 mM NaCl, 500 mM Tris (pH 8.0) untuk menjaga kestabilan DNA ketika pelisisan sel.
d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein
DNA dipisahkan melalui ekstraksi dengan larutan fenol:kloroform (1:1 v/v, pH 8.0). Ekstraksi tersebut diulang hingga tiga kali dan setiap kali pengulangan fase aqueous dipindahkan ke tabung bersih.
e. Presipitasi DNA
Fase aqueous ditambah etanol 95% (mengandung 0.3 M sodium asetat) sebanyak 2.5 kali volume fase aqueous, diaduk, kemudian
21 diinkubasi semalam pada suhu -20°C untuk mengendapkan DNA kromosomal.
f. Pemekatan DNA
DNA di-recovery dengan sentrifugasi dan pelet DNA dicuci dua kali dengan etanol 70%.
Enam tahapan mengisolasi DNA berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Chapaval et al. (2008) adalah sebagai berikut:
a. Preparasi sampel
Sebanyak 2.5 ml kultur yang telah diinkubasi semalam dalam
Brain Heart Infusion Broth (BHIB) disentrifus dengan kecepatan
33000 g selama 30 detik, kemudian supernatan dibuang dan pelet diresuspensi.
b. Pelisisisan sel
Pelet diresuspensi dalam 700 µl buffer ekstraksi (1.4 M NaCl; 100 mM Tris-HCl [pH 8.0]; 200 mM EDTA pH 8.0; 40% PVP (polyvinylpyrrolidone); 2% CTAB (cetyltrimethylammonium
bromide), 20 mg/ml Proteinase K; 0.2% β-Mercaptoethanol).
Tabung diinkubasi pada suhu 65°C selama 30 menit dengan pengocokan setiap 10 menit.
c. Proteksi dan stabilisasi DNA
Suspensi dari tahap persiapan sampel diberi buffer 1.4 M NaCl; 100 mM Tris-HCl pH 8.0 untuk menjaga kestabilan DNA ketika pelisisan sel. Buffer tersebut diberikan bersamaan dengan larutan pelisis sel.
d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein
Sebanyak 650µl kloroform:isoamil alkohol (24:1) ditambahkan dan larutan disentrifus pada kecepatan 33000 g selama 7 menit. Fase aqueous di bagian atas dipindahkan ke dalam sebuah tabung 1.5 ml dan 200 µl buffer ekstrasi tanpa proteinase K ditambahkan. Larutan diaduk perlahan dan 650 µl kloroform:isoamil alkohol (24:1) ditambahkan. Tabung kembali disentrifus dan ekstraksi
22 kloroform:isoamil alkohol (24:1) dilakukan dua kali menggunakan 650 µl kloroform:isoamil alkohol.
e. Presipitasi DNA
DNA dipresipitasi dengan penambahan sejumlah volume yang sama dengan isopropanol pada suhu ruang.
f. Pemekatan DNA
Isopropanol dihilangkan dan pelet dicuci dengan 70 µl etanol 70%. Pelet DNA dikeringudarakan dan diresuspensi dalam 40 µl buffer Tris-EDTA (TE) (10 mM Tris-HCl pH 8.0; 1 mM EDTA pH 8.0 dan 10 µg/ml RNAse).
Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. Oleh sebab itu, tahapan ini harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi. Isolasi yang banyak digunakan ialah ekstraksi dengan fenol:kloroform, seperti halnya kedua metode yang telah dijelaskan di atas. Teknik ekstraksi fenol:kloroform menghasilkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan metode pendidihan (Fricker et al., 2007).
Reagen lain yang penting dalam isolasi DNA ialah Phosphate Buffer Saline (PBS) yang berfungsi melarutkan matriks pangan sehingga berada dalam kondisi fisiologis, sekaligus mengendapkan inhibitor-inhibitor yang tidak diperlukan seperti kalsium. Buffer TE digunakan untuk
menjaga tekanan osmotik dan Cetyltrimethyl Ammonium Bromida
(CTAB), Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) berfungsi untuk melisis matriks pangan dan merusak lipid pada membran sel sehingga DNA lebih mudah diekstraksi (Anonim, 2008). Proteinase K digunakan untuk merusak protein dan enzim RNAse berfungsi untuk menghilangkan RNA sehingga dalam suspensi tertinggal hanya DNA.
