• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study) Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquid al-Attas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study) Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquid al-Attas)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.

Oleh :

Abdul Gofur

NIM : 104011000083

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1429 H/2008 M

(2)

Skripsi :

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Strata I

Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam

Oleh :

Abdul Gofur

NIM : 104011000083

Dibawah Bimbingan :

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

NIP : 150222550

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1429 H/2008

KATA PENGANTAR

(3)

dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis ajukan adalah:

Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas)”.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW semoga tercurah pula kepada keluarga dan pengikutnya yang menjadi Pendidik umat manusia.

Penullis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, juga penulis menyadari bahwa setiap manusia pasti sangat memerlukan bantuan dari sesamamnya. Oleh sebab itu dengan ketulusan hati dan kerendahan hati ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua yang telah membantu penulis, antara lain:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Fattah Wibisono, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Drs. Syafiudin Siddiq, sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta 3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Dosen Pembimbing utama Penulis dalam

menyelesaikan skripsi, yang telah meluangkan waktu dan pikiran disela-sela kesibukannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Orang tuaku yang tercinta, Ibunda Hj. Aisyah dan Ayahanda H. Rochmani yang dengan sabar memberikan dukungan moril maupun materil, dan kepada saudara-saudaraku yang tercinta.

5. Sahabat dan teman-temanku dari jurusan PAI angkatan 2004, Humaidi, Amin Rahman, Faishil Qibthiyah, Melati Triksiana, khusus kepada Muhammad Muyasser yang telah membantu dengan memberikan perhatian serta memberikan bantuan moril, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan

(4)

Akhirnya hanya kepada Allah Jualah penulis berharap dan memanjatka do’a semoga amal baik semua pihak da termasuk daripada Shodaqoh Jariyah yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini senantiasa mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT, dan semoga ilmu yang penulis dapatkan termasuk ilmu yang bermanfa’at.

Amien Ya Rabbal ‘Alamin

(5)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………...….….. 1

A. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ………..……...13

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..….……. 15

C. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian ………...15

2. Sumber Data ………...………....16

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ………....…16

4. Pedoman Penelitian ………....17

D. Sistematika Pembahasan ………... …17

BAB II : OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A. Riwayat Hidup dan Kariernya ……….………18

B. Situasi Sosial Keagamaan ……….………20

C. Karya-karya Intelektualnya ……….…….26

BAB III : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu ………...……32

B. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu……….36

1. Klasifikasi Ilmu……….. 38

2. Sumber Ilmu………46

3. Metode Ilmu………47

(6)

BAB IV : PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU

A. Latar Belakang Tujuan………..55 B. Konsep Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas………70 C. Karakteristik Islam dan Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas………83 D. Pengaruh Islamisasi Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan………..89

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………93 B. Saran-saran……….94

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

E. Latar belakang masalah

Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak, pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis, kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satu-satunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi pendidikan.

(8)

nilai-nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa1.

Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia.

Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan, keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan manusia yang ‘’baik’’, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya (Tholkhah,2004:129 )mengatakan bahwa ‘’ ……. Apa guna kita memiliki seribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka………

Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik, geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang

1

(9)

diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi, dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih dan masih banyak tokoh lainnya2.

Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas.

Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie, dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama3.

Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif

2

C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta,Yayasan obor Indonesia,2002) h.75

3

(10)

masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam. Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M. Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang, tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan perlawanan baik fisik maupun intelektual4.

Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya, umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya5, di satu sisi para penguasa tidak menggunakan nuraninya lagi dalam menjalankan pemerintahannya.

Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai klimaksnya.

4

Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,( Surabaya, Erlangga. 2005) hal. 209

5

(11)

Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan demikian, perhatian terhadap konsep-konsep individu dan peranan yang dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun, bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya?6

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur.

Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih, semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja.

Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia

6

Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education

(12)

Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya disebabkan oleh factor-faktor epistemologis.

Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris, artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai entitas fisik7 dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal semata8.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam kerja ilmiah.

Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar, bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan

7

Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca Modern.Jurnal Ulumul Qur’an No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam ( Bandung, Mizan, 2002,Cet.I) h.8-15

8

(13)

tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia berdasarkan “Ijtihad’’ pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan.

Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi9. Pada tahap inilah masalah moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan10

9

Rodhiyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S.Peirce.(Bandung. PT. Refika Aditama. 2007) hal.45

10

(14)

Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan tradisi pemikiran agama, (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para ilmuwan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok ilmuwan lainnya, dan masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini publik pada tingkat global.

(15)

untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat membahayakan keimanan (akidah) Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed Muhammad Naquib al-Attas serta R.Isma’il al-faruqi.

Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan pada asas-asas moral11.

Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan Sunnah mengajarkan untuk mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat kata al-‘Ilmi dan kata-kata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian ilmu dalam agama (Islam).

Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu12 : Ta’dib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna pendidikan adalah istilah ta’dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap

11

Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235 12

(16)

dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta’dib, karena adab sebagaimana didefinikasikan mencakup ilmu dan amal sekaligus.13

Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan didalam Islam yang bersumberkan dari al-Qur’an bahwa selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran14. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata ‘allama dan rabba yang dipergunakan didalam al-Qur’an, sekalipun kata tarbiyah lebih luas konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik sekaligus mengandung makna mengajar (‘allama).selanjutnya Faisal megutip

13

Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam ( Bandung,: Mizan,1994) hal. 52-60

14

(17)

pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan ta’lim sebagaimana tersebut diatas terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti susunan15

Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah ta’dib merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia16, disamping alasan makna kebahasan lainnya.

Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut. Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, karena memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah wahyu atau al qur’an yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini menunjukkan, bahwa al’ilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains dalam versi Barat, akar sandaran al-‘ilm justru berasal langsung dari sang maha berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang penguasa segala-galanya17

15

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.( Bandung: Mizan, 1992) cet. Ke-2. hal156 16

Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno (Jakarta: Pustaka,1991) hal. 222

17

(18)

Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran. Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan semakin kokoh dengan dukungan penggunaan metode yang valid, sehingaga pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-qur’an yang berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya.

Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris (sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris (sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatik, maka metode analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak18.

Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis ( kefilsafatan ), dan juga bisa menguinakan metode penelitian mistik ( sufistik ). Hal ini tergantung pada apa yang menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu (sains) pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan

18

(19)

teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian mistik-sufistik.

Menguaknya gagasan “Islamisasi Pengetahuan’’ abad modern, yang dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal ini sejalan dengan Isma’il Al-Faruqi (1984) bahwa system pendidikan telah dicetak dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat19.

Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib. Al-Attas)”.

19

(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Permasalahasn pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah konsep Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas dan factor-faktor yang melatar belakangi munculnya konsep tersebut.

Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya refleksi pendidikan Islam tentang Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Faktor apakah yang melatar belakangi munculnya gagasan Islamisasi Ilmu? 2. Bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas terhadap

Epistemology Islam dengan Barat ?

3. Bagaimana pengaruh Islamisasi Ilmu terhadap gerakan kependidikan yang dilakukan Syed Muhammad Naquib al-Attas ?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas 1. Untuk mengetahui gerakan kependidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas 2. Dapat menggali gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad

Naquib Al-attas

Adapun Signifikansi penelitian sebagai berikut untuk :

(21)

2. Memberikan sumbangan bagi pengembangan kepustakaan Islam dan khazanah intelektual Islam Indonesia.

3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan, sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia.

D. Metodologi Penelitian.

Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan filosofos,20 yaitu pendekatan yang menggunakan argumen-argumen, pemikiran dan logika dalam analisis data. Selanjutnya karena penelitiannya terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifa-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah pendekatan sejarah (historical approach).

` Adapun secara metodologis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, serta diskursus. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan cara melacak lalu menyeleksinya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data yang ada korelasinya dengan obyek penelitian.

