Microsatellite-Based Genetic Diversity Analysis among Maize Inbreds
BAHAN DAN METODE Materi Genetik Tanaman
Materi tanaman yang digunakan sebanyak 39 koleksi galur elit yang terdiri atas empat inbrida dari IPB (personal), 35 galur elit yang dibentuk di Balitsereal dimana dua di antaranya yaitu Mr4 dan Mr14 digunakan sebagai penguji (tester). Populasi asal dari inbrida yang digunakan dalam penelitian cukup bervariasi sehingga diharapkan akan terbentuk kelompok heterotik yang jelas antara satu dengan yang lain. Semua inbrida dibentuk di daerah tropis, berwarna kuning dan hampir semuanya mempunyai tipe flint kecuali inbrida P5/GM26-22-2-2-1-2-BB dan P5/GM26-87-1-1-2-1-BB yang tipe semi flint (Tabel 1).
Analisis Molekuler
Prosedur isolasi, amplifikasi, dan visualisasi pola pita DNA mengikuti prosedur George et al. (2004a) yang dimodifikasi sesuai kondisi laboratorium. Biji ditanam
sebanyak 15 individu untuk masing-masing inbrida pada baki yang menggunakan media tanah. Materi tanaman yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah tanaman yang berumur 10 sampai 15 hari setelah tanam. Bagian tanaman yang diambil adalah daun muda yang telah membuka sempurna sebanyak 5-8 individu tanaman dipotong-potong kecil, dicampur kemudian ditimbang 0,4 g per sampel, dimasukkan ke dalam tube 2 ml yang telah berisi buffer CTAB 1,8 ml.
Tabel 1 Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam penelitian ini
No. Pedigree Populasi Asal Tipe*
1 Balitsereal: P5/GM25-42-2-1-1-1-BB P5/Pop31 T, K, F 2 Balitsereal: P5/GM25-97-2-2-1-2-BB P5/Pop31 T, K, F 3 Balitsereal: P5/GM25-203-1-1-1-1-BB P5/Pop31 T, K, F 4 Balitsereal: P5/GM25-233-1-2-1-3-BB P5/Pop31 T, K, F 5 Balitsereal: P5/GM25-241-2-1-2-2-BB P5/Pop31 T, K, F 6 Balitsereal: P5/GM25-251-1-1-1-4-BB P5/Pop31 T, K, F
7 Balitsereal: P5/GM26-9-2-3-1-1-BB P5/Arjuna (Arc1) T, K, F 8 Balitsereal: P5/GM26-22-2-2-1-2-BB P5/Arjuna (Arc1) T, K, F 9 Balitsereal: P5/GM26-87-1-1-2-1-BB P5/Arjuna (Arc1) T, K, F
10 Balitsereal: P5/GM30-9-1-1-1-2-BB P5/Acer T, K, F
11 Balitsereal: P5/GM30-66-2-2-4-2-BB P5/Acer T, K, SF
12 Balitsereal: P5/GM30-54-1-1-2-1-BB P5/Acer T, K, SF
13 Balitsereal: Bisma-3-1-B-1-1-1-B Bisma T, K, F
14 Balitsereal: Bisma-137-2-B-1-2-1-B Bisma T, K, F
15 Balitsereal: Bisma-140-2-1-1-1-1-B Bisma T, K, F
16 Balitsereal: Bisma-181-1-1-1-1-1-B Bisma T, K, F
