• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Paradigma Interpretif

2.1.1 Metode Fenomenologi

Menurut Husserl (dalam Maksum, 2011:191), fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan cirri-ciri instrinsik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakkan diri kepada kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.

Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui :

 Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)

 Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau ruhani

 Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka dan terarah pada subjek)  Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan dan

sekaligus bisa terjangkau.

Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl (dalam Praja, 2003:181), usaha untuk mencapai hakikat realitas segala fenomena itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :

Fenomena seperti disebut di atas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah riil atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjektivitas disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut fenomenologis.

Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kita akan sampai pada fenomena yang sebenarnya.

2. Reduksi Eidetis

Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eidetis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eiditis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.

Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundemental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah

satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.

Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.

3. Reduksi Transendental

Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental.

Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya, tidak jelas maknanya bagi seseorang yang tetap hidup di hutan. Objek yang disadari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindari ini, Husserl

membuat reduksi lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “aku” transendental dari subjek berubah menjadi “aku” transcendental antar subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.

Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.

2.3 Byline

Byline berasal dari kata “by” (oleh) dan “line” (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul cerita di mana terdapat nama orang yang menulis berita itu. Nama penulis atau wartawan yang beritanya dicantumkan di antara judul dan teks. Ada juga sebagian media yang meletakkan di bagian bawah dari teks.

Penggunaan byline pertama kali diterapkan pada tahun 1850-an oleh Charles S. Taylor, seorang jenderal yang kemudian menjadi publisher harian The Boston Globe. Taylor sering jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul ‘berita penting jika terbukti benar’. Maka Taylor memutuskan menaruh nama para wartawan pada berita-berita yang diterbitkan The Boston Globe(Harsono, 2011: 42).

Sumber: diambil oleh peneliti dari MedanBisnis edisi Kamis 12 September 2013

Penggunaan byline diharapkan mampu mendorong integritas dan akuntabilitas wartawan di mata pembaca. Dibanding hanya mencantumkan kode atau inisial, dengan adanya byline akan semakin membuat adanya reaksi antara pembaca terhadap wartawan yang namanya tercantum pada berita. Karena dengan mengetahui nama wartawan akan membuat jarak yang cukup dekat antara media dan pembaca serta narasumber. Namun yang terpenting dengan penerapan byline wartawan akan dituntut untuk berhati-hati terhadap laporan yang ia berikan. Bila ada laporan yang melenceng, maka publik akan dapat, mengetahui siapa dibalik proses penggarapan berita. Tidak lagi tertutupi dibalik media atau institusi tempat ia bekerja.

Memang berbeda prinsip menerapkan byline dengan memakai inisial wartawan. Esensi byline menurut Bill Kovach (Harsono, 2011: 44) “Biarkan pembaca tahu mana wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukan sebaliknya menaruh semua tanggungjawab kepenulisan itu di bawah institusi media”. Bila hanya dengan inisial tidak cukup untuk mewakili akuntabilitas wartawan suatu media.

Nurudin juga menuliskan byline penting sebagai pertanggungjawaban media dan wartawan pada publik (Nurudin, 2009: 211-213). Ia merumuskan ada 4 kelebihan dari penerapan byline yaitu:

- Pertanggungjawaban - Kepercayaan

- Kompetisi

- Keuntungan Intitusi

Meski tak menyebutkan keharusan penggunaan byline secara langsung, dalam UU No. 40/1999 pada Bab IV tentang perusahaan pers pasal 12. “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dari penanggung jawab secara terbuka melalui

media yang bersangkutan”. Penganggung jawab mungkin dapat diartikan adalah seorang pemimpin redaksi. Namun sebagai ujung tombak pemberitaan, wartawan-lah yang seharusnya lebih paham tentang apa yang ia laporkan.