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan sekunder dari karya-karya tulis yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang

20

Metode penelitian filosofis ini dilakukan dengan cara metodis umum yang berlaku bagi pemikiran filsafat. Selanjutnya Anton barke merinci langkah-langkah metode tersebut menjadi 12 langkah, lihat Anton barker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian filsafat

(22)

terdapat dalam penelitian ini baik buku, jurnal, makalah serta website yang ada hubungannya. Adapun sumber-sumber data primer, antara lain : (1) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1983), cet, ke-3. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), cet, ke-1. (3) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet, ke-1. (4) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Prolegomena to the Methaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elemens of The World View of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) cet, ke-2.

Adapun sumber data sekunder, antara lain, (1) Wan Mohd Nor Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-attas (Bandung: Mizan, 2003), cet, ke-1. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Risalah untuk kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Adapun untuk menganalisis data, digunakan metode analisis isi (Content Analysis). Analisis isi disini dimaksudkan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam proposal skripsi ini, penulis membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing terdiri dari sub-bab, yaitu sebagai berikut :

(23)

Bab II : Otobiografi Syed Muhammad Naquib Al-attas, meliputi riwayat hidup dan karier hidup serta karya-karyanya.

Bab III : Paradigma keilmuan, meliputi pengertian dan tujuan Islamisasi Ilmu, Ruang lingkup Islamisasi Ilmu, factor pendukung dan penghambat Islamisasi Ilmu.

Bab IV : Menjajaki kemungkinan Islamisasi Ilmu,meliputi: latar belakang tujuan, konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, konkluvistik Islamisasi Ilmu Naquib al-Alatas, Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas terhadap Pendidikan.

(24)

BAB II

OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

A. Riwayat Hidup dan Kariernya

Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september 1931 M. nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’lawi di sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW21. Moyang Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi ulama’ besar, yaitu Syed Muhammad ‘Alaydrus(dari silsilah Ibu), guru dan pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu- ke tarekat Rifa’iyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna22.

Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar johor( W. 1895) yang menikah dengan adik Ruqoyah Hanum, Khodijah. Yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, ( Bandung, Mizan,2003) cet. Ke-1, h. 45

22

(25)

kedua kalinya dengan syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz – anak dari Ungku Abdul Madjid – berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar, ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.

(26)

B. Situasi Sosial Keagamaannya

Dalam usia yang relatif muda al-Attas telah mendapatkan pendidikan dari keluarganya, dari keluarga yang berasal dari Bogor. Ia memperoleh pendidikan dalam Ilmu- ilmu keislaman. Sedangkan dari keluarganya yang berada di Johor, ia memperoleh pendidikan kesusastraan , bahasa dan budaya Melayu. Tampaknya kedua orang tuanya menginginkan al-Attas untuk mendalami ilmu di Negeri Jiran Malaysia. Disinilah ia mendapatkan pendidikan dasar di Ngee Primary School (1936-1941)23.

Namun pada pertengahan tahun 1940-an Jepang menduduki Malaysia, al-Attas kembali dikirim ketanah air tempat beliau dilahirkan untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah al’Urwatul Wutsqo, Sukabumi, belajar Bahasa Arab dan agama Islam.

Setelah perang Dunia ke II tepatnya pada tahun 1946, al-Attas kembali ke Malaysia melanjutkan kembali pendidikannya dibukit Zahroh School dan selanjutnya di English College ( 1046-1951). Selama menyelesaikan pendidikannya, al-Attas tinggal bersama pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Madjid. Pamannya ini yang mempunyai perpustakaan yang sangat bagus, terutama manuskrip sastra dan kesejarahan Melayu. Fasilitas perpustakaan ini tidak disia-siakan oleh al-Attas. Beliau banyak menghabiskan masa mudanya untuk membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip yang tersedia diperpustakaan tersebut. Lingkungan intelektual inilah yang kemudian

23

(27)

banyak mempengaruhi pola pikir, tulisan dan tutur bahasa al-Attas dikemudian hari.

Pada tahun 195 setelah al-Attas selesai menyelesaikan pendidikannya di Englis college. Ia kemudian masuk dinas militer dan karena prestasinya yang sangat mengagumkan ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, Inggris (1952-1955). Selama di Inggris, ia menyempatkan diri untuk memahami aspek-aspek yang memahami aspek-aspek-aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris24.

Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Sandurst, al-Attas ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, yang pada saat itu disibukkan oleh perlawanan kaum komunis yang bersarang dihutan. namun, tampaknya jiwa intelektualnya telah mendarah daging didalam dirinya, sehingga ia mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia kemiliteran dan menjatuhkan pilihan pada dunia akademik, walaupun pada saat itu ia telah berpangkat Letnan.

Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer, ia masuk ke Universitas of Malay, Singapura, 1957-195925. ketika di Universiatas ini kecemerlangan intelektualnya kembali terbukti, dengan menulis dua buah buku. Buku yang pertama adalah Ruba’iyat. Sedangkan buku yang kedua adalah some Aspects of shufism as Understood and practised Among the Malays, yang

24

Syaidul Muzani. Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, H. 92

25

(28)

diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963, buku yang kedua ini sangat bagus, sehingga ia mendapatkan tawaran beasiswa oleh pemerintahan Kanada melalui Canada Council Foollowship untuk belajar di Institud of Islamic Studies, Universitas McGill, Monteral Kanada, Kesempatan itu ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kurun waktu 3 tahun ia berhasil meraih gelar M.A. setelah tesisnya yang berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, selama di Universitas McGill, al-Attas banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir dunia, seperti : Fazlur Rahman, Sir Hamilton Gibb, Syed Husein Naser, dan Toshihiko Izutsu.

Karier akademik al-Attas tidak hanya berhenti di Universitas McGill, akan tetapi, al-Attas kemudian menempuh program doktor di School of Oriental and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum Orientalis26. Disini al-Attas menekuni teologi dan metafisika dan menulis disertasi dengan judul The Mysticm of Hamzah Fanshuri yang juga lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

Sekembali dari London pada tahun 1965. al-Attas langsung dilantik menjadi ketua jurusan sastra di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari tahun 1968-1970, al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra dikampus yang sama. Kariernya terus menanjak dan dilembaga ini al-Attas berusaha menjadikan bahasa melayu sebagai pengantar Fakultas dan Universitas. Namun

26

(29)

usaha itu mendapat tantangan dosen-dosen lain yang tidak sepakat dengan idenya tersebut.

Pada tahun 1970 al-Attas termasuk salah seorang pendiri Universitas Kebangsaan Melayu (UKM), dan menjabat sebagai Dekan pertama dari institut bahasa, kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di UKM. Pada tanggal 24 januari 1972 beliau diangkat profesor dalam bidang bahasa dan kesusastraan Melayu di Universitas yang sama, dengan pidato pengukuhan “ Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu”

Berkat semangat dan prestasinya dalam bidang pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, sehingga beliau menerima beberapa penghargaan, diantaranya yaitu, menerima penghargaan dari pemerintah Iran pada tahun 1975 sebagai “Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran” ( Fellow Of The Imperal Iranian Academi of Filosophy), penghargaan dari pemerintah Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran Iqbal ( Iqbal centenary Commemorative medal), sebagai anggota American Philoshopical Assosiation ( World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun pada 1976.

(30)

Pada tahun 1978, al-Attas meminta UNESCO untuk memimpin pertemuan para Ahli Sejarah Islam yang diselenggarakan di Allepo, Suriah

Didalam Negeri sendiri al-Attas telah menjadi Icon bagi bangsa Malaysia, karena kapasitas intelektualnya tidak di ragukan lagi, sehingga berbagai penghargaan dan jabatan juga diberikan kepada beliau, diantaranya: al-Attas dipilih menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara ( Tun Abdul Razak Khair of Shouteast Asian Studiers) di Universitas Ohio, Amerika Serikat, pada tahun 1980-1982. Al-attas juga yang mendirikan ISTAC seklaligus Rektor ISTAC ( Interantional Institut of Islamic Thought and Civization), Malaysia sejak 1987. pada tahun 1993, Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai presiden ISTAC dan universitas Islam Malaysia Internasional ( International Islamic University Malaysia) menunjuk al-Attas sebagai pemegang pertama kursi kehormatan Abu Hamid al-Ghazali dalam studi pemikiran Islam ( Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Kemudian pada tahun 1994 Raja Husein dari Yordania juga mengangkatnya sebagai anggota Royal Academy of Yordan27.

