BAB V PEMBAHASAN
A. Metode Pembelajaran yang Tidak Sesuai Bagi Anak Praoperasional
Pertama-tama dilihat dari langkah pembelajaran yang pertama di TK Nafilah, yaitu berdoa bersama yang dilakukan oleh semua siswa yang ada di sana mulai dari kelas playgroup, kelas A, sampai kelas B yang notabene berusia 3 sampai 6 tahun yang merupakan termasuk pada tahap perkembangan kognitif pra-operasional, ketika berdoa bersama ini siswa secara tidak langsung melakukan imitating tehadap doa-doa yang diucapkan oleh guru setiap harinya, hal ini sesuai dengan penjelasan Piaget bahwa yang membedakan tahap pra-operasional dengan tahap sebelumnya adalah meningkatnya kemampuan anak untuk menginternalisasi dan melakukan
imitating terhadap simbol-simbol atau stimulus-stimulus dari lingkungan
102
sangat cook untuk mengajarkan anak mengenai doa-doa dalam melakukan kegiatan sehari-hari, karena dengan guru melafalkan doa secara terus-menerus dihadapan anak maka lama-kelamaan anak akan melakukan imitating dan secara otomatis meghafalnya tanpa adanya paksaan.
Selanjutnya adalah mengenai model pembelajaran yang diterapkan di TK Nafilah TK B, dimana semua prosesnya yang mencakup kegiatan maupun bahan ajar ditentukan oleh guru sepenuhnya atau dalam teori disebut sebagai
teacher center, hal ini terlihat dari proses belajarnya yang serupa dengan
ciri-ciri metode belajar teacher center, seperti bahan, ruang dan waktu belajar tergantung pada petunjuk guru, kerangka kerja pengajarnya memiliki tahapan seperti kurikulum sebagai acuan mengajar, konsep belajarnya adalah mengulang bukan memahami, dan pembelajarannya bersifat kelompok, bukan berdasarkan pada kebutuhan individual (Sujiono, 2011:141)
Menurut pendapat Piaget sendiri metode belajar yang paling cocok diterapkan di pendidikan anak usia dini adalah student center yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa, maksudnya adalah semua bahan ajar, materi yang akan dipelajari maupun bagaimana cara mereka belajar ditentukan oleh kehendak siswa dengan kata lain tugas dari sekolah hanya menciptakan lingkungan dan menyediakan peralatan yang menyediakan kesempatan pada anak untuk belajar dan berkembang, karena Piaget menganggap bahwa setiap anak memiliki motivasi diri yang dimilikinya sejak lahir untuk menjadi mampu, motivasi untuk mampu inilah salah satu dasar untuk mengembangkan student center dengan menghargai seluruh proses
perkembangan yang dimiliki anak-anak dan berkembang sesuai ritme yang dimiliki masing-msing anak, metode ini juga bisa menstimulus aspek-aspek kognitif mereka seperti kreatifitas dan kemampuan mengambil keputusan anak didik serta melatih mereka untuk berani mengutarakan pendapatnya (Sujiono, 2011:140).
Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan metode belajar yang diterapkan oleh TK Nafilah khusunya di kelas B, hanya saat waktu bermain saja siswa dibebaskan untuk berperilaku sesuai kehendaknya, selain di waktu tersebut semuanya ditentukan oleh guru mulai dari waktu belajar, sampai bahan atau materi yang akan mereka pelajari.
Dalam metode student center itu sendiri tidak hanya mementingkan bagaimana cara anak dalam belajar, namun juga mementingkan materi yang diajarkan, yang disebutkan bahwa harus menghargai tahap perkembangan serta ritme yang dimiliki masing-masing anak, oleh karena itu kali ini peneliti akan membahas mengenai materi atau bahan ajar di kelas. Telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa di TK B terdapat 14 buku pelajaran yang semuanya disediakan oleh sekolah. Dimana dalam buku-buku materi ajar tersebut banyak sekali ditemuka materi atau tugas yang bersifat konservatif, reversible, dan abstrak yang contoh-contohnya sudah dijelaskan di bab paparan data. konservatif itu sendiri adalah pengetahuan mengenai nomor, jumlah, massa, panjang, berat, dan volume dari objek yang secara fisik tidak berubah (Sujiono, 2011: 80), sedangkan salah satu sifat dari kognitif tahap
104
pra-operasional adalah rendahnya kemampuan anak untuk berpikir konservatif.
