• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk dengan penyebaran paling cepat di dunia. Pada 50 tahun terakhir, kejadian telah meningkat 30 kali lipat seiring dengan adanya perluasan distribusi geografis negara-negara baru dan mobilitas yang sangat tinggi antara desa dan kota (WHO 2009). Sejak tahun 1980, penyakit DBD menyebar luas di berbagai wilayah tropis dan sub tropis meliputi benua Amerika, Afrika, Asia dan Pasifik Barat. WHO memperkirakan telah terjadi 50 - 100 juta kasus DBD pertahunnya di dunia, dengan 25.000 kasus kematian (Gubler 1997).

Gambar 1. Negara dengan resiko penularan dengue tahun 2008 (Sumber: WHO 2009)

Di Indonesia, penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan. Penyakit ini telah menyebabkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya yang cepat dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat (DEPKES 2005). Kasus DBD di Indonesia, pertama kali dijumpai di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Berdasarkan laporan World Health Organization

(WHO) (1999), terdapat empat kejadian luar biasa (KLB) DBD yang signifikan selama periode 1968-1998, yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988 dan 1998. Pada

tahun 1998, tercatat 72.133 kasus DBD dengan jumlah kematian 1.414 orang (Case Fatality Rate (CFR) 2,0%). Dari tahun ke tahun, area sebaran maupun jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, kejadian DBD lima tahun terakhir semakin memprihatinkan. Pada tahun 2004 terjadi 79.462 kasus dengan jumlah kematian 957 orang. Tahun 2005, kasus DBD di 32 provinsi mencapai 91.089 kasus, sebanyak 1.214 orang meninggal dunia (CFR 1,3%). Tahun 2006 korban demam berdarah mencapai angka yang sangat menakutkan yaitu 114.656 kasus. Laporan Departemen Kesehatan menyebutkan penyakit demam berdarah sudah menjadi masalah yang endemik di 33 provinsi dan di 330 kotamadya/kabupaten. Pada 2007, jumlah kasus DBD melonjak menjadi 158.115 kasus dengan 1.599 korban meningggal dunia, atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yang menjadikan Indonesia negara dengan kasus dan kematian akibat DBD terbesar di dunia. DKI Jakarta tercatat sebagai daerah endemik DBD terbesar yaitu terdapat 31.836 kasus, sementara tingkat kematian tertinggi yaitu di Jawa Timur sebanyak 372 orang. Kasus DBD 2001-2007 jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan dekade 1990-an. Sampai medio Juli 2008, kasus DBD di Indonesia sudah mencapai 73.488 kasus dengan kematian 542 jiwa (CFR 0,74%) (DEPKES 2008).

Penyakit DBD tergolong penyakit yang sangat berbahaya dan termasuk kategori penyakit sangat menular (WHO 2003). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti (WHO 2009). Virus dengue tergolong genus Flavivirus, famili Flaviridae yang terdiri dari empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Seema dan Jain 2005).

Selama masa inkubasi di tubuh manusia (intrinsik) yaitu sekitar 3-14 hari maka akan timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia dan berbagai tanda non spesifik lainnya. Nyamuk Ae.

aegypti lebih aktif mencari mangsanya di siang hari di banding nyamuk lain yang cenderung menyerang manusia pada malam hari. Setelah menggigit tubuh manusia, perut nyamuk akan terpenuhi darah kira-kira dua hingga empat miligram atau sekitar 1,5 kali berat badannya (Kristina et al. 2004).

Biologi Nyamuk Aedes aegypti

Siklus hidup. Di dalam siklus hidupnya, nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu telur, larva, pupa dan dewasa (Hadi dan Koesharto 2006). Larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya, sedangkan telur tahan hidup dalam waktu lama tanpa air, meskipun harus tetap dalam lingkungan yang lembab (Christoper 1960).