Al-Attas adalah sebagai pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti Teologi, filsafat, Metafisika, sejarah dan sastra, selain itu, beliau rupanya juga memiliki keahlian dalam bidang seni, seperti kaligrafi. Dalam bidang ini, al-Attas pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada tahun 1954. Al-Attas jugalah yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada tahun 1991. Pada tahun 1993, al-Attas diminta menyusun tulisan

27

(31)

klasik yang unik untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Pada tahun 1994 al-Attas diminta menggambar Auditorium dan Masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.

Melihat prestasi dan aktivitas al-Attas di atas, tidak heran kalau Fazrul Rahman memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai “seorang pemikir jenius”. Al-Attas datang dengan menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagaian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian,beliau mengklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Tidak hanya itu beliau juga aktif memberikan solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di gugusan pulau rumpun Melayu. Misalnya beliau berhasil memecahkan misteri tanggal Inkskripsi Trengganu dan menghitungnya dengan tepat, setelah lebih dari setengah abad membingungkan para Orientalis.

(32)

C. Karya-karya Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas

1. Buku dan Monograf

Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat, ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Undu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania.28 Dalam karyanya itu al-Attas mengupas berbagai masalah seperti, bahasa, sejarah, tasawuf, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara karya-karya al-Attas telah diterbitkan adalah sebagai berikut:

1. Rangkaian Rubu’iyat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur, 1959. Dalam buku al-Attas mengkontribusikan bentuk-bentuk baru dan syair-sayair orisinil yang terdapat di dunia Melayu. Di samping itu, al-Attas juga memaparkan pemikiran-pemikiran sufi yang muncul dari kesadarannya tehadap tuhan melalui pandangan batin dan rasa (dzauq).

2. Some Aspect of Shufism as Understood and Practised Among The Malays, terbitan Malaysian Sosiological Research Institute, Singapura, 1963. buku ini membahas tentang berbagai persoalan dari berbagai aspek pemahaman yang terkandung dalam pokok-pokok ajaran sufi, serta melihat pula penerapannya yang dipraktekkan di Malaysia.

3. Preliminary Statenment on The General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, terbitan DBP, Kuala Lumpur, 1968. dalam buku

28

(33)

ini al-Attas mengemukakan argumen-argumen yang menolak pendapat para ahli sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di kepulauan Melayu dan Nusantara secara langsung dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat, India ke Pasai dan Gresik. Menurut al-Attas untuk membuktikan kedatangan Islam ke Nusantara adalah harus dilakukan dengan penelitian yang mendalam karakteristik internal Islam di kedua wilayah tersebut. Untuk menguatkan pendapatnya al-Attas mengajukan teori umum tentang proses Islamisasi di kepulauan Melayu dan Nusantara yang didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia muslim seperti terlihat dalam perubahan-perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia.

(34)

5. Islam dan Sekularisme, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual Muslim. Di dalamnya al-Attas membahas konsep sekularisasi atau sekularisme dalam perspektif bahasa dan asal-usul serta sejarah kelahirannya. Kesimpulannya bahwa konsep sekulerisasi atau sekularisme tidak dapat diterima karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

6. (Ed.) Ains and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, terbitan Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, Londong: 1979., diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Buku ini merupakan editan dari kumpulan makalah-makalah yang di presentasikan oleh para pembicara dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang diadakan di Makkah pada tanggal 30 Maret – 8 April 1977. Dalam konferensi itu al-Attas dipilih sebagai pembicara utama dengan mempresentasikan makalah kunci yang berjudul; Preliminary Thoughts on the Nature of Knoeledge and the Definition and Aims of Educational. Al-Attas dalam makalah tersebut memaparkan gagasan-gagasan awal yang di ajukan Al-Attas mengenai sifat-sifat ilmu pengetahuan, serta definisi dan tujuan-tujuan pendidikan.

