• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pembacaan Ulang al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sebuah teks atau nas yang mengungguli teks-teks lainnya. Dengan jaminan dari Allah SWT. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw, ia dapat bertahan dari berbagai kritik dan perubahan sampai sekarang. Al-Qur’an tidak pernah habis dan selesai untuk dipelajari, diteliti, dan dipahami sebagai petunjuk bagi manusia.

Manusia sebagai makhluk yang berakal, selalu mengekspresikan kemampuannya untuk memahami isi kandung al-Qur’an. Dari waktu ke waktu manusia tidak pernah bosan untuk memahami, mempelajari dan mengamalkan isi kandungan al-Qur’an. Oleh sebab itu, pemahaman yang dilakukan manusia terhadap al-Qur’an sangat beragam. Dari pemahaman literalistik sampai pemahaman kontekstual. Semua itu tergantung pada

kecenderungan dan keahlian manusia yang mempelajarinya, atau tergantung konteks penafsirnya.

Dengan demikian hubungan al-Qur'an dengan penafsirnya (manusia yang memahami dan mempelajari al-Qur'an) selalu dinamis. Maka tidak heran, jika Muhammad Syahrur (2004: 42) mengatakan, bahwa kelebihan Teks al-Qur'an atas teks-teks lainnya terletak pada

usaha penafsirannya, yang tidak pernah habis dan berhenti. Muhammad Syahrur (2000b: 53) juga menyatakan bahwa al-Tanzil (al-Qur'an) merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Muhammad saw. sebagai wahyu. Umat muslim wajib bersaksi bahwa al-Qur'an merupakan sebuah wahyu yang muqoddas (hidup), sebagaimana orang Islam meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. dan Muhammad saw. adalah utusan Allah SWT. yang terakhir.

Dengan sifat yang muqaddas, maka al-Tanzil dapat hidup dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat Islam. la merupakan petunjuk yang selalu hidup bagi seluruh makhluk hidup, bukan petunjuk bagi makhluk yang telah mati (Syahrur, 20006: 34). Inilah yang menjadikan al-Tanzil dapat bertahan hingga sekarang sejalan dengan perubahan masa dan perubahan kondisi masyarakat. Tentunya, dengan janji Allah swt. untuk selalu menjaganya. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt. suratal-Hijr(15):9.        

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Sebagai Wahyu yang selalu hidup, maka ia dapat hidup sesuai dengan masa dan tempat di mana Wahyu itu berada. Pada masa sekarang, ia berada pada masa kontemporer, maka ia juga dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kontemporer, baik menyangkut hukum, filsafat, dan persoalan lainnya (Syahrur, 20006: 54-55). Umat muslim harus mampu memahami makna yang terkandung di dalam al-Tanzil sesuai dengan perubahan zaman. Al-Tanzil merupakan Teks yang tidak pernah bertambah dan berkurang (statis), namun makna yang

dikandungnya selalu sesuai dengan kebutuhan manusia (dinamis).

Seluruh isi al-Tanzildapat dipahami melalui akal manusia, dan al-Tanzil sebagai Wahyu tidak akan bertentangan dengan akal manusia. la merupakan petunjuk bagi manusia sepanjang hidupnya (Syahrur, 2000a: 45).

Oleh sebab itu, manusia harus mampu memahami isi kandungan al-Qur'an. Untuk memahami isi kandungan al-Tanzil, langkah pertama yang ditempuh oleh Muhammad Syahrur Ibn Daib adalah mendefinisikan ulang (redefinisi) istilah yang terdapat dalam al-Kitab. Ia mempunyai pengertian yang berbeda dengan ulama pada umumnya, ia tidak mengakui adanya sinonimitas di dalam bahasa al-Kitab, karena setiap kata dalam al-Kitab selalu mempunyai maknanya sendiri. Hal ini di dasarkan atas pemahamannya mengenai bahasa manusia yang mempunyai makna masing-masing (Syahrur, 20000:44).