17 Balitsereal: BM(S1)C0-10-1-1-1-1-B Arjuna T, K, F 18 Balitsereal: BM(S1)C0-60-1-1-1-1-B Arjuna T, K, F 19 Balitsereal: BM(S1)C0-172-2-B-1-1-B Arjuna T, K, F 20 Balitsereal: MKB-24-2-B-1-2-B MSK T, K, F 21 Balitsereal: MKB-52-1-B-1-1-B MSK T, K, F 22 Balitsereal: SP006BBBB-27 J2-34 T, K, F 23 Balitsereal: SP006BBBB-65 J2-34 T, K, F 24 Balitsereal: SP007-23-BBBB Sintetik 1 T, K, F 25 Balitsereal: SP007-42-BBBB Sintetik 1 T, K, F 26 Balitsereal: SP007-68-BBBB Sintetik 1 T, K, F 27 Balitsereal: SP007-85-BBBB Sintetik 1 T, K, F 28 Balitsereal: SP007-118-BBBB Sintetik 1 T, K, F 29 Balitsereal: SP008-70-BBB Sintetik 2 T, K, F 30 Balitsereal: SP008-120-BBB Sintetik 2 T, K, F 31 Balitsereal: SP008-128-BBB Sintetik 2 T, K, F 32 Balitsereal: SP008-135-BBB Sintetik 2 T, K, F 33 Balitsereal: SP009-51-BBB Sintetik 3 T, K, F 34 IPB: SM5-9x - T, K, F 35 IPB: SW7-6 - T, K, F 36 IPB: SW9 - T, K, F
37 IPB: SM7-11x Bisi2, Bisi5 - T, K, F
38 Balitsereal: MS.J1-46(RRS)C1 J2-46 T, K, F
39 Balitsereal: Suwan3-3-1-1-2-4-f(FS)-2 SW3 T, K, F
Keterangan: *)T = Tropis, K= Kuning (warna biji), F = Flint (tipe biji), SF = Semi Flint (tipe biji). Sintetik1, Sintetik2, dan Sintetik3 adalah inbrida hasil penggaluran beberapa kultivar komersial.
Isolasi DNA genom. Proses isolasi DNA mengalami modifikasi yaitu pada proses penggerusan mengikuti prosedur Khan et al. (2004) dimana nitrogen cair diganti dengan buffer CTAB, 1,8 ml untuk sampel daun jagung segar dengan bobot 0,4 g. Larutan yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah CTAB (2x) (CTAB 2%; mercaptoethanol 1%; NaCl 1,4M; ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA); Tris-HCl 100mM), Chloroform isoamyl alcohol (24:1), RNase A (Sigma), Isopropanol, Ethanol (absolut dan 70%), buffer Tris-EDTA 0,1x. Sel dirusak dengan cara diinkubasi pada CTAB panas (65o C) sebagai buffer isolation. Protein diekstraksi dengan menggunakan chloroform-isoamil alkohol dan kompleks CTAB-DNA diendapkan dengan menggunakan isopropanol atau etanol absolut. Pelet DNA dihasilkan melalui sentrifuge, kemudian dicuci, dikeringkan dan dilarutkan kembali. Pemurnian dilakukan untuk memisahkan DNA dari RNA, polisakarida, polifenol, dan kotoran-kotoran lain yang ikut di dalamnya. Prosedur pemurnian dengan perlakuan RNAse dan pengendapan ammonium asetat sehingga akan mengeluarkan RNA dan beberapa polisakarida. Kuantitas dan kualitas DNA hasil ekstraksi diukur berdasarkan standar -DNA melalui proses elektroforesis horizontal, dengan menggunakan gel agarose 0,9%.