(35)

tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Islamabad pada tanggal 15 - 20 Maret 1980. buku ini sebagai lanjutan gagasan-gagasan yang telah disampaikannya pada Konferensi Internasional Pertama di Makkah. Kandungan buku ini, menjelaskan tentang definisi yang berhubungan dengan unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan serta konsep kependidikan dalam Islam yang berlandaskan atas beberapa konsep pokok tertentu yaitu konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (‘ilm dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), serta konsep lainnya yang berkaitan. 8. Islam and the Philosophy of Science, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur 1989.

buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, al-Attas berusaha mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam tradisi Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.

(36)

10.The Degrees of the Existence, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. inti dari buku ini adalah kesimpulan-kesimpulan akhir tentang metafisika Islam, karena buku ini sangat ringkas, penulis berupaya menguraikan kembali kesimpulan-kesimpulan metafisika Islam yang telah dicapai oleh para intelektual muslim beberapa abad yang silam.

11.Prolegomena to the Metaphysics of Islam, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1995, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Isi buku ini memuat kumpulan yang merupakan titik kulminasi gagasan dan pemikiran al-Attas tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mendalam terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer.

2. Artikel

Al-Attas sebagai seorang pemikir yang jenius, tidak hanya mencurahkan pikiran cerdasnya melalui buku, tapi juga dalam bentuk artikel, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalis, Kuala Lumpur, 1966.

2. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.

3. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.

(37)

Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.

5. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974.

6. “Islam dan Kebudayaan Malaysia” Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.

7. “Some Reflection on the Philosophical Aspects of Iqbal’s Thought”, International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977.

8. The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and System of Implementation”, World Symposium of al-Isra’, Ammam, 1979. 9. ASEAN – Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”

Diskusi, jil. 4, no. 11 – 12, November – Desember, 1979. 10.“Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.

11.“Knowledge and Non-Knowlwdge”, Readings in Islam, No. 8, First Quarter, Kuala Lumpur, 1980.

12.“The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, 1980.

13.“Religion and Secularity”, Congress of the world’s Religions, New York, 1985.

(38)

BAB III

PARADIGMA KEILMUAN

A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu

Islam adalah agama yang mengarahkan memerintahkan umatnya untuk menjadikan ajaran agama islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan lil’alamin. Bagi komunitas Muslim Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradban secra menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan29. Sedang kejaian pemiskinan intelektual spiritual Barat, menurut Sayyed Husein Naser, itu disebabkan karena Barat telah menduniawikan ( mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak dengan yang kudus30. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang berbeda.

Salah satu implikasi diatas yang muncul kemudian adlah menurut banyak pihak, ilmu pengetahuan modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi kalangan pendidkan Islam, kemudian, hal ini menjadi

Isu yang besar: yakni Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of Knowledge). Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya kesadaran dikalangan dunia Islam yangg dihadapkan dengan ilmu pengetahuan modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan

Nasim Butt, “ Scince and Muslim Society”, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sanins dam masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 hal 69

(39)

Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di wilayah teknologi31.

Istilah Islamisasi untuk pertma kalinya sangat populer ketika konfrensi Dunia yang pertama kalinya tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya32. Islamisasi dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas.

Sedang Islamisasi dalam kontek pengetahuan adalah suatau upaya integrasi wawasan ilmu pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi kehidupan kaum Muslimin33. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan melakukan Eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrd view Islam), serta menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha Islamisasi ini, bagi umat Islam tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan modern.

31

Osman Bakar, “Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science”. Diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 hal.214

32

Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990), hal 867.

33

(40)

Bagi Osman Bakar, Islamisasi Ilmu pengetahuan diterjemahkan sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam34.

Beberapa prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya sebagai berikut :

1. Ilmu pengetahuan tidak ditujukan kepada kepentingan praktis partrikular, tetapi didelegasi untuk tujuan-tujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan ini ilmu pengetahuan akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut. 2. melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme.

Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius secara diferensial.