Di Indonesia, beberapa surat kabar dan majalah juga telah mulai menerapkan byline di media mereka. Harian The Jakarta Post tercatat sebagai media cetak pertama yang menerapkan byline. Prinsip ini mulai diterapkan pada 1 Oktober 2001. Media-media besar lainnya sekaliber Kompas dan Tempo juga telah menerapkan namun masih dalam berita-berita yang bersifat ringan seperti penulisan feature. Untuk kota Medan, Harian Medan Bisnis juga telah mulai menerapkan byline di semua berita yang dimuat. Harian Medan Bisnis termasuk salah satu media lokal dengan konten ekonomi.Meski demikian, harian ini juga turut dapat memengaruhi opini publik yang selalu melek dengan isu-isu ekonomi dan anggaran publik. Hanif Suranto dalam sebuah pengantar (Menelisik Anggaran Publik, 2012) menyebutkan masyarakat punya hak atas informasi yang jelas mengenai pengganggaran menyangkut publik. Sesuai dengan telah diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

2.4 Wartawan

Wartawan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 1999 tentang pers, dimuat dalam pasal 4 yang menyatakan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.Deborah Potter (2006: 2) menyebutkan di sebuah masyarakat yang bebas tidak hanya mempunyai perlindungan hukum. Wartawan juga mempunyai tanggung jawab agar warga selalu memperoleh informasi yang akurat dan dilaporkan dengan adil dan bebas dari pengaruh luar.

Mantan Jaksa Agung, Ali Said dalam Kusumaningrat (2009: 88) menganggap wartawan adalah wakil rakyat tanpa pemilu, sebab pekerjaannya selalu menulis untuk kepentingan rakyat. keukasaannya lebih tinggi dari pada penguasa. Wartawan sering

sekali mendapat predikat pendidik formal dan menghibur, sebutan lebih kompleks dari guru dan jenderal. Sedangkan menurut Assegaf (1991: 42) wartawan adalah seorang yang bekerja dan mendapatkan nafkah sepenuhnya dari media massa berita.

Mengingat beratnya tugas wartawan sehingga ia harus memiliki kriteria-kriteria. Wartawan sebuah profesi yang terbuka bagi siapa saja, pria dan wanita dengan latar belakang pendidikan apa saja. Ada beberapa kriteria wartawan yang baik, antara lain: punya rasa ingin tahu yang besar, berkepribadian, kuat fisik dan mental, punya integritas, berdaya cium berita tinggi, jujur dapat dipercaya, berani, tabah, dan tahan uji, cermat, cepat, punya daya imajinasi tinggi, gembira, optimism, pnya rasa humor, punya inisiatif, dan kemampuan menyesuaikan diri (Junaedhi, 1991; 272).

Wartawan adalahsuatu profesi yang penuh tanggung jawab dam memiliki resiko yang cukup besar. Untuk profesi semacam ini diperlukan manusia-manusia yang memiliki idealisme dan ketangguhan hati yang kuat untuk menghadapi berbagai kendala, hambatan, dan tantangan dalam menjalankan profesinya.

Dibutuhkan suatu komitmen yang khusus menangani perlindungan terhadap profesi kewartawanan yang bekerja secara professional dan memiliki moralitas, sehingga mampu melakukan pemantauan terhadap pekerjaan wartawan. Profesi wartawan harus dilindungi karena sangat terkait dengan upaya demokratisasi dan reformasi. Perlindungan terhadap wartawan juga harus diberikan tatkala muncul tekanan ekonomis dan tekanan dari kelompok tertentu. (Assegaf, 1991: 142).

Profesi wartawan juga diikat dengan Kode Etik antara lain (Atmakusumah dalam tim penulis AJI, 2003: 7):

- Memerhatikan persyaratan jurnalistik seperti objektivitas, keadilan, keberimbangan, dan ketidakbiasaan.

- Menghargai lingkup pribadi, sepanjang tidak mengganggu kepentingan umum.

- Tidak berprasangka atau diskriminatif terhadap perbedaan SARA atau gender.

- Tidak melecehkan atau merendahkan martabat orang-orang yang beruntung.

- Menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan memperoleh informasi.

- Tidak terbujuk oleh iming-iming narasumber yang mengakibatkan sajian berita tidak objektif dan profesional.

2.5 Integritas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.

keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.Suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika,integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan “mempunyai integritas”apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Mudahnya, ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang. Seorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah dan penampilan yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. Integritas (Integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukan ini. Dengan kata lain, “satunya kata dengan

perbuatan”. Mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara terbuka, jujur dan langsung sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak lain. Integritas menjadi mempunyai integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari narasumber, pembaca dan dari editornya. Integritas adalah kompas yang mengarahkan perilaku seseorang. Integritas adalah gambaran keseluruhan pribadi seseorang (integrity is who you are)

Dokumen terkait