Proses amplifikasi. Amplifikasi bertujuan untuk menggandakan DNA yang akan digunakan untuk masing-masing primer yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan 36 primer yang menyebar secara merata pada seluruh genom jagung (http://www.agron.missouri.edu/ssr.html atau http://www.maizegenomedb.org/SSR.php.). Komposisi reaksi PCR, konsentrasi akhir, dan volume seperti yang tertera pada Lampiran 1. Reaksi PCR (coctail) dibuat pada mikroplate mikrotiter 96-sumur dengan menggunakan mesin PCR dari Biorad. Reaksi PCR diambil 8,5 μl dengan pipet mikro (multichannel) dan dimasukkan ke dalam sumur yang telah berisi DNA dari genotipe- genotipe yang diuji masing-masing 1,5 μl. Larutan tersebut masing-masing ditutup dengan satu tetes mineral oil, kemudian microplate ditutup dengan plester aluminium. Proses amplifikasi terdiri atas beberapa tahap (Lampiran 2) yaitu tahap denaturasi 1 menit pada 94oC yang diikuti oleh touch down profil. Profil ini dimulai dengan 2 siklus selama 1 menit pada 94oC, 1 menit pada 65oC, dan 2 menit pada 72oC. Temperatur annealing kemudian diturunkan dari 1oC setiap dua siklus hingga berakhir pada saat
temperatur annealing tercapai. Siklus terakhir diulang 29 kali dan berakhir dengan siklus pemanjangan pada 4oC. Setelah amplifikasi selesai maka dikeluarkan dari mesin PCR. Reaksi dihentikan dengan memasukkan 4 μl loading dye atau stop solution (70% glicerol, 20 mM EDTA, 0,2% SDS, 0,6 mg/ml bromphenol blue) pada masing-masing sumur. Primer mikrosatelit yang digunakan sebanyak 41 pasang basa (forward dan
reverse), dari Research Genetik, Inc, dan dari Invitrogen (Proligo). Primer-primer tersebut diseleksi berdasarkan tingkat polimorfisme dan sebaran yang merata pada kesepuluh kromosom jagung, sesuai referensi dari CIMMYT (Warburton et al., 2002), dan hasil karakterisasi pendahuluan untuk galur inbrida jagung di Indonesia (Pabendon
et al., 2002). Proses sekuensing melalui PAGE 4,5% (Polyacrylamide Gel Electrophoresis) menggunakan sistem sequigen 38x40 cm dan protokol Bio-Rad Laboratories Inc. Hercules, CA, USA. Visualisasi pola pita DNA melalui proses silver staining menggunakan protokol Promega Silver Sequence. Pita-pita yang muncul diberi label berdasarkan posisi relatif dari pita-pita terhadap fragmen φX174/Hin f I.
Analisis Data
Analisis data molekuler dilakukan berdasarkan hasil skoring pita DNA yang muncul pada plate. Pita DNA diskoring berdasarkan penampilan pita DNA ditransformasi ke dalam kode data biner dengan cara: jika ada pita diberi skoring satu (1) dan jika tidak ada pita diberi skoring nol (0). Pita yang tidak sempurna dan kabur diskoring 9 (missing data). Jika ada galur yang menghasilkan banyak pita maka pita yang paling jelas diskoring ‘1’ sedangkan yang lainnya diskoring ‘9’. Data pada kolom menunjukkan inbrida sedangkan baris menunjukkan lokus SSR.
Analisis Tingkat Polimorfisme (Polimorphic Information Content =PIC). PIC dalam terminologinya sama dengan gene diversity (heterozygosity) (Weir, 1996). Nilai PIC memberikan perkiraan kekuatan pembeda dari marker dengan menghitung bukan saja jumlah alel dalam satu lokus tetapi juga frekuensi relatif dari sejumlah alel dari suatu populasi yang diidentifikasi. Lokus marka dengan jumlah alel yang banyak akan terdapat pada frekuensi yang seimbang dengan nilai PIC yang paling tinggi. Nilai PIC
dihitung untuk masing-masing marka SSR (Smith et al., 1997). Nilai PIC digunakan dalam mengukur diversitas alel pada satu lokus dengan formula:
∑
− = n fi PIC 1 2 1 i = 1, 2, 3, ………ndimana fi2 adalah frekuensi alel ke-i.
Koefisien korelasi kofenetik (r) juga dihitung dengan menggunakan program NTSYS.
