Correlation Analysis between Inbreds Microsatellite Marker-Based and Phenotypic Performance of Diallel Single Cross Hybrid
PEMBAHASAN UMUM
Permintaan jagung ke depan akan terus mengalami peningkatan, karena sifatnya yang multifungsi. Oleh sebab itu teknologi yang tepat sasaran dan aman harus dimiliki untuk bisa memenuhi permintaan tersebut. Dalam program pemuliaan hibrida jagung, pemilihan kandidat tetua hibrida dari sejumlah besar koleksi inbrida merupakan suatu tantangan bagi para pemulia yang akan menentukan keberhasilan. Pemahaman aplikasi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman memerlukan pemahaman yang detail mengenai metodologi pemuliaan tanaman (siklus waktu), genetika kuantitatif, dan statistik. Pengetahuan genetika kuantitatif dan statistik dibutuhkan untuk memahami bagaimana membentuk kultivar terbaru dan pengembangan hibrida sebagai dasar teori dalam metodologi pemuliaan tanaman. Desain, implementasi, dan interpretasi dalam pemuliaan tanaman, dan kemampuan statistik dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan di antara kultivar dan hibrida. Supaya program menjadi sukses, ekonomi pengembangan kultivar harus dipertimbangkan secara berkelanjutan bersama dengan desain program pemuliaan.
Dalam penelitian ini, analisis keragaman genetik dan pengelompokan berdasarkan kemiripan genetik nampaknya akan sangat membantu dalam
penyaringan awal sejumlah besar koleksi. Marka mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini mampu mengelompokkan genotipe berdasarkan kemiripannya, dan pengelompokan tersebut hampir sesuai dengan data pedigree yang sama. Walaupun demikian, ada beberapa inbrida yang mempunyai inisial pedigree yang hampir sama tetapi menyebar pada gerombol yang berbeda seperti SP007-118 (KII), SP007-68 dan SP007-23 (KIV) dan SP007-85 (KV) karena dibentuk dari beberapa populasi (Tabel 1). Dengan demikian, pedigree dengan inisial yang sama belum menjamin 100% bahwa materi genetik tersebut berkerabat dekat, dan hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dari data silsilah keturunan. Oleh karena itu seleksi tetua dengan pendekatan berdasarkan marka genotipik dan fenotipik akan sangat membantu menghindari
kesalahan karena membaca pedigree. Keakuratan pengelompokan cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,76. Untuk membedakan inbrida satu dengan yang lain nilai tersebut sudah memadai, tetapi untuk medapatkan kelompok heterotik yang stabil maka nilai korelasi harus >0,90. Kemampuan menyeleksi tetua pada awal penelitian dengan bantuan kelompok heterotik merupakan suatu kemajuan besar karena sejumlah besar persilangan yang biasa dilakukan untuk melihat kemampuan daya gabung dari masing-masing inbrida tidak perlu dilakukan dengan adanya informasi jarak genetik.
Jumlah marka yang efektif untuk mengelompokkan inbrida secara stabil dan mendukung heterosis sangat diperlukan para pemulia sehingga akan lebih memudahkan dalam aplikasi teknik molekuler. Dalam penelitian ini, paket marka yang menggunakan 25 primer menghasilkan nilai korelasi kofenetik sebesar 0,79. Nilai korelasi tersebut mengindikasikan bahwa paket tersebut belum merupakan paket marka yang terbaik, walaupun sudah mampu membedakan materi genetik dan sudah dapat membantu dalam selekti awal tetua, karena kestabilan pengelompokan belum maksimal. Usaha untuk mendapatkan paket marka yang betul-betul sesuai antara jarak genetik dan tingkat heterosisnya masih perlu terus dilakukan melalui iterasi paket marka yang telah ada atau penambahan marka lainnya untuk memperoleh nilai korelasi >0,90. Paket marka berbasis 36 marka mikrosatelit nilai korelasinya lebih kecil daripada paket marka berbasis 25 marka mikrosatelit. Kemungkinan bahwa primer-primer yang terseleksi pada paket 25 marka SSR, selain menyebar secara merata dalam genom jagung, juga lebih mewakili karakter-karakter yang dapat mengelompokkan materi genetik yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kemiripan genetik.
Metode silang uji adalah salah satu cara dalam pemuliaan untuk membentuk hibrida. Dalam hal ini inbrida penguji memegang peranan penting yaitu memiliki kemampuan bergabung dengan berbagai meteri genetik dari berbagai sumber. Hasil analisis menunjukkan korelasi antar nilai jarak genetik tertinggi pada dua set silang uji masing-masing dengan Mr4 dan Mr14 berkisar dari sedang sampai tinggi yaitu 0,81 dan 0,76. Artinya bahwa nilai jarak genetik sejalan dengan bobot biji yang dihasilkan. Pada kedua set silang uji, nilai jarak genetik lebih kecil < 0,70, hasil yang diperoleh jika diekstrapolasi ke ton per hektar dengan populasi 60.000 tanaman/ha sekitar 8 ton atau
lebih kecil. Sedangkan nilai jarak genetik < 0,70, hasil yang dapat diperoleh < 8 ton berdasarkan nilai ekstrapolasi. Nilai jarak genetik >0,70 di atas 8 ton/ha berdasarkan hasil ekstrapolasi dan pada penelitian ini hasil tertinggi pada kedua set persilangan (M4 dan Mr14) sebesar 10,75 dan 10,71, pada nilai jarak genetik masing-masing 0,82 dan 0,84. Hasil tertinggi ini tidak diperoleh dari nilai jarak genetik tertinggi, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai r masih tergolong sedang sampai tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, materi penguji Mr4 dan Mr14 yang selama ini digunakan perlu dipertimbangkan karena kurang mampu menghasilkan hibrida yang bisa bersaing atau lebih baik dengan kultivar yang telah ada. Inbrida Mr4 dan Mr14 juga sekaligus sebagai tetua hibrida Bima 1, dengan potensi hasil 9 ton/ha, diperoleh nilai jarak genetik sebesar 0,65. Selama ini Bima1 masih sering digunakan sebagai kultivar pembanding untuk pengujian hibrida-hibrida harapan. Jika tetap menggunakan kultivar tersebut sebagai tester maka hibrida yang diperoleh akan sukar bersaing dengan kultivar-kultivar lain dengan potensi hasil yang jauh lebih tinggi yaitu sekitar 11 sampai 12 ton per ha. Dalam penelitian ini ada dua inbrida yang nampaknya mempunyai potensi untuk diuji lebih lanjut sebagai materi penguji yaitu inbrida P5/GM26-9 dan Bisma-3-1.