Telur. Telur Ae. aegypti berwarna hitam, oval dan diletakkan di dinding wadah air, biasanya di bagian atas permukaan air. Apabila wadah air itu mengering, telur bisa tahan (dorman) selama beberapa minggu atau bahkan bulan dan ketika wadah tersebut berisi air lagi dan menutupi seluruh bagian telur, maka ia akan menetas menjadi jentik (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut Becker et al

(2003), telur Ae. aegypti menyukai air yang jernih atau air dengan kandungan bahan organik yang sedang. Telur nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang hingga dewasa pada air dengan medium campuran kotoran ayam, kaporit dan air sabun (Hadi dan Koesharto 2006). Menurut penelitian Mohammed dan Cadee (2011), telur menetas hanya memerlukan waktu dua hari (48 jam) dengan tingkat fertilitas mencapai 98% pada suhu 24-250C, 57% pada suhu 26-270C, 20% pada suhu 29-300C, 3.7% pada suhu 32-330C dan 1.6% pada suhu 34-350C.

Larva. Jentik nyamuk tidak berlengan, dadanya lebih besar dari kepalanya. Kepalanya berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk, serta sikat mulut yang menonjol. Perutnya terdiri atas 9 ruas yang jelas, dan ruas terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) yang bentuknya silinder (Hadi dan Koesharto 2006). Stadium larva mengalami empat fase larva yaitu instar I, II, III dan instar IV. Perubahan fase instar ditandai dengan proses pergantian kulit (Bates 1970). Antena larva Ae. aegypti kira-kira setengah kepala dan tanpa spikula. Pada sternit abdomen VIII terdapat sisir (comb) berjumlah 6-12 dan bentuknya seperti trisula. Siphon berpigmen sedang dengan siphonal index sekitar 1.8-2.5 dan acus tidak berkembang. Pecten memiliki 8-22 gigi (Becker at al. 2003). Waktu stadium larva berkisar 4-8 hari, persentase larva menjadi pupa mencapai 87.7% pada suhu 24-250C, 98.5% pada suhu 26-270C, 97.2% pada suhu 29-300C, 87.6% pada suhu 32-330C dan 74.2% pada suhu 34-350 (Mohammed dan Cadee 2011).

Gambar 3. Larva nyamuk Ae. aegypti (Sumber: www.darnis.inbio.ac.cr)

Pupa. Mendekati ekdisi akhir atau pupa larva menjadi gemuk. Larva cenderung berhenti makan dan tetap saat istirahat di permukaan. Ketika pertama kali muncul, pupa berwarna putih, tetapi dalam waktu singkat menunjukkan perubahan pigmen (Christoper 1960). Pupa nyamuk bergerak aktif seperti kebanyakan pupa serangga lainnya (Bates 1970). Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, kepala dan dadanya bersatu dilengkapi dengan sepasang trompet pernapasan. Stadium pupa tidak makan dan bila terganggu, pupa akan bergerak

naik turun di dalam wadah air. Dalam kurun waktu lebih dari dua hari dari pupa akan munculah nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).

Gambar 4. Pupa nyamuk Ae. aegypti (Sumber:

Dewasa. Nyamuk betina berukuran sedang dengan ornamen di kepala, skutum, tungkai dan abdomen. Ae. aegypti mudah dikenali dan dibedakan dari anggota sub-genus lainnya denggan corak putih pada dorsal dada (punggung) dengan pola seperti siku yang berhadapan. Probosis gelap, sedangkan palpi 1/5 panjang probosis dengan corak putih pada ujungnya, clypeus bercorak putih lateral, dan pedicel dengan bercak putih di bagian samping. Vertex memiliki garis medium putih dari interocular sampai ke belakang occiput, dan corak putih juga di samping, dipisahkan oleh tambalan bercorak gelap. Skutelum secara dominan ditutupi dengan sisik gelap. Skutelum memiliki sisik putih yang luas pada semua lobus dan sisik gelap dipertengahan puncak lobus. Tibia seluruhnya gelap. Bagian depan dan tengah tarsi memiliki pita dasar putih pada tarsomer I dan II, tarsus belakang memiliki pita dasar putih yang lebar pada tarsomer I sampai IV dan pada tarsomer V semuanya putih. Pada nyamuk jantan palpi sama panjang dengan probosis dengan pita dasar putih pada palpomere II-IV. Dua segmen terakhir ramping dengan seta yang pendek. (Becker et al. 2003). Nyamuk Aedes memiliki ujung abdomen yang runcing, mempunyai cerci yang menonjol, dibagian lateral dada terdapat rambut post-spiracular dan tidak memiliki rambut spiracular (Hadi dan Koesharto 2006).

