• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Metode Deteksi Bakteri Patogen Penyebab Penyakit Asal Pangan di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Metode Deteksi Bakteri Patogen Penyebab Penyakit Asal Pangan di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KAJIAN METODE DETEKSI

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT ASAL PANGAN DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN POM RI

Oleh:

TRI OCTORA ANGELIA F24051927

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

KAJIAN METODE DETEKSI

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT ASAL PANGAN DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN POM RI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

TRI OCTORA ANGELIA F24051927

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(3)

Tri Octora Angelia. F24051927. Kajian Metode Deteksi Bakteri Patogen Penyebab Penyakit Asal Pangan di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Winiati P. Rahayu.

RINGKASAN

Mikroorganisme sering mencemari pangan dan deteksinya dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode cepat. Metode konvensional memerlukan waktu yang lama karena berbasiskan morfologi dan sifat biokimiawi, dan kadang-kadang memerlukan konfirmasi berdasarkan uji serologi. Metode cepat yang berbasiskan Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mengidentifikasi dengan cara memperbanyak DNA target pada patogen. Perbanyakan DNA tersebut dapat berlangsung dengan adanya fragmen oligonukleotida yang komplementer terhadap DNA target tersebut (primer), enzim DNA polimerase, deoksinukleotida, Mg2+, buffer dan thermal cycler. Deteksi patogen dalam pangan juga dilakukan oleh Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari uji serologi untuk konfirmasi Salmonella spp., metode deteksi berbasiskan DNA terhadap B. cereus dalam pangan, dan menetapkan limit deteksi B. cereus dalam nasi goreng.

Konfirmasi Salmonella spp. dilakukan dengan uji serologi antigen O dengan Slide Agglutination Test (SAT). Reaksi positif SAT adalah terbentuknya aglutinasi karena antigen dan antibodi saling mengkompleks. Deteksi B. cereus dengan amplifikasi gen penyandi enterotoksin T menggunakan real-time PCR. Isolat DNA yang digunakan sebagai DNA target dalam amplifikasi diperoleh dari tiga metode isolasi, yaitu metode pendidihan, metode dengan pelarut fenol:kloroform, dan metode dengan kit komersial. Isolat DNA yang sudah diamplifikasi, kemudian ditetapkan limit deteksinya berdasarkan threshold cycle (Ct) amplikon.

(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN METODE DETEKSI

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT ASAL PANGAN DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN POM RI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

TRI OCTORA ANGELIA F24051927

Dilahirkan di Medan, 6 Oktober 1987 Tanggal lulus : 28 Agustus 2009

Menyetujui, Bogor, 7 September 2009

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Prof. Dr. Winiati P. Rahayu Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II / Lapang

Mengetahui,

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, Msi

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1987 di Medan dari pasangan Hisar P. Samosir dan Tiodor Agustina Saragi. Kedua orangtua memberi penulis seorang kakak lelaki, dr. Andre Somba Gugun Samosir dan seorang kakak perempuan Andika Putri Listiawati, STP.

Pendidikan penulis dimulai dari TK Anging Mamiri, dilanjutkan ke SD Negeri Setia Mulya 1, SLTP Negeri 1 Cimahi, dan SMA Negeri 2 Cimahi. Kemudian penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Fakultas Teknologi Pertanian dengan mayor Ilmu dan Teknologi Pangan dan minor Perkembangan Anak.

(6)

i   

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Pengasih. Kebaikan-Nya dan kekuasaan-Nya telah memberi penulis kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Mama dan Papa tersayang, Abang Andre sebagai panutanku, Kakak Andika Putri

sebagai pengaduanku.

2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai pembimbing yang senantiasa menuntun dan mengarahkan penulis selama studi hingga memperoleh kelulusan ini.

3. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu sebagai pembimbing yang memberi kesempatan magang bagi penulis di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI dan memberi saran-saran untuk penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Siti Nurjanah, STP, M.Si sebagai penguji yang memberi masukan bagi penulis demi kelayakan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) atas bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen ITP.

6. Saudara-saudara yang selalu mendukungku, Uda Ridwan beserta Inanguda, Abang Jon, Eda Ika beserta Nate dan Naomi, Nastry, dan Dian yang terkasih. Terima kasih atas doa kalian.

7. Golden Generation ITP 42 yang telah berjuang bersama-sama dalam menempuh studi di ITP. Yanka, Tiyu, Icha, Fahmi, Kamlit, Hesti, Galih, Dina, Ester, Tere senang dapat memiliki pengalaman dan mempelajari hal-hal baru bersama kalian. 8. Ntet, Nonk, Mpe, Ditol, Dini yang terus bersamaku dari awal berada di asrama

IPB hingga studi kita untuk strata-1 ini berakhir.

(7)

ii   

10.Mike, Tiwi, Upik, dan Fauzan yang telah bersama-sama dengan penulis melaksanakan magang di Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM.

11.Seluruh pihak yang telah membantu penulis hingga sampai di titik akhir Strata-1 ini.

Penulis menyadari kekurangan ataupun kesalahan tak lekang dari skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai dan mengharapkan kritik dan saran bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, 7 September 2009

(8)

iii   

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 1

B.TUJUAN ... 4

C.MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A.KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG ... 5

1. Sejarah dan Perkembangan Instansi ... 5

2. Lokasi dan Tata Letak Instansi ... 6

3. Visi dan Misi Instansi ... 6

4. Struktur Organisasi Instansi ... 6

B.KERACUNAN PANGAN ... 8

C.Bacillus cereus ... 9

D.Salmonella spp. ... 11

E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL ... 14

F. METODE DETEKSI CEPAT (RAPID METHOD) BAKTERI PATOGEN DENGAN PCR ... 17

1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR ... 19

2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

A.TEMPAT DAN WAKTU MAGANG ... 27

B.LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN ... 27

(9)

iv   

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 29

2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 30

D.METODE PENELITIAN ... 31

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 31

2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 41

B. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 45

1. Tahap Persiapan Sampel ... 45

2. Tahap Isolasi DNA ... 48

3. Tahap Amplifikasi ... 57

4. Evaluasi Kinerja Real-Time PCR ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A.KESIMPULAN ... 69

B.SARAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(10)

v   

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik

biokimia ... 12 Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007 ... 13

Tabel 3. Data uji serologi antigen O dan motilitas... 41 Tabel 4 Data kurva standar dari metode isolasi pendidihan, ekstraksi dengan

fenol:kloroform, dan ekstraksi dengan kit komersial DNA ... 61 Tabel 5. Limit deteksi kultur murni B. cereus dan B. cereus dalam

(11)

vi   

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1a. Antisera ... 16

Gambar 1b. Visualisasi aglutinasi ... 16 Gambar 2. Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan real-time PCR

(Edwards et al., 2004). ... 23 Gambar 3. Kurva standar amplifikasi kultur murni dari enam tingkat

pengenceran dengan real-time PCR (Edwards et al., 2004) ... 24 Gambar 4. Melt curve yang memiliki sebuah puncak Tm ... 25 Gambar 5. Tahapan kerja pada identifikasi serovar Salmonella spp. ... 27 Gambar 6. Tahapan kerja pada uji amplifikasi DNA kultur murni

B. cereus ... 28 Gambar 7. Tahapan kerja pada uji amplifikasi DNA B. cereus dalam

nasi goreng ... 29 Gambar 8. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA + Polymyxin B ... 46

Gambar 9a. Fase aqueous (atas), Interfase (tengah), dan Fase organik (bawah) dalam isolasi fenol:kloroform yang memiliki lapisan

interfase tebal ... 53 Gambar 9b. Fase aqueous (atas), Interfase (tengah), dan Fase organik

(bawah) dalam isolasi fenol:kloroform yang memiliki lapisan

interfase sangat tipis ... 53 Gambar 10a. Grafik amplifikasi DNA B. cereus hasil isolasi

metode pendidihan ... 60 Gambar 10b. Grafik amplifikasi DNA B. cereus hasil isolasi

metode dengan pelarut fenol:kloroform ... 60 Gambar 10c. Grafik amplifikasi DNA B. cereus hasil isolasi

(12)

vii   

Gambar 10e. Kurva standar kultur murni B. cereus metode dengan pelarut

fenol:kloroform ... 60 Gambar 10f. Kurva standar kultur murni B. cereus metode dengan

kit komersial ... 60 Gambar 11a. Melt curve dari DNA yang diisolasi dengan metode pendidihan 67

Gambar 11b. Melt curve dari DNA yang diisolasi dengan metode ekstraksi

fenol:kloroform ... 66 Gambar 11c. Melt curve dari DNA yang diisolasi dengan metode ekstraksi

(13)

viii   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Struktur organisasi Badan POM RI... 74

