• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA KEILMUAN A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu

B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu

2. Metode Ilmu

Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui

54

Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al.,

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN jakarta Press, 2003), cet.ke-1,h. 80 55

(Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, h.44). 56

A. Khudlori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. Ke-1, h.261

panca indra (al-khawass ai-khamsah), akal sehat (al-‘aql as-Salim), berita yang benar (al-Khabar as-Shadiq), dan intuisi (Ilham).57 Panca indera (Khawass al-Kamsah) menurut al-Attas sepakat dengan Iqbal yang menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang pada dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Bahkan al-Attas juga menganggap bahwa indra sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat dan ilmu Allah swt, indra disini mengacu pada pengamatan dan persepsi lima indra lahir, yakni perasaan tubuh, pencium perasa lidah, penglihatan, dan pendengaran, yang semua berfungsi mempersepsikan hal-hal partikular dalam alam lahir. Namun, terkait dengan panca indra lahir ini ada lima indra batin yang secara bathiniyyah mempersepsikan cita-cita indrawi dan maknanya, menyatukan, atau memilahkan, mengkonsepsi gagasan tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan dan melakukan interaksi terhadapnya. Kelima indra batin ini adalah indera umum, representasi, estimasi, pengingat kembali dan imajinasi. Dalam hal ini persepsi adalah rupa (form) dari objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau inderawi, bukan realitas itu sendiri. Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang diabstraksikan oleh indra, yang disebut ‘rupa’ (form), bukan realitas itu sesungguhnya dalam dirinya sendiri yang disebut ‘makna’. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek indrawi adalah bahwa ‘rupa’ merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra

57

Al-Attas membuktikan kekuatan fakultas-fakultas ini setelah menelti pendapat Para Filosof dan Teolog Muslim, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, al-Nasafi, al-Taftazani, dan Al-Raniri (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. h, 158)

lahir dan kemudian oleh indra batin, sedang ‘makna’ adalah apa yang dipersepsi indra batin dari objek tanpa terlebih dahulu dipersepsi indra lahir58.

Adapun mengenai masalah akal, al-Attas meambah dengan kata shifat “sehat” setelah perkataan akal (Sound Reason). Hal ini disebabkan akal manusia memiliki tendensi menghasilkan pemikiran yang tidak benar atau tidak tepat. Disamping itu, akal manusia dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa salah atau kurang tepat ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami realitas spiritual melalui daya lain yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.

Akal sehat bukan sekedar unsur-unsur indrawi atau fakultas mental yang secara logis mensistemasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi citra akliyah yang dapat dipahami, atau yang melakukan kerja abstraksi fakta-fakta dan data indrawi serta hubungan keduanya. Lebih dari itu, akal disini adalah substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ pemahaman yang disebut hati (qalb) yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Jadi, apa yang disebutkan diatas baru merupakan bagian dari aspek akal.

Kemudian mengenai berita yang benar merupakan sumber lain dari ilmu pengetahuan yang dapat diklsifikasikan menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah berita yang terbukti secara berkesinambungan (continue) oleh orang-orang yang memilki ahlak yang mulia, yang tidak mungkin menimbulkan pemikiran bagi orang bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan . contoh hadits mutawatir. Kedua, berita absolut yang dibawa oleh Nabi yang berdasarkan wahyu.

58

Berkenaan dengan intuisi itu sendiri, al-Attas tidak membatasi pada pengenalan langsung tanpa perantara, oleh subjek yang mengenali tentang dirinya sendiri, keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriyah, hal-hal universal nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga mencakup pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, serta realitas eksistensi sebagai lawan essensi; bahkan dalam tingkat yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri59.

Intuisi tidak datang pada sembarang orang, tapi ia diperoleh oleh orang-orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut60.

Kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh melalui latihan, yang dalam Islam disebut riyadhah. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indra dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati61. Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas, untuk kemudian selam pereenungan mendalam ini dan dengan kehendak-Nya, kesadaran akan dirinya dan kesadaran subjektifnya terhapuskan, lalu masuk kedalam kedirian yang lebuih tinggi, baqa’ dalam Tuhan. Ketika kembali kepada keadaan manusiawi dan subyektifnya, yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan, tetapi ilmu

59

Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains.h. 37 60

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) cet, ke-2, h. 108 61

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal, dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) h. 58

tentang apa yang ia temukan, pengalaman ruhani yang dialami selama baqa’, tetap ada pada dirinya62.

Meskipun pengalaman intuitif tidak bisa dikomunikasikan, akan tetapi pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat transformasikan. Intuisi terdiri pelbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka, sedangkan yang tertinggi dialami oleh para Nabi. Dan perlu diketahui bahwa semua ilmu pengetahuan ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemeerhatinya adalah sesuatau yang dicapai melalui intuisi,.