3. Ilmu pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-qur’an disamping fenomena alam.35

Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

Isma’il Raji al-Faruqi menawarkan 12 ( dua belas) tahapan, yaitu : (1) penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian katagoris;(2) survei

34

Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science h. 214-235

35

(41)

displin ilmu pengetahuan, (3) penguasaan khazanah Islam sebuah ontologi;(4) penguasaan khazanah ilmiah islami, tahap analisa ; (5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu modern, tingkat perkembangannya dimasa ini; (7) penilaian krits terhadap khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini; (8) survei permasalahan yang dihadapi umat Islam (9) survei permasalahan yang dihadapi umt manusia (10) analisis kreatif dan sintesis; (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; (12) penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah di Islamisasi.

Al-Faruqi mementingkan konsep Tauhid sebagai kerangka yang harus dipahami secara utuh sehingga mempunyai implikasi terhadap keseluruhan aspek kehidupan umat Islam, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Tauhid dipahami bahwa Tuhan tidak hanya sebagai absolut dan penyebab utama, tetapi juga menjadi inti dari ajaran-ajaran normatif, prinsip ini menyatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang memerintah. Gerakan, gagasan, dan tindakan Tuhan adalah realitas yang tidak bisa diragukan, tetapi hal itu bagi manusia merupakan nilai36. Konsep ini bukan hanya sekedar sebagai sumber atau penyebab utama ilmu pengetahuan, maka empirisme absolut tidak dapat diterima bukan hanya karena prinsip positivistiknya yang mutlak, tetapi juga karena relitas itu sendiri merupakan gerakan, gagasan dan tindakan Tuhan.

36

(42)

Impilikasi pandangan tauhid diatas dapat ditemukan pada pandangannya tentang alam semesta (universe) yang menjadi materi ilmu pengetahuan modern. Bagi al-Faruqi, sistem alam raya tidak hanya sebagai sistem material dari sebab akibat, tetapi juga bersifat teologikal yang keseluruhan elemennya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing yang teratur. Bahkan alam raya ini diciptakan sebagai miniatur bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan dari Tuhan. Prinsip demikian memberikan pengaruh pada ilmu pengetahuan bahwa alam semesta tidak hanya cukup dipahami secara fosifistik, tetapi juga harus memahami tujuan dari pola hubungan harmonis alam itu, sehingga memberi manfaat bagi umat manusia. Prinsip ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak semata-mata bersifat saintifik an sich, tetapi juga merupakan pengetahuan tentang keteraturan alam secara menyeluruh.

B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu

Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk.

(43)

kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan37.

Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampai-sampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya. Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri. Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.

Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human Direction, adalah sebagai ilmuan yang bependapat seperti itu, menurut keduanya, masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan menjadi impersonal.

Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak

37

(44)

sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis. Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai Ilahiyah (Transenden)38.

Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial Society_dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis_ bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan keagamaannya meluncur pada post- Cristian Era dengan mengembangkan pola hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan pada “ disini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money39.

Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur

38

.Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217 39

(45)

dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin dan pemersatu umat menjadi tereduksi.

Adapun ruang lingkup Islamisasi ilmu diantaranya:

1. Klasifikasi ilmu

Al-Attas mengklasifikasikan ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para filosofis, pakar, dan orang bijak khususnya para sufi. Pengklasifikasian ini dilakukan al-Attas tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan ilmu pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia.

Klasifikasi ilmu pengetahuan kedalam beberapa kategori umum bergantung pada pelbagai pertimbangan. Misalnya berdasarkan metode mempelajarnya, kita akan mengenal pengetahuan Iluminatif atau Gnostik dan ilmu sains. Ilmuwan menamakan dua kategori ini sebagai Ilmu Naqliyah dan Ilmu Aqliyah (rasional) ataupun Tajribiyah (empiris). Berdasarkan dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, pengetahuan dibagi menjadi Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah.