23 2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR
Amplifikasi yang dijalankan dalam thermal cycler ditampilkan dalam bentuk grafik pada layar komputer dengan software yang aplikabel terhadap thermal cycler, contohnya adalah software IQ-5 (Bio-Rad). Grafik-grafik yang diperoleh berupa grafik amplifikasi, kurva standar, dan
kurva peleburan (melt curve). Grafik tersebut digunakan untuk
mengevaluasi kinerja amplifikasi real-time PCR. a. Grafik amplifikasi
Grafik amplifikasi terbentuk semenjak proses amplifikasi dimulai. Grafik ini berfungsi untuk menentukan apakah dalam
thermal cycler terjadi amplifikasi atau tidak. Grafik amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan
real-time PCR (Edwards et al., 2004)
Amplifikasi ditetapkan berdasarkan intensitas fluoresen, semakin banyak produk amplifikasi yang dihasilkan, semakin besar akumulasi fluoresen yang terbaca. Peningkatan fluoresen tersebut ditandai dengan terbentuknya gradik sigmoidal, seperti yang tergambar pada Gambar 2 (garis hijau). Grafik sigmoid akan berpotongan dengan base line threshold yang telah ditentukan secara otomatis oleh program. Titik perpotongan antara grafik sigmoid dan
base line threshold jika direfleksikan terhadap sumbu x (Cycle) adalah threshold cycle (Ct) bagi sampel yang diamplifikasi. Garis
PCR
Base Line Subtrac
ted RFU
Base line threshold DNA tidak
teramplifikasi DNA teramplifikasi Perpotongan siklus dan Bt Ct Cycle
24 biru pada Gambar 2 akan terbentuk jika tidak terjadi amplifikasi pada thermal cycler.
Nilai Ct adalah siklus di atas noise dimana akumulasi produk (senilai 2n, n ialah jumlah pengulangan siklus amplifikasi) terbaca pertama kali pada fase eksponensial. Fase eksponensial berakhir menjadi fase plato saat pereaksi dalam campuran reaksi PCR sudah habis. Nilai Ct digunakan dalam kurva standar sebagai fungsi terhadap log konsentrasi bakteri.
b. Kurva standar
Kultur murni bakteri yang telah diketahui konsentrasinya (CFU/ml) diencerkan hingga diperoleh konsentrasi bakteri terendah (1 CFU/ml). Seluruh tingkat pengenceran yang berturut-turut,
misalnya mengandung 100-106 CFU/ml diisolasi DNAnya dan
diamplifikasi. Amplifikasi beberapa tingkat pengenceran suatu kultur murni secara otomatis oleh software IQ-5 akan digambarkan dalam bentuk kurva standar, selain grafik amplifikasi. Kurva standar amplifikasi disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Kurva standar amplifikasi kultur murni dari enam tingkat pengenceran dengan real-time PCR (Edwards
et al., 2004)
Enam titik pada kurva standar menunjukkan terdapat enam tingkat pengenceran yang masing-masing memiliki nilai Ct. Kurva
Log konsentrasi bakteri (CFU/ml)
Thres hold c y cle ( Ct ) Kurva Standar
25 standar merupakan hubungan antara log konsentrasi bakteri dan
threshold cycle (Ct). Kurva ini digunakan dalam penetapan limit
deteksi konsentrasi bakteri yang belum diketahui pada suatu sampel pangan. Penetapan limit deteksi tersebut memanfaatkan persamaan linear yang dibentuk kurva standar. Nilai Ct yang diketahui setelah isolat DNA diamplifikasi merupakan nilai y dan log konsentrasi merupakan nilai x dalam persamaan linear tersebut sehingga konsentrasi bakteri dalam suatu sampel pangan dapat diketahui.
c. Melt curve
Kurva peleburan atau melt curve merupakan kurva hubungan antara suhu (T) dan turunan dari unit fluoresen (-d(RFU)/dT) digunakan untuk memonitor perubahan dalam suhu peleburan, yaitu suhu di mana 50% amplikon DNA untai ganda terpisah menjadi dua untai tunggal. Melt curve diperoleh berdasarkan siklus yang ditambahkan setelah siklus amplifikasi. Target amplifikasi dalam siklus tersebut adalah produk amplifikasi (amplikon). Melt curve
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Melt curve yang memiliki sebuah puncak Tm Puncak kurva pada melt curve merupakan nilai Tm amplikon, jika nilainya dibaca pada sumbu absis. Amplikon yang berasal dari DNA target yang sama akan memiliki nilai Tm yang sama,
-d( R FU )/d T Suhu (°C)
26 ditunjukkan dengan puncak pada titik suhu yang sama. Melt curve
pada Gambar 4 memiliki nilai Tm yang sama, berarti produk berasal dari DNA yang sama yaitu DNA target dan produknya spesifik. Selain itu melt curve mampu menunjukkan ada atau tidaknya produk non spesifik. Produk non spesifik akan membentuk puncak pada suhu yang berbeda dengan amplikon (produk spesifik) atau melt curve dapat pula memiliki lebih dari satu puncak suhu.
27 Isolat Salmonella spp.
Pre-enrichment dalam Trypticase Soy Broth (24 jam)
Ditumbuhkan dalam Nutrient Agar
(24 jam)
Uji Serologi (Antigen O) Uji Motilitas dengan agar semi solid
III. METODOLOGI PENELITIAN