Lampiran 2. Prosedur pembuatan media TSB (Atlas, 2006) ... 75

Lampiran 3. Prosedur pembuatan media MYPA (Atlas, 2006) ... 76

Lampiran 4. Persiapan kultur bakteri (PROM Biotech, 2008) ... 77

Lampiran 5. Data jumlah koloni B. cereus dan konsentrasi kultur murni B. cereus ... 78

Lampiran 6. Isolasi DNA metode pendidihan (Hein et al., 2001 dengan modifikasi) ... 79

Lampiran 7. Isolasi DNA metode ekstraksi dengan fenol:kloroform (Sambrook et al., 1989 dengan modifikasi) ... 80

Lampiran 8. Isolasi DNA sesuai dengan panduan kit komersial ... 81

Lampiran 9. Penetapan Limit of Detection (LOD) Mikroba (PROM Biotech, 2008) ... 82

Lampiran 10. Uji motilitas Salmonella spp. ... 83

(14)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peristiwa keracunan pangan sering dilaporkan di media massa dan sering

pula diasumsikan sebagai penyakit ringan seperti sakit perut, mual, dan

muntah. Asumsi ini menyebabkan kajian dan penelusuran terhadap penyakit

asal pangan dengan gejala tersebut kurang mendapat perhatian dari

masyarakat, pemeriksaan kurang seksama dari pemerintah serta pihak terkait

bidang kesehatan. Hal ini terbukti dengan minimnya data dan laporan

mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang diperantarai pangan, padahal

pelaporan sangat penting untuk tindak lanjut investigasi keracunan pangan

dan untuk itu diperlukan pendeteksian dan pengidentifikasian penyebab

keracunan pangan.

Penanganan produk olahan pangan yang buruk dan konsumsi pangan

kurang matang biasanya menjadi penyebab utama keracunan pangan. Salah

satu contoh penyakit akibat keracunan pangan ialah Salmonellosis, hal ini

sering menjadi masalah kesehatan manusia yang disebabkan oleh bakteri

patogen Salmonella (Gast, 2003). Salmonellosis sangat mudah ditularkan dari

hewan ke manusia baik secara langsung ataupun melalui perantara seperti

produk makanan yang berasal dari hewan, tumbuhan, dan lingkungan.

Salmonellaenterica serovar Enteritidis merupakan salah satu penyebab utama

gastroenteritis.

Pangan yang berpeluang tinggi menyebabkan keracunan pangan ialah

pangan yang frekuensi konsumsinya tinggi dan dikonsumsi dalam jumlah

banyak. Pangan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia ialah nasi

(Deptan, 2009). Nasi selain sebagai sumber karbohidrat bagi manusia, juga

menjadi sumber nutrisi bagi mikroorganisme. Produk olahan nasi yang cukup

banyak diminati oleh penduduk Indonesia ialah nasi goreng. Selain itu, nasi

goreng yang digunakan biasanya berasal dari nasi sisa yang dibiarkan

semalam dan baru dimasak keesokan paginya. Hal ini rentan terhadap

kontaminasi bakteri patogen karena dibiarkan pada zona berbahaya (suhu

(15)

2 menganalisis dan menjamin keamanan pangan nasi goreng dari bahaya

mikrobiologi tersebut.

Bakteri patogen yang berkembang dengan baik pada substrat

berkarbohidrat tinggi salah satunya ialah Bacillus cereus (Supardi dan

Sukamto, 1992). Bakteri ini merupakan jenis bakteri Gram positif yang

memiliki peptidoglikan tebal dan mampu menghasilkan spora tahan panas

serta toksin ekstraseluler. Hal ini menyebabkan B. cereus masih mungkin

berkembang walaupun makanan telah dimasak. Jumlah B. cereus yang

mencapai 106 koloni per gram pangan telah mampu menyebabkan keracunan

pangan (USFDA, 2001).

Pendeteksian bakteri patogen dalam pangan pada umumnya dilakukan

dengan metode konvensional yang berbasiskan pada reaksi biokimia. Metode

konvensional memerlukan serangkaian uji, yaitu uji morfologi, uji biokimia,

dan perlu konfirmasi dengan uji serologi. Penetapan serovar melalui uji

serologi merupakan rangkaian pendeteksian Salmonella yang penting sebab

bakteri ini sangat beragam serotipenya. Selain itu, penetapan serovar sangat

membantu studi epidemiologi dan penelusuran sumber bakteri penyebab

penyakit asal pangan. Salah satu metode konvensional untuk menetapkan

serovar Salmonella adalah Slide Agglutination Test (SAT). Melalui uji ini

data kasus epidemiologi keracunan pangan di seluruh dunia dapat

diperbandingkan. Hal ini memakan waktu berhari-hari, padahal konsumsi

pangan terus berlangsung dan perlu tindakan cepat untuk mendeteksi bahaya

mikrobiologi dalam pangan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode deteksi yang

mampu menganalisis faktor penyebab keracunan pangan secara cepat, tepat,

dan sensitif.

Metode deteksi terus mengalami perkembangan untuk melengkapi

ataupun mengatasi keterbatasan metode standar sebelumnya. Metode cepat

yang dalam dekade ini berkembang pesat ialah metode deteksi berbasiskan

DNA. Metode berbasiskan DNA memiliki spesifisitas terbaik dan sesuai

untuk mendeteksi patogen dalam pangan (de Boer dan Beumer, 1999).

Prinsip metode ini adalah hibridisasi antara DNA target dan fragmen

(16)

3 berbasiskan DNA dibedakan menjadi tiga, yaitu hibridisasi asam nukleat

dengan probe, amplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dan

subtyping molekuler.

Amplifikasi DNA dengan PCR, dimana DNA spesifik dari bakteri

patogen diperbanyak mencapai jutaan kopi DNA sehingga tampak sebagai

pita DNA, dilanjutkan dengan deteksi elektroforesis gel agarosa. Namun,

proses amplifikasi dan deteksi yang terpisah ini dianggap berisiko terhadap

kontaminasi pita DNA dan kurang praktis. Oleh karena itu, dikembangkanlah

real-time PCR yang melangsungkan proses amplifikasi dan deteksi sekaligus

dalam sebuah instrumen.

Sensitivitas uji PCR yang tinggi sangat menguntungkan penelusuran

patogen penyebab keracunan pangan (misalnya B. cereus). Secara teoritis

hanya dengan satu molekul DNA dari bakteri dalam pangan, pendeteksian

patogen dapat dilakukan (Naravaneni dan Jamil, 2005). Di samping itu,

teknik ini fleksibel sehingga berkembang secara pesat disesuaikan dengan

kebutuhan analisis. Fleksibilitasnya memberikan keleluasaan bagi peneliti

dalam memodifikasi tahapan persiapan sampel hingga berupa isolat DNA.

Persiapan isolat DNA dan amplifikasi seringkali berbeda bagi setiap bakteri.

Hal ini dilakukan untuk memperoleh optimasi amplikon sehingga deteksi

B. cereus dalam pangan semakin sensitif, akurat, dan valid.

Preparasi isolat DNA sebelum amplifikasi menjadi tahapan penting agar

amplifikasi berjalan lancar. Isolasi DNA menjadi tahapan kritis setiap metode

berbasiskan DNA. Untuk memperoleh isolat DNA dengan kuantitas dan

kualitas yang baik, beragam metode isolasi DNA telah dikembangkan.

Beberapa metode yang digunakan untuk preparasi isolat DNA ialah metode

pendidihan, metode pelisisan dengan pelarut alkalin, dan metode ekstraksi

dengan fenol:kloroform. Metode isolasi DNA dengan fenol:kloroform paling

banyak digunakan untuk mengekstraksi DNA kromosomal dari sel

(Sambrook et al., 1989). Kemurnian isolat DNA berpengaruh besar terhadap

sensitivitas uji real-time PCR. Sensitivitas yang diperoleh dari real-time PCR

lebih tinggi dibandingkan PCR standar, yang ditunjukkan dengan angka limit

(17)

4 Hal yang menjadi tantangan dalam deteksi cepat ialah persiapan sampel

yang belum terstandarisasi. Untuk itu diperlukan pengembangan metode pada

tahap persiapan isolat DNA agar metode PCR menjadi metode analisa yang

lebih baik, lebih cepat serta lebih sensitif, dan selanjutnya metode tersebut

dapat divalidasi.

B. TUJUAN

Secara umum, kegiatan magang ini bertujuan untuk memperluas

wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis mahasiswa serta

mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang keamanan pangan, Pusat

Riset Obat dan Makanan Badan POM RI. Tujuan khusus dari kegiatan

magang ini, antara lain:

1. Mengidentifikasi serovar Salmonella spp dengan metode deteksi

berbasiskan imunologi.

