• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI dan Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB dari bulan Januari-Agustus 2012.

Bahan Penelitian

Bahan ekstrak yang digunakan yaitu daun, kulit batang, kulit buah dan daging buah bintaro yang diperoleh dari sekitar Bogor. Daun yang digunakan yaitu daun yang sudah tua. Kulit batang diambil dari bagian batang bebas cabang dari pohon bintaro yang sudah masak tebang dengan diameter 20 – 30 cm. Kulit buah diambil dari buah yang sudah tua (berwarna ungu kemerahan dan hijau tua). Daging buah yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua. Bagian daging buah diambil dengan cara membelah buah menggunakan gergaji mesin.

A B

C D

Gambar 7. Bahan ekstrak dari tanaman bintaro: daun (A), kulit batang (B), kulit buah (C), daging buah (D)

Serangga Uji

Uji bioassay menggunakan larva instar III-IV nyamuk Ae. aegypti yang merupakan hasil rearing insektarium Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB.

Metode penelitian Prosedur Ekstraksi

Daun, kulit batang, kulit buah dan daging buah bintaro terlebih dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-masing serbuk diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi. Ekstraksi dilakukan sampai berwarna bening. Ekstrak metanol diperoleh dengan menyaring residu dengan ekstraknya menggunakan kertas saring Whatman. Larutan ekstrak dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.

Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian bioassay Serbuk daun, kulit batang,

kulit buah, daging buah

Ekstrak kering Metanol Uji larvasida Evaporasi Ekstrak terbaik Larutan ekstrak metanol

A B

C D

Gambar 9. Proses ekstraksi: ekstraksi menggunakan metode maserasi (A), penyaringan larutan ekstrak (B), larutan ekstrak hasil penyaringan (C), evaporasi (D).

Prosedur Fraksinasi

Tahap fraksinasi dilakukan hanya pada bagian ekstrak bintaro yang paling tinggi aktivitasnya terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Sebanyak 175 gram ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian ditambahkan aquades sampai diperoleh 300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan dalam corong pisah 1000 ml dan diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana sebanyak 300 ml (1:1). Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan n-heksana berinterksi lalu diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara kedua pelarut. Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya. Fraksi tidak terlarut diekstraksi kembali dengan pelarut berikutnya yaitu etil asetat.

Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil asetat yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 o

Rendemen (%) = x 100 %

C kemudian dikeringkan di atas waterbath

untuk mendapatkan ekstrak kering. Rendemen tiap ekstrak dihitung dengan rumus:

dimana:

BKA = Berat kering ekstrak padat yang diperoleh (gram) BKS = Berat kering serbuk yang diekstraksi (gram)

Gambar 10. Diagram alir tahapan fraksinasi dan uji bioassay Fraksi tidak terlarut

Fraksi terlarut n-heksan

Uji larvasida Fraksi terlarut etil asetat

n-heksan

Etil asetat

Fraksi tidak terlarut

Fraksi aktif

Ekstrak metanol dari ekstrak terbaik + Aquades

A B

Gambar 11. Pengocokan larutan ekstrak dalam corong pisah (A), proses pemisahan larutan (B)

Penapisan Fitokimia

Ekstrak padat yang diperoleh kemudian diuji fitokimia sesuai dengan metode Harborne (1987), kelompok senyawa yang diamati antara lain alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, phenol, dan flavonoid . Menurut Kristanti (2006) fitokimia merupakan langkah awal untuk mengetahui gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti, dimana metode yang digunakan sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan suatu pereaksi warna.

a. Identifikasi golongan alkaloid

Ekstrak sebanyak 10mg dilembabkan dengan amonia 30%, digerus dalam mortir, ditambahkan 20 ml kloroform dan digerus kuat. Campuran disaring dengan kertas saring, filtrat berupa larutan organik diambil (sebagai larutan A), sebagian dari larutan A (5 ml) diekstraksi dengan 5 ml larutan HCL 1:10 dengan pengocokan tabung reaksi, diperoleh larutan bagian atas (larutan B). Larutan A diteteskan pada kertas saring dan disemprot atau ditetesi dengan pereaksi Dragendorff dan Mayer, terbentuk endapan merah bata dengan pereaksi Dragendorff dan endapan putih dengan pereaksi Meyer menunjukkan adanya senyawa alkaloid.

b. Identifikasi golongan steroid dan triterpenoid

Ekstrak sebanyak 10 mg simplisia dimaserasi dengan 100 ml eter selama 2 jam dalam wadah dengan penutup wadah rapat, disaring dan diambil filtratnya, 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu, ke dalam residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebernman-Buchard), terbentuknya warna hijau atau merah menunjukkan adanya senyawa golongan steroid dan triterpenoid.

c. Identifikasi golongan flavonoid

Ekstrak sebanyak 20 mg simplisia ditambahkan 10 ml air panas, didihkan selama 10 menit, saring dengan kertas saring, diperoleh filtrat yang akan digunakan sebagai larutan percobaan. 5 ml larutan percobaan ditambahkan serbuk atau lempeng magnesium secukupnya dan ditambah 1 ml asam klorida pekat dan 5 ml amil alkohol, dikocok kuat dan dibiarkan memisah, terbentuk warna merah pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

d. Identifikasi golongan saponin

Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang diperoleh dari percobaan C, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok selama 10 detik secara vertikal, kemudian dibiarkan 10 menit, terbentuk busa yang stabil dalam tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin, bila ditambahkan 1 tetes asam klorida 1 % (encer) busa tetap stabil.