Analisis Tingkat Heterosigositas. Salah satu kelebihan dari metode SSR adalah deteksinya kodominan sehingga lokus yang heterozigot akan dapat dibedakan dari lokus homozigot. Lokus yang homozigot akan mucul hanya satu pita/alel per primer per genotipe. Jika lebih dari satu alel berarti lokus tersebut heterozigot. Analisis ini penting untuk menghindari terseleksinya genotipe-genotipe dengan tingkat heterosigositas yang tinggi dimana pada pengamatan secara fenotipik tidak terdeteksi karena pengaruh faktor lingkungan. Tingkat heterosigositas untuk setiap genotipe dapat diketahui dengan formula: 100% x digunakan yang SSRs lokus Total t heterozigo lokus Jumlah sitas heterozigo Persetase =
Untuk memperoleh hasil analisis data yang lebih akurat, maka dalam penelitian ini hanya genotipe yang mempunyai tingkat heterozigositas <20% yang dianalisis lebih lanjut.
Analisis Matriks Jarak Genetik. Analisis matriks jarak genetik merupakan analisis yang membandingkan antara ketidaksamaan karakter terhadap jumlah seluruh karakter. Matriks jarak genetik dapat diperoleh dari hasil analisis kemiripan genetik (Lee, 1998), dengan formula:
S = 1 – GS
Analisis Tingkat Kemiripan Genetik (Genetic Similarity). Tingkat kemiripan genetik adalah tingkat kemiripan karakter, dalam hal ini fragmen pita yang dimiliki secara bersama dari genotipe-genotipe yang diidentifikasi. Tingkat kemiripan genetik (GS) diestimasi dari data ukuran alel dengan menggunakan koefisien Jaccard (Rohlf, 2000) dengan formula :
(
)
u n m S + =dimana m = jumlah pita (alel) DNA yang sama posisinya n = total pita DNA, dan
u = jumlah pita (alel) DNA yang tidak sama posisinya.
Dendrogram dikonstruksi berdasarkan Unweighted Pair Group Method Using Arithmatic Average (UPGMA) dengan menggunakan koefisien Jaccard. Jarak matriks dan dendrogram dibentuk dengan menggunakan program NTSYS-pc (Numerical Taxonomic System) versi 2.1 (Rohlf, 2000).
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis = PCA). Analisis komponen utama digunakan untuk menggambarkan posisi relatif dari genotipe yang diidentifikasi melalui program NTSYS. Namun jika ada missing data maka yang digunakan adalah analisis koordinat utama (Principal Coordinate Analysis = PCOORDA) (Prasanna, 2002), yang merupakan bagian dari analisis komponen utama. Selain itu analisis komponen utama digunakan untuk mengetahui primer-primer yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Komponen utama dari peubah data asal diperoleh dari matriks varians-kovarians peubah asalnya. Skor komponen utama untuk setiap pengamatan dihitung melalui persamaan :
(
x x)
Y a(
x x)
a Yh h h k h k = − − = 1 ,...1 dimana Yh1 = skor komponen ke-1 dari
obyek pengamatan ke-h, a1 = vektor pembobot komponen utama ke-1 dan Xh = vector
data pengamatan dari obyek ke-h dan X = vektor nilai rata-rata dari variabel asal (Dillon dan Goldstein, 1984).
HASIL
Karakteristik marka SSR dan variabilitas genetik inbrida yang dikarakterisasi. Gambar 2 adalah salah satu lokus SSR yang memperlihatkan variasi genetik dari inbrida yang dikarakterisasi. Ekstraksi DNA tanpa menggunakan nitrogen cair dapat menghasilkan visualisasi dengan kualitas yang sangat baik. Dari 39 inbrida yang dikarakterisasi, terdapat lima inbrida yang mempunyai tingkat heterosigositas >20% yaitu P5/GM25-251-1-1-1-4-BB, BM(S1)C0-60-1-1-1-1-B, SP007-42-BBBB, SP009-51-BBB, dan SW9. Untuk analisis selanjutnya, kelima galur tersebut akan dimasukkan. Semua inbrida yang dikarakterisasi dapat dibedakan berdasarkan lokus- lokus SSR yang digunakan dalam penelitian ini. Dari total 41 primer yang digunakan, lima primer dieliminasi karena menghasilkan missing data >10%, sehingga yang digunakan hanya 36 primer.