2. Mempelajari metode deteksi B. cereus berbasiskan DNA dengan

real-time PCR, mencakup tahap isolasi DNA dan amplifikasi.

3. Mengevaluasi limit deteksi dan spesifisitas uji B. cereus dari sampel

pangan nasi goreng.

C. MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan ini adalah:

1. Melengkapi data serovar Salmonella spp. yang tumbuh pada sampel

pangan dan data tersebut dapat dipergunakan untuk penelusuran sumber

penyebab kasus keracunan pangan yang mungkin disebabkan oleh genus

Salmonella.

2. Memberikan pengetahuan mengenai perkembangan metode deteksi cepat

dengan real-time PCR serta metode isolasi DNA yang dapat diterapkan

oleh laboratorium-laboratorium uji untuk mendeteksi bakteri patogen

(18)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

1. Sejarah dan Perkembangan Instansi

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat

dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan,

kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern,

industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang

sangat besar mencakup berbagai produk dengan range yang sangat luas.

Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier

yang makin tipis dalam perdagangan internasional, maka produk-produk

tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar ke berbagai

negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu

menjangkau seluruh strata masyarakat.

Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk termaksud cenderung

terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat

termasuk pola konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih

belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara

tepat, benar dan aman. Di lain pihak, iklan dan promosi secara gencar

mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan

seringkali tidak rasional.

Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan

gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan risiko

dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen.

Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan

berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta

berlangsung secara amat cepat.

Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan

Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi,

mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi

keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam

(19)

6 jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum

dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

2. Lokasi dan Tata Letak Instansi

Badan POM RI terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23, Jakarta

Pusat.

3. Visi dan Misi Instansi

Adapun Visi dan Misi dari Badan POM RI adalah :

a. Visi Badan POM RI

Obat dan Makanan terjamin aman, bermanfaat dan bermutu.

b. Misi Badan POM RI

Melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang berisiko

terhadap kesehatan.

4. Struktur Organisasi Instansi

Badan POM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor

166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden

Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan Badan POM RI ini ditindaklanjuti

dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

02001/SK/KBADAN POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah

mendapatkan persetujuan Menteri Negeri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah

struktur organisasi Badan POM:

a. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

b. Sekretariat Utama

c. Inspektorat

d. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,

(20)

7

e. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk

Komplemen

f. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

g. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional

h. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan

i. Pusat Riset Obat dan Makanan

j. Pusat Informasi Obat dan Makanan

k. Unit Pelaksana Teknis Badan POM

Struktur organisasi dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pusat Riset Obat dan Makanan, bagian dari struktur organisasi Badan

POM RI, merupakan tempat magang dipenuhi. Berikut ini adalah

penjelasan lebih lanjut mengenai sub-instansi ini:

a. Kedudukan

Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) adalah unsur pelaksana

tugas Badan POM RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Kepala Badan POM. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari

secara teknis dibina oleh Deputi dan secara administrasi dibina oleh

Sekretariat Utama. Pusat Riset Obat dan Makanan dipimpin oleh

seorang kepala pusat.

b. Tugas dan Fungsi

Sesuai dengan SK Kepala Badan POM RI No. 02001/KBADAN

POM RI tanggal 26 Februari 2001, Pusat Riset Obat dan Makanan

mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi,

keamanan pangan dan produk terapetik.

Pusat Riset Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsi :

1. Penyusunan rencana dan program riset Obat dan Makanan.

2. Pelaksanaan riset obat dan makanan.

3. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset Obat dan

Makanan.

c. Susunan Organisasi

(21)

8 1) Bidang Toksikologi

2) Bidang Keamanan Pangan

3) Bidang Produk Terapetik

4) Kelompok Pejabat Fungsional

5) Sub Bagian Tata Usaha

d. Bidang Toksikologi

Bidang Toksikologi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan

rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan

pelaksanaan riset toksikologi.

e. Bidang Keamanan Pangan

Bidang Keamanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan

penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan

laporan pelaksanaan riset keamanan pangan.

f. Bidang Terapetik

Bidang Produk terapetik mempunyai tugas melaksanakan

penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan

laporan pelaksanaan riset produk terapetik.

g. Sub Bagian Tata Usaha

Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas memberikan pelayanan

teknis dan administrasi di lingkungan Pusat Riset Obat dan Makanan.

B. KERACUNAN PANGAN

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia karena di dalamnya

terdapat zat-zat gizi yang penting bagi kehidupan. Zat-zat gizi tersebut

diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak,

mengatur proses di dalam tubuh, perkembangbiakan, dan menghasilkan energi

untuk beraktivitas. Zat gizi yang dimaksud, antara lain: karbohidrat, protein,

lemak, vitamin dan beberapa mineral. Bahan pangan dengan komponen

tersebut juga merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba.

Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dipengaruhi oleh berbagai

faktor, seperti tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen, dan adanya zat

(22)

9 menguntungkan, tetapi juga dapat mendatangkan kerugian. Misalnya jika

kehadiran mikroba tersebut mengubah bau, rasa, dan warna yang tidak

dikehendaki; menurunkan berat atau volume; menurunkan nilai gizi/nutrisi;

mengubah bentuk dan susunan senyawa serta menghasilkan toksin yang

membahayakan di dalam pangan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Pangan yang memiliki kandungan mikroba tertentu dapat menimbulkan

penyakit bila dikonsumsi. Menurut penyebabnya, penyakit yang ditimbulkan

oleh makanan dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, yaitu keracunan

dan infeksi mikroba. Keracunan dapat terjadi karena tertelannya suatu racun

baik organik atau anorganik yang mungkin terdapat secara alamiah pada bahan

pangan, serta tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme sel-sel

mikroba tertentu. Gejala keracunan karena toksin tersebut disebut intoksikasi.

Sedangkan tertelannya atau masuknya mikroba ke dalam tubuh, kemudian

menembus sistem pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak di dalam

tubuh disebut infeksi (Supardi dan Sukamto, 1999).

Menurut Walderhaug (2007), patogen-patogen penyebab keracunan

pangan, antara lain: Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Clostridium

perfringens, Bacillus cereus, Campylobacter sp., Shigella sp., Clostridium

botulinum, dan Escherichia coli. Salah satu bentuk kasus keracunan pangan

yang disebabkan oleh bakteri patogen ialah keracunan pangan yang menjadi

Kejadian Luar Biasa (KLB) di Amerika, Inggris, Kanada, dan Norwegia.

Bakteri penyebab KLB tersebut adalah Bacillus cereus yang terdapat pada nasi

putih dan nasi goreng (Supardi dan Sukamto, 1999). Agar KLB tersebut dapat

dicegah di Indonesia, diperlukan metode yang mampu mendeteksi bakteri

patogen tersebut pada sampel pangan secara sensitif, spesifik, akurat, dan cepat

untuk menjamin keamanan pangan.

C. Bacillus cereus

Bacillus cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam

famili Bacillaceae. Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri

ini bersifat aerobik sampai anaerobik fakultatif, katalase positif, dan

(23)

10

B. cereus juga memproduksi enterotoksin dan metabolit-metabolit lainnya.

Tidak memproduksi indol, reaksi Voges-Proskauer positif, dapat

menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, mereduksi nitrat, tidak

memproduksi urease dan penisilinase, dapat tumbuh secara anaerobik di

dalam media cair yang mengandung 1% glukosa, memproduksi asam dari

glukosa, sukrosa, maltosa dan gliserol, serta tahan terhadap lisozim (Supardi

dan Sukamto, 1999).

Jenis pangan yang sering ditumbuhi B. cereus terutama adalah daging,

nasi, sayuran, sosis, makaroni, dan kadang-kadang ikan, susu atau es krim.

Pangan penyebab keracunan umumnya mengandung sel B. cereus dalam

jumlah tinggi. Analisis mikrobiologi terhadap B. cereus pada agar darah

menunjukkan bahwa dari 17 KLB yang terjadi di Inggris tahun 1971-1976,

kandungan B. cereus pada nasi penyebab keracunan tersebut berkisar antara

3 x 105 – 2 x 109 CFU/g dengan rata-rata 5 x 107 CFU/g (Supardi dan

Sukamto, 1999). Konsumsi pangan yang mengandung lebih dari

106B.cereus/g (USFDA, 2001) sudah dapat menyebabkan keracunan pangan,

khususnya pada pangan yang dibiarkan saat preparasi tanpa dimasukkan ke

dalam lemari pendingin sebelum dihidangkan.