Definisi Muhammad Syahrur yang cenderung berbeda dengan ulama sebelumnya (salaf), bukan berarti ia meragukan kepandaian, kecerdasan, dan kemampuan ulama sebelumnya. Namun, ia hanya menegaskan bahwaturas maupun persoalan yang dihadapi umat Islam sskarang berbeda dengan turas masa lalu. Turas yang dihadapi ulama masa lalu adalah turas pada masa lalu pula. Usaha yang dilakukan ulama masa lalu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan umat adalah sebuah usaha kreatif pada masanya (Syahrur, 1994: 35). Begitu pula dengan turas yang dihadapi manusia sekarang adalah turas masa sekarang. Oleh karena itu, manusia masa kini harus dapat memecahkan persoalan-persoalan tersebut sesuai dengan kebutuhan masa kini pula.

Usaha Muhammad Syahrur untuk memecahkan persoalan umat Islam masa kini yang berlandaskan pada al-Kitab, yaitu dengan membaca ulang tentang al-Kitab. Dari sini ia mendapat kata-kata kunci dari al-Kitab. Kata-kata kunci tersebut merupakan sebuah kata yang banyak disinggung oleh al-Kitab dan memiliki peran yang sangat penting. Tentunya, penelusurannya berawal dari pemikirannya sendiri yang

mengemukakan tidak adanya sinonimitas dalam bahasa. kata-kata kunci tersebut di antaranya:

a) Al-Kitab

Al-Kitab ialah kumpulan wahyu yang diberikan AllahSWT. kepada Nabi Muhammad saw. yang termaktub dalam sebuahnas, dan mencakup seluruh ayat dan surat yang ada di dalam al-Mushaf, dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas, dengan kata lain, al-Kitab yang dipersepsikan Muhammad Syahrur, sama dengan apa yang dipersepsikan oleh umat muslim mengenai al-Qur’an (al-Kitab = al-Qur’an)

Dengan demikian, jika penelitian ini menyebutkan al-Kitab maupun al-Tanzil, maka sesungguhnya itu sama dengan apa yang disebut penulis dan ulama lainnya dengan al-Qur’an. Begitu juga sebaliknya, jika dalam konteks ini penulis menggunakan kata al-Qur’an (tanpa transliterasi), maka yang dimaksud seperti penyebutan Kitab maupun al-Tanzil oleh Muhammad Syahrur.

Hal ini berbeda dengan penyebutan al-Qur’an (dengan memakai transliterasi). Al-Qur’an (dengan transliterasi) merupakan bagian dari al-Kitab yang berisi ayat-ayat mutasyabihat. Di samping itu, al-Kitab, juga mempunyai tiga bagian lagi, yaitu ayat-ayat muhkamat, al-sab’u al-masani, dan umm al-Kitab (Syahrur: 2000a: 17).

Dalam membaca ulang Islan (memahami al-Qur’an) juga perlu diperhatikan mengenai adanya pembedaan antara ayat-ayat risalah dengan ayat-ayat nubuwaah. Bagi Syahrur (2000a: 54) ayat dalam al-Kitabdibedakan antara ayat yang berdimensi kenabian (nubuwwah) dengan ayat-ayat yang berdimensi kerasulan (risalah). Ayat-ayat-ayat nubuwwah ialah kumpulan ayat yang mencakup ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat tentang fenomena alam) dan ayat-ayat tentang sejarah. Sedang ayat-ayat risalah merupakan kumpulan ayat ibadah, mu'amalat. dan akhlak. Ayat-ayat risalah ini berkaitan dengan beban (taklif) yang diberikan kepada manusia dalam agama Islam,

b) Kata-kata kunci dalam hal akidah, misalnya Islam / Muslimun, Iman/ Mu'minun, Taqwa / Muttaqun, Ajram / Mujrimun, Kufr / Kafirun, dan Syirk / Musyrikun (Syahrur, 2002: 3). Berikut ini dipaparkan sebagian dari pemikiran Muhammad Syahrur mengenai hal-hal tersebut.

Konsep Islam telah disebutkan di atas dalam pembahasan mengenai karya ketiga dari Syahrur (Islam wa al-Iman Manzumah al-Qiyam). Singkatnya, Islam ialah penerimaan adanya eksistensi Allah, meyakini hari akhir, dan beramal shaleh. Sedang Muslimun ialah orangnya, sehingga ia mencakup umat Islam Nabi Muhammad saw., umat Islam nabi Nuh as., nabi Ibrahim as., nabi Ya’kub as., nabi Musa as., dan nabi Isa as (Syahrur, 2002: 14,30).