Gambar 2 Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSR phi374118 melalui elektroforesis vertikal 4,5% PAGE (Polyacrylamide Gel Electrophoresis). No. 1, 2, 3....39 adalah galur yang dikarakterisasi.
Koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,76, tergolong cukup baik (good fit) terhadap matriks kemiripan genetik. Tingkat polimorfisme berkisar dari 0,22 sampai 0,82 dengan rata-rata 0,61. Total alel yang teridentifikasi sebanyak 162 berkisar dari dua sampai sepuluh alel, rata-rata 4,5 alel per lokus. Kisaran basa berkisar dari 62 sampai 305 bp. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Tabel 2 Profil hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR No. Primer Sekuen basa berulang Kromosom Tingkat polimorfisme Jumlah alel/lokus Kisaran basa (bp) 1 phi109275 AGCT 1,00 0,73 6 123-140 2 phi064 ATCC 1,11 0,82 10 77-105 3 phi96100 ACCT 2,00 0,62 5 269-297 4 phi109642 ACGG 2,00 0,63 3 136-144 5 phi083 ACC 2,04 0,77 5 127-136 6 nc133 GTGTC 2,05 0,32 2 114-115 7 phi127 AGAC 2,08 0,57 3 112-126 8 phi101049 AGAT 2,09 0,71 8 226-266 9 phi374118 ACC 3,03 0,75 6 217-238 10 phi029 AG/AGCG 3,04 0,72 5 148-162 11 phi053 ATAC 3,05 0,74 5 171-195 12 phi046 ACGC 3,08 0,53 2 62-66 13 umc1136 ATAC 3,10 0,80 6 132-159 14 phi072 AAAC 4,00 0,59 6 142-157 15 phi213984 ACC 4,01 0,22 2 287-305 16 phi079 AGATG 4,05 0,68 5 180-195 17 phi093 AGCT 4,08 0,66 3 274-294 18 umc1109 ACG 4,10 0,65 4 104-117 19 phi102228 AACG 5,00 0,46 2 123-127 20 phi109188 AAAG 5,00 0,79 7 156-174 21 phi087 ACC 5,06 0,60 4 150-174 22 umc1153 (TCA)4 5,09 0,68 4 105-119 23 umc1143 AAAAT 6,00 0,60 4 80-87 24 phi423796 AGCC 6,02 0,24 4 131-141 25 umc1545 (AAGA)4 7,00 0,78 5 73-86 26 phi034 GCCT 7,02 0,56 5 122-146 27 phi328175 AGG 7,04 0,67 5 100-130 28 phi114 GCCT 7,05 0,72 4 137-169 29 phi233376 CCG 8,03 0,65 5 139-156 30 umc1161 (GCTGGG)5 8,06 0,71 5 134-158 31 umc1279 (CCT)6 9,00 0,24 3 92-101 32 phi065 CACTT 9,03 0,52 3 131-151 33 phi448880 AAG 9,05 0,36 3 173-188 34 phi96342 ACTT 10,02 0,33 5 234-250 35 umc1061 (TCG)6 10,06 0,75 4 101-107 36 umc1196 CACACG 10,07 0,64 4 140-161 Total 21,83 162 62-297 Rata-rata 0,61 4,50
Tingkat kemiripan genetik. Hasil analisis NTSYS berdasarkan UPGMA, terbentuk dendrogram seperti pada Gambar 3. Terdapat lima gerombol dimana pada gerombol yang dicirikan oleh inbrida dengan kode pedigree yang hampir sama, menunjukkan bahwa inbrida-inbrida tersebut dibentuk dari populasi yang sama sehingga tingkat kekerabatannya lebih dekat. Pada masing-masing gerombol utamanya yang pada
gerombol besar, didominasi oleh inbrida-inbrida dengan inisial yang serupa. Hal tersebut menandakan adanya kesesuaian dengan data pedigree walaupun tidak 100% sama.