B. cereus tumbuh cepat apabila substratnya mengandung karbohidrat.

Sedangkan bila substratnya tidak mengandung karbohidrat, pertumbuhannya

akan sangat lambat dan tidak dapat membentuk toksin. B. cereus dapat

tumbuh secara baik pada media yang mengandung 0.025 M glukosa dan

mencapai maksimum setelah 4.5 jam (Supardi dan Sukamto, 1999). Produksi

toksin terjadi selama pertumbuhan logaritmik, dan mencapai maksimum

sampai glukosa di dalam medium habis dipecah oleh bakteri tersebut.

Galur B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri

penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sifat

patogeniknya, yaitu galur penyebab diare dan galur penyebab muntah. Galur

penyebab diare yang memproduksi enterotoksin dapat tumbuh pada berbagai

pangan dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya

(24)

11 emetik mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam (Supardi dan

Sukamto, 1999).

Galur B. cereus yang beragam tersebut dapat dibedakan berdasarkan gen

spesifik yang dimiliki masing-masing galur. Berdasarkan beberapa penelitian

terdapat beberapa gen spesifik yang terdapat pada B. cereus, antara lain: gen

penghasil cereulide (ces), sejenis toksin emetik (Fricker et al., 2007),

phosphotidyl inositol (PI-1) (Myers dan Sakelaris, 2004), gyrase (gyrB)

(Myers dan Sakelaris, 2004), enterotoksin non-hemolitik (Nhe) (Hansen dan

Hendriksen, 2001), sitotoksin (cytK) (Lund et al., 2000), hemolysin (hblA)

(Mantynen dan Lindstrom, 1998), dan enterotoksin T (BceT) (Mantynen dan

Lindstrom, 1998).

Target gen spesifik akan menentukan primer yang digunakan dalam uji

amplifikasi dengan PCR, target gen yang banyak digunakan ialah ces karena

toksin ini spesifik dihasilkan B. cereus emetik (Fricker et al., 2007). Berbeda

dengan sekuens gen 16S rRNA karena identik dengan beberapa bakteri lain,

termasuk B. anthracis. Keidentikan tersebut terlihat dari struktur primer 16S

rRNA Bacillus anthracis, Bacillus cereus, Bacillus mycoides, dan Bacillus

thuringiensis setelah ditetapkan dengan metode sekuensing dideoksi

transkripsi terbalik, hasilnya menunjukkan semua galur memiliki sekuens

serupa (tingkat kemiripannya lebih dari 99%) (Ash et al., 1991).

Penggunaan gen spesifik bersamaan dengan dye fluoresence pada

real-time PCR memberikan limit deteksi (LOD) B.cereus sebesar 101-103 cfu/g

sampel pangan tanpa tahap pre-enrinchment. Dengan pengkayaan, limit

deteksi dapat mencapai 100 cfu/g. Apabila metode isolasi DNA dengan

pendidihan saja, limit deteksi menjadi kurang sensitif (Fricker et al., 2007).

D. Salmonella spp.

Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tidak

membentuk spora, fakultatif anaerobik, mampu tumbuh pada pH mendekati

4.0-9.0 dengan pH optimum 7.0, dan termasuk dalam famili

Enterobacteriaceae. Bakteri ini berukuran 0.7-1.5 x 2-5 µm, motil dengan

(25)

12 yang tidak motil karena tidak mempunyai flagela. Bakteri ini tumbuh

optimum pada suhu 35-37°C, dapat mengkatabolisme bermacam karbohidrat

menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber tunggal karbon,

memproduksi H2S dan dapat mendekarboksilasi lysine menjadi kadaverin dan

ornithin menjadi putrescin. Salmonella dapat tumbuh pada kadar garam

maksimal 8% (Rusyanto, 2005).

Nama Salmonella pertama kali diberikan oleh Lignieres pada tahun 1990

sebagai penghormatan kepada seorang ahli bakteriologi Amerika Serikat

D.E. Salmon yang telah berhasil mengkarakterisasikan bakteri Bacillus

penyebab kolera pada babi dan memasukkannya dalam famili

Enterobacteriaceae. Taksonomi Salmonella pertama kali diperkenalkan oleh

White (1929) dan dimodifikasi oleh Kauffman (1934). Tahun 1966,

Kauffman mulai mengklasifikasikan 51 grup somatik Salmonella menjadi

4 sub genera dengan menggunakan karakteristik biokimia. Sub genus kelima

lalu ditambahkan setelah ditemukannya beberapa karakteristik yang berbeda.

Adapun karakteristik biokimia masing masing sub genus dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik

biokimia*

Klasifikasi Karakteristik

Subgenus 1 Mampu menggunakan dulcitol, banyak berhubungan atau

ditemukan pada manusia atau hewan vertebrata berdarah panas. Isolasi frekuensinya sangat tinggi

Subgenus 2 Mampu menggunakan dulcitol dan malonat

Subgenus 3 Mampu menggunakan malonat dan

O-nitriphenyl-ß-D-galactopyranoside (ONPG)

Subgenus 4 Mampu tumbuh dalam KCN

Subgenus 5 Tidak dapat memetabolisme dulcitol, malonat, mampu

mengkatabolisme ONPG dan tumbuh dalam KCN

*Sumber: D’Aoust (2000)

Genus Salmonella terdiri dari dua spesies, yaitu S. enterica. dan

S. bongori. Spesies S. enterica masih dapat dikelompokkan lagi menjadi

enam subspesies, antara lain: S. enterica subsp. enterica, S. enterica subsp.

salamae, S. enterica subsp. arizonae, S. enterica subsp. diarizonae, S. enterica

subsp. houtenae, and S. enterica subsp. indica berdasarkan antigen (O)

somatik dan antigen (H) flagelar melalui serotyping. Distribusi spesies

(26)

13 Spesies dan subspesies dibedakan berdasarkan uji biokimia, serologi, dan

genetik (Mazumdar, 2008).

Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007*

Spesies Subspesies Jumlah serovar

Salmonellaenterica Enterica (I) 1531

Salamae (II) 505

Arizonae (IIIa) 99

Diarizonae (IIIb) 336

Houtenae (IV) 73

Indica (V) 13

Salmonellabongori (VI) 22

Total 2579

*Sumber: World Health Organization (WHO), 2009

Spesies terbanyak dari genus Salmonella adalah Salmonella enterica dan

subspesies terbanyak ialah subspesies enterica yang berjumlah 1531 serovar.

Angka romawi pada masing-masing subspesies, kecuali angka VI pada

spesies Salmonella bongori, digunakan untuk mempersingkat penamaan

serovar.

Pada tingkat genus diferensiasi Salmonella ke dalam spesies didasarkan

pada perbedaan reaksi bakteri terhadap antigen. Hingga tahun 2000 lebih dari

2500 serovar Salmonella telah teridentifikasi (D’Aoust, 2000). Skema yang

disepakati secara internasional untuk menetapkan serovar Salmonella hingga

saat ini ialah skema Kauffmann-White. Seluruh serotipe Salmonella

ditetapkan berdasarkan antigennya (Mazumdar, 2008).

Antigen O merupakan antigen karbohidrat bagian dari lipopolisakarida.

Gram negatif, salah satunya Salmonella, memiliki antigen O yang unik. Dan

antigen H tersusun dari subunit protein, disebut flagelin, yang membentuk

karakteristik flagela. Salmonella merupakan bakteri enterik yang unik karena

bakteri ini dapat mengekspresikan dua antigen flagela yang berbeda. Kedua

antigen flagela dikenal dengan antigen H fase 1 (monofasik) dan fase 2

(bifasik). Isolat dengan flagela monofasik hanya menunjukkan satu tipe

flagelin, sedangkan Salmonella bifasik memiliki fase 1 dan 2 pada antigen H.

Penentuan tipe bifasik dengan cara menginokulasi Salmonella pada media

inversi, yaitu media semi solid yang diberikan antisera positif dari fase 1.

(27)

14 meluasnya koloni ke tepi agar, sedangkan Salmonella monofasik tidak motil

sebab antibodi yang terdapat pada sera telah berikatan dengan antigen flagela

pada bakteri tersebut.

Salmonella merupakan bakteri patogen penyebab Salmonellosis. Gejala

klinis salmonellosis pada manusia terbagi menjadi demam tifoid dan non

tifoid. Demam tifoid atau disebut dengan demam enterik disebabkan infeksi

oleh galur tifoid atau paratyphi sehingga disebut salmonellosis tifoid. Demam

enterik dapat ditularkan atau disebarkan oleh individu yang terinfeksi serta

makanan atau minuman yang terkontaminasi. Demam non tifoid disebut juga

gastroenteritis merupakan infeksi terbatas dan terlokalisasi pada epitel

intestinal. Gejala salmonellosis non tifoid hampir mirip dengan salmonellosis

tifoid, yaitu: mual, kram abdominal, diare berair dan mungkin berdarah,

demam dengan durasi kurang dari 48 jam, serta muntah dapat terjadi 8-72 jam

setelah terinfeksi.