Kromatografi Lapis Tipis

Tahap ini dilakukan untuk menentukan eluen terbaik yang bisa memisahkan senyawa dalam ekstrak. Penentuan eluen terbaik menggunakan kombinasi beberapa pelarut dengan sistem gradien. Eluen disiapkan dengan mencampur sistem eluen yang diinginkan dalam bejana kromatografi. Bejana dijenuhkan dengan eluen beberapa saat (+ 15 menit). Plat KLT yang digunakan adalah silika gel G 60 F254. Larutan ekstrak dari hasil fraksinasi yang memiliki efikasi paling tinggi terhadap larva nyamuk Ae. aegypti diteteskan pada permukaan KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Penetesan dilakukan sampai

diperoleh spot yang pekat. Plat KLT dimasukkan dalam bejana kromatografi. Setelah pelarut mencapai batas atas KLT (0.5 cm dari tepi atas) lalu pelat KLT diangkat. Spot yang terbentuk diamati dengan sinar UV 254 nm dan serium sulfat. Selanjutnya Eluen terbaik akan digunakan pada kromatografi kolom.

A B

Gambar 12. Penetesan ekstrak pada plat silica (A), chamber KLT (B)

Kromatografi Kolom

Kolom dipasang pada statif secara tegak lurus. Bagian dasar kolom dimasukkan glass wol secukupnya dan diatas glass wol dimasukkan Sea sand

sebagai penahan glass wol. Eluen dimasukkan dalam kolom sebanyak 1/3 bagian kolom. Silika dilarutkan dalam eluen hingga menjadi bubur silika. Bubur silika dimasukkan dalam kolom sedikit demi sedikit. Cerat kolom dibuka dan dialirkan eluen sampai diperoleh silika yang homogen di dalam kolom. Ekstrak dihomogenkan dengan cellite dan dimasukkan dalam kolom. Ekstrak yang keluar dari kolom ditampung tiap 20 ml dalam botol. Senyawa dalam tiap botol dilihat spotnya dengan KLT, Senyawa yang memiliki nilai Rf yang sama disatukan menjadi satu fraksi.

Gambar 13. Diagram alir proses kromatografi kolom dan uji larvasida

Uji Larvasida Kromatografi

Kolom Sub Fraksi Fraksi Aktif

A B

Gambar 14. Proses pemisahan dengan kromatografi kolom (A) dan proses pengeringan eluen (B)

Penetasan Telur dan Pemeliharaan Larva Nyamuk Ae. aegypti

Telur Ae. aegypti yang diperoleh dari Laboratorium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB ditetaskan di dalam wadah berupa nampan berdiameter ± 10 cm yang telah diisi air sumur. Setelah telur menetas menjadi larva diberi makan berupa pellet ikan Setelah mencapai instar ke-3, larva dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar berupa mangkuk agar pertumbuhan larva maksimal. Makanan ditambahkan secukupnya pada pagi dan sore, sedangkan air diganti setiap dua hari. Pemberian pakan harus secara berkala untuk menjaga kestabilan pertumbuhan larva dan untuk mencegah terjadinya kelaparan larva.

Uji Bioassay

Untuk mendapatkan konsentrasi yang optimal terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan dengan cara menguji ekstrak pada konsentrasi tertinggi kemudian diturunkan sampai mendapatkan persentase mortalitas larva 100%. Pada penelitian menggunakan konsentrasi 0, 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dengan menggunakan 5 ulangan. Uji bioassay mengacu kepada protokol WHO (2005). Tiap konsentrasi ekstrak yang diuji dimasukkan dalam gelas dengan ditambahkan Tween 0,5 ml sebagai surfaktan untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga ekstrak dapat larut dalam air. Volume ekstrak dalam gelas yang akan diujikan adalah 100 ml. Ekstrak dimasukkan dalam wadah gelas 200 ml bersama dengan 25 ekor larva instar III-IV kemudian bagian atas gelas plastik ditutupi dengan kain kasa. Pengamatan dilakukan dengan variasi waktu 6 jam, 12 jam, 24 jam dan 48.

Mortalitas (%) = x 100%

dimana A = jumlah larva yang dimasukkan dalam gelas uji B = jumlah larva yang hidup pada gelas uji.

A B

Gambar 16. Pelarutan ekstrak menggunakan stirrer (A), inkubasi (B)

Analisis Data

Uji statistik menggunakan SPSS 10.0 dan minitab 14. Analisis data menggunakan uji ANOVA. Uji lanjut menggunakan uji Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui kelompok perlakuan yang paling berbeda. Penentuan konsentrasi efektif LC50, LC90 menggunakan EPA Probit Analysis Program Versi 1.5.

Dokumen terkait