Gambar 5. Nyamuk dewasa Ae. aegypti (Sumber: www. aedes.caltech.edu)

Proses Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen terpisah. Ragam ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi. Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau, keberhasilan ekstraksi dengan alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh klorofil tertarik oleh pelarut tersebut. Bila ampas jaringan pada ekstraksi ulang sama sekali tak berwarna hijau kembali, dapat dianggap semua senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi (Harborne 1987). Isolasi ekstraktif dapat dilakukan dengan ekstraksi menggunakan campuran pelarut netral dan atau dengan pelarut tunggal secara berurutan (Fengel dan Wegener 1995). Kelarutan zat di dalam pelarut-pelarut itu tergantung dari ikatannya, apakah polar, semi polar atau non polar. Pelarut polar misalnya: air, alkohol dan metanol, sedangkan yang non polar misalnya heksan dan karbon tetra klorida. Zat-zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut dalam pelarut non polar (Yuliani dan Rusli 2003). Pemilihan pelarut yang akan digunakan juga harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Beberapa syarat pelarut yang ideal yaitu harus dapat melarutkan semua zat dengan cepat dan sempurna, harus mempunyai titik didih yang cukup rendah agar pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi, pelarut tidak boleh larut air, pelarut

harus bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen bahan, pelarut harus mempunyai titik didih yang seragam, harga pelarut harus serendah mungkin dan tidak mudah terbakar (Guenther 1988)

Menurut Kristanti et al. (2006) berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu:

1. Ekstraksi padat-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat didalam campuran yang berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemukan dalam usaha mengisolasi suatu substansi yang terkandung di dalam suatu bahan alam.

2. Ekstraksi cair-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat didalam campuran yang berbentuk cair.

Berdasarkan proses pelaksanaannya, ekstraksi dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Ekstraksi yang berkesinambungan (continous extraction)

Dalam ekstraksi ini pelarut yang sama dipakai berulang-ulang sampai proses ekstraksi selesai

2. Ekstraksi bertahap (bath extraction)

Dalam ekstraksi ini setiap tahap ekstraksi selalu dipakai pelarut yang baru sampai proses ekstraksi selesai

Ekstraksi dapat dikerjakan dengan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana atau campuran larutan tersebut (Achmadi 1990). Menurut Kristanti et al. (2006) maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi padat-cair bertahap yang dilakukan dengan jalan membiarkan padatan terendam dalam suatu pelarut. Proses perendaman dalam usaha mengekstraksi suatu substansi dari bahan alam ini bisa dilakukan tanpa pemanasan (suhu kamar), dengan pemanasan atau bahkan pada titik didih. Sesudah disaring, tidak terlarut dapat diekstraksi kembali menggunakan pelarut yang baru. Pelarut yang baru dalam hal ini tidak berarti harus berbeda zat dengan pelarut yang terdahulu, tetapi bisa berasal dari pelarut yang sama. Proses ini bisa diulang beberapa kali sesuai kebutuhan.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi menurut Yuliani dan Rusli (2003) adalah sebagai berikut: persiapan bahan, pemilihan pelarut,

metode ekstraksi, proses penyaringan, dan proses pemekatan. Bahan yang akan diekstraksi sebelumnya dikeringkan terlebih dahulu, pengeringan tanaman yang digunakan untuk pestisida nabati sebaiknya sampai kadar air mencapai 10 % dengan suhu kurang dari 50 ºC agar bahan aktif yang terkandung tidak rusak. Sebelum ekstraksi bahan perlu dikeringkan agar tidak terlalu banyak terjadi perubahan kimia dan suhu rendah bertujuan agar komponen tertentu yang diinginkan tidak rusak selama ekstraksi.

Larvasida dari Bahan Alam

Beberapa tanaman memiliki efektivitas terhadap larva nyamuk Ae. aegypti

seperti minyak buah Kamandarah (Croton tiglium) dan jarak pagar (Jutropha curcas) (Astuti 2008). Ekstrak metanol kulit Cinnamomum cassia, buah Illicium verum, buah Piper nigrum, buah Zanthoxylum piperitumdan Kaempferia galanga

memiliki potensi sebagai larvasida (Yang et al. 2004). Tanaman Anacardium occidentale, Mammea siamensis, Phyllanthus pulcher, Anethum graveolens,

Kaempferia galanga, Cinnamomum porrectum, Costus speciosus, dan Acorus

calamus pada konsentrasi 100 µg/mL menyebabkan kematian larva 100 % selama

48 jam pengamatan sedangkan tanaman Strychnos nuxvomica, Knema globularia,

Stemona tuberosa, Samaneasaman, Annona muricata, Abutilon indicum pada konsentrasi 100 µg/mL memberikan persentase kematian larva sebesar 93%, 88%, 80%, 78%, 69% dan 57% (Promsiri et al. 2006).