Center for Disease Control and Prevention (CDC, 2008) Amerika

Serikat mengestimasi setiap tahunnya di Amerika Serikat jumlah kasus

penyakit Salmonellosis non tifoid dari bahan pangan (foodborne disease)

mencapai 1.4 juta kasus, 15608 harus dirawat dan 553 meninggal (30.6% dari

seluruh kasus kematian yang disebabkan oleh patogen asal pangan).

E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL

Analisis pangan terhadap kemungkinan adanya bakteri patogen atau

bakteri pembusuk merupakan standar yang diharuskan untuk mengetahui

kualitas pangan dan menjamin keamanan pangan (de Boer dan Beumer,

1999). Analisis tersebut biasanya menggunakan metode konvensional yang

telah distandarkan sehingga setiap negara di dunia memiliki standar yang

sama dalam menilai kualitas pangan.

Metode deteksi konvensional yang dimaksud ialah metode pengkulturan

bakteri pada media spesifik dan menghitung sel bakteri yang hidup dalam

pangan. Prinsipnya ialah mikroorganisme bermultiplikasi pada media

(28)

15 hasil uji baik kuantitatif ataupun kualitatif, dan menjadi standar bagi uji

mikrobiologi terhadap produk pangan secara internasional.

Metode konvensional meliputi persiapan media kultur (pengkayaan,

pengkayaan selektif, dan penumbuhan pada agar selektif), penghitungan

koloni, pengkarakterisasian dengan uji biokimia, yang dapat dilanjutkan

dengan penetapan serotipe (serovar) dengan uji serologi.

Uji biokimia saat ini dipermudah dengan adanya API test. Identifikasi

dengan API, menurut USFDA dalam BAM (2007), tidak dapat menggantikan

uji serologi. API test hanya untuk mengidentifikasi perkiraan spesies tertentu,

misalnya Salmonella spp. Oleh karena itu, penetapan serovar Salmonella

tidak dapat ditentukan dengan uji biokimia API.

Bakteri dari genus yang sama, setelah diuji biokimiawi memiliki sifat

biokimia yang sama, tidak menjamin bahwa bakteri-bakteri tersebut berasal

dari serovar yang sama. Bakteri-bakteri tersebut bisa saja berasal dari

subspesies yang sama, tetapi serotipenya berbeda. Hal ini disebabkan dinding

sel mikroorganisme mengandung protein dan lipopolisakarida. Setiap bakteri

memiliki kemungkinan stuktur molekul protein atau lipopolisakarida yang

berbeda. Antigen merupakan bagian dari struktur tersebut, oleh karena itu

antigen setiap bakteri mungkin pula berbeda-beda. Pada genus Salmonella

pembedaan antar subspesies dapat lebih lanjut dilakukan dengan melihat

antigen O, antigen Vi, dan antigen H spesies tersebut.

Konfirmasi patogen dengan uji imunologi dapat dilakukan dengan Slide

Agglutination Test (SAT) yang diterapkan pada uji serologi. Uji serologi

(serotyping) merupakan tahapan dalam metode konvensional untuk

mengkonfirmasi koloni tipikal yang telah diperoleh dari uji morfologi dan uji

biokimia. Juga mengidentifikasi organisme pada tingkat subspesies dan

menjadi salah satu alat penting bagi klasifikasi taksonomi serta pengawasan

kasus keracunan pangan atau KLB akibat kontaminasi patogen tertentu,

misalnya Salmonella spp. Walaupun uji biokimia juga mengkonfirmasi

koloni tipikal, uji tersebut tidak dapat mensubstitusi uji serologi. Sebab kedua

(29)

16 Serotipe galur Salmonella dilakukan dengan mengidentifikasi antigen

permukaan (LPS, antigen O) terlebih dahulu, kemudian antigen flagela

(protein, antigen H). Sebagian besar galur Salmonella menunjukkan 2 fase

antigen H. Setelah keseluruhan serotyping dilaksanakan, barulah serotipe

dapat ditetapkan berdasarkan skema Kauffmann-White, Popoff dan Le Minor,

(WHO, 2009) memanfaatkan kombinasi antigen O dan antigen H spesifik.

Prinsip uji ini adalah aglutinasi antigen pada patogen-antibodi dalam

antisera. Aglutinasi yang diharapkan terjadi (uji positif) pada SAT terbentuk

karena antigen dan antisera berikatan. Proses aglutinasi memerlukan proporsi

antisera dan suspensi bakteri yang tepat atau ekuivalen, agar dapat terlihat

jelas dengan mata telanjang. Penetesan antisera dikendalikan dengan pipet

tetes (lihat tanda panah pada Gambar 1a) yang melengkung dan menyempit di

bagian ujungnya untuk memperkecil volume antisera yang diteteskan.

(a) (b)

Gambar 1. (a) Antisera; (b) Visualisasi aglutinasi [sebelah kiri pada slide]

Kelebihan atau kekurangan salah satu di antara kedua komponen tersebut

tidak akan menghasilkan ikatan yang kompak sehingga aglutinasi tidak

terlihat jelas pada gelas objek. Visualisasi dari aglutinasi ditunjukkan oleh

tanda panah pada Gambar 1b.

Kekurangan dari metode ini ialah memerlukan pengalaman yang baik

dari peneliti untuk melihat aglutinasi, menghabiskan antisera cukup banyak,

memerlukan waktu pengujian serologi saja minimal tiga hari. Prosedur yang

panjang dan diperlukannya waktu inkubasi di setiap tahapan menyebabkan

(30)

17 lain dari metode ini ialah diperlukan banyak alat gelas dan tenaga peneliti

(tidak otomatis dengan instrumen).

Saat ini telah banyak teknik yang dikembangkan untuk mempermudah

pelaksanaan metode konvensional, misalnya: gravimetric diluter, pulsifier

dan stomacher yang mempermudah homogenisasi; spiral plater, dipslide, dan

petrifilm untuk enumerasi dan deteksi; colony counter dan kit uji untuk

konfirmasi atau identifikasi (de Boer dan Beumer, 1999). Meskipun demikian

waktu pendeteksian tidak berkurang secara signifikan hingga

dikembangkanlah metode deteksi cepat.

F. METODE DETEKSI CEPAT (RAPID METHOD) BAKTERI

PATOGEN DENGAN PCR

Perkembangan terkini dalam teknologi, secara teori membuat proses

deteksi dan identifikasi bakteri patogen lebih cepat, tepat, sensitif, dan

spesifik dibandingkan dengan metode konvensional (Anonim, 2001). Metode

deteksi dengan teknik molekuler meliputi DNA probes, Polymerase Chain

Reaction (PCR), Restriction Enzyme Analysis (REA), Random Amplification

of Polymorphic DNA (RAPD), Pulsed Field Gel Electrophoresis (PFGE),

dan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) (Jay, 1996).

Metode-metode tersebut sering disebut sebagai metode cepat (rapid methods).

Metode deteksi cepat patogen dan kontaminan mikrobiologi lainnya

dalam makanan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin

keamanan pangan konsumen. Keuntungan dari metode cepat dibandingkan

dengan metode konvensional adalah waktu lebih singkat (4–48 jam), tidak

membutuhkan banyak tenaga, serta lebih sensitif dan akurat (Patel dan

Williams, 1994; Anonim, 2001). Sedangkan metode konvensional untuk

mendeteksi patogen asal pangan bergantung pada waktu yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan bakteri dalam media kultur, yang diikuti oleh isolasi,

identifikasi biokimia, dan terkadang harus diikuti dengan uji serologi.

Metode uji berbasiskan DNA yang telah dikembangkan secara komersial

untuk mendeteksi patogen asal pangan, antara lain: probes, PCR dan

(31)

18 amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) (de Boer dan

Beumer, 1999).

PCR adalah metode in vitro untuk memperbanyak sekuens DNA

tertentu, perbanyakan tersebut seperti halnya replikasi DNA pada sel hidup.

Lazimnya metode ini (PCR standar) memerlukan tahapan isolasi DNA,

amplifikasi sekuens target dengan PCR, pemisahan produk amplifikasi

(amplikon) dengan elektroforesis gel agarosa, dan memperkirakan ukuran

fragmen dengan DNA ladder setelah pewarnaan dengan ethidium bromida.