(46)

sama ataupun ekslusitas yang setara. Sebagai contoh, walaupun lebih tinggi dibandingkan ilmu-ilmu intelektual ( al-‘Ulum al-Aqliyyah), ilmu-ilmu agama (al-‘Ulum al-Naqliyyah) tidak dapat dijelaskan tanpa ilmu-ilmu intelektual, terutama pada zaman kita sekarang ini. Ilmu-ilmu intelektual tanpa ilmu-ilmu agamaakan menyesatkan dan sangat sofistik. Disamping itu, klasifikasi ilmu tidak mengingkari validitas dan status yang satu terhadap yang lain, melainkan mengakui legitimasi dan status ilmiah masing-masing ilmu tersebut.40

Al-attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan cara-cara untuk mempelajarinya terbagi mejadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Ma’rifah) dan ilmu sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.41

1. Ilmu Iluminasi (Ma’rifat)

Iluminasi (Ma’rifah) adalah ilmu yang diberkan Allah SWT. Sebagai karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah SWT. Berdasarkan ilmu yang benar42. Manusia menerima ilmu ini melalui dzauq dan kasf. Dzauq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara langsung. Sedagkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki

40

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.1

41

A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19

42

(47)

kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan ruhani.

Ilmu ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known) melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan sendirinys mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas dan tingkat yang ingin diketahuinya.

Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas, ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Qur’an, yang kemudian dipahami dan diamalkan oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Qur’an dan sunnah ini disebut dengan syari’at, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu Ladunni dan Hikmah. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua formulasi sains dan aktivitas umat.

(48)

Ilmu sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insans berdasarkan daya usaha akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan pegkajian indera jasmani43 terhadap obyek-obyek yang bersifat materi. Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita dengar belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya. Dengan demikian diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi mwnjadi obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh pengetahuan jenis apapun44.

Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajribat) tentang hal-hal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern.

43

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78 44

(49)

Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki, pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya pengamatan indra, ia tidak akan mampunmenembus objek-objek non fisik karena sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek no-indrawi tersebut tidak sedikit. Nah, disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi kelemahan-kelemahan ilmu sains tersebut.

Ilmu sains bersifat empiris atau acak dan pencapaiannya menempuh jalan-jalan yang betingkat-tingkat imu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan.

Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu dikalsifikasilan menjadi Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah.45 Ilmu iluminasi (Ma’rifat) merupakan ilmu Fardhu ‘Ain. 46 artinya ilmu yang harus dipelajari

45

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, h. 270

46

(50)

oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.47 Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan ilmu Fardhu Kifayah. Maksudnya yaitu ilmu pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja, maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah kewajiban bagi yang lain.

Konsep ilmu Fardhu ‘AIn dan Fardhu Kifayah harus dipahami secara lebih mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi umat Islam dlam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasan-batasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat mebantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan48 tidaklah tepat.

Untuk lebih mudah memahami konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci:

dari ilmu sains, namun ilmu iluminasi tidak bisa dijelaskan tanpa ilmu-ilmu sains. Dengan demikian umat Islam juga wajb mempelajari ilmu sains sebagai sarana pendukung dalam mempelajari ilmu iluminasi tersebut.

47

Ilmu ini bisa dipelajari oleh umat Islam, misalnya yang termasuk dlam ilmu ini salah satu diantaranya, adalah al-Quran yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid,.h.157)

48

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh brand image , perceived price , trust , value terhadap purchase intention pada private label St Yves Matahari

Tijdschrift van Het kononklijk Nederlandsch, Aardrijkskundundig Genootschap, Deel LII, 1935 , hlm.. Pada akhir Maret pada harga ini transaksi pertama dengan

Kom selaku dosen pembimbing II, yang telah mendukung peneliti, memberikan motivasi kepada peneliti dan membantu memberikan arahan serta pendapat dalam proses

Untuk Jalan arah sebaliknya yaitu Jalan Ayani Kubu Raya – Jalan Ayani Kota Pontianak hasil derajat kejenuhannya sebesar 0,2248 smp/jam dan tingkat pelayanan jalannya

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan

e) Kelurahan Koya Barat, Kelurahan Koya Timur, Kampung Koya Tengah, Kampung Holtekamp, dan Kampung Skouw Mabo terletak di Distrik Muara Tami. Kawasan peruntukan perumahan

Pendapat para ahli tentang penelitian klik di sini. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1) Penelitian adalah usaha menarik kesimpulan

Melaksanakan pencatatan dan pelaporan kegiatan kesling. Dokumen Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan 1)  Hasil Kerja : Tulis Hasil Kerja sesuai dengan uraian tugas.