Hasil penelitian Rahuman et al.(2009)menunjukkan bahwa ekstrak aseton, kloroform, air panas, metanol, petroleum ether (60–80°C) dari daun Calotropis procera, Canna indica, Hibiscus rosa-sinensis, Ipomoea carnea, Sarcostemma brevistigma memiliki potensi sebagai larvasida. Ekstrak etanol daun dan buah

Melia azedarach menyebabkan kematian yang tinggi terhadap larva nyamuk Ae.

aegypti (Coria et al. 2008). Ekstrak aseton, kloroform, etil asetat, n-heksan dan metanol dari daun Ocimum canum, Ocimum sanctum dan R. nasutus memberikan persentase kematian moderat pada larva nyamuk Ae. aegypti dan Culex

quinquefasciatus Say (Kamaraj et al. 2008). Ekstrak air buah Sapindus

emarginatus menyebabkan kematian 100% pada larva nyamuk Ae. aegypti

indica (Atawodi 2009), Carica papaya (Ahmad et al. 2011), dan lidah buaya (Subramaniam et al. 2012) memiliki aktivitas yang tinggi terhadap larva nyamuk

Ae. aegypti. Komponen flavonoid Poncirus trifoliate juga memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti (Rajkumar dan Jebanesan 2008). Ekstrak benzen fraksi daun Citrullus vulgaris Schrad lebih efektif terhadap larva nyamuk A.stephensi daripada A. aegypti (Mulaii et al. 2008).

Pohon Bintaro (Cerbera manghas)

Pohon bintaro banyak digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai penghias taman kota. Pohon bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian suicide tree, mempunyai nama latin Cerbera manghas, termasuk tumbuhan non pangan atau tidak untuk dimakan. Pohon bintaro sering disebut juga sebagai mangga laut, buta badak, babuto, dan kayu gurita. Dalam bahasa Inggris tanaman ini dikenal sebagai Sea Mango. Bintaro termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera pasifik (Gaillard at al. 2004). Bintaro merupakan pohon beracun dari famili Apocynacea. Buahnya sangat beracun, mengandung cerberin sebagai komponen aktif utama cardenolide. Pohon ini termasuk ke dalam 50% pohon beracun yang menyebabkan 10% kasus keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004). Disamping Cerberin terdapat dua cardenolide yang diidentifikasi dari akar

Cerbera manghas sebagai agent antiproliferatif dan antiestrogenik ketika

dievaluasi terhadap sel kanker usus besar manusia (Chang et al. 2000). Dalam buah juga terkandung tanghinigenin dan Neriifolin masuk dalam kelas steroid sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et al. 2010; Zhao et al. 2011). Ekstrak Cerbera manghas memiliki aktivitas analgesic, antikonvulsan, cardiotonik dan hypotensif (Hien et al. 1991 dalam Zhao et al. 2011). Tarmadi et al (2010) melaporkan bahwa ekstrak buah Bintaro (Cerbera manghas) sangat efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, buah bintaro mengandung alkaloid, saponim, tanin, triterpenoid dan steroid. Dimana komponen kimia tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Ekstrak bintaro dapat menghambat perkembangan serangga hama Eurema spp (Utami 2010). Penelitian

Tarmadi et al. (2010) menunjukkan ekstrak buah bintaro sangat efektif terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida alami. Disamping itu, ekstrak buah bintaro bersifat racun terhadap serangga hama gudang Sitophilus oryzae (Tarmadi et al. 2012).

Klasifikasi tanaman bintaro (Gaillard at al. 2004) : Kingdom : Plantae – Plants

Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants Superdivision : Spermatophyta - Seed plants Division : Magnoliophyta - Flowering plants Class : Magnoliopsida – Dicotyledons Subclass : Asteridae

Order : Gentianales

Family : Apocynaceae - Dogbane family Genus : Cerbera L.

Species : Cerbera manghas L.

Dokumen terkait