Pada bagian akhir, verifikasi hasil PCR dilakukan dengan pembelahan

spesifik amplikon oleh endonuklease restriksi atau pemindahan amplikon

terpisah ke dalam membran kemudian dihibridisasi dengan probe DNA

spesifik. Alternatif verifikasi lain dengan sekuensing langsung menggunakan

semi-nested PCR. Perkembangan PCR lainnya yang lebih nyaman digunakan

ialah real-time PCR, di mana amplifikasi PCR dan verifikasi dilakukan sekali

jalan dengan probe khusus (oligonukleotida berlabel fluoresen yang spesifik

terhadap gen target).

Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan

sebab akumulasi produk spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal

ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang masih mengandalkan

elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Hasil dari

elektroforesis gel agarosa ini memperpanjang waktu deteksi dan kurang tepat

karena pengukurannya berdasarkan ukuran molekul. Padahal molekul yang

berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir sama.

Pendeteksian dengan gel agarosa menganggap molekul yang berbeda tersebut

sebagai molekul yang sama (Dharmaraj, 2009).

Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan

PCR standar yang mengkuantitasi amplikon berdasarkan panjang basa atau

bobot molekul. Kuantitas produk real-time PCR dihitung berdasarkan

threshold cycle (Ct) yaitu waktu di mana intensitas fluoresen lebih besar

daripada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise (background fluorescence).

Noise dapat disebabkan oleh penempelan larutan isolat DNA beserta

(32)

19 Format PCR standar yang berdasarkan analisis titik akhir (fase plato)

kurang kuantitatif karena hasil akhir produknya tidak didasarkan konsentrasi

sekuens target dalam sampel, tetapi berdasarkan pada ukuran molekul hasil

amplifikasi (amplikon). Berikut ini beberapa kekurangan deteksi amplikon

jika dilakukan pada fase plato dengan elektroforesis gel agarosa: kurang tepat,

sensitivitas rendah, tidak otomatis, hanya berdasarkan ukuran molekul,

pewarnaan ethidium bromida kurang sensitif, dan memperpanjang waktu

deteksi (Dharmaraj, 2009).

Keunggulan real-time PCR adalah pendeteksian diukur tepat pada saat

target amplifikasi terdeteksi pertama kali di setiap siklus (fase eksponensial),

bukan di fase akhir amplifikasi (fase plato) seperti yang terjadi pada PCR

standar. Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan

tanpa membuka tabung sehingga mengurangi risiko kontaminasi amplikon

PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edwards et al. (2004), aplikasi

teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan

meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR. Dengan demikian,

penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR

standar (Edwards et al., 2004).

Kuantifikasi real-time PCR dapat dilakukan dengan dua teknik:

(1) penggunaan dyefluoresence yang berikatan dengan DNA untai ganda, dan

(2) penggunaan probe oligonukleotida DNA modifikasi yang mengeluarkan

fluoresen ketika hibridisasi dengan DNA komplementer. Data yang

dihasilkan dapat dianalisis dengan perangkat lunak komputer yang terhubung

dengan thermal cycler untuk menghitung jumlah kopi DNA atau threshold

cycle (Ct) dari patogen dalam sampel pangan tertentu.

Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap

persiapan, kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk

PCR. Tahap persiapan dan evaluasi tersebut dijelaskan lebih lanjut di bawah

ini:

1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR

Tahap pra-amplifikasi PCR standar dan real-time PCR tidak

(33)

20 isolat DNA sebagai DNA target amplifikasi. Prosedur isolasi DNA

merupakan tahapan yang paling banyak dimodifikasi sebelum amplifikasi

dengan PCR dimulai. Terdapat enam tahap dalam mengisolasi DNA,

yaitu preparasi sampel, pelisisan sel, proteksi dan stabilisasi DNA,

pemisahan DNA dari debris sel, presipitasi DNA, dan pemekatan DNA.

Prosedur yang umum digunakan untuk mengisolasi DNA

kromosomal sebagai DNA target untuk uji amplifikasi dikembangkan

oleh Sambrook et al. (1989). Prosedur isolasi DNA juga dikembangkan

oleh Chapaval et al. (2008). Tahapan isolasi DNA prosedur-prosedur

tersebut dapat diperbandingkan berdasarkan enam tahap dalam

mengisolasi DNA. Enam tahap mengisolasi DNA berdasarkan Sambrook

et al., (1989), sebagai berikut:

a. Preparasi sampel

Sampel pangan yang telah diinokulasi secara artifisial dan

dihomogenisasi, kemudian diencerkan.

b. Pelisisisan sel

Pelisisan sel dilakukan dengan 10% sodium dodecylsulphate

(SDS) dan 0.2 mg/ml proteinase K. Selanjutnya divorteks dan

diinkubasi selama 2 jam pada suhu 65°C.

c. Proteksi dan stabilisasi DNA

Suspensi dari tahap persiapan sampel ditambahkan 500 µl buffer

(100 mM NaCl, 500 mM Tris (pH 8.0) untuk menjaga kestabilan

DNA ketika pelisisan sel.

d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein

DNA dipisahkan melalui ekstraksi dengan larutan

fenol:kloroform (1:1 v/v, pH 8.0). Ekstraksi tersebut diulang hingga

tiga kali dan setiap kali pengulangan fase aqueous dipindahkan ke

tabung bersih.

e. Presipitasi DNA

Fase aqueous ditambah etanol 95% (mengandung 0.3 M sodium

(34)

21 diinkubasi semalam pada suhu -20°C untuk mengendapkan DNA

kromosomal.

f. Pemekatan DNA

DNA di-recovery dengan sentrifugasi dan pelet DNA dicuci dua

kali dengan etanol 70%.

Enam tahapan mengisolasi DNA berdasarkan metode yang

dikembangkan oleh Chapaval et al. (2008) adalah sebagai berikut:

a. Preparasi sampel

Sebanyak 2.5 ml kultur yang telah diinkubasi semalam dalam

Brain Heart Infusion Broth (BHIB) disentrifus dengan kecepatan

33000 g selama 30 detik, kemudian supernatan dibuang dan pelet

diresuspensi.

b. Pelisisisan sel

Pelet diresuspensi dalam 700 µl buffer ekstraksi (1.4 M NaCl;

100 mM Tris-HCl [pH 8.0]; 200 mM EDTA pH 8.0; 40% PVP

(polyvinylpyrrolidone); 2% CTAB (cetyltrimethylammonium

bromide), 20 mg/ml Proteinase K; 0.2% β-Mercaptoethanol).

Tabung diinkubasi pada suhu 65°C selama 30 menit dengan

pengocokan setiap 10 menit.

c. Proteksi dan stabilisasi DNA

Suspensi dari tahap persiapan sampel diberi buffer 1.4 M NaCl;

100 mM Tris-HCl pH 8.0 untuk menjaga kestabilan DNA ketika

pelisisan sel. Buffer tersebut diberikan bersamaan dengan larutan

pelisis sel.

d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein

Sebanyak 650µl kloroform:isoamil alkohol (24:1) ditambahkan

dan larutan disentrifus pada kecepatan 33000 g selama 7 menit. Fase

aqueous di bagian atas dipindahkan ke dalam sebuah tabung 1.5 ml

dan 200 µl buffer ekstrasi tanpa proteinase K ditambahkan. Larutan

diaduk perlahan dan 650 µl kloroform:isoamil alkohol (24:1)

(35)

22 kloroform:isoamil alkohol (24:1) dilakukan dua kali menggunakan

650 µl kloroform:isoamil alkohol.

e. Presipitasi DNA

DNA dipresipitasi dengan penambahan sejumlah volume yang

sama dengan isopropanol pada suhu ruang.

f. Pemekatan DNA

Isopropanol dihilangkan dan pelet dicuci dengan 70 µl etanol

70%. Pelet DNA dikeringudarakan dan diresuspensi dalam 40 µl

buffer Tris-EDTA (TE) (10 mM Tris-HCl pH 8.0; 1 mM EDTA pH

8.0 dan 10 µg/ml RNAse).

Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk

memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi

merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. Oleh sebab itu,

tahapan ini harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi. Isolasi

yang banyak digunakan ialah ekstraksi dengan fenol:kloroform, seperti

halnya kedua metode yang telah dijelaskan di atas. Teknik ekstraksi

fenol:kloroform menghasilkan kualitas yang lebih baik dibandingkan

dengan metode pendidihan (Fricker et al., 2007).

Reagen lain yang penting dalam isolasi DNA ialah Phosphate Buffer

Saline (PBS) yang berfungsi melarutkan matriks pangan sehingga berada

dalam kondisi fisiologis, sekaligus mengendapkan inhibitor-inhibitor

yang tidak diperlukan seperti kalsium. Buffer TE digunakan untuk

menjaga tekanan osmotik dan Cetyltrimethyl Ammonium Bromida

(CTAB), Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetic

Acid (EDTA) berfungsi untuk melisis matriks pangan dan merusak lipid

pada membran sel sehingga DNA lebih mudah diekstraksi (Anonim,

2008). Proteinase K digunakan untuk merusak protein dan enzim RNAse

berfungsi untuk menghilangkan RNA sehingga dalam suspensi tertinggal

(36)

23 2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR

Amplifikasi yang dijalankan dalam thermal cycler ditampilkan

dalam bentuk grafik pada layar komputer dengan software yang aplikabel

terhadap thermal cycler, contohnya adalah software IQ-5 (Bio-Rad).