Yang kedua adalah reversible, menurut Phillip dalam bukunya yang berjudul The Origins of Intellect : Piaget‟s Theory menjelaskan :
“ Reversible means capable of being returned to its point of origins. Every mathematical or logical operation is reversible”
Sedangkan salah satu ciri dari pemikiran praoperasional adalah
irreversibility, dimana sifat irreversibility tersebut disebutkan Phillip sebagai
salah satu ciri yang membedakan pemikiran anak pada tahap pra-operasional dengan tahap formal-operation yang terdapat pada pemikiran orang dewasa yang artinya belum mampu meproses hal-hal yang bersifat reversible seperti operasi matematika, atau analisi dan penalaran logis. Sifat pemikiran ini juga terbukti dalam salah satu eksperimen Piaget mengenai massa suatu benda, dimana anak pra-opersional menganggap volume air berbeda hanya karena bentuk wadahnya berbeda, padahal sebenarnya volume air di kedua wadah tersebut sama.
Kemudian sifat materi ajar yang ketiga yang ditemukan peneliti adalah abstrak. Abstrak sendiri dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuai yang tidak berwujud, yang artinya materi yang diberikan mengharuskan anak untuk membayangkannya, sedangkan imaginasi setiap anak pasti berbeda-beda. Sedangkan salah satu ciri dari metode belajar yang sesuai dengan anak usia dini adalah konsep belajarnya yang menggunakan
pengalaman langsung, artinya pengalaman langsung adalah anak bisa melihat, mendengar, atau merasakan sendiri wujud asli dari hal-hal yang sedang mereka pelajari (Yuliani N. S, 2011, hal. 140). Selain itu metode belajar yang seperti itu juga bertentangan dengan salah satu ciri dari pemikiran praoperasional yang disebutkan Phillip, yaitu Concreteness. Yang dimaksdu dengan sifat concreteness itu sendiri adalah :
“Much of his thinking takes the form of what Piaget calls „mental experiment‟. Instead of the adult pattern of analizing and synthesizing, the Preoperational child simply runs through the symbols for events as the events themselves would occur if he were actually participating in them”
Sifat concreteness tersebut menjelaskan bahwa anak hanya akan memahami suatu permasalahan apabila mereka terlibat langsung di dalam permasalahan tersebut, bukan sekedar menganalisi seperti yang orang dewasa lakukan.
Tidak cukup hanya dengan memberikan materi-materi yang sifatnya tidak sesuai dengan perkembangan kognitif anak praoperasional, sekolah juga memberikan jam tambahan belajar selama tiga hari dalam seminggu. Di mana jam tambahan tersebuh diberikan khusus untuk mempelajari calistung (baca, tulis, hitung) yang dimaksudkan untuk mempersiapkan anak agar siap belajar di jenjang pendidikan selanjutnya yaitu Sekolah Dasar (SD) dan sederajad.
Dimana hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan dari pendidikan anak usia dini itu sendiri. Yuliani dalam bukunya yang berjudul
106
pendidikan anak usia dini secara umum adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan fungsinya adalah: (1) sebagai upaya pemberian stimulus pengembangan potensi fisik, jasmani, dan indrawi melalui metode yang dapat memberikan dorongan perkembangan fisik/motoric dan fungsi inderawi anak; (2) memberikan stimulus pengembangan motivasi, hasrat, dorongan dan emosi ke arah yang dan sejalan dengan tuntutan agama; (3) stimulus pengembangan fungsi akal dengan mengoptimalkan daya kognisi dan kapasitas mental anak melalui metode yang dapat mengintegrasikan pembelajaran agama dengan upaya mendorong kemampuan kognitif anak. Dari beberapa fungsi pendidikan anak usia dini tersebut terlihat bahwa fungsi sebenarnya adalah untuk mengembangkan potensi-potensi yang sudah dimiliki anak sejak lahir, untuk memeprsiapkan mereka merespon permasalahan-permasalahan yang akan dihadapinya di lingkungan sekitarnya, dan untuk melatih kemampuan bertahan hidup mereka.