Lawan dari Islam adalah ajram, dan lawan dari muslim adalah mujrim. Konsep ajram kebalikan dengan konsep Islam, yaitu mengingkari eksistensi Allah, mengingkari hari kebangkitan (hari akhir), dan tidak beramal saleh (Syahrur, 2002: 15).

Sedang konsep Iman merupakan bentuk pembebanan yang diberikan oleh Allah kepada manusia (taklif) yang bersifat tidak alami, maka pelaksanaannya disesuaikan dengan kadarkemampuan dan kesanggupan. Rukun Iman berarti mengakui kebenaran Rasul Muhammad saw., risalah-nya, ritual-ritual keagamaan, syura dan perang. Muslimun adalah orangnya, yang tidak hanya dikhususkan pada umat Nabi Muhammad saw. (Syahrur, 2002:30- 33). Kebalikan dari konsep ini adalah konsep kufr orangnya kafirun (Syahriir, 2002: 26). Inilah bagian dari kata-kata kunci yang dijelaskan oleh Muhammad Syahrur untuk membaca ulang Islam. Dari kata-kata kunci tersebut akan berkembang pembacaan Islam lainnya.

Yang tidak kalah penting adalah, perbedaan definisi hudud antara ulama dengan Muhammad Syahrur. Hudud dalam terminologi fukaha diartikan sebagai hukuman (uqubah) yang sudah ditentukan oleh Allah swt. dan merupakan haknya (Awdah, 1992: 78-79). Hukuman ini merupakan batasan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur'an, sehingga manusia

tidak boleh melanggarnya, baik menambah maupun menguranginya.

Sedang hudud yang dimaksud Muhammad Syahrur ialah ketentuan-ketentuan Allah atau hukum Allah itu sendiri, bukannya hukuman. Fukaha tidak membolehkan adanya ruang ijtihad di dalam hudud, sebab di dalam al-Qur'an sangat jelas mengenai hukuman yang diberikan Allah SWT. kepada manusia. Sebaliknya, Muhammad Syahrur melihat adanya ruang ijtihad bagi manusia untuk menemukan maksud Tuhan yang terdapat di dalam al-Kitab. Hudud bukan berupa bentukhukuman yang sudah jelas dan statis, namun ia merupakan hukum yang dapat bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan zaman (salih likulli zaman wa makan). Melalui hudud, manusia dapat mengetahui ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan. 2. Metode Penafsiran Ayat-ayat Hukum

Syahrur menawarkan pembacaan ulang terhadap al-Kitab, sehingga menghasilkan pemahaman dan kesan mendalam tentang akurasi istilah yang digunakannya. Pembacaan ulang terhadap al-Kitab (al-Qur'an) merupakan sebuah usaha untuk “menghidupkan” makna kandungan al-Kitab (al-Qur'an). Sebab ia adalah sebuah wahyu muqaddas (hidup) yang dapat menyelesaikan masalah-masalah makhluk hidup dalam mengarungi kehidupannya. Umat Islam harus dapat mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi kandungan al-Kitab tersebut.

Dengan pemahaman yang benar, maka umat Islam selalu mampu untuk menyelesaikan setiap masalah. Pada masa sekarang, tentunya umat Islam tidak akan ketinggalan dalam mengaplikasikan maksud kandungan al-Kitab sesuai dengan kebutuhan ilmu-ilmu modern, termasuk hukumnya. Dengan demikian, umat Islam membutuhkan sebuah metode penemuan hukum yang baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak bersifat statis atau tidak terpaku pada metode lama, seperti yang telah dicetuskan oleh imam-imam mazhab (Syahrur, 2000a: 32). Sebab, ilmu-ilmu yang terdapat dalam al-Kitab diperuntukkan kepada manusia sesuai dengan kebutuhannya (Syahrur, 2000a: 36).

Oleh karena itu, manusia wajib menjaga, mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi kandungan al-Kitab. Allah SWT. telah berfirman dalam surat al-Hijr (15): 9 dan al-Nahl (16): 44.        