Grafik-grafik yang diperoleh berupa grafik amplifikasi, kurva standar, dan

kurva peleburan (melt curve). Grafik tersebut digunakan untuk

mengevaluasi kinerja amplifikasi real-time PCR.

a. Grafik amplifikasi

Grafik amplifikasi terbentuk semenjak proses amplifikasi

dimulai. Grafik ini berfungsi untuk menentukan apakah dalam

thermal cycler terjadi amplifikasi atau tidak. Grafik amplifikasi

dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

[image:36.595.198.485.334.490.2]

Gambar 2. Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan

real-time PCR (Edwards et al., 2004)

Amplifikasi ditetapkan berdasarkan intensitas fluoresen,

semakin banyak produk amplifikasi yang dihasilkan, semakin besar

akumulasi fluoresen yang terbaca. Peningkatan fluoresen tersebut

ditandai dengan terbentuknya gradik sigmoidal, seperti yang

tergambar pada Gambar 2 (garis hijau). Grafik sigmoid akan

berpotongan dengan base line threshold yang telah ditentukan secara

otomatis oleh program. Titik perpotongan antara grafik sigmoid dan

base line threshold jika direfleksikan terhadap sumbu x (Cycle)

adalah threshold cycle (Ct) bagi sampel yang diamplifikasi. Garis

PCR

Base Line Subtrac

ted RFU

Base line threshold DNA tidak

teramplifikasi DNA

teramplifikasi

Perpotongan siklus dan Bt

Ct

(37)

24 biru pada Gambar 2 akan terbentuk jika tidak terjadi amplifikasi

pada thermal cycler.

Nilai Ct adalah siklus di atas noise dimana akumulasi produk

(senilai 2n, n ialah jumlah pengulangan siklus amplifikasi) terbaca

pertama kali pada fase eksponensial. Fase eksponensial berakhir

menjadi fase plato saat pereaksi dalam campuran reaksi PCR sudah

habis. Nilai Ct digunakan dalam kurva standar sebagai fungsi

terhadap log konsentrasi bakteri.

b. Kurva standar

Kultur murni bakteri yang telah diketahui konsentrasinya

(CFU/ml) diencerkan hingga diperoleh konsentrasi bakteri terendah

(1 CFU/ml). Seluruh tingkat pengenceran yang berturut-turut,

misalnya mengandung 100-106 CFU/ml diisolasi DNAnya dan

diamplifikasi. Amplifikasi beberapa tingkat pengenceran suatu kultur

murni secara otomatis oleh software IQ-5 akan digambarkan dalam

bentuk kurva standar, selain grafik amplifikasi. Kurva standar

amplifikasi disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Kurva standar amplifikasi kultur murni dari enam tingkat pengenceran dengan real-time PCR (Edwards

et al., 2004)

Enam titik pada kurva standar menunjukkan terdapat enam

tingkat pengenceran yang masing-masing memiliki nilai Ct. Kurva Log konsentrasi bakteri (CFU/ml)

Thres

hold c

y

cle

(

Ct

)

(38)

25 standar merupakan hubungan antara log konsentrasi bakteri dan

threshold cycle (Ct). Kurva ini digunakan dalam penetapan limit

deteksi konsentrasi bakteri yang belum diketahui pada suatu sampel

pangan. Penetapan limit deteksi tersebut memanfaatkan persamaan

linear yang dibentuk kurva standar. Nilai Ct yang diketahui setelah

isolat DNA diamplifikasi merupakan nilai y dan log konsentrasi

merupakan nilai x dalam persamaan linear tersebut sehingga

konsentrasi bakteri dalam suatu sampel pangan dapat diketahui.

c. Melt curve

Kurva peleburan atau melt curve merupakan kurva hubungan

antara suhu (T) dan turunan dari unit fluoresen (-d(RFU)/dT)

digunakan untuk memonitor perubahan dalam suhu peleburan, yaitu

suhu di mana 50% amplikon DNA untai ganda terpisah menjadi dua

untai tunggal. Melt curve diperoleh berdasarkan siklus yang

ditambahkan setelah siklus amplifikasi. Target amplifikasi dalam

siklus tersebut adalah produk amplifikasi (amplikon). Melt curve

[image:38.595.172.502.449.669.2]

disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Melt curve yang memiliki sebuah puncak Tm

Puncak kurva pada melt curve merupakan nilai Tm amplikon,

jika nilainya dibaca pada sumbu absis. Amplikon yang berasal dari

DNA target yang sama akan memiliki nilai Tm yang sama,

-d(

R

FU

)/d

T

(39)

26 ditunjukkan dengan puncak pada titik suhu yang sama. Melt curve

pada Gambar 4 memiliki nilai Tm yang sama, berarti produk berasal

dari DNA yang sama yaitu DNA target dan produknya spesifik.

Selain itu melt curve mampu menunjukkan ada atau tidaknya produk

non spesifik. Produk non spesifik akan membentuk puncak pada

suhu yang berbeda dengan amplikon (produk spesifik) atau melt

curve dapat pula memiliki lebih dari satu puncak suhu.

(40)

27 Isolat Salmonella spp.

Pre-enrichment dalam Trypticase Soy Broth (24 jam)

Ditumbuhkan dalam Nutrient Agar

(24 jam)

Uji Serologi (Antigen O) Uji Motilitas dengan agar semi solid

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. TEMPAT DAN WAKTU MAGANG

Kegiatan magang dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pusat Riset

Obat dan Makanan, Badan POM RI, Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan

dari bulan Februari sampai dengan Juli 2009.

B. LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN

Kegiatan yang dilakukan mencakup dua kegiatan, yaitu (1) melakukan

identifikasi serovar Salmonella spp. berbasiskan imunologi dan

(2) melakukan deteksi B. cereus dengan metode berbasiskan DNA.

Identifikasi serovar dengan cara uji aglutinasi pada gelas objek dilakukan

terhadap sepuluh isolat Salmonella spp. yang merupakan koleksi Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan (IPB) dan telah diuji secara biokimiawi. Sepuluh

isolat tersebut diuji serologi untuk mengetahui antigen O yang dimiliki oleh

masing-masing isolat sebab antigen O merupakan dasar pengelompokan

serogrup Salmonella spp. Selain itu, dilakukan uji motilitas untuk mengetahui

masing-masing isolat bersifat motil atau tidak. Antigen O merupakan antigen

yang diuji pertama kali pada uji serologi, sedangkan motilitas diuji sebagai

prasyarat uji antigen H. Diagram alir kegiatan deteksi Salmonella spp. dapat

[image:40.595.110.515.525.695.2]

dilihat pada Gambar 5.

(41)

28 Pengenceran (10-1-10-8)

Kultur murni (KM) B. cereus

Ditumbuhkan dalam MYPA

Amplifikasi Real-time PCR Isolasi DNA

Metode pendidihan

Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform

Metode ekstraksi dengan kit komersial Kegiatan yang dilakukan untuk mendeteksi DNA B. cereus dengan

real-time PCR meliputi isolasi DNA kultur murni bakteri B. cereus dan isolasi

DNA dari sampel pangan nasi goreng, amplifikasi dan evaluasi kinerja

real-time PCR berupa limit deteksi amplikon. Isolasi DNA dilakukan dengan tiga

metode, yaitu metode pendidihan, metode ekstraksi dengan fenol:kloroform,

dan metode ekstraksi dengan kit komersial. Isolat DNA B. cereus, dari kultur

murni dan nasi goreng, diamplifikasi dengan real-time PCR.

Amplifikasi DNA kultur murni B. cereus digunakan untuk membentuk

kurva standar, sedangkan amplifikasi DNA B. cereus dalam sampel pangan

untuk menetapkan limit deteksi B. cereus dalam nasi goreng. Tahapan kerja

isolasi DNA dari kultur murni B. cereus dan dari sampel pangan disajikan

[image:41.595.91.551.354.575.2]

pada Gambar 6 dan 7.