Gambar 3. Dendrogram 34 inbrida berdasarkan UPGMA dengan menggunakan 36 marka SSR polimorfis. T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7 adalah inbrida yang terseleksi sebagai tetua untuk persilangan dialel.
Komposisi inbrida pada masing-masing gerombol dan jarak genetik rata-rata masing-masing inbrida terhadap semua peluang pasangan persilangan yang digunakan sebagai dasar dalam seleksi tetua hibrida untuk persilangan dialel disajikan pada Tabel 3. Cetak tebal adalah inbrida yang terseleksi.
P5/GM25-42 SP006BBBB-27 Mr4 P5/GM25-97 P5/GM25-203 P5/GM25-233 P5/GM25-241 P5/GM26-22 P5/GM26-9 SM5-9x P5/GM26-87 P5/GM30-9 P5/GM30-66 Bisma-137 Bisma-140-2 P5/GM30-54 Bisma-181-1 BM(S1)C0-10 BM(S1)C0-172 SP006BBBB-65 SP007-118 SP008-70 SP008-128 SP008-120 SP008-135 SW7-6 SM7-11x Bisma-3-1 SP007-23 SP007-85 Mr14 MKB-24 MKB-52 SP007-68 T4 T1 T2 T3 T6 T7 T5 KII KV KIV KIII KI
Tabel 3 Komposisi genotipe dalam gerombol berdasarkan tingkat kemiripan genetik
Gerombol Genotipe per gerombol Populasi asal
Jarak genetik rata- rata * I P5/GM25-42-2-1-1-1-BB P5/Pop31 0,72 SP006BBBB-27 J2-34 0,76 Mr4: MS.J1-46(RRS)C1 J2-46 0,73 II P5/GM25-97-2-2-1-2-BB P5/Pop31 0,73 P5/GM25-203-1-1-1-1-BB P5/Pop31 0,71 P5/GM25-233-1-2-1-3-BB P5/Pop31 0,67 P5/GM25-241-2-1-2-2-BB P5/Pop31 0,66 P5/GM26-22-2-2-1-2-BB P5/Arjuna (Arc1) 0,62 P5/GM26-9-2-3-1-1-BB P5/Arjuna (Arc1) 0,71 IPB: SM5-9x - 0,72 P5/GM26-87-1-1-2-1-BB P5/Arjuna (Arc1) 0,70 P5/GM30-9-1-1-1-2-BB P5/Acer 0,71 P5/GM30-66-2-2-4-2-BB P5/Acer 0,76 Bisma-137-2-B-1-2-1-B Bisma 0,69 Bisma-140-2-1-1-1-1-B Bisma 0,67 P5/GM30-54-1-1-2-1-BB P5/Acer 0,69 Bisma-181-1-1-1-1-1-B Bisma 0,74 BM(S1)C0-10-1-1-1-1-B Arjuna 0,73 BM(S1)C0-172-2-B-1-1-B Arjuna 0,74 SP006BBBB-65 J2-34 0,74 III SP007-118-BBBB Sintetik 1 0,75 SP008-70-BBB Sintetik 2 0,70 SP008-128-BBB Sintetik 2 0,73 SP008-120-BBB Sintetik 2 0,68 SP008-135-BBB Sintetik 2 0,72 IPB: SW7-6 - 0,78 IPB: SM7-11x - 0,74 IV Bisma-3-1-B-1-1-1-B Bisma 0,74 SP007-23-BBBB Sintetik 1 0,75 SP007-85-BBBB Sintetik 1 0,76 Mr14: Suwan3-3-1-1-2-4-f(FS)-2 SW3 0,77 V MKB-24-2-B-1-2-B MSK 0,76 MKB-52-1-B-1-1-B MSK 0,75 SP007-68-BBBB Sintetik 1 0,76
Keterangan: *Jarak genetik rata-rata masing-masing inbrida terhadap semua peluang persilangan (data jarak genetik dapat dilihat pada data matriks jarak genetik Lampiran 8).
