• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Metode Pembelajaran Kooperatif

”Davidson (1985) mencatat bahwa sejak tahun 1960-an, berbagai jenis belajar kelompok telah banyak dikembangkan untuk berbagai jenis tugas atau pembelajaran matematika” (Krismanto, 2003). Menurut Biehler (1997) lebih dari dua puluh tahun yang lalu, pendekatan yang berbeda mengenai pembelajaran kooperatif telah diutarakan oleh beberapa orang. Tiga diantaranya yang paling terkenal adalah David Johnson dan Roger Johnson ( Johnson et al., 1994), Robert Slavin (1994,1995), dan Shlomo Sharan dan Yael Sharan ( Sharan, 1995; Sharan & Sharan, 1994 ).

Metode pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang, atau rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, atau suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. “Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajar” (Widyantini, 2006: 3).

“Ide di balik cooperative learning adalah bahwa jika siswa ingin berhasil sebagai tim, mereka akan mendorong timnya untuk unggul dan saling membantu agar dapat tercapai tujuan” (Slavin, 1995, dalam Yulia, 2005).

Menurut Arends (dalam Budhiani, 2008:7) pembelajaran kooperatif adalah suatu metode pengajaran yang jangkauannya melampaui (tidak hanya) membantu siswa belajar isi akademik dan keterampilan semata, namun juga melatih siswa dengan tujuan hubungan individu dan penerimaan terhadap perbedaan individu. Menurut Slavin (1990, dalam Sulistyawati, 2008) pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang menempatkan siswa dalam suatu tim untuk bekerja sama, mempelajari materi dan bertanggung jawab, serta memiliki rasa memiliki terhadap tim dan keberhasilan tim. Sedangkan menurut Nurhadi dan Senduk (2003, dalam Wena, 2009) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi yang saling silih asah, sehingga siswa saling bekerja sama, mempelajari materi dan bertanggung jawab, serta memiliki rasa memiliki terhadap tim dan keberhasilan tim, sehingga terjadi peningkatan kemampuan akademik, penerimaan perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial.

1. Unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Menurut Nurhadi dan Senduk (2003, dalam Wena, 2009) dan Lie ( 2002, dalam Wena, 2009) ada berbagai

elemen yang merupakan ketentuan pokok dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (a) saling ketergantungan positif (positive interdependence); (b) interaksi tatap muka (face to face interaction); (c) akuntabilitas individual (individual accountibility); dan (d) keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi ( use of collarative / social skill).

a) Saling Ketergantungan Positif

Dalam sistem pembelajaran kooperatif, guru berperan untuk menciptakan suasana belajar yang dapat mendorong siswa untuk saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang disebut dengan saling ketergantungan positif. Menurut Wena (2009:190) suasana saling ketergantungan tersebut dapat diciptakan melalui berbagai strategi, antara lain sebagai berikut.

1) Saling ketergantungan dalam pencapaian tujuan. Dalam hal ini masing-masing siswa merasa memerlukan temannya dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran.

2) Saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini masing-masing siswa membutuhkan temannya dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Siswa yang kurang pandai merasa perlu untuk bertanya dan siswa yang pandai merasa berkewajiban untuk membantu temannya yang belum bisa.

3) Saling ketergantungan bahan atau sumber belajar. Siswa yang tidak mempunyai sumber belajar akan berusaha untuk meminjam temannya,

sedangkan yang memiliki sumber belajar merasa berkewajiban untuk meminjamkan pada temannya.

4) Saling ketergantungan peran. Siswa yang sebelumnya mungkin sering bertanya (karena belum paham pada suatu masalah) pada temannya, suatu saat ia akan berusaha untuk mengajari temannya yang mungkin mengalami masalah (berperan sebagai pengajar), demikian pula siswa yang sebelumnya sering meminjam bahan ajar (buku) pada temannya, suatu saat ia akan meminjamkan bahan ajar yang ia miliki pada temannya yang membutuhkan, dan sebagainya.

5) Saling ketergantungan hadiah. Penghargaan diberikan pada kelompok, karena hasil kerja adalah hasil kerja kelompok, bukan hasil kerja individu / perseorangan. Sedangkan keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan pembelajaran bergantung pada keberhasilan setiap anggota / individu kelompok. Itulah sebabnya setiap anggota kelompok dituntut bertanggung jawab, bekerja keras mensukseskan kelompoknya dengan cara berpartisipasi secara aktif dan konstruktif.

b) Interaksi Tatap Muka

Menurut Nurhadi dan Senduk (2003, dalam Wena, 2009) interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa. Dalam hal ini, setiap anggota kelompok saling berinteraksi menjalin hubungan kerja sama

seperti melaksanakan aktifitas bertanya, menjawab pertanyaan, meminta bantun, atau memberi penjelasan.

c) Akuntabilitas Individual

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dalam bentuk kelompok, sehingga setiap anggota harus ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pekerjaan kelompok. Setiap anggota kelompok harus ikut aktif dalam menyumbangkan gagasan dan bertanggung jawab terhadap penguasaan materi pembelajaran secara maksimal karena hasil belajar kelompok didasarkan atas rata-rata nilai anggota kelompok. d) Keterampilan Menjalin Hubungan Antar Pribadi

Dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa dituntut untuk dapat bekerja sama dan bersosialisasi antar anggota kelompok. Dengan demikian, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, memberi tanggapan terhadap ide teman lain, berani mempertahankan pendapat, mau menerima saran dan sanggahan dari teman, tidak mendominasi orang lain, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat secara sengaja diajarkan oleh guru, sehingga siswa secara perlahan dan pasti akan berusaha menjalin hubungan antar pribadi.

2. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif

Menurut Nur (2000, dalam Widyantini, 2006) ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut.

a) Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.

b) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang, atau rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, atau suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.

c) Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu.

3. Langkah-langkah dalam metode pembelajaran kooperatif

Menurut Widyantini (2006:5) terdapat enam langkah dalam metode pembelajaran kooperatif.

Tabel 2.1: Langkah-langkah pembelajaran kooperatif

Langkah Indikator Tingkah Laku Guru

1. Menyampaikan tujuan dan

memotivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa.

2. Menyajikan informasi Guru menyampaikan informasi kepada

siswa

3. Mengorganisasikan siswa ke

dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menginformasikan pengelompokkan siswa

4. Membimbing kelompok

belajar

Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok-kelompok belajar.

5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar yang

telah dilaksanakan

6 Memberikan penghargaan Guru memberikan penghargaan hasil

Dokumen terkait