Metode silang dialil menunjukkan bahwa nilai korelasi tergolong sedang, baik terhadap bobot biji, nilai DGK maupun terhadap heterosis tetua rata-rata dan heterosis tetua tertinggi. Korelasi tertinggi adalah antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Salah satu kemungkinan nilai r sedang karena jumlah primer yang digunakan belum memadai. Hasil karakterisasi inbrida pada kegiatan awal juga menunjukkan nilai koefisien korelasi kofenetik yang belum maksimal untuk menghasilkan kelompok heterotik yang stabil.
Kedua metode yang digunakan yaitu penggunaan materi genetik hasil silang uji dan materi genetik hasil silang dialil, memberikan informasi yang sama terhadap nilai korelasi sedang yang mengindikasikan bahwa nilai jarak genetik sedang sampai tinggi dapat diperoleh penampilan fenotipik yang superior, sedangkan nilai jarak genetik rendah akan diperoleh penampilan fenotipik yang inferior. Dengan demikian bagi para pemulia, dalam aplikasi di lapangan tidak perlu untuk melakukan kedua metode tersebut untuk satu set atau siklus kegiatan pembentukan hibrida jika nilai jarak genetik berbasis molekuler diikut sertakan.
Hasil yang menonjol yang bisa diadopsi dari penelitian ini adalah hibrida yang berasal dari tetua persilangan antar grup heterotik menghasilkan bobot biji tinggi, DGK yang tinggi serta heterosis tinggi, sedangkan hibrida yang berasal dari persilangan intragrup menghasilkan bobot biji rendah, DGK rendah serta heterosis yang rendah juga. Enam hibrida potensial yang diperoleh semuanya merupakan hibrida hasil persilangan antar grup atau antar kelompok heterotik yang berbeda.
Secara keseluruhan terdapat beberapa peluang yang menguntungkan jika memanfaatkan alat bantu mikrosatelit yang merupakan salah satu terobosan dalam merespon permintaan jagung ke depan (Tabel 19).
Tabel 19 Tahapan pemuliaan hibrida jagung berbasis marka fenotipik dan genotipik
Tahapan kegiatan
Data fenotipik Data fenotipik + data
molekuler Jumlah materi genetik Perkiraan waktu Marka fenotipik Perkiraan waktu Pembuatan galur (pre-breeding) 100 – 500 genotipe 6 – 9 generasi 100 – 500 genotipe 6 – 9 generasi (2 – 4 thn) Karakterisasi molekuler - - >100 genotipe 1 – 2 bulan
Pembuatan silang uji (test cross) 100 – 500 genotipe 1 – 2 m.t (6 bln–1 thn) 30 – 50 genotipe 1 m.t (6 bln) Pengujian hibrida silang uji 50 - 100 genotipe 1 – 2 m.t (6 bln–1 thn) 30 – 50 genotipe 1 m.t (6 bln) atau Pembentukan materi dialel 10 inbrida 1 – 2 m.t (6 bln–1thn) 10 inbrida 1 – 2 m.t (6 bln–1thn) Uji daya hasil
pendahuluan hibrida F1 45 – 100 hibrida 1 m.t (6 bln) 45 – 100 hibrida 1 m.t (6 bln) Uji daya hasil lanjutan 30 – 50
hibrida 1 – 2 m.t (6 bln – 1 thn) 30 – 50 hibrida 1 – 2 m.t (6 bln–1 thn) Uji multilokasi 10 - 20 hibrida 1 – 2 m.t 20- 30 hibrida 1 – 2 m.t Total 5 – 10 varietas 5 - 10 thn 15 – 20 varietas 4 – 7 tahun
Keterangan: m.t = musim tanam; bln = bulan; thn = tahun
Jika menggunakan alat bantu molekuler maka dapat mengurangi jumlah materi persilangan, dan salah satu tahapan pembentukan hibrida apakah tahapan pembentukan
dan pengujian hibrida silang uji atau tahapan pembentukan dan pengujian hibrida silang dialel, tergantung dari program yang telah direncanakan sebelumnya. Pengurangan jumlah materi persilangan dan tahapan kegiatan persilangan tersebut pada akhirnya diikuti oleh pengurangan waktu, tenaga, dan dana di lapangan. Dengan demikian investasi yang cukup tinggi pada awal pemanfaatan marka molekuler dapat diimbangi oleh pengurangan waktu, tenaga, dan dana di lapangan. Selain itu dapat meningkatkan jumlah varietas yang dapat dilepas dalam satu rangkaian kegiatan pembuatan hibrida.
BAB. VIII