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan untuk mengetahui keragaman genetik yang akan bermanfaat memprediksi kandidat tetua inbrida heterosis tinggi. Inbrida-inbrida yang digunakan sudah berada pada generasi lanjut sehingga tingkat homosigositas seharusnya >80%. Oleh karena itu inbrida dengan tingkat heterosigositas berdasarkan marka SSR >20%, diperkirakan terjadi kontaminasi sehingga tidak akan dilanjutkan untuk dikarakterisasi. Menurut Fuzatto et al. (2002) heterosis atau kemampuan daya gabung khusus dari dua populasi persilangan tergantung pada eksistensi dominan yang mengontrol karakter, dan keragaman di antara populasi, sehingga pada saat tetua diseleksi pada sejumlah populasi, preferensi harus diberikan pada tetua-tetua yang berbeda dan sudah beradaptasi. Dengan bantuan marka SSR yang sifatnya kodominan, inbrida yang menghasilkan missing data >15% dan tingkat heterosigositas >20% langsung dieliminasi lebih awal. Dari total 39 inbrida yang diuji, termasuk Mr4 dan Mr14, ada lima inbrida yang masuk dalam kategori tersebut di atas, yaitu P5/GM25-251-1-1-1-4-BB, BM(S1)C0-60-1-1-1-1-B, SP007-42, SP009-51, dan SW9.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap primer yang digunakan namun lebih ketat yaitu yang menghasilkan missing data >10%. Dalam studi pendahuluan ini, dari total 41 marka yang telah dikarakterisasi, ada lima marka yang menghasilkan missing data >10% yaitu umc1122, phi420701, phi063 phi041, dan phi227562. Banyak faktor penyebab tingginya missing data antara lain kualitas primer yang sudah menurun karena sudah lama disimpan, suhu annealing yang tidak tepat pada saat amplifikasi PCR, dan faktor teknis yang terkait dengan personal yang secara langsung menangani kegiatan karakterisasi.
Tingkat polimorfisme yang tinggi mengindikasikan bahwa variasi di antara inbrida yang dianalisis cukup besar. Jika keragaman genetik yang diperoleh dari sejumlah koleksi inbrida semakin tinggi, maka kita akan lebih leluasa melakukan eksploitasi heterosis. Pada koleksi inbrida yang dikarakterisasi ini menunjukkan variasi genetik yang cukup beragam yang dapat dilihat dari data populasi asal. Hal ini menegaskan bahwa materi genetik yang dikarakterisasi mempunyai varibilitas yang luas.
Semua variasi fenotipik di dalam suatu spesies dikontrol oleh polimorfisme sejumlah gen. Polimorfisme ini merupakan dasar fungsional dari QTL (Quantitative Trait Loci) (Buckler et al., 2006). Namun demikian Struss dan Plieske (1998) mengemukakan bahwa tingginya tingkat polimorfisme juga dipengaruhi oleh tingkat polimorfisme marka SSR yang digunakan. Oleh karena itu pemilihan marka polimorfisme yang tinggi mempunyai kontribusi terhadap nilai PIC. George et al. (2004b) memperoleh 383 total alel dari 67 inbrida Asian meliputi inbrida temperate China, sub tropik dan tropik dari India, Indonesia, Philippines, Thailand dan Vietnam, dengan rata-rata 5,0 alel/lokus SSR. El-Maghraby et al. (2005) berhasil mengidentifikasi sebanyak 112 alel dari 40 marka mikrosatelit pada 8 genotipe gandum. Jumlah alel rata-rata per lokus adalah 2,8, dengan kisaran antara 2 sampai 5 alel per lokus SSR.