(42)

29 Sampel pangan nasi goreng

Pengenceran (10-1) Sampel pangan tanpa inokulasi

Isolasi DNA Pengenceran (10-1-10-6)

Inokulasi artifisial (KM 10-2)

Metode pendidihan Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform

[image:42.595.101.539.88.347.2]

Amplifikasi Real-time PCR

Gambar 7. Tahapan kerja pada uji amplifikasi DNA B. cereus dalam nasi goreng

C. BAHAN DAN ALAT

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp.

a. Kultur bakteri

Galur bakteri yang digunakan dalam uji serologi ialah

Salmonella spp. yang diisolasi dari daging ayam yang berasal dari

pasar lokal. Sepuluh isolat yang disimpan dalam Brain Heart

Infusion Broth (BHIB) merupakan koleksi Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dan telah ditetapkan

sebagai Salmonella spp. berdasarkan uji biokimia.

b. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Nutrien Agar (Merck) dan

Antisera O (National Salmonella Centre – Statens Seruminstitut).

c. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah gelas objek (slide), cawan petri,

(43)

30 2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA

a. Kultur bakteri

Galur referensi yang digunakan merupakan jenis bakteri Gram

positif, Bacillus cereus ATCC 11778 dan Bacillus subtilis ATCC

6633 NCTC 10400. Bakteri-bakteri tersebut ditumbuhkan di

Trypticase Soy Broth (TSB) (Merck) pada suhu 37°C. Sel bakteri

dihitung dengan perhitungan cawan sebar (USFDA, 2001) pada

media agar spesifik Mannitol Yolk Polymixin Agar (MYPA) (Oxoid)

dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 48-72 jam. Sampel pangan

yang dianalisa adalah pangan yang banyak mengandung karbohidrat

yaitu nasi goreng. Sampel diambil dari tempat penjualan makanan di

sekitar kampus IPB, Bogor.

b. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Ilustra Bacteria Genomic

Prep Mini Spin Kit (GE Healthcare) yang terdiri dari: buffer lisis,

buffer elusi, dan buffer pencuci. Selain itu juga digunakan Lisozim

(USB), Proteinase K (USB), RNAse A (USB), CTAB (Merck), PBS

(Merck), EDTA (Merck), Tris-HCl solution (USB), Triton-X

solution (USB), SDS solution (USB), Isopropanol (Merck),

Amonium asetat (Merck), Fenol (Merck), Kloroform (Merck), Asam

asetat glasial (Merck), NaCl (Merck), Etanol absolut (Merck),

MiliQ, RNAse free water (USB), IQ SYBR Green (Bio-Rad), Primer

forward dan reverseBceT (Bio-Rad), isolat DNA yang diekstrak dari

kultur murni B. cereus (pengenceran 10-1-10-8), isolat DNA dari

sampel pangan yang tidak diinokulasi (pengenceran 10-1), isolat

DNA yang telah diinokulasi secara artifisial (pengenceran 10-1-10-6).

c. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah Stomacher (Seward),

Refrigerator Microsentrifuge (Hettich), Water Bath, Laminar Air

(44)

31

Analytical Balance (Shimadzu), Autoklaf (Hirayama), Automatic

Colony Counter (Acolyte), Lampu UV, kamera digital, tabung

mikrosentrifus 1.5 ml, tabung konikal 15 ml (Iwaki), inkubator,

bunsen, pipet mikro (Eppendorf), pipet volumemetrik, bulb, gelas

piala, gelas ukur, labu Erlenmeyer, botol semprot, cawan petri, jarum

ose, tabung reaksi, rak tabung reaksi, sudip, magnetic stirrer, gelas

pengaduk, Real-time PCR (Bio-Rad), micro well, dan adhesive

sealer.

D. METODE PENELITIAN

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. (WHO, 2009)

Konfirmasi Salmonella spp. dengan uji imunologi dilakukan untuk

mendeteksi antigen dengan O Slide Agglutinasion Test (SAT) dan

motilitas dengan agar semi solid. Mula-mula, sepuluh isolat Salmonella

spp. dalam BHIB diinokulasi dan ditumbuhkan pada media NA,

kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C. Uji serologi antigen

O dimulai dengan satu tetes antisera O polivalen diteteskan pada gelas

objek, kemudian 1 ose Salmonella spp. diambil dari NA dan dicampur

dengan jarum ose selama 1 menit. Gelas objek tersebut digoyang

perlahan selama 1-2 menit. Uji positif ditunjukkan dengan adanya

aglutinasi. Uji positif berarti antibodi pada sera spesifik berikatan dengan

antigen yang dimiliki bakteri. Aglutinasi tidak akan terjadi jika bakteri

tidak memiliki antigen yang dapat berikatan dengan antibodi.

Uji motilitas dilakukan pada hari yang sama dengan pengujian

antigen O. Satu ose Salmonella spp. diambil dari NA, kemudian

diinokulasi satu titik pada bagian tengah agar semi solid dan diinkubasi

semalam pada suhu 37°C. Isolat yang menunjukkan pergerakan (sekitar

40 mm dari titik inokulasi atau lebih dari 50% jari-jari cawan agar) ke

(45)

32 2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA (Alarcon et al., 2006;

Fricker et al., 2007)

a. Tahap persiapan

1) Persiapan media

Media yang perlu dipersiapkan untuk penyegaran kultur

bakteri adalah media Trypticase Soy Broth. Media selektif untuk

isolasi bakteri adalah Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar

(media selektif B.cereus), Egg Yolk Emulsion serta Polymyxin B

(untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif). Media

selektif digunakan untuk isolasi dan penghitungan kultur bakteri

patogen, baik kultur murni maupun kultur dari sampel pangan.

Prosedur pembuatan media dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

2) Persiapan kultur bakteri

Bacillus cereus disegarkan pada media TSB setiap

2 minggu sekali dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam,

lalu disimpan pada suhu 16°C. Untuk pengecekan kemurnian

kultur, kultur B. cereus dalam TSB diinokulasi sebanyak 1 lup

ke permukaan agar Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar (MYPA)

padat dalam cawan petri steril. Koloni tipikal B. cereus pada

MYPA dengan suplementasi polymyxin B akan berwarna pink

cerah dan dikelilingi zona presipitasi.

Selain bakteri patogen B. cereus, disiapkan juga B. subtilis

yang digunakan untuk menguji spesifisitas primer BceT. Primer

BceT merupakan DNA dari gen penyandi enterotoksin T pada

DNA kromosomal B. cereus. Isolat DNA bakteri tersebut

diamplifikasi kemudian melt curve yang terbentuk dianalisis

untuk mengetahui apakah primer BceT dapat menempel pada

DNA kromosomal selain DNA gen penyandi enterotoksin

B. cereus yang berarti primer kurang spesifik. Bakteri ini pun

(46)

33 pada suhu 37ºC selama 24 jam, lalu disimpan pada suhu 16°C.

Prosedur persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Lampiran 4.

B. cereus dan B.subtilis disegarkan dan diinkubasi pada

suhu 37ºC selama 24 jam sehari sebelum DNA diisolasi. Kultur

murni B. cereus yang hendak diisolasi diencerkan terlebih

da

Gambar

Gambar 1. (a) Antisera; (b) Visualisasi aglutinasi [sebelah kiri pada                         (a)                                                 (b) slide]
Gambar 2. Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan         real-time PCR (Edwards et al., 2004)
Gambar 4. Melt curve yang memiliki sebuah puncak Tm
Gambar 5. Tahapan kerja pada identifikasi serovar Salmonella spp.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Based on the Company’s and Subsidiaries’ assessment, there were no events or changes in circumstances which indicated an impairment in the value of fixed assets as of 30 June 2011

yang dilaksanakan oleh para karyawan. c) Melakukan pembagian tugas secara jelas dan tegas mengenai bidang dan pelaksanaanya. d) Mentaati segala ketentuan yang telah diatur

Jika tidak (kalau hasil buruan tersebut langsung dibagi), maka dalam perjalanan selanjutnya tidak akan mendapat buruan yang baru. Babi yang sudah mati dapat

Urteak igaro dira orduz geroztik eta euskara batuak ekarri dituen onurak garrantzitsuak izan dira batzuentzat. Euskara bateratu bat beharrezkoa izan da euskalki ezberdinetako

Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk mengetahui nilai ekonomi kemenyan (Styrax sumatrana), untuk mengetahui kontribusi kemenyan terhadap pendapatan petani kemenyan, dan untuk

Konselor pendidikan berfokus pada aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk membantu siswa mengatasi masalah belajar yang dihadapinya sehingga anak dapat mandiri dalam

Generasi emas yaitu suatu masa dimana kelompok manusia pada masa tersebut mempunyai keunikan yang dapat memberi ciri pada dirinya dan pada perubahan sejarah atau

Meskipun demikian Imam Al-Ghazali tidak menghendaki dalam pencarian kebahagiaan akhirat sebagai tujuan akhir dengan meninggalkan tanggungan duniawi seseorang,