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

             

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an. agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Kedua ayat di atas mengisyaratkan, bahwa manusia punya andil besar untuk menjaga keotentikan al-Qur'an dan untuk merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Muhammad Syahrur menetapkan persyaratan ketika akan memahami al-Kitab, sebagai langkah membaca ulang pemahamanIslam yang benar. Persyaratan tersebut di antaranya (Syahrur, 20000: 44-45):

a) Memahami kaidah-kaidah ilmu bahasa yang dipegangi oleh Abu ‘Ali al-Farisi yang ditampilkan oleh Ibnu Jinni dan 'Ab al-Qahir al-Jurjani, yaitu metode kebahasaan yang merujuk pada sya'ir-sya'ir Arab pada masa Jahiliyah.

b) Memahami kaidah-kaidah ilmu bahasa yang dipegangi oleh Ibnu Faris (murid Sa’lab) yang tertuang dalam kitabnya, Mu’jamMaqayis al-Lugah. Karya tersebut menolak adanya sinonimitas bahasa

c) Tidak berpegang pada Ta'wilmufassir sebelumnya, agar tafsir yang dilakukannya selalu hidup sesuai dengan perkembangan zaman, tidak terpaku oleh penafsiran sebelumnya. Dengan demikian ilmu-ilmu lain yang berkembang pada saat memahami al-Kitab dapat masuk menjadi penunjang maupun tolak ukur.

d) Tidak ada bahasa al-Kitab yang tidak dapat dipahami, karena al-Kitab diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia.

e) Harus berkeyakinan bahwa tidak ada pertentangan antara wahyudengan akal, dan antara wahyu dengan realitas.

f) Sesungguhnya Allah mengangkat derajat orang yang berpikir, oleh sebab itu kita tidak boleh menyia-nyiakannya.

Dari dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh Muhammad Syahrur tersebut, dapat diketahui bahwa untuk memahami al-Kitab, Muhammad Syahrur menggunakan pendekatan bahasa yang dipadukan dengan realitas kealaman, baik dari akal manusia, persoalan-persoalan yang sedang berkembang, maupun ilmu-ilmu yang sedang berkembang pada saat itu. Pendekatan bahasa digunakan oleh Muhammad Syahrur, karena ia melihat bahwa al-Kitab merupakan hasil sebuah dialektika yang terjadi antara Khaliq dan makhluknya. Dialektika ini akan hidup sepanjang zaman.

Dengan pendekatan bahasa, Muhammad Syahrur menentukan cara atau metode praktis dalam menafsirkan al-Kitab. Metode yang digunakan oleh Muhammad Syahrur dalam menafsirkan al-Kitab, sebagaimana diungkapkan oleh sahabatnya Dr. Ja'far Dakk al-Bab (2000a: 20). yaitu metode historis-ilmiah (al-manhajal-tarikhi al-‘ilmi).

Metode historis yang diterapkan dalam menafsirkan Kitab, mempunyai tujuan untuk mengetahui konteks bahasa al-Kitab pada saat al-al-Kitab diturunkan, maupun sebelum al-al-Kitab tersebut diturunkan. Bahasa yang terdapat di dalam al-Kitab sesuai dengan bahasa yang digunakan masyarakat Arab pada waktu itu. Jadi, jika ingin mengetahui konteks bahasa yang dikehendaki oleh bahasa al-Kitab, maka harus mengetahui pula bahasa masyarakat Arab pada waktu itu, termasuk sya'ir-sya'irnya. Dengan demikian tidak mengherankan ketika Muhammad Syahrur selalu menelusuri sya'ir-sya'ir Arab pada masa al-Kitab diturunkan dan masa sebelum al-Kitab tersebut diturukan, yaitu masa Jahiliyah.

Sementara metode ilmiah merupakan sebuah cara penafsiran untuk mengetahui kebutuhan umat muslim sekarang. Dengan bantuan ilmu-ilmu yang sedang berkembang pada masa

sekarang (ilmiah), maka al-Kitab akan hidup. Tentunya isi kandungan yang terdapat didalam al-Kitab dapat dilakukan oleh manusia, karena ia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Metode ilmiah merupakan representasi dari kebutuhan masa sekarang (konteks masa sekarang).

Dokumen terkait