Keakuratan pengelompokan cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,76. Nilai koefisien korelasi kofenetik (r) menggambarkan akurasi pengelompokan secara genotipeik, yang dapat dihasilkan berdasarkan estimasi kemiripan genetik di antara inbrida yang dikarakterisasi dengan jumlah primer yang digunakan. Menurut Vaz Patto et al. (2004) indeks yang ideal untuk korelasi kofenetik yang menggambarkan keakuratan kelompok heterotik adalah >0,56. Rohlf (2000) mengemukakan bahwa semakin banyak primer polimorfis yang digunakan maka nilai r akan semakin besar. Nilai r >90% menunjukkan akurasi pengelompokan yang sangat baik.
Dalam studi ini marka mikrosatelit yang digunakan mampu mengelompokkan genotipe yang hampir sesuai dengan kelompok pedigree yang sama. Liu et al. (2003) mengamati srtuktur dan keragaman genetik pada sejumlah galur inbrida menggunakan mikrosatelit, menunjukkan diagram filogenetik yang sesuai dengan informasi pedigree. Walaupun demikian, ada beberapa inbrida yang mempunyai inisial pedigree yang hampir sama tetapi menyebar pada gerombol yang berbeda seperti SP007-118 (KII), SP007-68 dan SP007-23 (KIV) dan SP007-85 (KV) karena dibentuk dari beberapa populasi (Tabel 1). Inbrida SP007 dibentuk dari populasi Sintetik1 yaitu populasi yang dibentuk dari kultivar-kultivar elit dengan latar belakang genetik yang bervariasi sehingga memungkinkan terjadinya proses pindah silang atau rekombinasi dalam jumlah yang besar. Hal tersebut akan menyebabkan munculnya alil spesifik yang kemungkinan
membawa karakter yang baik sehingga perlu untuk ditelusuri lebih lanjut. Galur-galur tersebut berpeluang menyebar pada kelompok heterotik yang berbeda. Pada gerombol 2, yang merupakan gerombol terbesar, terdapat galur-galur dengan inisial yang berbeda seperti GM26 dan BM karena kedua inisial yang berbeda tersebut berasal dari populasi yang sama yaitu Arjuna, namun sebelumnya dibentuk pada institusi yang berbeda. Dengan demikian, pedigree dengan inisial yang sama belum menjamin bahwa materi genetik tersebut berkerabat dekat, atau sebaliknya pedigree dengan inisial yang berbeda belum tentu berkerabat jauh. Hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dari data
pedigree. Inbrida Mr4 (berasal dari populasi MSJ1) dan Mr14 (berasal dari populasi Suwan3 = MSJ2) adalah tetua hibrida Bima1. Kedua inbrida tersebut selama ini digunakan sebagai penguji (tester) daya gabung galur-galur yang berasal dari luar kelompok heterotik MSJ1 dan MSJ2 (Mejaya et al., 2005).
Dengan terbentuknya kelompok heterotik dan informasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit, akan memudahkan dalam memilih tetua, yang dapat dilakukan pada fase pertumbuhan awal tanaman. Selain itu, materi genetik yang diuji dapat dikarakterisasi dalam jumlah yang banyak dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga dapat mengirit waktu dan tenaga.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
• Karakterisasi berbasis marka mikrosatelit dapat membedakan inbrida yang dikarakterisasi antara satu inbrida dengan inbrida yang lainnya.
• Tingkat polimorfisme 0,22 sampai 0,86 menunjukkan keragaman genetik inbrida yang diuji cukup tinggi.
• Nilai jarak genetik berkisar dari 0,21 sampai 0,88 mengindikasikan bahwa variabilitas inbrida yang dikarakterisasi tergolong yang cukup luas sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyeleksi tetua hibrida.